"Kondisi ibu kamu semakin menurun, Nak. Segera lunasi administrasi agar bisa dilakukan pencangkokan ginjal secepatnya atau nyawa ibumu tidak akan tertolong," ujar lelaki berjas putih yang berdiri tepat di samping pasien sekarat yang terbaring di atas ranjang rumah sakit.
Dengan wajah cemasnya, perempuan cantik itu mengangguk lemah, meski ia tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu. "Baik, Dok. Lakukan yang terbaik untuk ibu saya. Akan saya lunasi secepatnya."
Dokter tampan yang terlihat seumuran dengan almarhum ayahnya itu mulai mendekat, mengusap bahu Cecil pelan, lalu tersenyum manis dan berkata, "Kamu yang sabar, ya? Sedikit banyak saya tahu bagaimana kehidupan keluargamu. Kamu memang anak yang hebat. Ibu kamu sering cerita tentang kehebatan putrinya ini. Tetap semangat! Setidaknya, dukungan kamu sangat dibutuhkan pasien untuk berjuang melawan penyakitnya. Kamu jangan menyerah dan jangan lupa berdoa, minta kesembuhan untuk ibumu. Sesungguhnya, hanya Dia yang Maha Menyembuhkan."
Cecil membalas senyuman itu tak kalah manis. Ia sangat bersyukur, karena dokter yang merawat ibunya ini adalah orang baik. Bahkan, beliau tidak pernah menolak jika dimintai bantuan. "Terima kasih banyak, karena Dokter sudah merawat ibu saya dengan sangat baik. Kalau boleh, saya mau merepotkan Dokter sekali lagi, saya minta tolong, titip Ibu sebentar, karena saya harus kembali bekerja untuk membayar biaya rumah sakit."
Dokter mengangguk, dengan senang hati laki-laki itu akan membantu Cecil yang membutuhkan bantuannya. "Silakan, Nak Cecil. Kamu anak baik dan berbakti. Tuhan akan selalu mempermudah langkahmu. Semoga kamu bisa secepatnya mendapatkan biaya untuk operasi ibumu."
"Aamiin. Saya permisi dulu." Setelahnya, Cecil pergi meninggalkan ibunya di ruangan bersama dokter yang merawat.
***
Cecilia Hutama. Gadis manis itu tengah melamun di ruang kerjanya. Pikirannya berkecamuk, memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang banyak dalam waktu yang singkat. Ia tidak mungkin membiarkan nyawa ibunya dalam bahaya. Bagaimanapun juga, gadis itu harus berhasil mengumpulkan biaya operasi untuk Nira, perempuan cantik yang sudah melahirkan dan membesarkan dirinya selama ini. Hanya Nira satu-satunya keluarga yang Cecil punya, karena ayah Cecil sudah meninggal beberapa tahun lalu.
"Apa aku pinjam Bos saja ya, buat operasi Ibu?" gumam Cecil pada diri sendiri. Tidak ada pilihan lain, hanya bosnya yang bisa menjadi penolong saat ini.
Untuk sesaat, Cecil merasa diterpa angin segar. Namun detik berikutnya, ia menggeleng tegas setelah mengingat bagaimana bos galak itu memakinya kemarin.
"Nggak, nggak! Bos galak itu nggak mungkin mau ngasih bantuan. Aku musti gimana ya Tuhan?!"
Cecil pun mulai frustasi. Ditelungkupkan wajahnya di atas meja kerja sambil membayangkan wajah bosnya yang galak itu.
"Arghhh! Kenapa punya bos galak banget sih?! Aku mau pinjam uang ke man--"
"Siapa yang galak?!" Suara bariton memenuhi ruangan, Cecil pun terkesiap. Ia terlihat gelagapan.
Cecil mendongak, Jantungnya hampir copot saat melihat laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya.
"P--pak Dev?" ucap Cecil terbata. Ia pun langsung menunduk, tidak berani menatap bos galaknya itu. Takut-takut, jika Devan marah lagi dengannya. Sementara sorot mata laki-laki itu menatap dingin ke arah Cecil, seperti ada dendam kesumat yang belum terbalas.
"Siapa yang kamu bilang galak?!" tanyanya sekali lagi. Ekspresi datarnya membuat suasana semakin mencekam.
"Bapak!" Tanpa sadar, Cecil keceplosan.
Laki-laki bernama Devan itu melotot tajam, membuat Cecil menutup mulutnya. Ia sadar sudah melakukan kesalahan yang fatal.
"Ma--maksud saya, tadi ada bapak-bapak di jalan, orangnya galak. Kakinya terinjak saja langsung marah." Bodoh! Baru kali ini Cecil merutuki otak briliannya itu. Bisa-bisanya ia memberi alasan yang tak masuk akal. Mana mungkin Devan percaya?
Devan menelisik mata Cecil. Perempuan itu terlihat tengah berdusta. Devan bisa melihatnya dari manik matanya yang bergerak gelisah. Lagian, ia tadi mendengar dengan jelas jika Cecil menyebut kata bos. Apa mungkin dirinya yang dimaksud? Batin Devan bertanya-tanya.
"Nggak usah alasan! Ke ruangan saya sekarang juga! Saya tunggu 5 menit!" Tanpa basa-basi, Devan berlalu meninggalkan Cecil yang masih mematung di tempatnya.
Cecil pun menghembuskan napas kasar. Ia harus siap menerima resiko yang akan dirinya dapatkan setelah ini.
Tak ingin membuat bosnya semakin marah, ia pun bergegas menuju ruangan CEO perusahan yang bergerak di bidang properti ini. Dengan langkah seribu, Cecil berjalan menuju ruangan Pak Direktur.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan terdengar dari luar.
"Masuk!" teriak seseorang dari dalam. Tentu saja itu Devan, satu-satunya orang yang berkuasa di kantor ini.
Cecil pun segera masuk saat pemilik ruangan mempersilakan dirinya masuk.
"Telat dua menit!" ucap sang CEO dengan ekspresi yang sama. Datar dan dingin.
Cecil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ya, memang telat dua menit. Tapi, ini terlihat berlebihan jika harus dipermasalahkan.
"Maaf, Pak. Jalan ke sini juga butuh waktu. Nggak langsung ngilang. Ruangan saya dan kantor Pak Devan, jaraknya cukup lumayan. Jadi, saya juga butuh waktu untuk jalan ke sini."
Devan tidak suka mendengar alasan. Apalagi bantahan. Karyawannya yang satu ini memang paling suka membangkang. "Jangan kebanyakan alasan! Saya tidak suka!"
Cecil pun berdecak dan memutar bola matanya. Hanya perempuan itu yang berani menantang Devan. "Ckck! Udah sih, Pak. Orang cuman telat dua menit. Hidup saya sudah rumit, jangan dipersulit!"
Cecil terlihat kesal. Kepalanya yang sudah pusing memikirkan pengobatan ibunya, menjadi semakin pening karena bos galaknya ini. Rasanya, ingin sekali ia makan orang.
Devan sendiri merasa heran dengan gadis manis yang bekerja di perusahaannya ini. Sama sekali tidak ada takut-takutnya dengan atasan. Justru terkesan seperti menantang, seolah tidak takut kehilangan pekerjaannya.
"Kok jadi galakan kamu? Di sini, bosnya saya, bukan kamu! Kalau sudah bosan bekerja, dengan senang hati saya akan pecat kamu!"
Cecil terkesiap. Matanya membulat dengan mulut terkatup rapat. Ia kemudian meraih tangan Devan, menciumnya dengan hormat sambil memohon karena pekerjaan ini sangat penting baginya. "Tolong jangan pecat saya, Pak. Maaf, kalau saya sudah kurang ajar sama Bapak. Tapi saya mohon, jangan pecat saya. Saya sangat butuh pekerjaan ini. Ibu saya terbaring kritis di rumah sakit. Kalau Bapak pecat saya, saya bayar rumah sakit dan pengobatan ibu saya pakai apa, Pak?"
Dengan terus mencium tangan Devan, Cecil berusaha merayu bosnya. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Bagi Cecil, kantor ini adalah harapan satu-satunya.
"Itu bukan urusan saya," ucap Devan acuh. Sebenarnya, Devàn tidak benar-benar berniat memecat Cecil karena perusahaan ini masih membutuhkan karyawan kompeten seperti Cecil. Ia hanya memberi pelajaran saja pada karyawannya yang suka membangkang itu.
"Pak, saya mohon dengan sangat, tolong jangan pecat saya. Saya benar-benar butuh pekerjaan ini. Ibu saya sedang sakit parah dan butuh perawatan intensif. Saya juga butuh uang untuk biaya operasi cangkok ginjal ibu saya. Saya mohon, Pak, jangan pecat sa--"
"Diam!" Perintah Devan membuat Cecil berhenti nyerocos.
Melihat Cecil yang sudah berhenti bicara, Devan ikut diam, lalu memperhatikan penampilan Cecil dari atas sampai bawah.
"Duduk!" titahnya kemudian.
Cecil yang masih gelisah dengan karirnya di kantor ini, masih terus berdiri mematung tanpa mengindahkan perintah atasannya, itu membuat Devan semakin geram.
"Kenapa masih berdiri?" ucap Devan dingin dan terasa menusuk di telinga.
"Ta--tapi, Pak?"
"Saya bilang duduk ya duduk!" bentak Devan membuat Cecil terkesiap. Gadis itu tertegun sampai susah payah menelan liur yang tercekat di tenggorokan.
Tak ingin mendapat masalah lebih runyam lagi, Cecil memilih untuk duduk. Ia menarik kursi yang ada di hadapan Devan.
"Baik, saya duduk."
Cecil hanya bisa merunduk dalam. Takut-takut jika Devan kembali murka padanya, pekerjaannya ini pasti akan hilang dalam sekejap dan posisinya akan digantikan dengan mudahnya.
"Kamu butuh uang?" tanya Devan dengan suara yang melembut, membuat Cecil menarik napas lega. Meski begitu, ia tidak berani mengangkat kepalanya.
"Iya, Pak," jawabnya hanya dengan sekali anggukan.
"Saya di sini, bukan di bawah. Ngapain nundukin kepala?!"
Dengan susah payah, Cecil berusaha untuk sabar. Ia harus bisa tahan emosi. Belum saatnya membantah bos galaknya yang ngeselin ini. Dengan kuat, gadis itu mencengkeram ujung roknya agar bisa lebih tenang.
Perlahan, Cecil mulai mengangkat kepalanya. Ditatapnya manik Devan dengan tatapan lembutnya. Kali ini, ia mengalah demi pekerjaannya yang dipertaruhkan. "Iya, Pak. Saya minta maaf."
Devan tersenyum samar. Ia merasa menang karena sudah berhasil membuat sekretarisnya yang songong itu menjadi tak berkutik.
"Ekehm." Suara deheman milik Devan, terdengar cukup horor di telinga Cecil. Gadis itu berusaha tenang dengan memilin ujung roknya hingga lecek.
Saat saling pandang, tanpa sengaja tatapan keduanya saling beradu. Devan menatap Cecil dengan sorot yang tajam, sementara gadis itu menatap manik Devan dengan tatapan sayunya. Devan bisa melihat ada sebersit kesedihan di balik tatapan milik Cecil.
"Emmm ... saya bisa bantu kamu membiayai semua pengobatan ibu kamu," Bak super hero, Devan menawarkan bantuan pada Cecil. Tentu saja tidak gratis. Perempuan itu harus memberinya imbalan yang sepadan.
Mendengar itu mata Cecil berbinar. Ia sama sekali tidak menyangka jika bos galaknya ini ternyata masih punya sisi kemanusiaan yang baik. Ia merasa sedikit bersalah, karena penilaiannya pada laki-laki itu tidak sepenuhnya benar.
"Bapak serius?" tanya Cecil memastikan. Semoga saja, laki-laki itu beneran baik.
"Ya, tapi ada syaratnya."
Kedua alis Cecil bertaut. Bodoh! Ia merasa bodoh! Mana mungkin Devan mau membantunya dengan cuma-cuma? Pasti laki-laki itu sudah punya rencana licik. Tapi, Cecil tidak boleh egois. Demi ibunya, syarat apa pun akan dirinya lakukan.
"Apa syaratnya?" ucap gadis itu lantang. Ia tidak peduli dengan syarat yang Devan berikan. Bagi Cecil, nyawa ibunya jauh lebih penting sekarang.
"Jadi istri saya!"
"Jadi istri saya!"Tepat setelahnya, mulut Cecil membuka lebar. Pupus sudah harapan Cecil. Ia tidak menyangka jika Devan bisa segila ini. Menikah bukan sebuah permainan yang harus dimenangkan. Ini benar-benar sudah kelewatan!Bagaimana mungkin laki-laki itu bisa dengan mudah menyuruhnya menjadi seorang istri? Ini terdengar sangat konyol. Menikah tidaklah semudah itu. Banyak pertimbangan, terlebih pernikahan bukanlah hal yang remeh.Cecil menggeleng pelan. Ia masih tidak percaya ini. "Pak Devan benar-benar gila! Kalau Bapak dendam sama saya, nggak perlu main-main seperti ini, Pak! Bapak pikir ini lucu? Pernikahan bukan lelucon yang bisa dimainkan seenaknya. Di dalam pernikahan ada janji suci yang terucap dengan Tuhan sebagai saksinya. Jangan main-main dengan hal itu!"Cecil menatap nanar laki-laki yang ada di hadapannya. Rasanya, ingin sekali ia mencakar wajah tampan yang sesat itu."Saya juga tidak main-main! Kamu butuh uang kan? Saya juga butuh seorang istri yang bisa menyelamatkan
Setelah mendapat telepon dari rumah sakit yang memberi tahu jika kondisi ibunya semakin menurun, Cecil pun segera menyambar tasnya.Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan yang masih menunjukkan pukul 3 sore. Itu berarti, jam pulang masih kurang satu jam lagi.Cecil tidak bisa menunggu selama itu. Ia harus bergegas pergi ke rumah sakit karena ibunya sedang tidak baik-baik saja.Tanpa pikir panjang, Cecil pun nekad menemui Devan dan meminta izin untuk pulang lebih awal dari jam pulang kantor. Ia tidak peduli kalau Devan memarahinya nanti. Yang penting, sekarang ia harus cepat sampai rumah sakit.Dengan langkah tergesah, Cecil berjalan menemui Devan di ruangannya.Tok ... tok ....Suara pintu yang terketuk."Masuk!"Setelah mendapat perintah, Cecil pun langsung masuk ke dalam."Permisi, Pak," ucuapnya ragu dengan raut wajah cemasnya.Devan memperhatikan Cecil dari atas sampai bawah. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ini masih jam berapa, Cecilia Hutama
Senyum Devan tersungging sempurna. Akhirnya, gadis itu menyerah juga. "Kamu tenang saja. Semua biaya akan saya tanggung dan ibu kamu akan menikmati fasilitas terbaik di rumah sakit ini."Devan menatap dokter serius. "Dok, lakukan yang terbaik untuk pasien ini. Soal biaya, saya akan lunasi sekarang.""Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu untuk menyiapkan operasinya."Dokter pun bergegas keluar untuk menyiapkan semuanya. Sementara Cecil menatap Devan dengan tatapan sendunya."Kamu tunggu di sini. Saya urus dulu biaya administrasinya."Cecil mengangguk, lalu membiarkan Devan berlalu dari hadapannya.Di dalam ruangan itu, Cecil menangis tanpa suara. Ia tidak tahu, apakah keputusan yang diambilnya sekarang sudah benar atau justru malah menjerumuskan dirinya ke dasar jurang. Cecil tidak bisa berpikir jernih. Yang terpenting baginya saat ini hanyalah kesembuhan ibunya. Biarkan jika setelah ini, ia akan menderita atau bahkan disiksa hidup-hidup oleh Devan yang menyebalkan itu.Sudah sa
Sesampainya di pujasera, Cecil celingukan mencari meja yang kosong. Kantin rumah sakit ini terlihat sangat ramai. Banyak dari keluarga pasien yang mencari makan di sore hari seperti ini. "Mau duduk di sebelah mana? Mejanya penuh semua," ujar Cecil sambil menatap lesu sang atasan. Perutnya sudah keroncongan, ditambah tidak ada tempat untuk dirinya makan, membuat gadis itu menahan rasa kesal. Devan pun mengedarkan pandangannya. Di meja paling ujung, terlihat sepasang kekasih tengah beranjak dari tempat duduknya. Dengan cepat, Devan mengambil langkah lebar dan menggeret tangan Cecil untuk berjalan mengikutinya. "Ayo!" "Aduh, duh!" gerutu Cecil yang kesusahan mensejajarkan langkahnya dan Devan. Gadis itu sampai terseok-seok karena tangannya terus diseret. "Duduk!" perintah Devan saat keduanya berhasil menempati meja kosong itu. Cecil menatap kakinya yang memerah. Sepatu heels yang kekecilan, membuatnya harus meringis menahan sakit. Ia pun hanya melirik sekilas pada Devan, lalu duduk d
"Iya ... saya tidur." Devan menyeringai licik. "Pintar! Cepat tidur, besok pagi temani saya bertemu klien." Di balik wajah yang tertutup oleh tangannya, Cecil terlihat sedikit mengintip. "Nyuruh tidur, tapi diajak bicara. Gak jelas banget!" "Tidur!" galak Devan sambil menenggelamkan wajah Cecil di dada bidangnya. *** Hangat mentari mulai menyapa, menimbulkan deretan jingga yang menyilaukan mata. Cecil pun terbangun karena tak nyaman dengan silau sang surya yang menembus jendela kaca itu. Cecil menggeliat dengan mata yang sayup-sayup mulai terbuka. Entah mengapa, tidur kali ini terasa begitu nyenyak. Cecil merasa bagai tertidur di atas sutra, hangat dan nyaman. Saat ingin beranjak, Cecil menyadari sesuatu berat menindih perutnya. Kakinya pun terasa sulit digerakkan. "Ada yang aneh?" ujarnya pada diri sendiri. Cecil mulai merambah bagian perutnya yang terasa janggal. "Ada tangan?" Gadis itu mengernyit bingung, lalu detik berikutnya ia berteriak kecang. "Aaaahhh!!!" Suara meng
"P-- Pak Devan kok balik lagi?" Cecil bersua dengan langgam yang memelan. Ia tampak grogi melihat Devan berdiri mematung di depannya. Bukan apa-apa, gadis itu hanya tidak enak karena sudah membicarakan bosnya di belakang. "Kalau saya tidak di sini, mungkin saya tidak akan tahu jika sekretaris saya suka gosipin bosnya di belakang. Bagus ya, kamu? Apa saya bayar kamu cuman untuk membicarakan saya di belakang?" Sambil mengambil barangnya yang tertinggal, Devan melirik sinis pada Cecil. Gadis itu terlihat tengah merunduk dalam. Ia merasa tidak enak hati, karena sudah kepergok. "Emmm ... saya minta maaf, Pak," Ragu-ragu, Cecil mulai mengangkat kepalanya, menatap mata Devan yang masih penuh kilatan amarah. Melihat mata teduh milik Cecil entah kenapa hati Devan menjadi tentram. Ia seperti disiram bongkahan es batu yang terasa sangat dingin. "Saya cuman mau ambil baju yang Zaki bawakan. Kamu ... jangan ulangi lagi! Awas saja kalau sekali lagi saya dengar kamu mengatai saya di belakang!" Na
Sesampainya di kantor, Cecil bergegas mengikuti langkah Devan yang berjalan menuju ruang direktur. Gadis itu tampak kewalahan menyeimbangkan langkahnya dan Devan yang cukup panjang. "Pelan-pelan, bisa tidak? Saya capek ngikutin Bapak!" gerutu Cecil dengan napas tersengal. Ia pun berhenti sebentar, mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Sementara Devan hanya menatapnya tanpa rasa kasihan dan tetap melanjutkan jalannya. Saat masuk ke dalam lift, sorotan mata rekan kerjanya, semua tertuju pada Cecil. Ia pun merasa kikuk diperhatikan seperti itu. "Pak, saya naik lift sebelah saja ya? Nggak enak, dilihatin yang lainnya," nyali Cecil menciut. Ia tidak ingin mendengar gosip miring tentang dirinya setelah ini. Pasalnya, lift yang dinaikinya adalah lift yang khusus dirancang untuk direkrut. Siapapun tidak ada yang boleh menikmati fasilitas kantor itu selain direktur dan tamu penting. "Ngapain? Buang-buang waktu saya! Sudah, hiraukan saja." Devan mengedarkan pandangannya Karen lift tak kunjung
Mendengar kata anak, Cecil membulatkan matanya. "Ini gak adil!Saya keberatan! Saya gak mau! Enak saja, itu namanya merugikan saya!" protes Cecil tak terima."Merugikan apanya? Orang tinggal kasih. Bikin anak mudah kok." Cecil semakin geram dibuatnya. Bagaimana mungkin, laki-laki itu berujar kalau syarat yang ia kasih dibilang mudah? Sementara ia harus mengorbankan semuanya demi pernikahan itu?"Ya rugi di saya! Pokoknya saya gak mau jadi janda anak satu. Apalagi di usia muda. Hiii, mengerikan." Cecil bergidik, membayangkan apa yang akan menimpanya di masa depan. Laki-laki mana yang akan menerimanya nanti?"Oke. Berhubung kamu tidak mau menuruti syarat dari saya, saya berhak mencabut deposit biaya rumah sakit Ibu Nira. Itu kan yang kamu mau?"Cecil semakin tercengang dibuatnya. Mulutnya tertahan, tak bisa berkata. Tenggorokannya serasa kering tak bertenaga. Kakinya pun terasa lemas hingga menjalar ke sekujur tubuh."J--jangan! Saya butuh uang Bapak. Saya gak mau pengobatan ibu dihent
Cecil tertawa lebar dengan seringai liciknya. Gadis itu kemudian merogoh ponsel di tasnya. "Terima kasih Dela, untuk semua pengakuannya. Tunggulah, sebentar lagi polisi akan datang dengan surat penangkapan kalian. Maaf, kelicikan harus dibalas dengan lebih licik."Cecil menepuk pipi Dela yang terlihat sangat pucat. Mendengar kata polisi, gadis itu langsung mematung. "Ap--apa maksudmu?" Tak kunjung menjelaskan, Devan pun ikut mencecar. "Sayang, ada apa ini?"Cecil mendekat, untuk mengikis jaraknya dan Devan. Dia lalu menepuk pundak lelaki itu pelan. "Aku tahu aktingmu sangat buruk, Sayang. Aku gak yakin bisa menjebak Dela dalam peragkapmu. Maaf, jika aku harus melibatkan Mas Sean dalam drama ini. Awalnya, niatku ke sini memang ingin mengucapkan selamat tinggal pada lelaki baik yang sudah kuanggap seperti abang. Tapi setelah aku melihat Dela memergoki kami berpelukan, aku yakin, dia pasti akan bicara buruk tentang aku. Jadi, aku sengaja, meminta Mas Sean untuk memelukku lebih erat." Ce
Giginya gemertak menahan emosi. Kalau tidak ada Cecil yang menghalangi, mungkin Devan akan langsung menghabisi Sean di tempat."Berdiri kamu!" Devan menarik kasar lengan Cecil menjauh dari Sean. Wajahnya terlihat sangat merah. Entah apa yang ada di pikiran Devan sekarang.Cecil berdiri dengan sedikit terhuyung. Dia takut-takut menatap Devan yang sudah berubah seperti iblis. "Aw, sakit. Pelan-pelan, Mas." Rintihannya sambil melihat memar kemerahan di lengan. Seumur-umur, dia baru melihat sisi iblis seorang Devan.Devan menatap Cecil dengan tatapan membunuh. Dia paling tidak suka dikhianati seperti ini. "Pelan-pelan, katamu? Dasar wanita murahan! Bisa-bisanya kamu pelukan mesra sama orang lain. Dibayar berapa kamu hah? Kamu istriku, Cecil!"TesSetetes air mata membasahi pipi Cecil. Tidak menyangka, jika Devan akan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitinya. Sementara, dia berusaha mati-matian memuji Devan di depan Sean."Tutup mulutmu! Aku tidak serendah itu, bajingan! Aku masih
Setelah seharian sibuk memanjakan suaminya, akhirnya pagi ini Cecil disibukan dengan pekerjaannya di kantor. Sesuai yang Devan katakan, pagi ini mereka berangkat ke kantor bersama. Tidak ada lagi jemputan dari Laras, karena Zaki sudah melarang gadis itu menjemput Cecilia, sesuai arahan dari Devan."Selamat pagi?" sapa Cecil ramah pada seluruh karyawan yang ditemuinya di lobi. Itu adalah kebiasaan Cecil yang sudah ia geluti sejak masih menjadi pekerja di kantor ini, hingga sekarang menjadi istri seorang bos."Pagi," Devan ikut menyapa, meski tak ada senyum di sana. Wajahnya tampak datar, tapi bagi para karyawan, ini adalah salah satu momen langkah. Sungguh keajaiban dunia. Ada apa dengan Devan pagi ini?Untuk sesaat, para karyawan terbengong dengan pandangan saling tatap. Lalu detik berikutnya, mereka kompak menyunggingkan senyum dan menunduk hormat."Pagi, Pak Devan, Bu Cecil." balas para karyawan ramah pada keduanya yang berjalan beriringan. Tumben sekali mereka berangkat bareng?Se
Usai menikmati bakso mercon, Cecil dan Devan melajukan motor menuju bazar nostalgia. Ya, benar sekali. Kedatangan mereka langsung disambut oleh jajaran penjual jajanan pinggir jalan. Tidak terkecuali sempol dan sate aci. Cecil benar-benar bahagia sekarang."Mas, aku mau itu." Cecil menunjuk kue leker yang masih dimasak dengan arang. Devan sendiri hanya mengangguk membiarkan Cecil memilih jajanan yang dia suka."Beli saja sesukamu." Devan menyerahkan dompetnya pada Cecil. Dengan senang hati Cecil menerimanya.Saat mencari uang kecil, Cecil sama sekali tidak menemukan. 'Huft! Dasar orang kaya!' Cecil menggerutu dalam hati."Mas, pakai uangku saja lah. Punyamu gak ada yang kecil." Keluhnya sambil menyerahkan dompet pada Devan."Belikan saja semuanya. Katanya mau borong? Entar bagi sama orang rumah dan satpam kompleks."Cecil memutar bola matanya. "Lima puluh ribu? Yang benar saja. Kamu bawa motor, masak aku yang repot bawa ini semua? Aku belom cobain jajan lain."Devan mengacak rambut C
"Mas, aku sumpahin ban motormu bocor!" teriak Cecil dengan emosi naik turun. Kali ini, Devan benar-benar berhasil memainkan adrenalinnya. Mulut Cecil bahkan sampai komat kamit merapal doa, saat Devan dengan lihainya menyalip tronton-tronton di depan mereka."Oke, oke. Aku turunin kecepatannya." Devan yang awalnya ingin mengerjai Cecil jadi tak tega, saat melirik kaca spion motor dan mendapati istrinya sangat ketakutan. Perlahan, dia mulai mengurangi kecepatan lajunya.Saat motor bergerak lebih lambat, Cecil bisa menarik napas lega. Dia juga mengedarkan pandangan ke arah pengendara lain."Naik motor seru, Mas. Jadi ingat waktu sekolah." Cecil bercerita dengan antusias. Tapi satu pertanyaan Devan, berhasil membuatnya pucat."Dibonceng siapa kamu. Kamu kan gak bisa motoran." Grep! Cecil menutup mulutnya rapat-rapat. Niatnya curhat, malah jadi boomerang."Eh, anu." Mata Cecil bergerak gelisah. Otaknya dipaksa keras untuk berpikir jawabannya."Anu apa? Dibonceng siapa?" ulang Devan membuat
Devan berjalan menyusuri rumahnya untuk mencari keberadaan Cecil, tapi gadis itu belum juga ditemukan.Untuk sesaat, pria itu menghela napas panjang, lalu senyumnya terbit kala melihat pintu belakang yang terbuka. Feeling-nya kuat mengatakan jika yang dia cari, ada di taman belakang halaman rumah.Tepat dugaan. Di sana, Cecil tampak duduk di sebuah ayunan yang dikelilingi bunga-bunga mawar yang indah. Hangat mentari juga menyambut kedatangan Devan yang berjalan menghampiri Cecil."Kamu di sini? Pantes, aku cari ke depan gak ketemu." Devan menghentikan ayunan, kemudian duduk di hadapan Cecil yang menatapnya jengah."Ngapain cari aku? Aku ke sini, mau cari angin segar."Cecil membuang pandangannya, menatap bunga-bunga yang tumbuh bermekaran.Devan yang merasa diabaikan pun jengah sendiri. "Cil, lihat sini kek. Suamimu mau ngomong, tapi kamu malah kabur."Cecil yang sadar jika Devan tengah serius, dia mulai menegapkan tubuhnya. Bersiap, mendengar petuah Devan. "Mau ngomong apa? Aku sudah
Pagi yang cerah. Seusai sarapan bersama, Devan mengajak Cecil kembali ke kamar. Tentu hari ini Devan tidak akan membiarkan Cecil menganggur barang sedetik."Ma, Devan sama Cecil pamit ke kamar ya."Cecil menoleh pada Devan penuh kewaspadaan. Lelaki itu pasti sudah menyusun rencana sedemikian rupa.Cecil menghela napas. Menatap Utari seolah meminta pertolongan. "Kamu duluan saja, Mas. Aku masih mau ngobrol sama Mama."Utari yang merasa namanya dibawa-bawa pun mengangguk mengiyakan. Kasihan juga Cecil kalau sampai dikurung di kamar. Sudah pasti, Devan akan menjadikan gadis itu sebagai makanan penutup. Apalagi, Devan sudah bilang jika hari ini dia cuti. Sudah pasti menantunya tidak akan keluar kamar."Kamu duluan saja, Van. Mama juga mau minta pendapat Cecil."Bukannya beranjak, Devan malah bertopang dagu dengan wajah ditekuk. Ditatapnya istri dan sang mama bergantian. "Aku tungguin di sini. Jangan lama-lama ngobrolnya. Aku butuh Cecil."Utari berdecak. Menggeleng heran dengan kepala bat
Usai mandi bersama yang berakhir dengan makian panjang Cecilia, Devan keluar dengan mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Cecil sendiri hanya bisa menghela napas ketika suaminya pergi setelah mendapatkan kenikmatannya kembali."Dasar suami gak peka! Istrinya belum selesai malah ditinggal." gerutu Cecilia saat perempuan itu asik berendam di bathtub. Rendaman air hangat, sedikit banyaknya bisa membantu Cecilia melemaskan ototnya yang kaku.Ceklek.Cecilia keluar setelah puas berendam. Dia juga sudah berganti dengan gaun rumahan.Cecil berjalan menuju meja riasnya. Tak sengaja, pandangan Devan dan Cecil bersitatap. Devan yang berduduk santai di tepi ranjang, hanya memandang gadis itu sesaat, sebelum kembali berkutat dengan ponselnya."Aku sudah mengabari Zaki, kalau kita hari ini gak ke kantor. Aku juga sudah kasih tahu Laras, biar gak usah jemput kamu lagi karena mulai besok, kamu berangkat sama aku."Ucapan Devan menghentikan Cecilia yang memoles wajahnya dengan bedak. Dengan cep
Keesokan paginya, Cecil sudah bersiap dengan setelan kemeja kantor dipadu dengan blazer. Gadis itu mematut dirinya di cermin, sambil menyisir rambutnya yang hampir kering. Sementara Devan sendiri baru bangun dari tidur lelapnya.Ingin menyibak selimut, Tapi urung setelah melihat bekas kemerahan yang dia buat semalam. Leher jenjang itu, dapat dia lihat dengan jelas dari pantulan cemin. Mengingat itu, Devan sangat bangga dengan dirinya yang berhasil menato tubuh Cecilia."Cil, kemarilah!" Cecil yang merasa terpanggil pun bergegas mempercepat gerakannya. Setelah rambutnya tersisir rapi, barulah dia berjalan menghampiri Devan."Ada apa?" Matanya penuh selidik, menatap pria yang semalam tengah menganghangatkan ranjangnya."Kamu mau ke mana, rapi begini? Di rumah saja, gak usah kerja hari ini."Cecil membuka mulutnya. Perempuan itu hampir melontarkan sumpah serapah. "Kenapa? Kenapa aku gak boleh kerja? Aku gak sakit, kok. Àku bisa ke kantor.Devan menunjuk leher Cecil dengan jari telunjuk