"P-- Pak Devan kok balik lagi?" Cecil bersua dengan langgam yang memelan. Ia tampak grogi melihat Devan berdiri mematung di depannya. Bukan apa-apa, gadis itu hanya tidak enak karena sudah membicarakan bosnya di belakang.
"Kalau saya tidak di sini, mungkin saya tidak akan tahu jika sekretaris saya suka gosipin bosnya di belakang. Bagus ya, kamu? Apa saya bayar kamu cuman untuk membicarakan saya di belakang?" Sambil mengambil barangnya yang tertinggal, Devan melirik sinis pada Cecil. Gadis itu terlihat tengah merunduk dalam. Ia merasa tidak enak hati, karena sudah kepergok.
"Emmm ... saya minta maaf, Pak," Ragu-ragu, Cecil mulai mengangkat kepalanya, menatap mata Devan yang masih penuh kilatan amarah.
Melihat mata teduh milik Cecil entah kenapa hati Devan menjadi tentram. Ia seperti disiram bongkahan es batu yang terasa sangat dingin.
"Saya cuman mau ambil baju yang Zaki bawakan. Kamu ... jangan ulangi lagi! Awas saja kalau sekali lagi saya dengar kamu mengatai saya di belakang!" Nada bicara Devan mulai melembut, meski terdapat ketegasan di dalamnya.
"Berarti, kalau ngatain langsung depan orangnya boleh?"
Alis Devan terangkan dengan beberapa kerutan samar di dahinya. Kali ini, Cecil benar-benar mampu memainkan emosi lelaki itu.
"Cecilia!" sentak Devan membuat Cecil tertegun, sementara Zaki berusaha keras menahan tawanya melihat kelakuan Cecil dan Devan.
"Sabar, Dev. Bukan perempuan kalau gak bikin kesal," tutur Zaki.
"Terserah kamu!"
Devan pun berlalu, sebelum itu, matanya sempat melirik tajam ke arah Cecil lalu berjalan cepat menuju kamar mandi.
Sepeninggal Devan, Cecil menatap Zaki serius, hingga membuat kedua alis lelaki itu saling bertautan. "Kamu kenapa, Cil? Kok lihatin saya kayak gitu?"
Cecil meringis, "Pak Devan galak, 'kan?"
"Sssttt! Jangan gosipin lagi. Kalau dia tahu, kelar hidupmu."
"Hehe ... maaf. Lagian, masih pagi sudah marah-marah." Cecil menarik napas dalam. Ia mencoba kembalikan suasana hati yang sempat keruh setelah Devan mengomelinya.
"Udah, sabarin aja. Banyakin istighfar kalau sama si bos."
"Entahlah!" jawabnya sambil menarik turunkan bahu. Ia tampak acuh dan lebih memilih untuk memakai heels yang Devan beri daripada melanjutkan obrolan bersama Zaki.
***
Jarum jam terus berputar, menimbulkan bunyi denting yang cukup nyaring di kala rasa sepi seperti ini. Ditambah Devan yang tak kunjung keluar dari tempatnya berbenah, membuat gadis cantik nan bar-bar itu menjadi sangat bosan
"Menunggu itu membosankan! Ckck!" decak Cecilia membuat Zaki terkekeh. Cukup menarik, karena biasanya seorang pria yang harus menunggu lama wanitanya hanya untuk bersiap, tapi kali ini berbanding terbalik.
"Sabar, bentar lagi pasti siap,"
Cecil memandang jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Angka di sana menunjuk pukul 07.00 WIB. "Sudah jam 7, belum lagi macetnya. Mau sampai kantor jam berapa?" dumel Cecil pada Zaki.
Laki-laki itu menampakkan moncongnya yang keluar beberapa centi. "Dari tadi aku sudah siap loh. Kok jadi aku yang kena omel?"
Cecil meringis salah tingkah. "Hehe ... maaf! Saking kesalnya jadi kelepasan.
Gadis manis itu tampak kikuk dengan rasa bersalahnya. Untuk mengusir kecanggungan, Cecil mengambil tas lalu mengeluarkan dua roti selai untuk mengganjal perut.
"Ini, makan roti dulu. Hitung-hitung lumayan buat isi perut." Cecil menyerahkan sebungkus roti berselai coklat pada Zaki.
Zaki pun menerimanya dengan senang hati, "Thanks ya?"
Mereka kemudian makan roti bersama. Tak lama setelahnya, Devan muncul dengan penampilan yang sangat menawan. Ia terlihat begitu gagah dengan jas abu dan celana bahan berwarna senada. Sangat matching dengan penampilan Cecilia.
"Makan apa, kalian," tanya Devan yang berjalan menghampiri keduanya lalu mendudukkan diri di sebelah Cecil.
Zaki mengangkat tangan dan menunjukkan rotinya di hadapan Devan. "Makan roti. Dikasih Cecil."
Tiba-tiba, Roti yang ada di tangan gadis itu sudah berpindah di genggaman Devan. "Rotiku!" rengeknya.
"Enak!" jawab Devan acuh!
Cecil memukul lengan Devan. "Kalau mau, bilang! Jangan rebut punya orang!"
Cecil kemudian mengeluarkan sebungkus roti terakhir yang ada di dalam tasnya. Membukanya dan perlahan menikmati isinya.
"Udah, yuk, berangkat!" ajak Cecil usai menyelesaikan kunyahan terakhirnya. Gadis itu kemudian bergegas bangkit sambil merapikan jasnya yang agak lecek.
Diikuti dengan Devan dan Zaki, ketiganya pun mulai berjalan beriringan menuju parkiran rumah sakit.
"Zaki, kamu nyetir sendiri ya? Biar Cecilia ikut mobil saya," ujar Devan terkesan cukup formal, meski Zaki adalah rekan karibnya. Mereka hanya akan memanggil aku-kamu jika sedang santai saja.
"Baik, Pak."
Sesampainya di parkiran, tanpa menunggu waktu lagi, ketiganya langsung bergegas menuju ke kantor.
Mobil Zaki sudah melaju terlebih dahulu. Devan sengaja menyuruhnya agar sampai di kantor lebih awal.
Di perjalanan, Cecil terus ngedumel lantaran jalan sangat macet. Tidak ada ruang untuk mobil bergerak. "Duh, gimana ini? Udah jam 7 lebih. Kalau macetnya parah kayak gini, bisa telat, kita. Klien akan sampai tepat jam 8."
Cecil tergerak memijat pelipisnya yang berdenyut. Semoga saja, ia bisa segera terlepas dari jebakan macet. Jangan sampai, proyek besar ini gagal dan hancur.
"Kamu bisa diam, tidak? Saya jadi makin pusing dengar ocehan kamu." semprot Devan membuat Cecil tertegun. Gadis itu merasa sakit hati, ia lalu diam tanpa memedulikan perkataan Devan.
Hening mulai tercinta, hanya bunyi kendaraan yang menjadi alunan musik pengiring mereka. Cecil bahkan enggan untuk memandang ke arah Devan. Gadis itu memalingkan wajahnya menuju luar jendela, sambil sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Sudah hampir jam 8, tapi jalanan tak kunjung senggang, membuat air wajah Cecil menjadi semakin keruh. Gadis itu bergerak gelisah lantaran takut jika dirinya terlambat ke kantor.
Tiba-tiba saja, mobil di depannya mulai melaju, membuat Cecil menarik napas lega. Devan pun segera menancap gasnya agar mereka datang tepat waktu.
Terlalu mengejar waktu, Devan berkendara dengan kecepatan penuh, sampai-sampai lelaki itu tidak sadar jika ada seorang nenek-nenek tengah menyeberang.
"Pak Devan, awas!!!" teriak Cecil terkejut.
Devan yang mendengar teriakan Cecil, spontan langsung memelankan lajunya, tapi tetap saja, semua tidak keburu. Si nenek tetap tersenggol mobil Devan.
"Astaghfirullah!" ujar Cecil setelah tubuhnya terpental ke depan, karena mobil direm mendadak.
Cecil tercengang melihat si nenek yang sudah berjongkok di depan mobil Devan. "Buka mobilnya!"
Cecil pun langsung turun dari mobil, lalu berlari menghampiri nenek, setelahnya diikuti Devan dari belakang.
"Nenek gak papa?" tanyanya khawatair.
Si nenek menggeleng pelan, "Nenek gak papa. Tolong bantu Nenek menepi sebentar."
Cecil mengiyakan. Dengan hati-hati, gadis itu mulai menuntun nenek untuk menepi ke trotoar.
Keduanya pun duduk di bawah. Cecil membuka tasnya lalu mengambil tissue basah untuk membersihkan tangan nenek yang terkena debu jalan.
"Maaf ya, Nek. Saya tidak sengaja tadi. Nenek ada yang luka? Mau di bawa ke rumah sakit?" tanya Devan agak panik.
Sang nenek tersenyum lalu menggeleng pelan. "Nenek gak papa. Harusnya, Nenek yang minta maaf karena tidak hati-hati waktu menyeberang."
"Saya yang salah, Nek. Saya nyetir tidak hati-hati." Devan mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya, lalu memberinya pada si nenek.
"Untuk apa ini, Cu?"
Cecil tersenyum, sambil merebut uang itu dari tangan Devan.
"Untuk nenek berobat. Terima ya, Nek? Anggap saja, uang ganti rugi." Cecil menyerahkan uang itu pada nenek malang yang tak sengaja tertabrak mobil Devan.
"Tapi--"
"Terima ya, Nek?" rayu Cecil.
Nenek mengangguk lalu tersenyum, "Terima kasih Cu. Kalian berdua anak baik. Semoga saja bisa berjodoh dunia akhirat."
Mendengar doanya, Cecil membuka mulut lebar-lebar. Amit-amit berjodoh dengan Devan.
"Aamiin. Kalau begitu, kami pamit dulu ya, Nek? Maaf, kami buru-buru mau ke kantor," putus Devan sambil menggelendeng lengan Cecil untuk segera berdiri.
Nenek mengangguk, "Hati,-hati, Cu."
"Nenek juga hati-hati, kami permisi dulu. Assalamualaikum." tutur Cecil lalu berdiri dan masuk ke mobil bersama devan.
"Wa'alaikumussalam."
Tak lama, mobil pun melaju dengan kecepatan cukup tinggi.
Cecil menatap Devan kesal. "Heh! Ngapain diaminin doa nenek tadi? Pak Devan mau jadi jodoh saya? Jangan harap!"
Devan memutar bola matanya malas. "Jangan GR. Doa baik harus diaminin. Lagian, siapa juga yang mau sama perempuan bar-bar kayak kamu?"
Cecil mendengkus kesal. Lebih baik, ia diam daripada harus berdebat.
***
Suara nyaring dari ponselnya terdengar cukup mengganggu. Dengan cekatan, gadis itu mengeluarkannya dari dalam tas lalu menekan tombol hijau di atas layar.
Telepon dari kantor membuatnya mengernyit. Jangan-jangan, klien sudah datang?
"Dari kantor," bisik Cecil.
"Hallo, Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?" sapa Cecilia untuk memulai percakapan.
"......"
"Apa? Baik, saya akan segera beri tahu Pak Devan."
"......"
"Ya, wa'alaikumussalam."
Sambungan pun terputus.
"Apa, katanya?" tanya Devan ikut penasaran.
Napas Cecil berhembus kasar lalu melirik kecewa pada Devan. "Meeting kita diundur, kliennya tidak bisa datang karena ada urusan yang lebih penting."
"Hedeh! Percuma saya ngebut sampai nabrak orang! Makanya, jangan gupuh!"
Cecil melirik sinis. "Tau ah! Kok jadi saya yang disalahin."
"Ya memang kamu yang salah. Sampai kantor nanti, kamu ikut saya ke ruangan. Kita bahas kontrak kawin."
"Terserah Bapak saja! Pokoknya dalam kontrak, Pak Devan gak boleh sentuh saya!" peringat Cecil tegas. Ini hanyalah pernikahan kontrak, buka nikah seumur hidup.
"Saya tidak akan sentuh kamu, kecuali ...." Devan menggantung ucapannya, membuat perempuan cantik yang duduk disampingnya menjadi semakin penasaran.
"Apa?!" tanya Cecil ketus.
"Kecuali, keluarga saya nuntut anak dari kamu!"
"Hah?" seketika, Cecil bersandar di belakang. Tubuhnya terasa lemah. Apa yang akan terjadi dengan masa depannya. Ia tidak mau jadi janda anak satu. Bagaimana ini?
Suaranya mana?
Sesampainya di kantor, Cecil bergegas mengikuti langkah Devan yang berjalan menuju ruang direktur. Gadis itu tampak kewalahan menyeimbangkan langkahnya dan Devan yang cukup panjang. "Pelan-pelan, bisa tidak? Saya capek ngikutin Bapak!" gerutu Cecil dengan napas tersengal. Ia pun berhenti sebentar, mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Sementara Devan hanya menatapnya tanpa rasa kasihan dan tetap melanjutkan jalannya. Saat masuk ke dalam lift, sorotan mata rekan kerjanya, semua tertuju pada Cecil. Ia pun merasa kikuk diperhatikan seperti itu. "Pak, saya naik lift sebelah saja ya? Nggak enak, dilihatin yang lainnya," nyali Cecil menciut. Ia tidak ingin mendengar gosip miring tentang dirinya setelah ini. Pasalnya, lift yang dinaikinya adalah lift yang khusus dirancang untuk direkrut. Siapapun tidak ada yang boleh menikmati fasilitas kantor itu selain direktur dan tamu penting. "Ngapain? Buang-buang waktu saya! Sudah, hiraukan saja." Devan mengedarkan pandangannya Karen lift tak kunjung
Mendengar kata anak, Cecil membulatkan matanya. "Ini gak adil!Saya keberatan! Saya gak mau! Enak saja, itu namanya merugikan saya!" protes Cecil tak terima."Merugikan apanya? Orang tinggal kasih. Bikin anak mudah kok." Cecil semakin geram dibuatnya. Bagaimana mungkin, laki-laki itu berujar kalau syarat yang ia kasih dibilang mudah? Sementara ia harus mengorbankan semuanya demi pernikahan itu?"Ya rugi di saya! Pokoknya saya gak mau jadi janda anak satu. Apalagi di usia muda. Hiii, mengerikan." Cecil bergidik, membayangkan apa yang akan menimpanya di masa depan. Laki-laki mana yang akan menerimanya nanti?"Oke. Berhubung kamu tidak mau menuruti syarat dari saya, saya berhak mencabut deposit biaya rumah sakit Ibu Nira. Itu kan yang kamu mau?"Cecil semakin tercengang dibuatnya. Mulutnya tertahan, tak bisa berkata. Tenggorokannya serasa kering tak bertenaga. Kakinya pun terasa lemas hingga menjalar ke sekujur tubuh."J--jangan! Saya butuh uang Bapak. Saya gak mau pengobatan ibu dihent
Cecil tampak gugup ketika dipertemukan dengan keluarga Devan. Gadis itu meremas pelan ujung roknya, dengan netra bergerak gelisah, seperti mengisyaratkan jika dirinya membutuhkan bantuan.Devan yang menyadari kegelisahan Cecil, ia pun berusaha membuat gadis itu tenang. "Jangan gugup, bersikap sopan," bisiknya diselingi rangkulan manja di pinggang ramping milik Cecil.Hanya anggukan pelan yang mampu Cecil berikan. Ia pun tersenyum kikuk di hadapan mama dan papa Devan.Devan menarik kursi, agar Cecil bisa bergabung di meja makan. Namun sebelum itu, ia memperkenalkan Cecil terlebih dahulu."Ma, Pa, kenalin, ini Cecil, calon istri Devan."Mama Devan tampak antusias dengan kedatangan Cecil di rumahnya. "Saya Utari, mamanya Devan dan ini suami saya, namanya Nicolas."Dengan sopan Cecil meraih tangan Nicolas dan Utari. "Saya Cecilia Hutama, Om, Tante.""Hutama?" Nicolas seperti tidak asing dengan nama itu.Cecil mengangguk, perasaannya tidak enak. Apa ada yang salah dengan nama itu?"Nama or
Mata indahnya bergerak gelisah. Entah apa yang akan terjadi padanya nanti. Masalahnya, seminggu bukanlah waktu yang lama untuk melangsungkan pernikahan kontraknya.Cecil menatap nyalang. Devan tahu jika calon istrinya itu ingin protes, tapi semua sudah terlambat. Tidak ada lagi penundaan, semua akan berlangsung minggu depan.Untuk mengusir kecanggungan ini, Devan sengaja mengajak gadis itu pulang. Dengan dalih ingin kembali ke kantor, anak tunggal dari keluarga Nicolas pun pamit."Ma, Pa, Devan harus antar Cecil kembali ke kantor. Sebentar lagi kita ada meeting penting."Devan mengedipkan matanya. Da memberi isyarat agar Cecil mau membantunya kerja sama.Cecil yang paham dengan kode Devan, Dia pun berpura-pura melihat jam yang Dia kenakan. "Oh, sudah jam 1, Ma, Pa, Cecil dan Mas Devan harus kembali ke kantor. Ada meeting dengan klien luar negeri. Lain kali Cecil masakin makanan enak.""Ya sudah, balik gih! Nanti telat,"sahut Utari.Cecil pun berdiri, merangkul Utari dengan sayang, "Ce
Devan menatap pria itu nyalang. Mengisyaratkan untuk tidak main-main dengannya. Atau ia tidak akan segan-segan untuk mematahkan leher pria itu saat ini juga. Pria tak dikenal itu langsung melenggang pergi tanpa pamit. Lantas, Devan berbalik dan mendapati Cecil tengah was-was."Dari mana saja? Kamu yang ajak aku ke sini, kenapa malah ditinggal sendirian? Hampir saja aku dijamah lelaki biadab itu! Dasar egois!" Untung riuh para tamu undangan mendominasi. Suara cempreng milik Cecil tentu saja akan teredam oleh sahutan suara lautan manusia."Yang penting masih utuh. Lagian, aku datang tepat waktu. Ayo, ikut!" Tanpa ingin membalas kemarahan Cecil, Devan menarik tangan Cecil untuk mendekat ke arah pengantin.Diketahui, pengantin itu bernama Alana, sekaligus matan kekasih Devan. Alana terlihat sangat cantik dengan baju pengantin berwarna putih tulang dipadu dengan make up yang membuat wanita itu amatlah menawan malam ini. Tentu saja malam pernikahan yang mewah."Selamat menempuh hidup baru,
Malam kini semakin larut. Entah kenapa, perasaan Cecil mendadak tidak tenang. Seperti ada dorongan keras yang menuntunnya untuk pergi ke rumah sakit, Cecil pun menuruti kata hatinya. Dengan gelisah, Cecil meminta agar Devan segera mengantarnya ke rumah sakit."Mas Devan," panggil Cecil lirih.Devan yang fokus menyetir, sekilas menoleh pada gadis itu. Atensinya beralih, kala melihat perubahan raut di wajah Cecil."Ada apa?" tanyanya dingin.Tanpa beralih pandangan, Cecil berujar, "Malam ini aku mau ke rumah sakit, saja. Tolong antar ke sana."Devan mengangkat bahunya, ia terlihat acuh tak acuh. "Terserah kamu saja."Dalam perjalanan, tiba-tiba seekor kucing berwarna hitam legam disertai warna mata yang menyala melintas begitu saja. Cecil berteriak kala mobil Devan hampir menabraknya."Awas!!!" teriak Cecil panik.Refleks, kaki Devan bergerak menginjak rem. Suara decitan mobil sampai terdengar cukup keras.Cecil memegang jantungnya yang bertalu, ia bernapas lega saat kucing berhasil lew
Cecil memandang Devan dengan tatapan kosongnya. Gadis itu merasa, tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi dalam hidupnya. Ia merasa sangat percuma menerima kontrak nikah itu, sebab jantungnya sudah berhenti berdetak setelah kepergian ibunya. "Mas, gak ada yang perlu dilanjutkan lagi. Gak ada yang bisa kamu harapkan lagi dari aku. Cecil yang kamu kenal udah mati! Sekarang, anggap saja jika yang ada di hadapanmu saat ini hanyalah raga yang kehilangan jiwanya."Setetes bulir bening mengalir dari sudut matanya. Cecil kembali terisak kala mengingat nasibnya yang hanya sebatang kara."Kamu bicara apa?! Omongan kamu ngelantur! Sudah, kamu istirahat dulu sana, biar ucapanmu gak ngelantur! Pokoknya, gak ada satu pun orang yang berhak batalin pernikahan ini, termasuk kamu!" Devan mengacungkan telunjuknya tepat di wajah murung milik Cecil. Laki-laki itu terlihat sangat marah, lalu melenggang pergi begitu saja. Devan tidak ingin emosinya membuat Cecil semakin kacau.Entahlah, Cecil sendiri tidak
Devan menutup tubuh Cecil dengan selimut yang tebal, agar bajunya yang terkoyak tidak terlihat sang Mama."Awas aja kalau berani ngadu!" ancamnya lalu berjalan mendekat ke arah pintu. Ia memasang kuncinya lalu memutar berlawanan jarum jam."Iya, Ma ? Kenapa?" Setelah pintu terbuka, seseorang muncul dari ambang pintu. Ia hanya ingin memastikan keadaan Cecil."Nggak papa. Mama cuman mau lihat kondisi Cecil. Dia kenapa? Kok selimutan?"Devan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Perempuan itu terlihat menggigil ketakutan. Namun, ia tak berani bicara macam-macam."Nggak papa, Ma. Cecil cuman sedikit kedinginan. Badannya agak panas, pas Devan cek tadi. Nanti dikasih makan sama obat juga sembuh." 'pintar sekali pria itu membuat alasan? Bisa-bisanya aku berurusan dengan laki-laki tak berperasaan sepertinya!' gerutu Cecil dalam hatinya.Utari berjalan menghampiri Cecil. Perempuan itu tampak khawatir. "Kamu tidak apa, Sayang? Apa mau ke rumah sakit saja? Kalau masih lemas, periksa saja, biar D
Cecil tertawa lebar dengan seringai liciknya. Gadis itu kemudian merogoh ponsel di tasnya. "Terima kasih Dela, untuk semua pengakuannya. Tunggulah, sebentar lagi polisi akan datang dengan surat penangkapan kalian. Maaf, kelicikan harus dibalas dengan lebih licik."Cecil menepuk pipi Dela yang terlihat sangat pucat. Mendengar kata polisi, gadis itu langsung mematung. "Ap--apa maksudmu?" Tak kunjung menjelaskan, Devan pun ikut mencecar. "Sayang, ada apa ini?"Cecil mendekat, untuk mengikis jaraknya dan Devan. Dia lalu menepuk pundak lelaki itu pelan. "Aku tahu aktingmu sangat buruk, Sayang. Aku gak yakin bisa menjebak Dela dalam peragkapmu. Maaf, jika aku harus melibatkan Mas Sean dalam drama ini. Awalnya, niatku ke sini memang ingin mengucapkan selamat tinggal pada lelaki baik yang sudah kuanggap seperti abang. Tapi setelah aku melihat Dela memergoki kami berpelukan, aku yakin, dia pasti akan bicara buruk tentang aku. Jadi, aku sengaja, meminta Mas Sean untuk memelukku lebih erat." Ce
Giginya gemertak menahan emosi. Kalau tidak ada Cecil yang menghalangi, mungkin Devan akan langsung menghabisi Sean di tempat."Berdiri kamu!" Devan menarik kasar lengan Cecil menjauh dari Sean. Wajahnya terlihat sangat merah. Entah apa yang ada di pikiran Devan sekarang.Cecil berdiri dengan sedikit terhuyung. Dia takut-takut menatap Devan yang sudah berubah seperti iblis. "Aw, sakit. Pelan-pelan, Mas." Rintihannya sambil melihat memar kemerahan di lengan. Seumur-umur, dia baru melihat sisi iblis seorang Devan.Devan menatap Cecil dengan tatapan membunuh. Dia paling tidak suka dikhianati seperti ini. "Pelan-pelan, katamu? Dasar wanita murahan! Bisa-bisanya kamu pelukan mesra sama orang lain. Dibayar berapa kamu hah? Kamu istriku, Cecil!"TesSetetes air mata membasahi pipi Cecil. Tidak menyangka, jika Devan akan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitinya. Sementara, dia berusaha mati-matian memuji Devan di depan Sean."Tutup mulutmu! Aku tidak serendah itu, bajingan! Aku masih
Setelah seharian sibuk memanjakan suaminya, akhirnya pagi ini Cecil disibukan dengan pekerjaannya di kantor. Sesuai yang Devan katakan, pagi ini mereka berangkat ke kantor bersama. Tidak ada lagi jemputan dari Laras, karena Zaki sudah melarang gadis itu menjemput Cecilia, sesuai arahan dari Devan."Selamat pagi?" sapa Cecil ramah pada seluruh karyawan yang ditemuinya di lobi. Itu adalah kebiasaan Cecil yang sudah ia geluti sejak masih menjadi pekerja di kantor ini, hingga sekarang menjadi istri seorang bos."Pagi," Devan ikut menyapa, meski tak ada senyum di sana. Wajahnya tampak datar, tapi bagi para karyawan, ini adalah salah satu momen langkah. Sungguh keajaiban dunia. Ada apa dengan Devan pagi ini?Untuk sesaat, para karyawan terbengong dengan pandangan saling tatap. Lalu detik berikutnya, mereka kompak menyunggingkan senyum dan menunduk hormat."Pagi, Pak Devan, Bu Cecil." balas para karyawan ramah pada keduanya yang berjalan beriringan. Tumben sekali mereka berangkat bareng?Se
Usai menikmati bakso mercon, Cecil dan Devan melajukan motor menuju bazar nostalgia. Ya, benar sekali. Kedatangan mereka langsung disambut oleh jajaran penjual jajanan pinggir jalan. Tidak terkecuali sempol dan sate aci. Cecil benar-benar bahagia sekarang."Mas, aku mau itu." Cecil menunjuk kue leker yang masih dimasak dengan arang. Devan sendiri hanya mengangguk membiarkan Cecil memilih jajanan yang dia suka."Beli saja sesukamu." Devan menyerahkan dompetnya pada Cecil. Dengan senang hati Cecil menerimanya.Saat mencari uang kecil, Cecil sama sekali tidak menemukan. 'Huft! Dasar orang kaya!' Cecil menggerutu dalam hati."Mas, pakai uangku saja lah. Punyamu gak ada yang kecil." Keluhnya sambil menyerahkan dompet pada Devan."Belikan saja semuanya. Katanya mau borong? Entar bagi sama orang rumah dan satpam kompleks."Cecil memutar bola matanya. "Lima puluh ribu? Yang benar saja. Kamu bawa motor, masak aku yang repot bawa ini semua? Aku belom cobain jajan lain."Devan mengacak rambut C
"Mas, aku sumpahin ban motormu bocor!" teriak Cecil dengan emosi naik turun. Kali ini, Devan benar-benar berhasil memainkan adrenalinnya. Mulut Cecil bahkan sampai komat kamit merapal doa, saat Devan dengan lihainya menyalip tronton-tronton di depan mereka."Oke, oke. Aku turunin kecepatannya." Devan yang awalnya ingin mengerjai Cecil jadi tak tega, saat melirik kaca spion motor dan mendapati istrinya sangat ketakutan. Perlahan, dia mulai mengurangi kecepatan lajunya.Saat motor bergerak lebih lambat, Cecil bisa menarik napas lega. Dia juga mengedarkan pandangan ke arah pengendara lain."Naik motor seru, Mas. Jadi ingat waktu sekolah." Cecil bercerita dengan antusias. Tapi satu pertanyaan Devan, berhasil membuatnya pucat."Dibonceng siapa kamu. Kamu kan gak bisa motoran." Grep! Cecil menutup mulutnya rapat-rapat. Niatnya curhat, malah jadi boomerang."Eh, anu." Mata Cecil bergerak gelisah. Otaknya dipaksa keras untuk berpikir jawabannya."Anu apa? Dibonceng siapa?" ulang Devan membuat
Devan berjalan menyusuri rumahnya untuk mencari keberadaan Cecil, tapi gadis itu belum juga ditemukan.Untuk sesaat, pria itu menghela napas panjang, lalu senyumnya terbit kala melihat pintu belakang yang terbuka. Feeling-nya kuat mengatakan jika yang dia cari, ada di taman belakang halaman rumah.Tepat dugaan. Di sana, Cecil tampak duduk di sebuah ayunan yang dikelilingi bunga-bunga mawar yang indah. Hangat mentari juga menyambut kedatangan Devan yang berjalan menghampiri Cecil."Kamu di sini? Pantes, aku cari ke depan gak ketemu." Devan menghentikan ayunan, kemudian duduk di hadapan Cecil yang menatapnya jengah."Ngapain cari aku? Aku ke sini, mau cari angin segar."Cecil membuang pandangannya, menatap bunga-bunga yang tumbuh bermekaran.Devan yang merasa diabaikan pun jengah sendiri. "Cil, lihat sini kek. Suamimu mau ngomong, tapi kamu malah kabur."Cecil yang sadar jika Devan tengah serius, dia mulai menegapkan tubuhnya. Bersiap, mendengar petuah Devan. "Mau ngomong apa? Aku sudah
Pagi yang cerah. Seusai sarapan bersama, Devan mengajak Cecil kembali ke kamar. Tentu hari ini Devan tidak akan membiarkan Cecil menganggur barang sedetik."Ma, Devan sama Cecil pamit ke kamar ya."Cecil menoleh pada Devan penuh kewaspadaan. Lelaki itu pasti sudah menyusun rencana sedemikian rupa.Cecil menghela napas. Menatap Utari seolah meminta pertolongan. "Kamu duluan saja, Mas. Aku masih mau ngobrol sama Mama."Utari yang merasa namanya dibawa-bawa pun mengangguk mengiyakan. Kasihan juga Cecil kalau sampai dikurung di kamar. Sudah pasti, Devan akan menjadikan gadis itu sebagai makanan penutup. Apalagi, Devan sudah bilang jika hari ini dia cuti. Sudah pasti menantunya tidak akan keluar kamar."Kamu duluan saja, Van. Mama juga mau minta pendapat Cecil."Bukannya beranjak, Devan malah bertopang dagu dengan wajah ditekuk. Ditatapnya istri dan sang mama bergantian. "Aku tungguin di sini. Jangan lama-lama ngobrolnya. Aku butuh Cecil."Utari berdecak. Menggeleng heran dengan kepala bat
Usai mandi bersama yang berakhir dengan makian panjang Cecilia, Devan keluar dengan mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Cecil sendiri hanya bisa menghela napas ketika suaminya pergi setelah mendapatkan kenikmatannya kembali."Dasar suami gak peka! Istrinya belum selesai malah ditinggal." gerutu Cecilia saat perempuan itu asik berendam di bathtub. Rendaman air hangat, sedikit banyaknya bisa membantu Cecilia melemaskan ototnya yang kaku.Ceklek.Cecilia keluar setelah puas berendam. Dia juga sudah berganti dengan gaun rumahan.Cecil berjalan menuju meja riasnya. Tak sengaja, pandangan Devan dan Cecil bersitatap. Devan yang berduduk santai di tepi ranjang, hanya memandang gadis itu sesaat, sebelum kembali berkutat dengan ponselnya."Aku sudah mengabari Zaki, kalau kita hari ini gak ke kantor. Aku juga sudah kasih tahu Laras, biar gak usah jemput kamu lagi karena mulai besok, kamu berangkat sama aku."Ucapan Devan menghentikan Cecilia yang memoles wajahnya dengan bedak. Dengan cep
Keesokan paginya, Cecil sudah bersiap dengan setelan kemeja kantor dipadu dengan blazer. Gadis itu mematut dirinya di cermin, sambil menyisir rambutnya yang hampir kering. Sementara Devan sendiri baru bangun dari tidur lelapnya.Ingin menyibak selimut, Tapi urung setelah melihat bekas kemerahan yang dia buat semalam. Leher jenjang itu, dapat dia lihat dengan jelas dari pantulan cemin. Mengingat itu, Devan sangat bangga dengan dirinya yang berhasil menato tubuh Cecilia."Cil, kemarilah!" Cecil yang merasa terpanggil pun bergegas mempercepat gerakannya. Setelah rambutnya tersisir rapi, barulah dia berjalan menghampiri Devan."Ada apa?" Matanya penuh selidik, menatap pria yang semalam tengah menganghangatkan ranjangnya."Kamu mau ke mana, rapi begini? Di rumah saja, gak usah kerja hari ini."Cecil membuka mulutnya. Perempuan itu hampir melontarkan sumpah serapah. "Kenapa? Kenapa aku gak boleh kerja? Aku gak sakit, kok. Àku bisa ke kantor.Devan menunjuk leher Cecil dengan jari telunjuk