Tidak ingin menjadi fitnah, Zaki pun menjelaskan. Dia melepas pelukannya pada Cecil kemudian tersenyum ramah pada ibu-ibu yang asal tebak tadi. "Hehehe. Terima kasih atas pujiannya, Ibu. Tapi perempuan ini, bukan istri saya. Dia -- adik saya."Zaki tidak salah bukan? Cecil memang sudah dianggapnya adik. Meski ingin mengharapkan lebih, tapi sepertinya tidak mungkin.Cecil pun ikut memberikan senyumnya. Dia tampak salah tingkah."Eh, maaf, maaf. Saya pikir, suaminya. Habisnya kalian romantis sekali, jadi bikin saya iri." Ibu itu jadi tidak enak.Cecil meringis dibuatnya. Zaki sih, pakai acara merangkulnya. Jadi salah paham, 'kan? "Tidak apa, Bu. Abang saya ini memang jahil. Mohon dimaklumi."Gerakan Bibir Zaki seolah ingin menggaungkan kalimat protes. Tapi urung setelah mendapat cubitan kecil di pinggangnya. Siapa lagi pelakunya? Tentu saja Cecilia. "Aww, sakit," bisik Zaki sambil merintih kesal.Tidak dihiraukan, Cecil pun pamit dari sana. Menarik tangan Zaki untuk segera mengikutinya.
Di ruangan Dela, Zaki sangat tidak betah. Gadis itu sangat tidak asik, tidak seperti Cecil yang selalu ceria."Membosankan." Satu kata itu keluar dari bibir Zaki.Dela merotasikan bola matanya. "Aku gak nyuruh kamu di sini. Pergi saja kalau gak betah! Ribet amat!"Zaki menarik napas dalam-dalam. Tidak habis pikir dengan Devan. Mengapa lelaki itu bisa betah berlama-lama dengan mak lampir? Mending sama Cecil. Ditinggal berduaan satu minggu pun sanggup, karena gadis itu selalu punya cara untuk membuatnya terpingkal. "Kalau bukan karena Devan. Aku juga gak sudi ada di sini.""Terus, itu salahku? Salah sendiri kamu jadi bawahan Devan. Padahal, kalian sama-sama kaya." Dela meraih buah lalu mengulurkannya pada Zaki. "Aku ingin apel ini. Tolong kupaskan."Zaki melempar tatapan sinis. Kalau mungkin di hadapannya ini Cecil, Zaki pasti akan melakukannya tanpa disuruh. "Kupas sendiri, jangan manja!""Dasar gak guna! Apa gunanya kamu di sini?" Cibir Dela ketus. Benar-benar mirip mak lampir."Lalu,
Cecil tersentak saat meja rias itu digebrak. Dengan kerasnya, Devan memukul meja itu hingga membuat seisinya berantakan, termasuk bedak dan lipstik yang berjatuhan di atas lantai."Ahh!" Cecil menjerit ketakutan. Sebelumnya, dia tidak pernah melihat kemarahan Devan yang seperti ini. Tapi mengucap kata Cerai, cukup mampu membuat Devan tersulut emosi yang luar biasa."Jangan pernah sekalipun, kamu mengucap kata biadab itu di depanku. Kamu gak pernah tahu kemarahanku yang sesungguhnya, kan Cil? Semarah-marahnya aku sama kamu, aku gak pernah menunjukkan kekerasan. Karena kamu adalah jajaran orang teristimewa di hidupku. Tapi sekali lagi kamu mengatakan kata cerai, habis kamu! Jangankan cerai, menginjakkan kaki di pengadilan agama saja, aku haramkan untukmu!"Cecil memegangi dadanya yang sesak. Remuk sudah, segumpal daging kecil bernama hati di tubuhnya. Sambil menuding Devan, Cecil menangis."Kamu adalah laki-laki paling egois yang pernah kukenal, Mas! Kamu gak mau aku tinggal, tapi kamu
"Bahkan, saat sudah tak berdaya sekalipun, kamu masih bisa angkuh, Cecil?"Bukannya takut, Cecil malah menantang. Semakin dia takut, Devan akan menganggap itu remeh. "Kamu yang mengajariku. Jangan lupa akan itu!"Saat Devan ingin menarik celana dalam gadis itu, tiba-tiba dari arah luar, Mbok Darmi mengetuk pintu. "Non, Den, maaf. Mbok mau antar makan Non Cecil. Kata Nyonya, 'makannya di antar ke kamar saja, takutnya Non Cecil masih belum sembuh total.'Mendengar teriakan Mbok Darmi, Cecil mengusap dadanya lega. Sepertinya, Mbok Darmi memang dikirim Tuhan untuk jadi penyelamat. Devan mengerang kesal, membuat Cecil menahan tawa. Padahal, baru saja ingin mulai. "Bentar, Mbok! Saya keluar." Dengan langkah gusar, Devan pun beranjak membuka pintu. Tetapi mata itu memberi kode Cecil untuk memakai selimut. Dengan cepat, Cecil pun menarik selimut sebatas leher.Setelah pintu dibuka, Mbok Darmi berdiri di ambang pintu dengan nampan berisi makanan dan jeruk hangat. Devan mengambilnya. "Buat s
Dela melirik Zaki yang tampak biasa saja, tidak merasa bersalah atau pun meminta maaf. "Teleponan sama siapa, kamu? Asik banget, kayaknya. Mana nyindir-nyindir lagi!" ujarnya ketus.Zaki melirik Dela dan menanggapi sekenanya. "Selain bermuka dua, kamu orangnya suka kepo ya? Pantes, gak pernah tenang hidupnya."Kata-kata pedas yang keluar dari mulut lelaki itu, benar-benar menusuk di relung Dela. Ya, Zaki memang tidak pernah suka dengan Dela, semenjak perempuan itu ketahuan mata duitan. Bahkan, untuk berpura-pura sekalipun, lelaki itu gak akan bisa."Tutup mulutmu, Zaki! Lancang sekali kamu! Mau dipecat Devan?"Suara Dela terdengar sangat pongah. Membuat Zaki terkekeh mendengarnya. "Sudah kukuatakan, Dela. Kamu siapa di hidup Devan? Hanya Cecil yang berhak memecatku. Bahkan, Devan sekalipun gak ada hak untuk itu! Camkan itu baik-baik." Di mana letak kesangaran Dela tadi? Bahkan, gadis itu terlihat sangat melempem sekarang.Tidak menanggapi, Dela memilih diam. Karena dia tahu, Zaki bu
5 menit, 10 menit, bahkan hampir setengah jam, waktu Devan terbuang hanya ituk membujuk Dela. Tapi, perempuan itu sama sekali tak mau melepasnya.Tidak banyak yang bisa Devan harapkan, lelaki itu hanya melirik Zaki, berharap jika temannya itu mau membantunya membujuk Dela dalam hal ini.Seperti paham maksud Devan, Zaki malah dengan sengaja membiarkan gadis itu terus merengek. Bahkan, dia terkesan abai dan berniat meninggalkan mereka di ruangan ini."Aku pulang dulu. Urus saja wanitamu." Pamit Zaki, yang dibalas pelototan tajam milik Devan. Zaki bahkan hampir terkekeh dibuatnya."Have fun. Aku duluan." Zaki kemudian berlalu, tanpa mempedulikan tatapan garang dari bosnya.Sementara Devan sendiri, masih terus membujuk Dela. "Del, aku mohon, Jangan gini. Aku harus pulang sekarang."Dela mencebikkan bibir sensualnya. Menatap matik hitam kecoklatan yang meneduhkan itu. "Masak baru datang udah mau pergi? Aku kan juga mau kamu perhatiin, Devan. Salah ya, kalau aku minta sedikit waktumu?"Dev
54 panggilan masuk dari Devan tak dijawab. Ya, cecil sengaja tidak memedulikan ponselnya lagi. Meski data internetnya dimatikan, lelaki itu tetap tak menyerah dan mengubahnya menjadi panggilan biasa. Untung saja, ponselnya dimode getar, jadi tidak akan menimbulkan suara yang mengganggu pendengaran.Sementara di tempatnya, lelaki itu kelimpungan, seiring dengan suara ponsel yang terus memanggil. Wajahnya geram, menahan amarah yang luar biasa. "Kamu kenapa, Devan?" tanya Dela menatap heran pada lelaki yang terus bergerak gelisah itu. Dari ekor matanya, Dela bisa melihat kemarahan di mata lelaki itu."Cecil berulah," ucapnya dingin dengan ekspresi tak terbaca. "Berulah gimana? Bukannya dia baru keluar dari rumah sakit?" Dela penasaran, entah apa yang dilakukan Cecil untuk menarik perhatian suaminya. Perempuan itu benar-benar tak bisa dianggap remeh.Devan menarik napas panjang, lalu menghempasnya perlahan. Cuping hidungnya kembang kempis, merasakan amarah yang tak kunjung reda."Nyatan
Setelah menyalurkan hasratnya, Devan berguling di samping Cecil, memberi kecupan singkat pada gadis itu, sebagai rasa terima kasih. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah menjaga kehormatan itu untuk suamimu. Maaf, aku sudah merenggutnya darimu."Tidak ada jawaban apa pun, Cecil hanya diam seperti patung. Dia lelah, dia sudah lelah untuk melawan Devan. Cecil bangkit, berniat ke kamar mandi meski dengan menahan rintih, rasanya masih sangat nyeri. "mau ke mana? "Tanya Devan seolah semuanya tidak pernah terjadi apa-apa.""Kamar mandi." Menjawab sekenanya. Bisa dibilang, Cecil akan membiasakan diri untuk irit ngomong sekarang.Devan bangkit dari rebahannya. Ya, meski keduanya sama-sama masih polos, tapi Cecil tidak peduli. Toh, Devan juga sudah melihatnya dalam keadaan naked begini?"Biar aku gendong. Kamu pasti kesakitan."Cecil hanya mengangguk tanpa berniat menanggapi. Mulai sekarang, Cecil tidak akan berontak lagi.Dengan hati-hati, Devan menggendong Cecil ke kamar mandi. Lalu men