Devan bingung dengan perasaanya sendiri. Ya, dia tak bisa membohongi hati kecilnya. Nyatanya, nama Dela masih tersimpan di ruang terdalam milik Devan. Bahkan, lelaki itu tidak tahu harus berbuat apa sekarang."Kamu benar, Cil. Aku memang laki-laki berengsek! Aku memang masih memiliki rasa pada Dela, meski tidak sepenuhnya, walaupun perempuan itu sudah menyakiti aku sebegitu teganya. Tapi di sisi lain, aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiranmu di hidupku. Bahkan, aku merasa cemburu, saat orang-orang terdekatku berusaha mendekatimu. Aku menginginkan kalian berdua."Cecil berusaha menahan air matanya, kala kalimat itu terdengar dari mulut Devan. Pengakuan Devan benar-benar menghantam hatinya.Ya, mulut lelaki itu memang jujur, tapi Cecil tidak pernah menyangka sebelumnya, jika kejujuran itu akan membuatnya melemah. Sakit sekali ya Gusti.Cecil hanya bisa diam, menatap manik Devan. Apakah dia sanggup bertahan selama satu tahun? Sepertinya, dia tidak bisa. Baru sehari saja, rasanya sudah
Cecil meraih tangan Zaki agar lelaki itu tidak emosi. Cecil tahu, mungkin jika Devan ada di sini, Zaki pasti langsung menghajarnya. Kalau tidak, nanti pasti akan ada aksi baku hantam."Sudah lah, Zak. Jangan emosi. Mas Devan gak sepenuhnya bersalah. Aku bisa ngerti kalau dia khawatir sama Mbak Dela. Lagian, aku juga salah. Aku gak hati-hati tadi."Zaki menggeleng. Semakin kagum saja, dia pada Cecil. Terbuat dari apa hatinya. "Tetap saja Devan salah, Cil. Gak seharusnya dia meninggalkan kamu sendirian. Dia kan bisa ke rumah sakit bawa mobilnya. Tinggal ngikutin ambulance. Kamu kan gak bisa nyetir." Hati Cecil semakin sesak. Bahkan, Zaki saja tahu kalau dia gak bisa nyetir, meski Devan meninggalkan mobilnya, percuma saja.Cecil berusaha tersenyum. Mencoba ikhlas menerima semua. "Aku gak papa. Minta tolong telepon ambulance, ya. Sepertinya aku memang harus ke rumah sakit. Lukaku perlu dibersihkan."Tiba-tiba, Zaki mengangkat tubuh Cecilia. Cecil yang tidak siap pun terkejut. "Gak perlu!
Melihat selang infus yang sudah tidak terpakai lagi di tangan Dela, Devan tampak hawatir.Cecil hanya diam, memperhatikan dua insan yang saling cinta itu memberi perhatian satu sama lain."Dicariin wanitamu, tuh! Pergi sana. Nanti merajuk." Sindir Zaki yang lebih tepatnya ditujukan untuk Dela. Zaki benar-benar tidak menyangka, jika pertahanan Devan akan benar-benar goyah seperti sekarang.Devan bingung. Di satu sisi ingin menemani Dela, tapi di sisi lain tidak enak pada Cecil. "Cil," panggil Devan.Cecil membuang muka. Sama sekali tidak ingin melihat pemandangan di hadapannya. "Pergilah, dia lebih membutuhkanmu. Aku sudah biasa sendiri, Mas. Jangan hawatir."Cecil memasang muka darat. Dia tidak ingin menangis sekarang. Tidak ingin terlihat lemah, baik di depan Devan maupun Dela."Terima kasih sudah mengerti." Devan benar-benar tidak melihat luka di mata Cecil. Dia pikir, Cecil ikhlas melakukan itu. Laki-laki itu pun pergi bersama Dela yang membuat Zaki geleng-geleng kepala."Kamu gak
Devan tak kunjung mengindahkan permintaannya, membuat Cecil terus mendesak. "Lakukan, Mas. Demi Allah aku ikhlas."Dengan cepat, Devan membuang pisau itu ke lantai. "Kamu gila, Cil! Aku gak mungkin lakuin itu. Jangan pernah berpikir seperti itu lagi. Aku menyayangimu."Devan menciumi puncak kepala Cecilia bertubi-tubi, seolah lelaki itu benar-benar takut kehilangan."Kenapa kamu gak bisa lakuin itu? Lebih baik aku mati di tanganmu, daripada aku harus melihat kelakuanmu yang menjijikkan."Ya, Devan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia terdiam membisu. "Karena aku menyangimu. Mungkin, kamu sudah bosan dengan pernyataan ini. Tapi percayalah, aku menyayangimu."Cecilia mendorong tubuh Devan keras-keras hinga lelaki itu hampir terjengkang. "Bulshit, Mas! Yang kamu bilang itu bukan pernyataan. Tapi semua itu hanya kalimat penenang agar aku tidak pergi. Itulah tak-tikmu menarik ulurku agar aku tetap tinggal. Kamu jahat, Mas. Kamu licik!"Cecil memeluk kakinya. Menangis sejadi-jadinya di sana
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, gadis itu akhirnya diizinkan pulang. Tak terima sehari, Devan bahkan meminta Cecil dirawat selama dua hari, meki gadis itu menolak.Tapi bukan Devan namanya, kalau tidak bisa membuat orang lain tunduk. Devan ingin luka Cecilia benar-benar sembuh, meski dia harus bolak-balik ke kamar Dela dan Cecil demi berjalanya skenario ini."Mas, aku pulang sama Zaki saja. Kamu sama Mbak Dela saja. Gak usah peduliin aku." ketus Cecil turut serta dalam skenario itu. Meski Devan menganggapnya sungguhan, karena dia tidak tahu, kalau Cecil sudah mengetahui rencananya."Gak! Aku saja yang antar. Aku suamimu, aku yang lebih berhak." Cecil melebarkan senyumnya. Senyum yang terlihat sangat mengejek. "Suami di atas materai? Laki-laki pecundang! Sangat gak guna." Cecil melontarkan kata-kata pedas yang membuat Devan terdiam. Sebenarnya, dia juga tidak tega pura-pura gak punya hati begini. Tapi inilah permainan. 'Maafkan aku, Mas.'"Kamu boleh megejekku sesukamu, Cil.
Tidak ingin menjadi fitnah, Zaki pun menjelaskan. Dia melepas pelukannya pada Cecil kemudian tersenyum ramah pada ibu-ibu yang asal tebak tadi. "Hehehe. Terima kasih atas pujiannya, Ibu. Tapi perempuan ini, bukan istri saya. Dia -- adik saya."Zaki tidak salah bukan? Cecil memang sudah dianggapnya adik. Meski ingin mengharapkan lebih, tapi sepertinya tidak mungkin.Cecil pun ikut memberikan senyumnya. Dia tampak salah tingkah."Eh, maaf, maaf. Saya pikir, suaminya. Habisnya kalian romantis sekali, jadi bikin saya iri." Ibu itu jadi tidak enak.Cecil meringis dibuatnya. Zaki sih, pakai acara merangkulnya. Jadi salah paham, 'kan? "Tidak apa, Bu. Abang saya ini memang jahil. Mohon dimaklumi."Gerakan Bibir Zaki seolah ingin menggaungkan kalimat protes. Tapi urung setelah mendapat cubitan kecil di pinggangnya. Siapa lagi pelakunya? Tentu saja Cecilia. "Aww, sakit," bisik Zaki sambil merintih kesal.Tidak dihiraukan, Cecil pun pamit dari sana. Menarik tangan Zaki untuk segera mengikutinya.
Di ruangan Dela, Zaki sangat tidak betah. Gadis itu sangat tidak asik, tidak seperti Cecil yang selalu ceria."Membosankan." Satu kata itu keluar dari bibir Zaki.Dela merotasikan bola matanya. "Aku gak nyuruh kamu di sini. Pergi saja kalau gak betah! Ribet amat!"Zaki menarik napas dalam-dalam. Tidak habis pikir dengan Devan. Mengapa lelaki itu bisa betah berlama-lama dengan mak lampir? Mending sama Cecil. Ditinggal berduaan satu minggu pun sanggup, karena gadis itu selalu punya cara untuk membuatnya terpingkal. "Kalau bukan karena Devan. Aku juga gak sudi ada di sini.""Terus, itu salahku? Salah sendiri kamu jadi bawahan Devan. Padahal, kalian sama-sama kaya." Dela meraih buah lalu mengulurkannya pada Zaki. "Aku ingin apel ini. Tolong kupaskan."Zaki melempar tatapan sinis. Kalau mungkin di hadapannya ini Cecil, Zaki pasti akan melakukannya tanpa disuruh. "Kupas sendiri, jangan manja!""Dasar gak guna! Apa gunanya kamu di sini?" Cibir Dela ketus. Benar-benar mirip mak lampir."Lalu,
Cecil tersentak saat meja rias itu digebrak. Dengan kerasnya, Devan memukul meja itu hingga membuat seisinya berantakan, termasuk bedak dan lipstik yang berjatuhan di atas lantai."Ahh!" Cecil menjerit ketakutan. Sebelumnya, dia tidak pernah melihat kemarahan Devan yang seperti ini. Tapi mengucap kata Cerai, cukup mampu membuat Devan tersulut emosi yang luar biasa."Jangan pernah sekalipun, kamu mengucap kata biadab itu di depanku. Kamu gak pernah tahu kemarahanku yang sesungguhnya, kan Cil? Semarah-marahnya aku sama kamu, aku gak pernah menunjukkan kekerasan. Karena kamu adalah jajaran orang teristimewa di hidupku. Tapi sekali lagi kamu mengatakan kata cerai, habis kamu! Jangankan cerai, menginjakkan kaki di pengadilan agama saja, aku haramkan untukmu!"Cecil memegangi dadanya yang sesak. Remuk sudah, segumpal daging kecil bernama hati di tubuhnya. Sambil menuding Devan, Cecil menangis."Kamu adalah laki-laki paling egois yang pernah kukenal, Mas! Kamu gak mau aku tinggal, tapi kamu
Cecil tertawa lebar dengan seringai liciknya. Gadis itu kemudian merogoh ponsel di tasnya. "Terima kasih Dela, untuk semua pengakuannya. Tunggulah, sebentar lagi polisi akan datang dengan surat penangkapan kalian. Maaf, kelicikan harus dibalas dengan lebih licik."Cecil menepuk pipi Dela yang terlihat sangat pucat. Mendengar kata polisi, gadis itu langsung mematung. "Ap--apa maksudmu?" Tak kunjung menjelaskan, Devan pun ikut mencecar. "Sayang, ada apa ini?"Cecil mendekat, untuk mengikis jaraknya dan Devan. Dia lalu menepuk pundak lelaki itu pelan. "Aku tahu aktingmu sangat buruk, Sayang. Aku gak yakin bisa menjebak Dela dalam peragkapmu. Maaf, jika aku harus melibatkan Mas Sean dalam drama ini. Awalnya, niatku ke sini memang ingin mengucapkan selamat tinggal pada lelaki baik yang sudah kuanggap seperti abang. Tapi setelah aku melihat Dela memergoki kami berpelukan, aku yakin, dia pasti akan bicara buruk tentang aku. Jadi, aku sengaja, meminta Mas Sean untuk memelukku lebih erat." Ce
Giginya gemertak menahan emosi. Kalau tidak ada Cecil yang menghalangi, mungkin Devan akan langsung menghabisi Sean di tempat."Berdiri kamu!" Devan menarik kasar lengan Cecil menjauh dari Sean. Wajahnya terlihat sangat merah. Entah apa yang ada di pikiran Devan sekarang.Cecil berdiri dengan sedikit terhuyung. Dia takut-takut menatap Devan yang sudah berubah seperti iblis. "Aw, sakit. Pelan-pelan, Mas." Rintihannya sambil melihat memar kemerahan di lengan. Seumur-umur, dia baru melihat sisi iblis seorang Devan.Devan menatap Cecil dengan tatapan membunuh. Dia paling tidak suka dikhianati seperti ini. "Pelan-pelan, katamu? Dasar wanita murahan! Bisa-bisanya kamu pelukan mesra sama orang lain. Dibayar berapa kamu hah? Kamu istriku, Cecil!"TesSetetes air mata membasahi pipi Cecil. Tidak menyangka, jika Devan akan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitinya. Sementara, dia berusaha mati-matian memuji Devan di depan Sean."Tutup mulutmu! Aku tidak serendah itu, bajingan! Aku masih
Setelah seharian sibuk memanjakan suaminya, akhirnya pagi ini Cecil disibukan dengan pekerjaannya di kantor. Sesuai yang Devan katakan, pagi ini mereka berangkat ke kantor bersama. Tidak ada lagi jemputan dari Laras, karena Zaki sudah melarang gadis itu menjemput Cecilia, sesuai arahan dari Devan."Selamat pagi?" sapa Cecil ramah pada seluruh karyawan yang ditemuinya di lobi. Itu adalah kebiasaan Cecil yang sudah ia geluti sejak masih menjadi pekerja di kantor ini, hingga sekarang menjadi istri seorang bos."Pagi," Devan ikut menyapa, meski tak ada senyum di sana. Wajahnya tampak datar, tapi bagi para karyawan, ini adalah salah satu momen langkah. Sungguh keajaiban dunia. Ada apa dengan Devan pagi ini?Untuk sesaat, para karyawan terbengong dengan pandangan saling tatap. Lalu detik berikutnya, mereka kompak menyunggingkan senyum dan menunduk hormat."Pagi, Pak Devan, Bu Cecil." balas para karyawan ramah pada keduanya yang berjalan beriringan. Tumben sekali mereka berangkat bareng?Se
Usai menikmati bakso mercon, Cecil dan Devan melajukan motor menuju bazar nostalgia. Ya, benar sekali. Kedatangan mereka langsung disambut oleh jajaran penjual jajanan pinggir jalan. Tidak terkecuali sempol dan sate aci. Cecil benar-benar bahagia sekarang."Mas, aku mau itu." Cecil menunjuk kue leker yang masih dimasak dengan arang. Devan sendiri hanya mengangguk membiarkan Cecil memilih jajanan yang dia suka."Beli saja sesukamu." Devan menyerahkan dompetnya pada Cecil. Dengan senang hati Cecil menerimanya.Saat mencari uang kecil, Cecil sama sekali tidak menemukan. 'Huft! Dasar orang kaya!' Cecil menggerutu dalam hati."Mas, pakai uangku saja lah. Punyamu gak ada yang kecil." Keluhnya sambil menyerahkan dompet pada Devan."Belikan saja semuanya. Katanya mau borong? Entar bagi sama orang rumah dan satpam kompleks."Cecil memutar bola matanya. "Lima puluh ribu? Yang benar saja. Kamu bawa motor, masak aku yang repot bawa ini semua? Aku belom cobain jajan lain."Devan mengacak rambut C
"Mas, aku sumpahin ban motormu bocor!" teriak Cecil dengan emosi naik turun. Kali ini, Devan benar-benar berhasil memainkan adrenalinnya. Mulut Cecil bahkan sampai komat kamit merapal doa, saat Devan dengan lihainya menyalip tronton-tronton di depan mereka."Oke, oke. Aku turunin kecepatannya." Devan yang awalnya ingin mengerjai Cecil jadi tak tega, saat melirik kaca spion motor dan mendapati istrinya sangat ketakutan. Perlahan, dia mulai mengurangi kecepatan lajunya.Saat motor bergerak lebih lambat, Cecil bisa menarik napas lega. Dia juga mengedarkan pandangan ke arah pengendara lain."Naik motor seru, Mas. Jadi ingat waktu sekolah." Cecil bercerita dengan antusias. Tapi satu pertanyaan Devan, berhasil membuatnya pucat."Dibonceng siapa kamu. Kamu kan gak bisa motoran." Grep! Cecil menutup mulutnya rapat-rapat. Niatnya curhat, malah jadi boomerang."Eh, anu." Mata Cecil bergerak gelisah. Otaknya dipaksa keras untuk berpikir jawabannya."Anu apa? Dibonceng siapa?" ulang Devan membuat
Devan berjalan menyusuri rumahnya untuk mencari keberadaan Cecil, tapi gadis itu belum juga ditemukan.Untuk sesaat, pria itu menghela napas panjang, lalu senyumnya terbit kala melihat pintu belakang yang terbuka. Feeling-nya kuat mengatakan jika yang dia cari, ada di taman belakang halaman rumah.Tepat dugaan. Di sana, Cecil tampak duduk di sebuah ayunan yang dikelilingi bunga-bunga mawar yang indah. Hangat mentari juga menyambut kedatangan Devan yang berjalan menghampiri Cecil."Kamu di sini? Pantes, aku cari ke depan gak ketemu." Devan menghentikan ayunan, kemudian duduk di hadapan Cecil yang menatapnya jengah."Ngapain cari aku? Aku ke sini, mau cari angin segar."Cecil membuang pandangannya, menatap bunga-bunga yang tumbuh bermekaran.Devan yang merasa diabaikan pun jengah sendiri. "Cil, lihat sini kek. Suamimu mau ngomong, tapi kamu malah kabur."Cecil yang sadar jika Devan tengah serius, dia mulai menegapkan tubuhnya. Bersiap, mendengar petuah Devan. "Mau ngomong apa? Aku sudah
Pagi yang cerah. Seusai sarapan bersama, Devan mengajak Cecil kembali ke kamar. Tentu hari ini Devan tidak akan membiarkan Cecil menganggur barang sedetik."Ma, Devan sama Cecil pamit ke kamar ya."Cecil menoleh pada Devan penuh kewaspadaan. Lelaki itu pasti sudah menyusun rencana sedemikian rupa.Cecil menghela napas. Menatap Utari seolah meminta pertolongan. "Kamu duluan saja, Mas. Aku masih mau ngobrol sama Mama."Utari yang merasa namanya dibawa-bawa pun mengangguk mengiyakan. Kasihan juga Cecil kalau sampai dikurung di kamar. Sudah pasti, Devan akan menjadikan gadis itu sebagai makanan penutup. Apalagi, Devan sudah bilang jika hari ini dia cuti. Sudah pasti menantunya tidak akan keluar kamar."Kamu duluan saja, Van. Mama juga mau minta pendapat Cecil."Bukannya beranjak, Devan malah bertopang dagu dengan wajah ditekuk. Ditatapnya istri dan sang mama bergantian. "Aku tungguin di sini. Jangan lama-lama ngobrolnya. Aku butuh Cecil."Utari berdecak. Menggeleng heran dengan kepala bat
Usai mandi bersama yang berakhir dengan makian panjang Cecilia, Devan keluar dengan mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Cecil sendiri hanya bisa menghela napas ketika suaminya pergi setelah mendapatkan kenikmatannya kembali."Dasar suami gak peka! Istrinya belum selesai malah ditinggal." gerutu Cecilia saat perempuan itu asik berendam di bathtub. Rendaman air hangat, sedikit banyaknya bisa membantu Cecilia melemaskan ototnya yang kaku.Ceklek.Cecilia keluar setelah puas berendam. Dia juga sudah berganti dengan gaun rumahan.Cecil berjalan menuju meja riasnya. Tak sengaja, pandangan Devan dan Cecil bersitatap. Devan yang berduduk santai di tepi ranjang, hanya memandang gadis itu sesaat, sebelum kembali berkutat dengan ponselnya."Aku sudah mengabari Zaki, kalau kita hari ini gak ke kantor. Aku juga sudah kasih tahu Laras, biar gak usah jemput kamu lagi karena mulai besok, kamu berangkat sama aku."Ucapan Devan menghentikan Cecilia yang memoles wajahnya dengan bedak. Dengan cep
Keesokan paginya, Cecil sudah bersiap dengan setelan kemeja kantor dipadu dengan blazer. Gadis itu mematut dirinya di cermin, sambil menyisir rambutnya yang hampir kering. Sementara Devan sendiri baru bangun dari tidur lelapnya.Ingin menyibak selimut, Tapi urung setelah melihat bekas kemerahan yang dia buat semalam. Leher jenjang itu, dapat dia lihat dengan jelas dari pantulan cemin. Mengingat itu, Devan sangat bangga dengan dirinya yang berhasil menato tubuh Cecilia."Cil, kemarilah!" Cecil yang merasa terpanggil pun bergegas mempercepat gerakannya. Setelah rambutnya tersisir rapi, barulah dia berjalan menghampiri Devan."Ada apa?" Matanya penuh selidik, menatap pria yang semalam tengah menganghangatkan ranjangnya."Kamu mau ke mana, rapi begini? Di rumah saja, gak usah kerja hari ini."Cecil membuka mulutnya. Perempuan itu hampir melontarkan sumpah serapah. "Kenapa? Kenapa aku gak boleh kerja? Aku gak sakit, kok. Àku bisa ke kantor.Devan menunjuk leher Cecil dengan jari telunjuk