Dominic duduk di belakang meja kerjanya dengan sebuah telepon genggam menempel di sisi telinga kanannya. Hari ini, jatah waktu 2 minggu yang telah dia berikan pada ketiga bandit tua itu akhirnya tiba juga. "Masih tidak ada tanda-tanda kalau ketiga bandit tua itu akan mengganti uang perusahaan yang mereka ambil?" tanya Dominic pada seseorang di seberang telepon dengan santai. "Jadi begitu!" ujar Dominic seraya menganggukkan kepala acuh tak acuh.Dari awal dia telah memprediksi kalau peringatan lembut pasti tidak akan memiliki pengaruh apapun. Cara kasar selalu menjadi cara terbaik untuk menghadapi orang-orang keras kepala seperti mereka. "Lalu, lakukan rencana berikutnya!" perintah Dominic pada orang di seberang telepon. "Sudah ku duga ini akan membuang-buang waktu!" dumel Dominic sambil memijat pangkal hidungnya. Dia lalu melirik jam mahal yang melingkar pada pergelangan tangannya. Hampir menunjukkan pukul 6 sore yang menandakan sudah waktunya untuk pulang kantor. "Bos, waktunya
"Hmphhh!""Hmphhh!""Hmphhh!"Ketiga orang tua itu memberontak semakin keras ketika anak buah Dominic mulai menutup mulut mereka dengan menggunakan lakban hitam. Tapi Dominic tentu tidak menghiraukan protesan mereka. Apalagi Denita, dia tidak bersimpati sama sekali. Dia bahkan hanya melirik sekilas pada katrol yang berderit terdengar mengkhawatirkan dari atas atap gudang. "Ayo mulai sekarang!" ujar Dominic seraya mengambil tempat duduk di pojok ruangan dengan Denita yang terus mengikuti dalam diam. "Baik, Bos!" ujar ketiga pria itu sembari mulai mengenakan topeng di wajah masing-masing. "Hmph!" "Hmph!""Hmph!"Bisa dilihat dengan jelas sepasang mata keriput dari mereka bertiga membelalak lebar. Ada ketakutan serta kemarahan yang terungkap dari sorot-sorot mata tua itu. Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar terlihat mulai mengutak-atik telepon genggam di tangannya. Setelah itu, dia menghadapkan layar telepon itu di depan wajah Pak Wirawan yang masih digantung secara terbalik. "A
Dominic yang gairahnya telah berhasil dipancing, menyeret lengan Denita untuk cepat-cepat masuk ke dalam Penthouse mewah miliknya. Diraupnya bibir ranum Denita dengan terburu-buru penuh akan tuntutan.Suara kecipak ciuman seketika memenuhi ruang tamu yang sunyi. Denita yang kewalahan, dan sedikit tidak siap dengan gairah menggebu Dominic, menggunakan kesempatan mengambil nafas untuk melengkungkan punggungnya sedikit ke belakang. Dia sengaja menciptakan sedikit jarak di antara mereka. "Sstt!"Denita meletakkan jari telunjuk kanannya di antar bibirnya dan bibir Dominic. "Kamu melupakan sesuatu," bisik Denita lirih. Dengan nafas memburu tak tertahan, Dominic menatap kesal pada Denita karena telah menginterupsi gairahnya yang sudah mencapai puncak ini. Dia bahkan memutar bola matanya dengan terang-terangan agar bisa dilihat oleh wanita dalam dekapannya ini. "Apa?" tanya Dominic dengan sedikit ketus. "Kita belum makan malam, aku lapar!" ujar Denita sembari terkikik pelan melihat wajah
Pagi ini senyum dikulum memghiasi wajah Dominic. Egonya yang pernah tersentil karena ditinggalkan oleh Denita setelah sesi percintaan panas mereka kapan hari itu, kini telah mengembalikan rasa bangga dirinya. Hal ini terjadi hanya karena alasan sederhana. Pagi tadi, saat dia membuka mata, Denita masih bergelung dalam pelukannya. Namun, pikiran Dominic yang sedang sibuk berkelana tiba-tiba diinterupsi oleh panggilan telepon dari anak buahnya. "Ya?" tanya Dominic dengan perasaan bahagia yang masih meliputi hatinya. "Keluarga mereka menolak untuk mentransfer sejumlah uang yang telah mereka ambil," Informasi dari orang di seberang membuat sudut mulut Dominic yang sempat tertekuk seperti bulan sabit, perlahan berubah bentuk menjadi garis datar. "Lanjutkan rencana berikutnya!" perintah Dominic dengan santai. "Baik, Bos!" sahut anak buahnya itu, kemudian langsung memutuskan sambungan telepon. Meskipun masalah ini sempat mengganggu suasana hati Dominic, tapi hal itu tidak berlangsung l
[Dominic sudah punya orang yang dia cintai, dan itu bukan kamu. Jangan tidur terlalu miring. Bangun!]Denita menatap pesan yang baru saja dikirim Salsa dengan perasaan sedikit lucu. Dia pikir setelah kejadian terakhir kali, wanita ini akan berhenti mengganggunya. Ternyata hal itu hanya bertahan selama beberapa waktu lamanya. "Hadeh! Salsa! Salsa!" bisik Denita pada diri sendiri. Dia lalu melemparkan begitu saja ponselnya ke atas ranjang yang empuk. Setelah itu, dia mulai menyapukan lipstik merah darah di atas bibirnya seperti biasa. Malam ini adalah malam yang paling Denita tunggu-tunggu. Karena malam ini, dia akan mengumumkan pada dunia bahwa dia adalah calon menantu keluarga Sagara. Sekaligus dia juga akan memberitahukan pada dunia bahwa dia adalah putri kandung keluarga Hadiwijaya, sedangkan Salsa hanyalah anak seorang pembantu! "Aku sudah menunggu selama 1 jam 30 menit, apakah kamu belum selesai juga?" tanya Dominic mengintip dari celah pintu kamar yang dia buka sedikit. "Sud
"Saya tidak menyangka Anda akan pensiun dini, Pak Edward!" "Hahaha. Yah, Anak-anak saya sudah dewasa. Sudah waktunya mereka diberikan tanggung jawab. Pensiun dini bukan pilihan buruk loh. Pak Hendra juga harusnya mulai mempertimbangkan ini. Lagipula Arkan juga sudah cukup mampu untuk mengurus perusahaan," pungkas Pak Edward panjang. "Anda bisa aja. Arkan masih butuh banyak pengalaman," ujar Pak Hendra rendah hati."Dom, akhirnya kamu di sini," sapa ibu Evelyn tiba-tiba menyela obrolan basa-basi bapak-bapak ini ketika melihat putra bungsunya berjalan mendekat. "Bu, Yah!""Om! Tante!" Dominic, dan Denita menyapa Pak Edward, dan Ibu Evelyn dengan serentak. "Eh, ada Om Hendra, dan Tante Herlina juga," sapa Dominic ketika melihat siapa orang yang sedang menjadi lawan bicara orang tuanya. Sementara itu, Denita hanya diam. "Jeng Herlina, kok tidak bilang-bilang sih kalau Denita ini sebenarnya putri kandung dari Jeng Herlina dan Pak Hendra," Ibu Evelyn perlahan mulai menggeser arah obro
Begitu kaki Denita menapak di luar toilet, dia langsung disuguhkan oleh penampakan Angga yang sedang berdiri bersandar di dinding yang ada di depan pintu toilet wanita. "Nit, Salsa ada di dalam?" tanya Angga. "Ada!" jawab Denita dengan acuh tak acuh. "Tadi di dalam kamu gak ngapa-ngapain Salsa 'kan?" tanya Angga lagi. Nada curiga yang terdengar dari suara pria ini membuat Denita segera melemparkan delikan tak suka. "Kalau kamu gak mau istri kamu diapa-apain, tolong kasih tahu dia untuk tidak terus-terusan menggangguku. Harus berapa kali sih aku peringatkan? Apa insiden tikus mati itu tidak cukup untuk membuat dia mengerti?!" seru Denita dengan alis yang saling terjalin rumit. "Tolong maklumin Salsa, Nit. Dia 'kan lagi hamil," ujar Angga dengan nada suara penuh kelemah lembutan. Rahang Denita hampir jatuh ketika mendengar alasan ini. Jadi hanya karena Salsa sedang hamil, dia harus memaklumi apapun yang wanita itu lakukan? "Kamu dan Salsa sama-sama menyebalkannya. Pantas saja ka
Keheningan seketika meliput ballroom hotel mewah itu pasca Dominic mengungkapkan informasi yang cukup mengejutkan bagi beberapa orang ini. Berpasang-pasang mata saling tatap seakan sedang mempertanyakan kebenaran dari apa yang baru saja Dominic sampaikan. Bahkan suara nafas banyak manusia di tempat ini hanya terdengar samar-samar. Denita yang bisa melihat seluruh tamu undangan dari tempatnya berdiri menyempatkan diri untuk melirik ke arah meja dimana orang tua kandungnya berada. Hati Denita langsung berbunga-bunga ketika melihat wajah keruh setiap orang yang ada di meja itu. Wajah marah Arkan, dan ayahnya terlihat amat jelas. Sementara ibu Herlina justru menunjukkan ekspresi yang tidak terbaca di wajahnya. Adapun Salsa, dia yang tidak menyangka bahwa Denita akan menggunakan kesempatan ini untuk membuat pengumuman mengenai status mereka hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Apalagi ketika berpasang-pasang mata kemudian mencuri lirik ke arahnya. Sedangkan Angga, matanya menatap