Begitu kaki Denita menapak di luar toilet, dia langsung disuguhkan oleh penampakan Angga yang sedang berdiri bersandar di dinding yang ada di depan pintu toilet wanita. "Nit, Salsa ada di dalam?" tanya Angga. "Ada!" jawab Denita dengan acuh tak acuh. "Tadi di dalam kamu gak ngapa-ngapain Salsa 'kan?" tanya Angga lagi. Nada curiga yang terdengar dari suara pria ini membuat Denita segera melemparkan delikan tak suka. "Kalau kamu gak mau istri kamu diapa-apain, tolong kasih tahu dia untuk tidak terus-terusan menggangguku. Harus berapa kali sih aku peringatkan? Apa insiden tikus mati itu tidak cukup untuk membuat dia mengerti?!" seru Denita dengan alis yang saling terjalin rumit. "Tolong maklumin Salsa, Nit. Dia 'kan lagi hamil," ujar Angga dengan nada suara penuh kelemah lembutan. Rahang Denita hampir jatuh ketika mendengar alasan ini. Jadi hanya karena Salsa sedang hamil, dia harus memaklumi apapun yang wanita itu lakukan? "Kamu dan Salsa sama-sama menyebalkannya. Pantas saja ka
Keheningan seketika meliput ballroom hotel mewah itu pasca Dominic mengungkapkan informasi yang cukup mengejutkan bagi beberapa orang ini. Berpasang-pasang mata saling tatap seakan sedang mempertanyakan kebenaran dari apa yang baru saja Dominic sampaikan. Bahkan suara nafas banyak manusia di tempat ini hanya terdengar samar-samar. Denita yang bisa melihat seluruh tamu undangan dari tempatnya berdiri menyempatkan diri untuk melirik ke arah meja dimana orang tua kandungnya berada. Hati Denita langsung berbunga-bunga ketika melihat wajah keruh setiap orang yang ada di meja itu. Wajah marah Arkan, dan ayahnya terlihat amat jelas. Sementara ibu Herlina justru menunjukkan ekspresi yang tidak terbaca di wajahnya. Adapun Salsa, dia yang tidak menyangka bahwa Denita akan menggunakan kesempatan ini untuk membuat pengumuman mengenai status mereka hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Apalagi ketika berpasang-pasang mata kemudian mencuri lirik ke arahnya. Sedangkan Angga, matanya menatap
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika acara perayaan Anniversary perusahaan Sagara Group ini akhirnya berakhir. Banyak di antara para tamu undangan yang segera memilih untuk membubarkan diri. Namun, ada juga segelintir orang yang sengaja menunggu berakhirnya acara untuk bisa sedikit bertukar sapa dengan mereka. Keluarga Hadiwijaya adalah salah satu di antara orang-orang itu. "Apa sih tujuan kamu memberitahu orang lain tentang masalah ini sekarang? Kamu sengaja ingin memperlakukan keluarga kita?" tanya Arkan ketus. Dia tidak peduli jika Pak Edward, dan Ibu Evelyn masih ada di sana. Mendengar pertanyaan bernada ofensif ini, senyum tanpa sadar merekah di wajah Denita. "Bukankah tadi aku sudah menyebutkan alasannya?" balas Denita. "Halah. Bullshit! Kamu pasti sengaja mau mempermalukan Salsa 'kan?" tuding Arkan tidak percaya. "Kak Arkan!" seru Salsa sambil menahan lengan Arkan.Denita melemparkan dengusan sinis sambil mengendikkan bahunya masa bodoh. "Terserah kamu mau perc
"Kamu keluar sudah dari tadi, tapi si Dimas belum datang juga?" tanya Denita. Dia meregangkan lehernya hingga batas maksimal untuk melihat deretan mobil yang mengular di depan teras hotel. Siap menjemput para penumpangnya. "Tau nih!" keluh Widia seraya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Denita. "Dia naruh mobilnya terlalu tengah kali ya, terus sekarang susah keluar," tebak Widia sembari mulai disibukkan oleh ponsel di tangannya "Halo, Dim? Kamu dimana?" tanya Widia begitu sambungan telepon telah terhubung. "Aku baru keluar dari tempat parkir. Di sini macet!" jawab Dimas dari seberang. "Aku pikir kamu udah lupain aku, dan sekarang malah sudah sampai rumah!" celetuk Widia setengah bercanda."Aku nggak mungkin lupain kamulah!" balas Dimas dari seberang. "Ya sudah. Aku tunggu!" seru Widia seraya memutus sambungan telepon. "Sesuai dugaan!" ujarnya beralih pada Denita. "Hm," gumam Denita sambil menganggukkan kepala mengerti. "Terus sekarang gimana? Setelah orang-ora
"Aku mau belajar bela diri!"Ucapan itu Denita lontarkan ketika dia sedang berada di dalam mobil Rolls-Royce milik Dominic yang saat ini sedang melaju kembali ke Penthouse mewah sang presdir. "Hah?!"Dominic hampir menginjak dengan keras rem mobilnya sedetik setelah mendengar keinginan Denita yang menurutnya sangat random ini. Untungnya kontrol dirinya masih sangat baik, sehingga tidak perlu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Aku cuma mau belajar bela diri. Bukan mau ngajak kamu ngerampok Bank! Reaksinya berlebihan banget!" sindir Denita. Dia seraya memandang miring ke arah Dominic yang duduk di balik kemudi."Kamu kenapa tiba-tiba mau belajar bela diri?" tanya Dominic begitu Denita selesai mengutarakan niatnya. "Kamu nggak pernah cerita kalau Salsa ternyata punya penggemar yang sama gilanya dengan Arkan," protes Denita. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan yang telah diajukan Dominic lebih dulu. Tidak heran jika kening pria itu kemudian berkerut tidak mengerti. "Hah? Siap
"Aku benar-benar tidak menyangka Rafael akan benar-benar bertindak!" seru Dominic tidak habis pikir. " ... ""Lalu, apa rencana kamu berikutnya?" tanya Dominic pada Denita. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dari kediaman Alex setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan. " ... "Denita tidak serta merta menjawab pertanyaan ini. Sepasang netra cemerlangnya terus menatap ke kejauhan pada jingga merah di langit kelabu. Saat ini kepalanya terus memikirkan segala rencana agar Salsa berhenti mengganggu hidupnya. "Aku akan kembali ke kediaman Hadiwijaya!" tutur Denita setelah memikirkan berbagai macam pertimbangan. "Hah?!"Lagi-lagi Dominic hampir menginjak rem mobilnya dengan keras karena keputusan tak terduga yang kembali diutarakan oleh Denita. "Kamu yakin?" tanya Dominic. Alisnya berkerut sanksi. "Yakin!" jawab Denita dengan mantap. Dia bahkan menatap sisi wajah Dominic dengan sangat serius untuk menunjukkan kesungguhannya. "Kali ini untuk alasan apa?" tanya Do
Salsa berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Kuku ibu jarinya digigit dengan keras menunjukkan betapa risaunya dia saat ini. Ingatan ketika ibu Herlina mengakui Denita sebagai anak kandungnya terus berputar-putar dalam benak Salsa. Dibandingkan dengan hal lain, dia paling takut jika Denita berhasil menyingkirkannya dari ruang lingkup perhatian orang-orang yang selama ini dia sebut sebagai keluarga. Bahwa apa yang selama ini dia nikmati akan direbut oleh Denita. "Keluarga ini adalah milikku sejak awal. Denita tidak boleh mengambil apa yang sudah menjadi milikku!" gumam Salsa sambil terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar. "Tidak bisa dibiarkan!" serunya. Tidak tahan dengan segala pikiran risau dalam benaknya, Salsa kemudian mulai disibukkan dengan ponsel yang ada dalam genggamannya. Dengan gerakan tergesa-gesa, dia mulai menghubungi seseorang. "Halo, Sa?" sapa orang di seberang begitu sambungan telepon terhubung. "Huhuhu!"Salsa langsung menggelontorkan air mata palsunya s
"Kamu sudah gila?!" Angga berseru sambil menatap tak percaya pada wanita di depannya. "Aku memang sudah gila. Dan itu semua disebabkan oleh mantan pacar kamu itu!" timpal Salsa dengan sengit. " ... "Angga terus menggelengkan kepala dengan pelan. Dia tidak pernah menyangka bahwa wanita yang dia pertahankan sebagai istri ini memiliki niat yang begitu kejam. Pada darah daging yang ada di dalam rahimnya saja dia berniat untuk menghilangkannya?Dalam benak Angga berputar memori ketika Salsa dengan bahagianya mengumumkan tentang kehadiran anak itu. Jadi itu semua hanya pura-pura? Hanya karena dia ingin membuat Denita sakit hati? "Kamu tidak bisa melakukan itu!" ujar Angga sembari meremas kuat bahu Salsa. Sepasang matanya menyala penuh akan segala macam emosi yang berusaha dia tahan. "Kenapa tidak? Ini tubuhku! Aku memiliki hak sepenuhnya atas tubuhku sendiri!" timpal Salsa semakin sengit. Dia bahkan menepis keras tangan Angga yang masih bertengger erat di atas bahunya. "Salsa!" teriak
"Mas, si Dominic sialan itu melaporkan aku ke polisi. Kamu tolong bebaskan aku!" seloroh Bik Ayu sesaat setelah sambungan teleponnya terhubung."Memangnya apalagi yang kamu lakukan?" tanya Pak Hendra dari seberang telepon."Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin melihat anak sialan itu bersenang-senang. Kenapa dia boleh berbahagia, sementara anakku sendiri gila?!" bentak Bik Ayu tanpa memedulikan dimana dia berada. "Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu bisa berakhir di kantor polisi? Aku sudah muak dengan kalian semua. Kamu jangan ganggu aku lagi. Namaku sudah cukup tercoreng gara-gara kamu. Berhubungan denganmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup ini," geram Pak Hendra. Dia lalu menutup telepon tanpa ada niat untuk memperdulikan nasib yang akan menimpa Bik Ayu."Mas Hendra? Mas Hendra!" Bik Ayu berteriak sambil membanting telepon milik kantor polisi. "Ibu tolong tenang!" tegur salah seorang polisi yang bertugas menangani kasusnya."T
Melalui data diri yang dibubuhkan Bik Ayu dalam surat lamaran kerjanya, orang suruhan Dominic terus mencari keberadaan wanita itu. Tentu saja rumah kediaman keluarga Hadiwijaya juga tidak luput dari target pencarian. Pada akhirnya, tidak sulit bagi orang suruhan Dominic untuk menemukan wanita yang sudah membuatnya sangat marah itu. Bik Ayu memang ditemukan di rumah keluarga Hadiwijaya. Dan atas perintah Dominic, wanita itu digelandang dengan paksa menuju kantor polisi. "Lepaskan aku! Ini pemaksaan!" seru Bik Ayu. Dia memberontak dengan keras. Namun, tenaga setengah tuanya tentu saja kalah dengan tenaga para laki-laki suruhan Dominic itu."Lepaskan aku!" teriak Bik Ayu bahkan meski dirinya sudah berada di kantor polisi.Dominic yang sedang membuat laporan hanya menatap sekilas pada wanita yang terlihat menyebalkan itu. "Ini dia orang yang ingin saya laporkan. Dan saya tidak ingin adanya upaya damai. Tolong hukum dia sesuai dengan undang-undang yang berlaku," pungkas Dominic."Apa y
Aksi Dominic yang mengumpulkan para cleaning service di lobi kantor menarik rasa penasaran para karyawan lain mengenai apa yang tengah terjadi.Namun, Dominic tidak mau ambil pusing soal mereka untuk saat ini. Biarkan saja mereka mengatakan apapun yang mereka inginkan. "Berikan data cleaning service yang masih aktif bekerja di sini," tukas Dominic begitu staff HRD di perusahaannya tiba.Tanpa banyak bertanya, sang staff langsung memberikan apa yang diinginkan oleh Dominic. Dia pun langsung melakukan pemindaian cepat pada tumpukan dokumen yang dibawakan padanya. Sampai kemudian matanya menangkap sosok familiar yang membuatnya menggertakkan gigi dengan keras."Ayu Hapsari?!" gumam Dominic dengan marah.Dia pikir musuh bebuyutan istrinya ini sudah menyerah dan kapok mencari masalah dengan mereka. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata wanita ini sedang membuat rencana jahat di bawah hidungnya."Dimana wanita bernama Ayu Hapsari ini?" tanya Damian seraya menatap satu per satu wajah yan
"Dok, bagaimana kondisi istri dan calon anak saya?" "Dok, bagaimana kabar menantu dan cucu saya?""Dok, bagaimana kabar anak dan cucu saya?"Dominic, ibu Herlina dan ibu Evelyn berhamburan menghampiri dokter yang baru saja memberi penanganan pada Denita. Mereka bertiga langsung merongrong sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Melihat wajah khawatir ketiga orang di depannya, sang dokter hanya tersenyum simpul. "Nona Denita baik-baik. Dia hanya terlalu shock dan butuh istirahat yang baik," jawab dokter."Serius, Dok?" tanya Dominic tidak benar-benar lega.Dengan sabar dokter itu mengangguk. "Iya," "Lalu cucu kami gimana, Dok?" tanya ibu Herlina."Bayi di dalam kandungan Nona Denita juga baik-baik saja. Untung langsung segera dibawa ke rumah sakit sehingga dapat dengan cepat ditangani. Jadi kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan," ucap Dokter menjelaskan."Syukurlah,""Terima kasih, Dok!""Iya, sama-sama,"Setelah kepergian dokter yang menangani Denita, baik ibu Herlina dan ibu Ev
Dengan bibir cemberut, Denita keluar dari ruangan Dominic menuju meja kerjanya. Pakaian ganti yang agak sempit membuat setiap pergerakannya menjadi tidak nyaman. Dan karena suasana hati yang tidak terlalu baik, Denita tidak memperhatikan ada tetesan cairan berwarna biru di samping kaki mejanya. Tatkala kakinya menginjak cairan itu, tubuh Denita limbung ke belakang. Dia menjerit dengan panik dan berusaha mencari pegangan. Akan tetapi, tangannya hanya bisa menggapai udara yang kosong. "Arrrrrgggghhhhh!!!" BRUUUK, Suara tubuhnya yang menghantam lantai begitu keras hingga membuat Dominic yang ada di dalam ruang kerjanya terkejut setengah mati. "Denita!" serunya. Tanpa membuang-buang banyak waktu, dia langsung berlari menuju sumber suara. Sosok sang istri yang terbaring di atas lantai sambil memegangi perutnya membuat sepasang netra Dominic membulat lebar. "Denita!" serunya. "Sakiiiitttt," keluh Denita. Air mata menitik deras dari pelupuk matanya. Rasa panik akan bayi di
Setelah masalah Niko selesai, Denita akhirnya bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Dia juga bisa menikmati kehamilannya dalam damai tanpa adanya drama yang berliku-liku. Bahkan diusia kandungan yang sudah menginjak delapan bulan, dia masih semangat bekerja."Babe, kamu berhenti kerja aja ya. Perut kamu sudah mulai buncit. Pergerakan kamu juga sudah tidak luwes lagi. Sebaiknya istirahat di rumah," Ucapan Dominic ini langsung membuat bibir Denita maju beberapa senti. Dia tidak tahu apakah ini karena faktor kehamilan atau bukan. Akan tetapi, dia mulai menerjemahkan kata-kata orang dengan cara yang berbeda. Seperti sekarang ini, dia tiba-tiba merasa bahwa ucapan suaminya memiliki arti yang negatif. "Jadi kamu merasa terganggu karena perutku yang buncit?" tanya Denita dengan nada merajuk. Suaranya bahkan terdengar tercekat seperti sedang menahan tangis."Bukan begitu," tukas Dominic dengan segera. "Aku hanya takut kalau kamu akan kelelahan. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenap
"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan," tegur ibu Herlina. Hatinya belum terketuk untuk membiarkan putra sulungnya yang belum menikah mengadopsi anak orang lain. Apalagi anak itu adalah anak sekaligus cucu dari orang yang paling dia benci sekarang. Kalau boleh dikatakan secara kasar, lebih baik mengadopsi anak dari panti asuhan daripada harus mengadopsi Niko. "Bu~" panggil Arkan. "Bukannya Niko masih punya kakek dan nenek kandung? Kenapa perawatan atas Niko harus menjadi tanggung jawab kamu?" seloroh ibu Herlina. "Kemana nih, selingkuhan kamu?" lanjut ibu Herlina bertanya pada mantan suaminya. "Aku tidak melihatnya Nyonya barumu dari tadi,"" ... "Wajah pak Hendra yang disindir seperti ini seketika berubah menjadi keruh. "Jangan bilang habis manis sepah dibuang?" tebak ibu Herlina dengan asal-asalan. Namun, wajah keruh yang ditunjukkan oleh mantan suaminya itu membuat ibu Herlina diyakinkan oleh tebakannya sendiri. Tawa nyaring pun terlempar keluar dari bibirnya yang dihia
Keesokan hari Denita menghubungi semua orang yang terkait dengan kehidupan Niko. Dia meminta untuk bertemu dengan mereka. Kemudian pada ibu Herlina, Denita menceritakan masalah mengenai anak dari Salsa dan Dimas itu. "Bagaimana keadaan Niko sekarang?" tanya Ibu Herlina. Suaranya terdengar serak seperti sedang menahan tangis. "Aku juga belum tahu, Ma!" jawab Denita. "Makanya aku minta kita semua berkumpul untuk membahas mengenai masalah ini," lanjutnya. "Oke, dimana?" tanya ibu Herlina. "Aku sudah membicarakan ini sama Arkan. Dia minta untuk kita berkumpul di kediaman Hadiwijaya," jawabku. " ... "Keheningan terjadi di seberang sana. Denita sendiri bisa memperkirakan apa yang kiranya sedang dirasakan oleh wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu, ketika dia menyebutkan kediaman Hadiwijaya. "Mama baik-baik aja?" tanya Denita memastikan. "Kalau Mama nggak setuju, nanti kita bahas lagi enaknya bertemu dimana," lanjutnya kemudian. "Mama baik-baik aja kok. Ayo segera kita bahas
Denita yang terlanjur berpikir bahwa hidupnya akan menjadi damai setelah Salsa dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa ternyata salah besar. Di tengah malam, ketika dia sedang tertidur nyenyak bersama Dominic, ponsel yang dia letakkan di atas nakas samping tempat tidur berdering nyaring. "Hermm," Denita menggeram pelan dengan alis yang berkerut di dalam tidurnya. Dengan mata setengah terpejam, Denita meraba nakas yang ada di samping tempat tidurnya untuk mencari benda pipih yang mengeluarkan suara ribut-ribut itu. Tanpa melihat nama orang tidak sopan yang menghubunginya tengah malam begini, Denita menjawab panggilan telepon itu dengan sedikit kesal. "Halo!" jawab Denita dengan nada ketus. "Nit, ini Angga," sapa orang dari seberang. Dengan kening yang berkerut semakin dalam, Denita terdiam sementara untuk mencerna suara orang di seberang. Dia yakin bahwa dia sedang tidak bermimpi, tapi kenapa Angga meneleponnya? " ... "Denita terdiam tidak menanggapi untuk waktu yang lama. Baginya