"Huh!" Denita mendengus dingin mendengar tuduhan tak berdasar yang dikemukakan Salsa ini. "Aku cuma lagi main sama Niko. Kamu yang tiba-tiba teriak. Niko jadi kaget terus nangis 'kan tuh," bantah Denita dengan santai. "Bohong!" sentak Salsa dengan keras. Teriakannya membuat Niko semakin menangis histeris. Ibu Herlina yang berdiri di samping bisa merasakan sisi pelipisnya berkedut tidak sabaran. Dia menatap bolak-balik pada Denita, dan juga Salsa yang tidak pernah bisa akur itu dengan disertai helaan nafas panjang. "Salsa, Kamu jangan teriak dong. Niko makin nangis tuh!" tegur Ibu Herlina seraya meraih Niko dari gendongan Salsa. "Cup cup cup. Cucu nenek kenapa nangis?" tanya Ibu Herlina sambil menepuk pelan bahu pria kecil itu. "Ma, Mama harus percaya sama Salsa. Wanita ini mau mencelakai Niko!" seru Salsa seraya menunjuk Denita dengan ujung telunjuk lentiknya. Denita menjulingkan matanya. "Mau mencelakai gimana? Jelas-jelas aku cuma lagi main sama Niko kok," sambar Denita tidak
"Nit, aku masih mencintaimu!""Hah?!" pekik Denita. Pupil matanya hampir terbelah ketika mendengar ucapan tiba-tiba dari Angga ini. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba mengaku cinta? Akan sangat bodoh bagi Denita jika dia langsung percaya. "Kamu mabok?" tanya Denita seraya mencoba melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman erat jemari Angga. "Aku serius!" pungkas Angga dengan tegas. Sorot matanya memang benar-benar menunjukkan keseriusan. "Tapi maaf, aku sudah tidak cinta lagi sama kamu!" timpal Denita tanpa basa-basi. Dia sudah sangat mantap dengan pilihannya saat ini. Sejak Angga memutuskan untuk memilih Salsa, dia juga bertekad bahwa tidak akan ada jalan kembali bagi hubungan mereka. Lagipula, pria ini juga tampak mantap dengan keputusan yang dia buat sebelumnya. Lalu kenapa?"Kamu yakin?" tanya Angga. Perlahan dia mulai menyeret langkahnya untuk mempersempit jarak antara dirinya dan Denita. "Kamu mau apa?" tanya Denita dengan kening berkerut tak nyaman. Walau
Keesokan harinya, Setelah menyantap sarapannya, Denita bergegas keluar dari kediaman keluarga Hadiwijaya. Mengingat rencananya hari ini membuat Denita sedikit antusias. Sambil mengutak-atik telepon genggamnya, Denita menuntun sepasang tungkai panjangnya menuju tempat dimana mobilnya di parkir. Seteleh duduk dengan rapi di balik kursi kemudi, dia mulai menghubungi seseorang. "Dom, aku mau minta izin datang terlambat," pinta Denita pada orang di seberang telepon. "Kenapa? Ada masalah apa? Butuh bantuan?" Dominic memberondong Denita dengan banyak pertanyaan sekaligus. Meski Dominic tidak bisa melihatnya, tapi Denita tetap menggelengkan kepala dengan cepat. "Enggak! Aku cuma ada urusan sebentar doang!" ujar Denita sambil mulai menyalakan mesin mobilnya. "Urusan apa?" tanya Dominic kepo. "Nanti deh aku kasih tahu kalau sudah sampai di kantor. Ini aku lagi di jalan soalnya!" tukas Denita sambil terus memfokuskan diri pada jalanan di depannya. "Ya udah, kamu hati-hati di jalan," bala
"Ini bakal sangat membagongkan sih kalau sampai si Niko ini benar anaknya Arkan!" Widia bergumam sendiri setelah dia selesai menjalankan misinya membantu Denita untuk melakukan tes DNA. "Tapi bakal lebih mencengangkan lagi kalau ternyata Niko ini adalah anaknya Dominic," lanjut Widia masih bermonolog sendiri. Begitu pemikiran itu selesai melintas di dalam benaknya, terjadi jeda untuk sementara waktu. Tak lama kemudian, bulu kuduk Widia meremang karena ngeri. Dia lalu dengan cepat menggelengkan kepala untuk menepis pemikiran yang baru saja melintas dalam benaknya. "Enggak! Enggak!" Widia menggelengkan kepala semakin kencang untuk mengusir pemikiran itu. Setelahnya, dia lalu menghela nafas dengan tak berdaya. "Denita! Denita! Kenapa jalan hidup kamu begitu berliku!" gumam Widia bersimpati pada nasib sahabatnya itu. Widia terus menyeret langkahnya menyusuri koridor rumah sakit ketika langkahnya tiba-tiba dihentikan oleh seseorang. "Kamu 'kan?" tunjuk orang itu ketika mata mereka ti
"Wid, menurut kamu, dia tahu apa yang kamu lakukan nggak?" tanya Denita senewen. "Aku benar-benar tidak tahu. Aku lupa nanya!" jawab Widia. Kening Denita berkerut mendengar jawaban ini. "Lupa nanya? Emang kalian sempat ngobrol-ngobrol dulu?" tanya Denita dengan heran. "Iya. Dia negur aku duluan malah," "Terus kalian membicarakan apa saja?" Denita bertanya dengan kepo. "Dia nanya kenapa aku ada di rumah sakit. Terus aku jawab aja kalau habis jenguk saudara," beritahu Widia. " ... "Terjadi jeda sebentar di antara mereka. Denita sibuk mencerna kerasionalan alasan ini. Tapi bahkan jika alasan ini kedengarannya masuk akal, entah kenapa Denita yakin bahwa Arkan pasti tidak akan menelan mentah-mentah jawaban ini. "Wid, kamu bisa yakin kalau dia percaya dengan alasan itu?" tanya Denita sanksi. "Enggak!" jawab Widia dengan tegas dan mantap.Jawaban itu seketika membuat Denita lesu. Apa misinya ini akan ketahuan? Denita merasa tidak rela. "Nit, kamu pernah cerita kalau Arkan bukan so
Hari ketika waktunya Denita melakukan fitting gaun pengantin akhirnya tiba. Bersama dengan seluruh keluarga Hadiwijaya, dia berangkat menuju 'La boutique' salah satu butik kenamaan yang memang menyediakan gaun pengantin. Baik yang sudah jadi maupun yang bisa di custom. Dalam perjalanan ini, hanya wajah Ibu Herlina yang tampak biasa saja. Sementara yang lain tampak kecut, terutama sekali Salsa. Sesampainya di tempat yang dituju, keluarga Dominic ternyata sudah tiba lebih dulu. "Tante Eve!" panggil Denita girang seraya melangkah cepat ke arah ibunda Dominic itu. "Hai, sayang!" sahut tante Evelyn. Mereka lalu melakukan cipika-cipiki dengan mesra. "Maaf, Tan. Telat!" ujar Denita cengengesan sambil memamerkan gigi putihnya. "Tante juga baru sampai kok," timpal tante Evelyn. "Siang, Jeng Evelyn!" sapa ibu Herlina yang sudah berdiri di samping Denita. "Siang, Jeng Herlina. Aduh nggak nyangka banget ya kalau kita akan menjadi besan!" ujar tante Evelyn dengan girang. Entah serius atau
Dua minggu waktu yang ditunggu Denita dengan penuh rasa was-was akhirnya tiba juga. Begitu dia dihubungi oleh pihak rumah sakit bahwa hasil tes DNA itu telah keluar, Denita menjadi tidak sabar ingin melihatnya. Di saat yang menurutnya paling krusial ini, Denita tidak memiliki banyak pilihan lain selain meminta tolong lagi pada Widia. "Wid, boleh aku minta tolong sekali lagi?" tanya Denita pada sang sahabat yang ada di seberang telepon. "Minta tolong apa?""Hasil tes DNA itu sudah keluar," ucap Denita dengan perasaan tidak enak. Meski dia dan Widia telah lama bersahabat. Namun, dia tetap merasa tidak enak ketika harus meminta tolong berulang kali seperti ini. "Kamu mau minta tolong aku untuk memgambilnya?" tebak Widia. "Iya!" jawab Denita sambil meringis. "Oke!" jawab Widia santai. Tidak ada nada keterpaksaan dalam suaranya. "Maaf, selalu merepotkan kamu," ucap Denita. "Santai aja kali. Jangan sungkan. Nanti giliran aku yang butuh bantuan, aku juga akan merepotkanmu. Dan tidak
"Nit, aku melihat Arkan lagi di rumah sakit!" Informasi dari Widia ini membuat Denita tercengang dari balik meja kerjanya. "Apa? Dia lagi?!" serunya tidak habis pikir. "Untuk apa sih dia ada di rumah sakit?" keluh Denita. "Kayaknya kejadian terakhir kali itu, dia tahu kalau aku ke rumah sakit karena mau melakukan tes DNA itu!" beritahu Widia lagi. "Tsk!" Denita mendecakkan lidah dengan kesal. Meski dia tidak mau mengakui ini. Akan tetapi, kemunculan Arkan sebelumnya memang membuatnya was-was. "Lalu bagaimana dengan hasil tes DNA itu?" tanya Denita. Dia beranjak dari kurainya, lalu berjalan mondar-mandir tanpa arah. "Ini aku lagi dalam perjalanan balik. Lagi di atas ojek!" jawab Widia. "Oke deh, aku tunggu kamu!" pungkas Denita sambil memutuskan sambungan telepon. "Arghhh!" teriak Denita dengan frustrasi. Dia mengacak-acak rambutnya yang tergerai hingga berantakan. Apapun hasil dari tes DNA itu, Denita merasa kalau dia tidak akan bisa mempercayainya. "Babe, kamu kenapa?" tany