"Wid, menurut kamu, dia tahu apa yang kamu lakukan nggak?" tanya Denita senewen. "Aku benar-benar tidak tahu. Aku lupa nanya!" jawab Widia. Kening Denita berkerut mendengar jawaban ini. "Lupa nanya? Emang kalian sempat ngobrol-ngobrol dulu?" tanya Denita dengan heran. "Iya. Dia negur aku duluan malah," "Terus kalian membicarakan apa saja?" Denita bertanya dengan kepo. "Dia nanya kenapa aku ada di rumah sakit. Terus aku jawab aja kalau habis jenguk saudara," beritahu Widia. " ... "Terjadi jeda sebentar di antara mereka. Denita sibuk mencerna kerasionalan alasan ini. Tapi bahkan jika alasan ini kedengarannya masuk akal, entah kenapa Denita yakin bahwa Arkan pasti tidak akan menelan mentah-mentah jawaban ini. "Wid, kamu bisa yakin kalau dia percaya dengan alasan itu?" tanya Denita sanksi. "Enggak!" jawab Widia dengan tegas dan mantap.Jawaban itu seketika membuat Denita lesu. Apa misinya ini akan ketahuan? Denita merasa tidak rela. "Nit, kamu pernah cerita kalau Arkan bukan so
Hari ketika waktunya Denita melakukan fitting gaun pengantin akhirnya tiba. Bersama dengan seluruh keluarga Hadiwijaya, dia berangkat menuju 'La boutique' salah satu butik kenamaan yang memang menyediakan gaun pengantin. Baik yang sudah jadi maupun yang bisa di custom. Dalam perjalanan ini, hanya wajah Ibu Herlina yang tampak biasa saja. Sementara yang lain tampak kecut, terutama sekali Salsa. Sesampainya di tempat yang dituju, keluarga Dominic ternyata sudah tiba lebih dulu. "Tante Eve!" panggil Denita girang seraya melangkah cepat ke arah ibunda Dominic itu. "Hai, sayang!" sahut tante Evelyn. Mereka lalu melakukan cipika-cipiki dengan mesra. "Maaf, Tan. Telat!" ujar Denita cengengesan sambil memamerkan gigi putihnya. "Tante juga baru sampai kok," timpal tante Evelyn. "Siang, Jeng Evelyn!" sapa ibu Herlina yang sudah berdiri di samping Denita. "Siang, Jeng Herlina. Aduh nggak nyangka banget ya kalau kita akan menjadi besan!" ujar tante Evelyn dengan girang. Entah serius atau
Dua minggu waktu yang ditunggu Denita dengan penuh rasa was-was akhirnya tiba juga. Begitu dia dihubungi oleh pihak rumah sakit bahwa hasil tes DNA itu telah keluar, Denita menjadi tidak sabar ingin melihatnya. Di saat yang menurutnya paling krusial ini, Denita tidak memiliki banyak pilihan lain selain meminta tolong lagi pada Widia. "Wid, boleh aku minta tolong sekali lagi?" tanya Denita pada sang sahabat yang ada di seberang telepon. "Minta tolong apa?""Hasil tes DNA itu sudah keluar," ucap Denita dengan perasaan tidak enak. Meski dia dan Widia telah lama bersahabat. Namun, dia tetap merasa tidak enak ketika harus meminta tolong berulang kali seperti ini. "Kamu mau minta tolong aku untuk memgambilnya?" tebak Widia. "Iya!" jawab Denita sambil meringis. "Oke!" jawab Widia santai. Tidak ada nada keterpaksaan dalam suaranya. "Maaf, selalu merepotkan kamu," ucap Denita. "Santai aja kali. Jangan sungkan. Nanti giliran aku yang butuh bantuan, aku juga akan merepotkanmu. Dan tidak
"Nit, aku melihat Arkan lagi di rumah sakit!" Informasi dari Widia ini membuat Denita tercengang dari balik meja kerjanya. "Apa? Dia lagi?!" serunya tidak habis pikir. "Untuk apa sih dia ada di rumah sakit?" keluh Denita. "Kayaknya kejadian terakhir kali itu, dia tahu kalau aku ke rumah sakit karena mau melakukan tes DNA itu!" beritahu Widia lagi. "Tsk!" Denita mendecakkan lidah dengan kesal. Meski dia tidak mau mengakui ini. Akan tetapi, kemunculan Arkan sebelumnya memang membuatnya was-was. "Lalu bagaimana dengan hasil tes DNA itu?" tanya Denita. Dia beranjak dari kurainya, lalu berjalan mondar-mandir tanpa arah. "Ini aku lagi dalam perjalanan balik. Lagi di atas ojek!" jawab Widia. "Oke deh, aku tunggu kamu!" pungkas Denita sambil memutuskan sambungan telepon. "Arghhh!" teriak Denita dengan frustrasi. Dia mengacak-acak rambutnya yang tergerai hingga berantakan. Apapun hasil dari tes DNA itu, Denita merasa kalau dia tidak akan bisa mempercayainya. "Babe, kamu kenapa?" tany
Sore ini Denita masih pulang ke rumah mewah tempat kediaman keluarga Hadiwijaya. Entah kebetulan atau tidak, mobil yang dia kendarai memasuki gerbang rumah mewah itu bersamaan dengan mobil milik Arkan yang tampaknya baru pulang juga. Mengingat masalah tes DNA siang tadi, Denita tidak bisa menahan kekesalannya pada Arkan. Namun, dia juga tidak ingin berurusan dengan saudara kandugnnya sendiri itu untuk saat ini. Dia lelah harus berdebat perihal Salsa terus setiap hari. Setelah memutuskan untuk mengabaikan eksistensi Arkan, Denita menyeret langkahnya dengan acuh tak acuh meninggalkan tempat parkir rumah mewah itu. Hanya saja, karena dia tidak ingin berurusan dengan Arkan, bukan berarti pria itu juga memiliki pemikiran yang sama dengannya. "Ikut aku!" ujar Arkan seraya mencekal pergelangan tangan Denita dari belakang. "Kamu apa-apaan sih? Lepaskan aku!" seru Denita memberontak karena tangannya tiba-tiba diseret dengan cara kasar oleh Arkan. "Ikut aku!" sentak Arkan tanpa kompromi. D
Arkan yang masih berdiri bengong di tempatnya menatap punggung Denita hingga hilang dari pandangan. Bertahun-tahun berkutat dalam urusan bisnis, sedikit banyak dia bisa membaca ekspresi yang tersemat di wajah Denita. Dan dia tahu dengan sangat baik kalau adik kandungnya itu pasti tidak akan main-main dengan ucapannya. Antara wanita yang telah melahirkannya atau Salsa? Siapa yang akan dia pilih? Pertanyaan ini membuat Arkan merenung lama. "Tsk! Sialan!" maki Arkan. Setelah merenung lama, dia tidak juga menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Dua orang wanita ini sama-sama memiliki posisi penting di hatinya. Akan tetapi, kepentingan keduanya berbeda. "Mari lihat dulu apa yang bisa dilakukan oleh wanita itu!" gumam Arkan pada diri sendiri. Dia lalu menyeret langkahnya ke dalam rumah mewah itu. "Ma, lagi buat apa?" "Lagi merangkai bunga!" Percakapan yang sampai di telinga Arkan ketika sedang melewati ruang makan membuat kening Arkan berkerut. Entah apa yang menariknya, Arkan tiba-t
Denita tersenyum puas ketika melihat meja makan keluarga Hadiwijaya diisi dengan lobster dan berbagai macam makanan kesukaannya. Untuk yang pertama kalinya, hari ini Denita merasa menang atas Salsa.Mengabaikan ekspresi tak bernafsu Salsa membuat Denita bahkan lebih bahagia. Ternyata begini perasaan yang telah dirasakan Salsa selama bertahun-tahun pikirnya. "Aku nggak nyangka kalau kita benar-benar akan makan lobster malam ini," celetuk Denita ketika melihat menu yang ada di meja makan. Nada bahagianya sama sekali tidak tersamarkan. "Kamu suka?" tanya Ibu Herlina.Denita menanggapi dengan cara mengangguk cepat. "Suka!" jawabnya dengan manja sembari melangkah cepat menuju kursi yang tepat berada di samping Ibu Herlina. "Selalu berisik untuk hal-hal yang tidak perlu!" seloroh Pak Hendra yang sudah mengambil tempat di kepala meja. Denita langsung memasang wajah cemberut mendengar perkataan ini. Dia seharusnya bisa terbiasa dengan sikap dingin dari orang yang disebut ayah kandung ini.
Baik Denita maupun Franda tidak langsung melabrak Rafael dan Salsa begitu dua orang itu telah memasuki restauran. Mereka terlebih dulu membiarkan Rafael dan Salsa mengambil tempat duduk dengan bahagia, lalu memesan makanan, dan tertawa-tawa untuk entah topik apa yang sedang dibicarakan. Denita dan Franda terus mengawasi dua sejoli itu melalui sudut mata dari tempat duduk mereka. "Dia benar-benar tidak tahu malu!" dengus Franda sewot yang langsung dibenarkan Denita di dalam hati. "Lalu sampai kapan rencananya kita menonton mereka di sini?" tanya Denita dalam bisikan lirih. "Tunggu makanan mereka datang. Aku ingin mengguyur mereka berdua dengan apapun makanan yang mereka pesan!" ujar Franda dengan sengit. Bayangan klise ketika Salsa sedang diguyur air langsung bermain dalam benak Denita. Dia sendiri tidak pernah takut untuk melakukan hal itu kepada Salsa, tapi dia belum memiliki kesempatan dan dia juga tidak memiliki alasan yang cukup. Setelah menunggu selama 15 menit lamanya, mak
"Mas, si Dominic sialan itu melaporkan aku ke polisi. Kamu tolong bebaskan aku!" seloroh Bik Ayu sesaat setelah sambungan teleponnya terhubung."Memangnya apalagi yang kamu lakukan?" tanya Pak Hendra dari seberang telepon."Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin melihat anak sialan itu bersenang-senang. Kenapa dia boleh berbahagia, sementara anakku sendiri gila?!" bentak Bik Ayu tanpa memedulikan dimana dia berada. "Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu bisa berakhir di kantor polisi? Aku sudah muak dengan kalian semua. Kamu jangan ganggu aku lagi. Namaku sudah cukup tercoreng gara-gara kamu. Berhubungan denganmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup ini," geram Pak Hendra. Dia lalu menutup telepon tanpa ada niat untuk memperdulikan nasib yang akan menimpa Bik Ayu."Mas Hendra? Mas Hendra!" Bik Ayu berteriak sambil membanting telepon milik kantor polisi. "Ibu tolong tenang!" tegur salah seorang polisi yang bertugas menangani kasusnya."T
Melalui data diri yang dibubuhkan Bik Ayu dalam surat lamaran kerjanya, orang suruhan Dominic terus mencari keberadaan wanita itu. Tentu saja rumah kediaman keluarga Hadiwijaya juga tidak luput dari target pencarian. Pada akhirnya, tidak sulit bagi orang suruhan Dominic untuk menemukan wanita yang sudah membuatnya sangat marah itu. Bik Ayu memang ditemukan di rumah keluarga Hadiwijaya. Dan atas perintah Dominic, wanita itu digelandang dengan paksa menuju kantor polisi. "Lepaskan aku! Ini pemaksaan!" seru Bik Ayu. Dia memberontak dengan keras. Namun, tenaga setengah tuanya tentu saja kalah dengan tenaga para laki-laki suruhan Dominic itu."Lepaskan aku!" teriak Bik Ayu bahkan meski dirinya sudah berada di kantor polisi.Dominic yang sedang membuat laporan hanya menatap sekilas pada wanita yang terlihat menyebalkan itu. "Ini dia orang yang ingin saya laporkan. Dan saya tidak ingin adanya upaya damai. Tolong hukum dia sesuai dengan undang-undang yang berlaku," pungkas Dominic."Apa y
Aksi Dominic yang mengumpulkan para cleaning service di lobi kantor menarik rasa penasaran para karyawan lain mengenai apa yang tengah terjadi.Namun, Dominic tidak mau ambil pusing soal mereka untuk saat ini. Biarkan saja mereka mengatakan apapun yang mereka inginkan. "Berikan data cleaning service yang masih aktif bekerja di sini," tukas Dominic begitu staff HRD di perusahaannya tiba.Tanpa banyak bertanya, sang staff langsung memberikan apa yang diinginkan oleh Dominic. Dia pun langsung melakukan pemindaian cepat pada tumpukan dokumen yang dibawakan padanya. Sampai kemudian matanya menangkap sosok familiar yang membuatnya menggertakkan gigi dengan keras."Ayu Hapsari?!" gumam Dominic dengan marah.Dia pikir musuh bebuyutan istrinya ini sudah menyerah dan kapok mencari masalah dengan mereka. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata wanita ini sedang membuat rencana jahat di bawah hidungnya."Dimana wanita bernama Ayu Hapsari ini?" tanya Damian seraya menatap satu per satu wajah yan
"Dok, bagaimana kondisi istri dan calon anak saya?" "Dok, bagaimana kabar menantu dan cucu saya?""Dok, bagaimana kabar anak dan cucu saya?"Dominic, ibu Herlina dan ibu Evelyn berhamburan menghampiri dokter yang baru saja memberi penanganan pada Denita. Mereka bertiga langsung merongrong sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Melihat wajah khawatir ketiga orang di depannya, sang dokter hanya tersenyum simpul. "Nona Denita baik-baik. Dia hanya terlalu shock dan butuh istirahat yang baik," jawab dokter."Serius, Dok?" tanya Dominic tidak benar-benar lega.Dengan sabar dokter itu mengangguk. "Iya," "Lalu cucu kami gimana, Dok?" tanya ibu Herlina."Bayi di dalam kandungan Nona Denita juga baik-baik saja. Untung langsung segera dibawa ke rumah sakit sehingga dapat dengan cepat ditangani. Jadi kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan," ucap Dokter menjelaskan."Syukurlah,""Terima kasih, Dok!""Iya, sama-sama,"Setelah kepergian dokter yang menangani Denita, baik ibu Herlina dan ibu Ev
Dengan bibir cemberut, Denita keluar dari ruangan Dominic menuju meja kerjanya. Pakaian ganti yang agak sempit membuat setiap pergerakannya menjadi tidak nyaman. Dan karena suasana hati yang tidak terlalu baik, Denita tidak memperhatikan ada tetesan cairan berwarna biru di samping kaki mejanya. Tatkala kakinya menginjak cairan itu, tubuh Denita limbung ke belakang. Dia menjerit dengan panik dan berusaha mencari pegangan. Akan tetapi, tangannya hanya bisa menggapai udara yang kosong. "Arrrrrgggghhhhh!!!" BRUUUK, Suara tubuhnya yang menghantam lantai begitu keras hingga membuat Dominic yang ada di dalam ruang kerjanya terkejut setengah mati. "Denita!" serunya. Tanpa membuang-buang banyak waktu, dia langsung berlari menuju sumber suara. Sosok sang istri yang terbaring di atas lantai sambil memegangi perutnya membuat sepasang netra Dominic membulat lebar. "Denita!" serunya. "Sakiiiitttt," keluh Denita. Air mata menitik deras dari pelupuk matanya. Rasa panik akan bayi di
Setelah masalah Niko selesai, Denita akhirnya bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Dia juga bisa menikmati kehamilannya dalam damai tanpa adanya drama yang berliku-liku. Bahkan diusia kandungan yang sudah menginjak delapan bulan, dia masih semangat bekerja."Babe, kamu berhenti kerja aja ya. Perut kamu sudah mulai buncit. Pergerakan kamu juga sudah tidak luwes lagi. Sebaiknya istirahat di rumah," Ucapan Dominic ini langsung membuat bibir Denita maju beberapa senti. Dia tidak tahu apakah ini karena faktor kehamilan atau bukan. Akan tetapi, dia mulai menerjemahkan kata-kata orang dengan cara yang berbeda. Seperti sekarang ini, dia tiba-tiba merasa bahwa ucapan suaminya memiliki arti yang negatif. "Jadi kamu merasa terganggu karena perutku yang buncit?" tanya Denita dengan nada merajuk. Suaranya bahkan terdengar tercekat seperti sedang menahan tangis."Bukan begitu," tukas Dominic dengan segera. "Aku hanya takut kalau kamu akan kelelahan. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenap
"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan," tegur ibu Herlina. Hatinya belum terketuk untuk membiarkan putra sulungnya yang belum menikah mengadopsi anak orang lain. Apalagi anak itu adalah anak sekaligus cucu dari orang yang paling dia benci sekarang. Kalau boleh dikatakan secara kasar, lebih baik mengadopsi anak dari panti asuhan daripada harus mengadopsi Niko. "Bu~" panggil Arkan. "Bukannya Niko masih punya kakek dan nenek kandung? Kenapa perawatan atas Niko harus menjadi tanggung jawab kamu?" seloroh ibu Herlina. "Kemana nih, selingkuhan kamu?" lanjut ibu Herlina bertanya pada mantan suaminya. "Aku tidak melihatnya Nyonya barumu dari tadi,"" ... "Wajah pak Hendra yang disindir seperti ini seketika berubah menjadi keruh. "Jangan bilang habis manis sepah dibuang?" tebak ibu Herlina dengan asal-asalan. Namun, wajah keruh yang ditunjukkan oleh mantan suaminya itu membuat ibu Herlina diyakinkan oleh tebakannya sendiri. Tawa nyaring pun terlempar keluar dari bibirnya yang dihia
Keesokan hari Denita menghubungi semua orang yang terkait dengan kehidupan Niko. Dia meminta untuk bertemu dengan mereka. Kemudian pada ibu Herlina, Denita menceritakan masalah mengenai anak dari Salsa dan Dimas itu. "Bagaimana keadaan Niko sekarang?" tanya Ibu Herlina. Suaranya terdengar serak seperti sedang menahan tangis. "Aku juga belum tahu, Ma!" jawab Denita. "Makanya aku minta kita semua berkumpul untuk membahas mengenai masalah ini," lanjutnya. "Oke, dimana?" tanya ibu Herlina. "Aku sudah membicarakan ini sama Arkan. Dia minta untuk kita berkumpul di kediaman Hadiwijaya," jawabku. " ... "Keheningan terjadi di seberang sana. Denita sendiri bisa memperkirakan apa yang kiranya sedang dirasakan oleh wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu, ketika dia menyebutkan kediaman Hadiwijaya. "Mama baik-baik aja?" tanya Denita memastikan. "Kalau Mama nggak setuju, nanti kita bahas lagi enaknya bertemu dimana," lanjutnya kemudian. "Mama baik-baik aja kok. Ayo segera kita bahas
Denita yang terlanjur berpikir bahwa hidupnya akan menjadi damai setelah Salsa dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa ternyata salah besar. Di tengah malam, ketika dia sedang tertidur nyenyak bersama Dominic, ponsel yang dia letakkan di atas nakas samping tempat tidur berdering nyaring. "Hermm," Denita menggeram pelan dengan alis yang berkerut di dalam tidurnya. Dengan mata setengah terpejam, Denita meraba nakas yang ada di samping tempat tidurnya untuk mencari benda pipih yang mengeluarkan suara ribut-ribut itu. Tanpa melihat nama orang tidak sopan yang menghubunginya tengah malam begini, Denita menjawab panggilan telepon itu dengan sedikit kesal. "Halo!" jawab Denita dengan nada ketus. "Nit, ini Angga," sapa orang dari seberang. Dengan kening yang berkerut semakin dalam, Denita terdiam sementara untuk mencerna suara orang di seberang. Dia yakin bahwa dia sedang tidak bermimpi, tapi kenapa Angga meneleponnya? " ... "Denita terdiam tidak menanggapi untuk waktu yang lama. Baginya