Hari ketika waktunya Denita melakukan fitting gaun pengantin akhirnya tiba. Bersama dengan seluruh keluarga Hadiwijaya, dia berangkat menuju 'La boutique' salah satu butik kenamaan yang memang menyediakan gaun pengantin. Baik yang sudah jadi maupun yang bisa di custom. Dalam perjalanan ini, hanya wajah Ibu Herlina yang tampak biasa saja. Sementara yang lain tampak kecut, terutama sekali Salsa. Sesampainya di tempat yang dituju, keluarga Dominic ternyata sudah tiba lebih dulu. "Tante Eve!" panggil Denita girang seraya melangkah cepat ke arah ibunda Dominic itu. "Hai, sayang!" sahut tante Evelyn. Mereka lalu melakukan cipika-cipiki dengan mesra. "Maaf, Tan. Telat!" ujar Denita cengengesan sambil memamerkan gigi putihnya. "Tante juga baru sampai kok," timpal tante Evelyn. "Siang, Jeng Evelyn!" sapa ibu Herlina yang sudah berdiri di samping Denita. "Siang, Jeng Herlina. Aduh nggak nyangka banget ya kalau kita akan menjadi besan!" ujar tante Evelyn dengan girang. Entah serius atau
Dua minggu waktu yang ditunggu Denita dengan penuh rasa was-was akhirnya tiba juga. Begitu dia dihubungi oleh pihak rumah sakit bahwa hasil tes DNA itu telah keluar, Denita menjadi tidak sabar ingin melihatnya. Di saat yang menurutnya paling krusial ini, Denita tidak memiliki banyak pilihan lain selain meminta tolong lagi pada Widia. "Wid, boleh aku minta tolong sekali lagi?" tanya Denita pada sang sahabat yang ada di seberang telepon. "Minta tolong apa?""Hasil tes DNA itu sudah keluar," ucap Denita dengan perasaan tidak enak. Meski dia dan Widia telah lama bersahabat. Namun, dia tetap merasa tidak enak ketika harus meminta tolong berulang kali seperti ini. "Kamu mau minta tolong aku untuk memgambilnya?" tebak Widia. "Iya!" jawab Denita sambil meringis. "Oke!" jawab Widia santai. Tidak ada nada keterpaksaan dalam suaranya. "Maaf, selalu merepotkan kamu," ucap Denita. "Santai aja kali. Jangan sungkan. Nanti giliran aku yang butuh bantuan, aku juga akan merepotkanmu. Dan tidak
"Nit, aku melihat Arkan lagi di rumah sakit!" Informasi dari Widia ini membuat Denita tercengang dari balik meja kerjanya. "Apa? Dia lagi?!" serunya tidak habis pikir. "Untuk apa sih dia ada di rumah sakit?" keluh Denita. "Kayaknya kejadian terakhir kali itu, dia tahu kalau aku ke rumah sakit karena mau melakukan tes DNA itu!" beritahu Widia lagi. "Tsk!" Denita mendecakkan lidah dengan kesal. Meski dia tidak mau mengakui ini. Akan tetapi, kemunculan Arkan sebelumnya memang membuatnya was-was. "Lalu bagaimana dengan hasil tes DNA itu?" tanya Denita. Dia beranjak dari kurainya, lalu berjalan mondar-mandir tanpa arah. "Ini aku lagi dalam perjalanan balik. Lagi di atas ojek!" jawab Widia. "Oke deh, aku tunggu kamu!" pungkas Denita sambil memutuskan sambungan telepon. "Arghhh!" teriak Denita dengan frustrasi. Dia mengacak-acak rambutnya yang tergerai hingga berantakan. Apapun hasil dari tes DNA itu, Denita merasa kalau dia tidak akan bisa mempercayainya. "Babe, kamu kenapa?" tany
Sore ini Denita masih pulang ke rumah mewah tempat kediaman keluarga Hadiwijaya. Entah kebetulan atau tidak, mobil yang dia kendarai memasuki gerbang rumah mewah itu bersamaan dengan mobil milik Arkan yang tampaknya baru pulang juga. Mengingat masalah tes DNA siang tadi, Denita tidak bisa menahan kekesalannya pada Arkan. Namun, dia juga tidak ingin berurusan dengan saudara kandugnnya sendiri itu untuk saat ini. Dia lelah harus berdebat perihal Salsa terus setiap hari. Setelah memutuskan untuk mengabaikan eksistensi Arkan, Denita menyeret langkahnya dengan acuh tak acuh meninggalkan tempat parkir rumah mewah itu. Hanya saja, karena dia tidak ingin berurusan dengan Arkan, bukan berarti pria itu juga memiliki pemikiran yang sama dengannya. "Ikut aku!" ujar Arkan seraya mencekal pergelangan tangan Denita dari belakang. "Kamu apa-apaan sih? Lepaskan aku!" seru Denita memberontak karena tangannya tiba-tiba diseret dengan cara kasar oleh Arkan. "Ikut aku!" sentak Arkan tanpa kompromi. D
Arkan yang masih berdiri bengong di tempatnya menatap punggung Denita hingga hilang dari pandangan. Bertahun-tahun berkutat dalam urusan bisnis, sedikit banyak dia bisa membaca ekspresi yang tersemat di wajah Denita. Dan dia tahu dengan sangat baik kalau adik kandungnya itu pasti tidak akan main-main dengan ucapannya. Antara wanita yang telah melahirkannya atau Salsa? Siapa yang akan dia pilih? Pertanyaan ini membuat Arkan merenung lama. "Tsk! Sialan!" maki Arkan. Setelah merenung lama, dia tidak juga menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Dua orang wanita ini sama-sama memiliki posisi penting di hatinya. Akan tetapi, kepentingan keduanya berbeda. "Mari lihat dulu apa yang bisa dilakukan oleh wanita itu!" gumam Arkan pada diri sendiri. Dia lalu menyeret langkahnya ke dalam rumah mewah itu. "Ma, lagi buat apa?" "Lagi merangkai bunga!" Percakapan yang sampai di telinga Arkan ketika sedang melewati ruang makan membuat kening Arkan berkerut. Entah apa yang menariknya, Arkan tiba-t
Denita tersenyum puas ketika melihat meja makan keluarga Hadiwijaya diisi dengan lobster dan berbagai macam makanan kesukaannya. Untuk yang pertama kalinya, hari ini Denita merasa menang atas Salsa.Mengabaikan ekspresi tak bernafsu Salsa membuat Denita bahkan lebih bahagia. Ternyata begini perasaan yang telah dirasakan Salsa selama bertahun-tahun pikirnya. "Aku nggak nyangka kalau kita benar-benar akan makan lobster malam ini," celetuk Denita ketika melihat menu yang ada di meja makan. Nada bahagianya sama sekali tidak tersamarkan. "Kamu suka?" tanya Ibu Herlina.Denita menanggapi dengan cara mengangguk cepat. "Suka!" jawabnya dengan manja sembari melangkah cepat menuju kursi yang tepat berada di samping Ibu Herlina. "Selalu berisik untuk hal-hal yang tidak perlu!" seloroh Pak Hendra yang sudah mengambil tempat di kepala meja. Denita langsung memasang wajah cemberut mendengar perkataan ini. Dia seharusnya bisa terbiasa dengan sikap dingin dari orang yang disebut ayah kandung ini.
Baik Denita maupun Franda tidak langsung melabrak Rafael dan Salsa begitu dua orang itu telah memasuki restauran. Mereka terlebih dulu membiarkan Rafael dan Salsa mengambil tempat duduk dengan bahagia, lalu memesan makanan, dan tertawa-tawa untuk entah topik apa yang sedang dibicarakan. Denita dan Franda terus mengawasi dua sejoli itu melalui sudut mata dari tempat duduk mereka. "Dia benar-benar tidak tahu malu!" dengus Franda sewot yang langsung dibenarkan Denita di dalam hati. "Lalu sampai kapan rencananya kita menonton mereka di sini?" tanya Denita dalam bisikan lirih. "Tunggu makanan mereka datang. Aku ingin mengguyur mereka berdua dengan apapun makanan yang mereka pesan!" ujar Franda dengan sengit. Bayangan klise ketika Salsa sedang diguyur air langsung bermain dalam benak Denita. Dia sendiri tidak pernah takut untuk melakukan hal itu kepada Salsa, tapi dia belum memiliki kesempatan dan dia juga tidak memiliki alasan yang cukup. Setelah menunggu selama 15 menit lamanya, mak
"Are you ok?" Denita bertanya basa-basi begitu dia tersadar dari keterpanaan atas insiden yang menimpa Franda baru saja. Sorot matanya menunjukkan keperihatinan yang sangat jelas. Sebagai tanggapan atas perkataan Denita itu, Franda otomatis terkekeh pelan. "Basa-basimu terlalu basi," ujarnya. Denita seketika meringis. Dia juga tahu ini. Akan tetapi, dia tidak bisa memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan pada Franda dalam kondisi seperti ini. "Aku mau pulang. Kamu bagaimana?" tanya Franda setelah kecanggungan yang kaku di antara mereka. "Aku harus kembali ke kantor!" ujar Denita seraya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Oke. Kalau begitu, sampai jumpa kapan-kapan!" ucap Franda seraya melangkah menuju pintu masuk Restauran. Ditinggalkan sendirian, Denita melirik pada meja yang tadi dia duduki bersama Franda. Meja kosong itu membuatnya kembali meringis saat mengingat bahwa dia bahkan belum meneguk air barang setetes pun selama berada di tempat ini. Bahka