Melalui data diri yang dibubuhkan Bik Ayu dalam surat lamaran kerjanya, orang suruhan Dominic terus mencari keberadaan wanita itu. Tentu saja rumah kediaman keluarga Hadiwijaya juga tidak luput dari target pencarian. Pada akhirnya, tidak sulit bagi orang suruhan Dominic untuk menemukan wanita yang sudah membuatnya sangat marah itu. Bik Ayu memang ditemukan di rumah keluarga Hadiwijaya. Dan atas perintah Dominic, wanita itu digelandang dengan paksa menuju kantor polisi. "Lepaskan aku! Ini pemaksaan!" seru Bik Ayu. Dia memberontak dengan keras. Namun, tenaga setengah tuanya tentu saja kalah dengan tenaga para laki-laki suruhan Dominic itu."Lepaskan aku!" teriak Bik Ayu bahkan meski dirinya sudah berada di kantor polisi.Dominic yang sedang membuat laporan hanya menatap sekilas pada wanita yang terlihat menyebalkan itu. "Ini dia orang yang ingin saya laporkan. Dan saya tidak ingin adanya upaya damai. Tolong hukum dia sesuai dengan undang-undang yang berlaku," pungkas Dominic."Apa y
"Mas, si Dominic sialan itu melaporkan aku ke polisi. Kamu tolong bebaskan aku!" seloroh Bik Ayu sesaat setelah sambungan teleponnya terhubung."Memangnya apalagi yang kamu lakukan?" tanya Pak Hendra dari seberang telepon."Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin melihat anak sialan itu bersenang-senang. Kenapa dia boleh berbahagia, sementara anakku sendiri gila?!" bentak Bik Ayu tanpa memedulikan dimana dia berada. "Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu bisa berakhir di kantor polisi? Aku sudah muak dengan kalian semua. Kamu jangan ganggu aku lagi. Namaku sudah cukup tercoreng gara-gara kamu. Berhubungan denganmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup ini," geram Pak Hendra. Dia lalu menutup telepon tanpa ada niat untuk memperdulikan nasib yang akan menimpa Bik Ayu."Mas Hendra? Mas Hendra!" Bik Ayu berteriak sambil membanting telepon milik kantor polisi. "Ibu tolong tenang!" tegur salah seorang polisi yang bertugas menangani kasusnya."T
"Kamu udah janji sama aku, kalo kamu gak akan deketin Mas Angga lagi!"Setelah teriakan penuh amarah itu terdengar, sebuah vas bunga melayang, kemudian mendarat dengan mulus di dahi Denita yang baru saja memasuki pintu ruang tamu. Praaang! Setelah menghantam dahi Denita, vas bunga itu langsung jatuh begitu saja ke atas lantai yang dingin. Sepasang bola mata Denita seketika membelalak kaget. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dia akan menerima sambutan semacam ini setibanya di rumah. Jemari kiri Denita yang gemetar perlahan menyentuh dahi yang perlahan mulai terasa nyeri, hanya untuk mengetahui darah kental sudah menodai ujung jemarinya. Beberapa saat lamanya, Denita hanya berdiri dengan terpana menatap ujung jarinya yang diwarnai merah cerah. Dia juga membutuhkan waktu sekian menit untuk menelaah apa yang baru saja terjadi. Pikirannya kosong, dan jantungnya berdegup dengan liar akibat berbagai macam emosi yang tiba-tiba melanda. "Dasar pelakor!"Denita perlahan mengangk
Sepasang bola mata Denita bergerak-gerak di balik kelopak matanya sebelum kemudian terbuka secara perlahan. Denita harus menyipitkan matanya terlebih dulu untuk menyesuaikan diri dengan berkas cahaya silau yang memasuki penglihatannya. Begitu matanya mulai bisa beradaptasi, Denita membuka mata sepenuhnya. Sepasang manik hitamnya langsung bersirobok dengan manik coklat terang milik seorang pria tak dikenal yang berdiri di samping ranjangnya. Melihat sosok tak dikenal ini, Denita linglung untuk sementara waktu. "Aku dimana?" tanyanya dengan suara tercekat parau. "Rumah sakit!" jawab pria bermata coklat itu acuh tak acuh. Denita bangkit perlahan dari posisinya yang berbaring. Dia menatap pada selang infus di tangan. Lalu pada gorden yang terpasang di sekeliling ranjang. Ada juga aroma desinfektan khas rumah sakit yang juga memasuki indera penciumannya. Segera Denita diyakinkan bahwa dia memang benar ada di rumah sakit. "Terima kasih," ucap Denita dengan tulus. " ... "Pria bermata
"Hahaha! Pengemis cinta adalah julukan paling pas buat dia!"Denita yang baru saja tiba di rumah, dan sedang melangkah menuju anak tangga, sayup-sayup mendengar suara Salsa dari arah meja makan. Tadinya Denita ingin mengabaikannya. Dia tidak mau tahu dengan siapapun wanita itu berbicara. Akan tetapi, baru setengah anak tangga dia pijak, suara Salsa telah lebih dulu mengintrupsinya. "Masih punya nyali juga kamu untuk kembali!" sindir Salsa. " ... " Denita terdiam sengaja tidak menanggapi. Dia sudah terlalu lelah untuk menarik urat dengan Salsa di jam sekarang ini. "Coba kamu lihat sekeliling kamu! Tidak ada yang peduli sama kamu tuh!" lanjut Salsa memprovokasi. Nada kemenangan bahkan terdengar sangat kental keluar dari bibirnya. " ... "Denita masih terdiam. Tapi dari sudut matanya, dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah yang sudah gelap dan sepi. Tentu saja dia tahu bahwa tidak ada yang peduli padanya, tapi diingatkan secara gamblang seperti ini membuat hati Denita tet
Pasca insiden semalam, hari ini Denita memutuskan untuk berangkat kerja lebih awal daripada biasanya, sebab dia tidak mau berpapasan dengan yang dinamakan keluarga. Selain itu, sebagai seorang sekertaris, dia juga masih harus menyortir beberapa pekerjaan yang akan dipindahtangankan kepada CEO baru perusahaan tempatnya bekerja. Sambil berjalan menuju mobil CRV putih miliknya, Denita terus mencoba menghubungi Angga. Tapi lagi-lagi, dia hanya dibalas oleh operator yang mengatakan bahwa sang pemilik ponsel sedang sibuk. "Dia kemana aja sih?" dumel Denita. Hatinya mulai terasa pengap karena firasat tak nyaman yang kembali merajai hatinya. Dia tidak percaya kalau Angga sama sekali tidak melihat belasan panggilan darinya sejak semalam. "Sesibuk itukah?" tanya Denita lagi pada diri sendiri. Bukannya dia tidak ingin mengerti akan kesibukan Angga yang sedang merintis perusahaan startup-nya sendiri. Hanya saja, beberapa waktu belakangan ini, Denita memang mulai merasa ada sesuatu yang berub
"Aruna Basagita! Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Denita pada pelaku wanita yang baru saja menyiramkan air kotor padanya. Prok Prok Prok, Bukannya menjawab pertanyaan Denita, wanita bernama Aruna itu malah bertepuk tangan dengan girang. Sembari bertepuk tangan, dia terus melangkah setapak demi setapak untuk mempersempit jarak di antara mereka. "Wow!""Aku tidak menyangka kalau pelakor murahan seperti kamu masih memiliki wajah untuk ditunjukkan di depan umum, terutama setelah apa yang kamu lakukan pada sahabatku. Benar-benar tidak tahu malu!" hujat Aruna sambil menatap Denita dengan pandangan jijik. Karena terus dipojokkan dengan kata pelakor, Denita mulai tidak tahan. Dia mengunyah gerahamnya dengan keras. Jari jemari yang tergantung di kedua sisi tubuhnya pun mengepal erat. "Kenapa harus malu? Bukannya sahabatmu itu yang mengambil pacarku duluan agar bisa memberi status pada bayi yang dia kandung di luar pernikahan?" sanggah Denita acuh tak acuh. Senyum menyeringai seketika
"Arkana Hadiwijaya. Masih belum menyerah juga?" tanya Dominic dengan nada dingin. Dia bahkan tidak repot-repot untuk mengajak pria itu masuk ke dalam ruangannya untuk menjamu tamu tak diundang ini. "Kecuali kamu berhenti menjadi pengecut, baru aku berhenti meneror hidupmu!" desis Arkan sengit. Dominic menggelengkan kepalanya dengan geli. "Ayolah Arkan, ini memalukan. Kita semua tahu kebenarannya!" ujar Dominic menimpali."Kebenaran apa?" "Kebenaran bahwa yang menghamili Salsa adalah kamu! Kenapa masih ngotot memaksa aku untuk tanggung jawab?" "Aku tidak pernah menghamili Salsa!" bantah Arkan dengan sengit. Dia menekan setiap kata yang diucapkan itu dengan berat. "Ck ck ck! Lantas apa yang membuat kamu begitu yakin kalau aku adalah orang yang menghamili Salsa?" tanya Dominic.Empat tahun dikejar oleh orang ini membuat Dominic benar-benar kelelahan. Terlebih lagi karena pria ini meminta hal yang tidak bisa dia lakukan. Mendengar tuduhan bahwa dia akan menjadi seorang ayah saja sudah