"Arkana Hadiwijaya. Masih belum menyerah juga?" tanya Dominic dengan nada dingin. Dia bahkan tidak repot-repot untuk mengajak pria itu masuk ke dalam ruangannya untuk menjamu tamu tak diundang ini.
"Kecuali kamu berhenti menjadi pengecut, baru aku berhenti meneror hidupmu!" desis Arkan sengit.Dominic menggelengkan kepalanya dengan geli. "Ayolah Arkan, ini memalukan. Kita semua tahu kebenarannya!" ujar Dominic menimpali."Kebenaran apa?""Kebenaran bahwa yang menghamili Salsa adalah kamu! Kenapa masih ngotot memaksa aku untuk tanggung jawab?""Aku tidak pernah menghamili Salsa!" bantah Arkan dengan sengit. Dia menekan setiap kata yang diucapkan itu dengan berat."Ck ck ck! Lantas apa yang membuat kamu begitu yakin kalau aku adalah orang yang menghamili Salsa?" tanya Dominic.Empat tahun dikejar oleh orang ini membuat Dominic benar-benar kelelahan. Terlebih lagi karena pria ini meminta hal yang tidak bisa dia lakukan. Mendengar tuduhan bahwa dia akan menjadi seorang ayah saja sudah cukup mengerikan baginya. Apalagi jika ditambah dengan permintaan bahwa dia harus menikahi si ibu yang sama sekali tidak pernah dia sentuh.'Bedebah sialan!' maki Dominic dalam hati."Karena Salsa mengatakan bahwa kamu pelakunya, maka kamu adalah pelakunya!" geram Arkan.Dominic memutar matanya dengan dramatis. "Aduuh, Dude. Kenapa perkataan Salsa selalu kamu jadikan kebenaran mutlak, hm?"Inilah hal yang membuat Dominic paling tidak habis pikir. Pria pintar seperti Arkana Hadiwijaya ini kepalanya tiba-tiba tertutup kotoran untuk segala hal yang berhubungan dengan Salsa."Karena Salsa tidak mungkin berbohong!" desis Arkan dengan percaya diri."Dia tumbuh di sisiku. Jadi aku tahu betul dia orang yang seperti apa!" lanjut Arkan.Dominic lagi-lagi memutar matanya terang-terangan mendengar perkataan tanpa dasar ini. Seingatnya, Salsa sama-sama manusia seperti dirinya, bukan malaikat suci yang bebas dari kesalahan. Apalagi sekecil kebohongan yang bisa dilakukan dengan hanya menyemburkan ludah."Cinta kamu itu benar-benar buta Arkan!" ucap Dominic dengan santai sambil menggelengkan kepalanya dengan miris."Coba katakan ini di depan semua orang yang datang ke pesta malam itu. Apa kamu pikir mereka akan percaya dengan semua tuduhan kamu ini? Apa kamu tidak tahu bahwa sikap kamu ini menjadi lelucon besar bagi mereka semua? Jelas-jelas kamu orang satu-satunya yang keluar dari kamar Salsa di pagi hari," lanjut Dominic sambil mendengus lucu." ... ""Semua orang sudah berbaik hati untuk tidak berkoar-koar mengenai masalah ini. Tapi kenapa kamu dengan bodohnya masih terus mengungkit masalah ini?" tanya Dominic tidak habis pikir." ... ""Bung, lebih baik kamu cari kesibukan lain. Jangan terus mengejarku. Nanti orang-orang bisa salah paham. Asal kamu tahu, aku masih menyukai wanita!" sambung Dominic setelah Arkan tak kunjung membalas ucapannya."Salsa masih mencintaimu!" ujar Arkan mengabaikan seluruh perkataan Dominic." ... "Kali ini, Dominic yang terdiam. Apa yang harus dia lakukan dengan sekelumit informasi tidak penting ini?"Aku tidak mencintainya!" tegas Dominic masa bodoh."Kenapa?"Jika tidak mengingat wibawanya, Dominic akan menjambak rambutnya sendiri karena frustrasi sekarang juga. Dia tidak akan memungkiri bahwa dia bangga ketika ditatap penuh kagum oleh lawan jenis. Terkadang dia juga akan merasa tergelitik ketika seorang lawan jenis mengabaikan eksistensinya yang tampan dan rupawan.Tapi satu hal yang pasti, jika seseorang mencintainya, dia tidak memiliki kewajiban untuk membalas cinta orang tersebut, bukan?"Karena aku tidak mencintainya. Apakah begini saja butuh alasan?" timpal Dominic."Apa kurangnya Salsa?" tanya Arkan yang tidak puas dengan jawaban Dominic itu.Dominic memutar matanya untuk yang kesekian kalinya hari ini. Meskipun banyak wanita pernah berakhir di atas ranjangnya, Dominic selalu menekankan pada mereka bahwa dia tidak akan bertanggungjawab atas apapun yang terjadi. Dia memberikan peringatan itu diawal, sebelum dia memulai hubungan apapun dengan wanita manapun.Dia brengsek? Persetan!Mereka sendiri yang mencari penyakit dengan cara menyetujui persyaratan yang dia ajukan.Tetapi, di antara wanita-wanita itu, Salsabila Hadiwijaya tidak pernah menjadi salah satunya. Dia tentu tahu bahwa wanita yang selalu menunjukkan sikap anggun, dan elegan itu menaruh hati padanya.Sayang sekali, Dominic tidak memiliki keinginan untuk berkomitmen dengan wanita manapun. Maka, orang-orang yang mengejar komitmen seperti Salsabila Hadiwijaya tidak akan pernah ada dalam ruang lingkup perhatian Dominic."Hanya sesederhana Salsa bukanlah tipeku!" jawab Dominic sambil mengendikkan bahu acuh tak acuh."Kamu bilang apa?" tanya Arkan dengan nada tidak percaya pada alasan yang disebutkan Dominic."Salsa bukan tipeku!" ulang Dominic lagi dengan sabar."Salsa cantik, baik, pintar dan dia juga mandiri. Tidak mungkin kalau dia tidak menjadi tipemu!" seru Arkan ngotot. Baginya, tidak mungkin ada pria normal yang tidak menyukai Salsa."Keluguannya terlalu dibuat-buat. Selain itu, dia juga tidak seksi!" jawab Dominic terus terang.Arkan yang mendengar jawaban ini entah kenapa menjadi tidak terima."Brengsek!" makinya kesal sambil merangsek maju ingin memukul Dominic dengan tinjunya.Melihat gelagat yang sudah familiar ini, Dominic menahan dengan sigap kepalan tangan Arkan yang melayang ke arahnya. Dia lalu menghempaskannya dengan kasar.Sebelum Arkan sempat bereaksi, Dominic dengan tidak sabar balas melayangkan bogeman mentah ke wajah tampan Arkan. Hingga pria itu jatuh tersungkur di atas lantai marmernya yang dingin."Bung, mau sampai kapan kamu seperti ini. Salsa juga sudah menikah 'kan? Lalu apalagi? Semua orang memiliki kesukaannya sendiri. Begitu juga dengan aku! Kamu sama sekali tidak memiliki hak untuk ikut campur!" seru Dominic sambil berkacak pinggang di depan Arkan yang perlahan bangkit."Gara-gara kejadian empat tahun lalu, Salsa hampir gila!" ujar Arkan kembali mendesis. Tapi kali ini ada nada tercekat dalam suaranya."Lalu urusannya denganku apa?" tanya Dominic tidak peduli."Tidak bisa 'kah kamu menikah dengannya saja?" pinta Arkan. Suaranya hampir terdengar memelas.Dominic mendengus. "Lalu mau diapakan suaminya?" tanya Dominic tak habis pikir."Selama kamu mau, segalanya bisa diatur!" pungkas Arkan semakin tak masuk akal.Dominic menggertakkan giginya dengan marah. Diraihnya kerah kemeja Arkan kuat-kuat."Hei, Bung. Kamu pikir aku ini apa? Apa kamu pikir statusku lebih rendah darimu, lantas kamu ingin berlaku seenaknya?" geram Dominic.Arkan menepis kasar cengkraman tangan Dominic dari kerah kemejanya. "Pokoknya aku tidak akan berhenti sampai kamu setuju untuk menikah dengan Salsa!" ujar Arkan dengan ngotot sambil menghapus darah di sudut bibirnya.Tanpa menunggu balasan dari Dominic, Arkan hendak menyeret langkahnya untuk meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, matanya terlebih dulu bersirobok dengan tatapan terkejut Denita yang sejak tadi diam menyimak perdebatan mereka."Cih!" Arkan mendengus sinis pada Denita. Dia kemudian berjalan lurus menuju lift yang tidak terlalu jauh."Jangan menyebarkan apapun yang baru saja kamu dengar!" ujar Dominic memperingatkan." ... "Denita sama sekali tidak menanggapi. Kepalanya sibuk mencerna kata demi kata yang dia dengar terlontar dari perdebatan Arkan dan Dominic. Sepasang netra Denita lalu mengerjap lambat dan lama. Dia bahkan tidak menyadari bahwa Dominic sudah masuk ke dalam ruangannya sendiri.Menit demi menit pun terlewati, tapi Denita belum juga beranjak dari tempatnya. Sebab, potongan informasi penting perlahan mulai tersusun di dalam benaknya. Sekarang dia akhirnya tahu asal mula dari nasib naasnya sendiri."Salsa sialan!" maki Denita lebih kesal ketika mengingat musuh bebuyutannya itu."Kenapa semua orang ingin melindungi, dan menjamin kebahagiaannya sih!" lanjut Denita merutuk tak suka.Nafas Denita lantas naik turun dengan cepat karena hatinya kembali diselimuti kemarahan dan kebencian pada Salsa. Dia lalu menatap pintu ruangan Dominic yang sudah tertutup rapat.Seolah ada bohlam lampu yang menyala di kepalanya, Denita bergegas memasuki ruangan Dominic. Bahkan tanpa mengetuk pintu lebih dulu.Denita pikir, jika Angga benar mengkhianatinya, maka dia harus memberi pelajaran pada mereka semua. Caranya, dengan mendapatkan apa yang tidak bisa didapatkan oleh wanita itu."Pak, ayo kita nikah!" sambar Denita begitu kakinya menjejak di dalam ruangan Dominic.* * *"Arkan brengsek!"Dominic menggebrak meja kerjanya dengan keras hingga benda-benda yang ada di atas meja itu turut bergetar. Berberapa bahkan berjatuhan ke lantai. Dominic paling benci dengan cara Arkan berbicara padanya, yang seolah ingin mendominasi dirinya. Apa pula katanya tadi? Dia itu tidak akan berhenti sebelum Dominic bersedia menikah dengan Salsa? Apakah orang itu berpikir bahwa dia bisa diancam dengan cara ini? "Arkan sialan!" geram Dominic sekali lagi. Dia tidak pernah takut pada Arkan, tapi dia risih setengah mati pada pria itu. Sudah empat tahun berlalu, tapi pria itu masih betah menjadi ekor kecil di belakangnya. Kemanapun Dominic pergi, pria itu pasti bisa menemukannya. Kemudian hal yang terjadi selanjutnya adalah, pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa dia tidak mencintai Salsa? Kenapa dia tidak mau menikah dengan Salsa akan terus berulang. Jika terus seperti ini, dia bisa-bisa jadi gila! Nafas Dominic memburu naik turun dengan cepat akibat kemarahan yang belum mere
Tok Tok Tok, Denita melayangkan kepalan tangan ringan di atas daun pintu ruangan sang Presdir. "Masuk!" perintah suara dari dalam. "Bapak memanggil saya?" tanya Denita formal dengan tangan terlipat di atas perut begitu dia tiba di dalam ruangan Dominic. Terlepas dari ajakan beraninya hampir satu jam yang lalu, Denita tetap berupaya untuk menarik batas yang jelas antara persoalan pribadi dan pekerjaan. Saat ini adalah jam kerja, jadi dia harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk tetap bersikap profesional. " ... "Namun, hening. Dominic tidak segera mengutarakan kenapa dia memanggil Denita ke ruangan ini. Pria itu terus membiarkan Denita berdiri keki di seberang meja kerjanya entah untuk berapa menit lamanya. "Maaf... ""Kamu benar-benar berselingkuh dengan suami orang? Suaminya Salsa?"Denita yang baru saja akan mulai mengajukan tanya langsung dibungkam oleh pertanyaan yang lebih dulu diutarakan oleh Dominic. " ... "Denita hanya bisa kembali diam. Dia lalu menatap lamat-lama
Udara panas yang terjalin di sekitar mereka membuat Denita merasa tak tertahankan. Dia bahkan harus menggigit bibir bawahnya keras-keras agar kakinya tetap menapak bumi. Dia tidak mau terlihat seperti wanita murahan yang gampang tergoda. "Ekhm!""Ini masih jam kerja, Pak!" ujar Denita memberanikan diri untuk mengingatkan. "Aku tahu!" jawab Dominic santai. "Lalu... ""Lalu?"Dominic menjauhkan tubuhnya sedikit dari Denita. Dia kemudian mengendikkan bahu dengan jenaka. "Mungkin aku harus menunggu sampai kita sah menjadi suami istri," celetuk Dominic seraya menatap pada Denita dengan penuh arti. Denita yang ditatap sedemikian rupa hampir tersedak ludah sendiri ketika mendengar ucapan Dominic. Dia lebih dari sekedar mengerti mengenai hendak mengarah ke mana kata-kata Presdir baru di depannya ini. "Kalau begitu, saya bisa melanjutkan pekerjaan dulu?" tanya Denita berniat mengalihkan pembicaraan. "Tapi kamu belum menyetujui kondisi yang aku sebutkan tadi," tutur Dominic. Kata-kata ini
Denita mendorong tubuh Dominic dengan sekuat tenaga kemudian bergegas keluar dari lift, dan langsung menyeret Widia dengan langkah cepat setengah berlari. Mereka mengambil langkah seribu, menjauh dari Dominic yang menatap kepergian mereka dengan seringaian nakal. "Kamu jangan mikir macem-macem!" desis Denita memperingatkan Widia saat mereka sudah berada di luar gedung perusahaan. Jantungnya masih berdetak kencang. Dan nafasnya terus memburu dengan gila. "Aku gak mikir apa-apa tuh!" Widia menggelengkan kepala pelan.Blush,Wajah Denita berubah semerah kepiting rebus saat melihat Widia menaik-turunkan alisnya dengan jail. "Tsk, pokoknya aku gak ada hubungannya dengan pria mesum itu!" Denita menukas memperingatkan. Widia yang tidak percaya semakin melemparkan kerlingan nakal. Tanyakan saja pada siapapun. Jika kalian melihat dua insan berbeda kelamin menempel hampir seperti tak terpisahkan, bisakah kalian tidak berpikir ada yang macam-macam? "Ada juga gak apa-apa kok," ucap Widia."Po
Denita mendecakkan lidah tak nyaman setelah menyesap minuman beralkohol yang sengaja dia pesan untuk menemaninya malam ini. Dia juga sesekali mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah untuk mencari sosok bosnya itu. Namun, belum juga terlihat batang hidungnya. "Angga nelepon kamu tuh!" Widia menyenggol bahu Denita pelan sambil setengah berteriak di tengah kebisingan. Denita yang tadinya masih sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut, perlahan mengalihkan perhatiannya pada telepon genggam yang berkedip-kedip tanpa bosan di atas meja. Ada nama Angga yang terpampang pada layar. "Halo!" jawab Denita setelah melakukan peperangan singkat dengan batinnya terkait apakah dia harus mengangkat telepon ini atau tidak. “Kamu dimana? Gak pulang?” tanya Angga perhatian. " ... " Denita mendengus dalam hati. Entah kenapa, pertanyaan sederhana ini justru membuat jantung Denita terasa semakin diremas-remas menyesakkan. Apalagi saat mendengar kalimat tanya yang disampaikan dengan begitu lembu
Setelah mengendarai mobil Rolls Royce warna hitamnya dengan kalap, Dominic akhirnya tiba di Penthouse mewahnya yang tepat berada di tengah-tengah kota.Denita yang diajak ke tempat mewah ini tidak memiliki waktu untuk hanya sekedar mengagumi kemegahan tempat ini. Sebab, dia terlalu sibuk mengimbangi ciuman penuh gairah dari sang bos. Jika saja mereka tidak membutuhkan udara untuk bernafas, mereka tidak akan berhenti dari aktivitas ini walau hanya sesaat. "Hosh!""Hosh!""Hosh!"Suara tarikan, dan hembusan nafas yang memburu memenuhi ruang tamu di Penthouse mewah itu, membentuk harmoni dengan detak jarum jam di dinding. "Kamu yakin?" tanya Dominic pada Denita dari sela-sela nafas yang naik turun tak beraturan. Dia ingin memastikan sekali lagi kesanggupan wanita di hadapannya. Dari dulu hingga sekarang, Dominic paling anti menjalin hubungan tanpa consent. Dia harus memastikan bahwa wanita yang hendak berhubungan dengannya, melakukannya secara sukarela. Tanpa banyak kata, Denita mele
Suara dering jam weker membangunkan Dominic dari tidur lelapnya. Namun, dia masih enggan untuk membuka mata. Hanya tangan kanannya yang bergerak meraba sisi lain tempat tidur yang terasa dingin. 'Aku ingat tadi malam habis melalui malam panas,' batin Dominic ketika menemukan tidak ada seorangpun di sampingnya. Begitu nyawanya telah terkumpul sepenuhnya, barulah Dominic membuka matanya lebar-lebar. Dia mengabaikan jam weker yang masih menjerit di atas nakas, dan melirik sisi lain tempat tidur. Benar saja, tidak ada lagi sosok Denita yang harusnya masih berbaring di sampingnya. "Denita!" panggil Dominic karena berpikir sekertarisnya itu sedang berada di dalam kamar mandi. " ... "Hening, "Denita!" panggil Dominic sekali lagi dengan intonasi suara yang lebih tinggi. " ... "Masih hening, "Jam berapa sih ini?" gumam Dominic curiga. Dia lalu meraih jam weker yang masih menjerit ribut itu karena berpikir dia sudah tertidur terlalu lama. Namun, jarum jam ternyata masih menunjukkan pu
Selain insiden hampir terbakar gairah di pagi hari. Denita masih menjalani sisa harinya yang membosankan. Setelah seharian kemarin tidak pulang, Denita memutuskan untuk kembali ke kediaman Hadiwijaya. Dia memarkirkan mobilnya di tempat biasa, dan terus melangkah gamang memasuki rumah mewah yang tak pernah menjadi tempat yang nyaman baginya ini. Suara canda, dan tawa yang terdengar datang dari dalam rumah membuat alis Denita terangkat tinggi. Dominic benar, eksistensinya memang tidak penting untuk keluarga ini. Orang-orang ini jelas tahu bahwa dia terluka karena perbuatan Salsa, tapi bahkan tidak ada di antara mereka yang sudi untuk hanya sekedar mempertanyakan kondisinya. "Kakak~""Salsa benar-benar kangen banget loh sama kakak~"Suara centil, dan manja milik Salsa memasuki indera pendengaran Denita bahkan sebelum dia sampai di sumber suara. "Kakak juga kangen banget sama kamu. Harus berapa kali sih kamu mengulang kalimat ini dari kemarin?" ujar Arkan dengan nada lembut yang spesi
"Mas, si Dominic sialan itu melaporkan aku ke polisi. Kamu tolong bebaskan aku!" seloroh Bik Ayu sesaat setelah sambungan teleponnya terhubung."Memangnya apalagi yang kamu lakukan?" tanya Pak Hendra dari seberang telepon."Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin melihat anak sialan itu bersenang-senang. Kenapa dia boleh berbahagia, sementara anakku sendiri gila?!" bentak Bik Ayu tanpa memedulikan dimana dia berada. "Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu bisa berakhir di kantor polisi? Aku sudah muak dengan kalian semua. Kamu jangan ganggu aku lagi. Namaku sudah cukup tercoreng gara-gara kamu. Berhubungan denganmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup ini," geram Pak Hendra. Dia lalu menutup telepon tanpa ada niat untuk memperdulikan nasib yang akan menimpa Bik Ayu."Mas Hendra? Mas Hendra!" Bik Ayu berteriak sambil membanting telepon milik kantor polisi. "Ibu tolong tenang!" tegur salah seorang polisi yang bertugas menangani kasusnya."T
Melalui data diri yang dibubuhkan Bik Ayu dalam surat lamaran kerjanya, orang suruhan Dominic terus mencari keberadaan wanita itu. Tentu saja rumah kediaman keluarga Hadiwijaya juga tidak luput dari target pencarian. Pada akhirnya, tidak sulit bagi orang suruhan Dominic untuk menemukan wanita yang sudah membuatnya sangat marah itu. Bik Ayu memang ditemukan di rumah keluarga Hadiwijaya. Dan atas perintah Dominic, wanita itu digelandang dengan paksa menuju kantor polisi. "Lepaskan aku! Ini pemaksaan!" seru Bik Ayu. Dia memberontak dengan keras. Namun, tenaga setengah tuanya tentu saja kalah dengan tenaga para laki-laki suruhan Dominic itu."Lepaskan aku!" teriak Bik Ayu bahkan meski dirinya sudah berada di kantor polisi.Dominic yang sedang membuat laporan hanya menatap sekilas pada wanita yang terlihat menyebalkan itu. "Ini dia orang yang ingin saya laporkan. Dan saya tidak ingin adanya upaya damai. Tolong hukum dia sesuai dengan undang-undang yang berlaku," pungkas Dominic."Apa y
Aksi Dominic yang mengumpulkan para cleaning service di lobi kantor menarik rasa penasaran para karyawan lain mengenai apa yang tengah terjadi.Namun, Dominic tidak mau ambil pusing soal mereka untuk saat ini. Biarkan saja mereka mengatakan apapun yang mereka inginkan. "Berikan data cleaning service yang masih aktif bekerja di sini," tukas Dominic begitu staff HRD di perusahaannya tiba.Tanpa banyak bertanya, sang staff langsung memberikan apa yang diinginkan oleh Dominic. Dia pun langsung melakukan pemindaian cepat pada tumpukan dokumen yang dibawakan padanya. Sampai kemudian matanya menangkap sosok familiar yang membuatnya menggertakkan gigi dengan keras."Ayu Hapsari?!" gumam Dominic dengan marah.Dia pikir musuh bebuyutan istrinya ini sudah menyerah dan kapok mencari masalah dengan mereka. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata wanita ini sedang membuat rencana jahat di bawah hidungnya."Dimana wanita bernama Ayu Hapsari ini?" tanya Damian seraya menatap satu per satu wajah yan
"Dok, bagaimana kondisi istri dan calon anak saya?" "Dok, bagaimana kabar menantu dan cucu saya?""Dok, bagaimana kabar anak dan cucu saya?"Dominic, ibu Herlina dan ibu Evelyn berhamburan menghampiri dokter yang baru saja memberi penanganan pada Denita. Mereka bertiga langsung merongrong sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Melihat wajah khawatir ketiga orang di depannya, sang dokter hanya tersenyum simpul. "Nona Denita baik-baik. Dia hanya terlalu shock dan butuh istirahat yang baik," jawab dokter."Serius, Dok?" tanya Dominic tidak benar-benar lega.Dengan sabar dokter itu mengangguk. "Iya," "Lalu cucu kami gimana, Dok?" tanya ibu Herlina."Bayi di dalam kandungan Nona Denita juga baik-baik saja. Untung langsung segera dibawa ke rumah sakit sehingga dapat dengan cepat ditangani. Jadi kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan," ucap Dokter menjelaskan."Syukurlah,""Terima kasih, Dok!""Iya, sama-sama,"Setelah kepergian dokter yang menangani Denita, baik ibu Herlina dan ibu Ev
Dengan bibir cemberut, Denita keluar dari ruangan Dominic menuju meja kerjanya. Pakaian ganti yang agak sempit membuat setiap pergerakannya menjadi tidak nyaman. Dan karena suasana hati yang tidak terlalu baik, Denita tidak memperhatikan ada tetesan cairan berwarna biru di samping kaki mejanya. Tatkala kakinya menginjak cairan itu, tubuh Denita limbung ke belakang. Dia menjerit dengan panik dan berusaha mencari pegangan. Akan tetapi, tangannya hanya bisa menggapai udara yang kosong. "Arrrrrgggghhhhh!!!" BRUUUK, Suara tubuhnya yang menghantam lantai begitu keras hingga membuat Dominic yang ada di dalam ruang kerjanya terkejut setengah mati. "Denita!" serunya. Tanpa membuang-buang banyak waktu, dia langsung berlari menuju sumber suara. Sosok sang istri yang terbaring di atas lantai sambil memegangi perutnya membuat sepasang netra Dominic membulat lebar. "Denita!" serunya. "Sakiiiitttt," keluh Denita. Air mata menitik deras dari pelupuk matanya. Rasa panik akan bayi di
Setelah masalah Niko selesai, Denita akhirnya bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Dia juga bisa menikmati kehamilannya dalam damai tanpa adanya drama yang berliku-liku. Bahkan diusia kandungan yang sudah menginjak delapan bulan, dia masih semangat bekerja."Babe, kamu berhenti kerja aja ya. Perut kamu sudah mulai buncit. Pergerakan kamu juga sudah tidak luwes lagi. Sebaiknya istirahat di rumah," Ucapan Dominic ini langsung membuat bibir Denita maju beberapa senti. Dia tidak tahu apakah ini karena faktor kehamilan atau bukan. Akan tetapi, dia mulai menerjemahkan kata-kata orang dengan cara yang berbeda. Seperti sekarang ini, dia tiba-tiba merasa bahwa ucapan suaminya memiliki arti yang negatif. "Jadi kamu merasa terganggu karena perutku yang buncit?" tanya Denita dengan nada merajuk. Suaranya bahkan terdengar tercekat seperti sedang menahan tangis."Bukan begitu," tukas Dominic dengan segera. "Aku hanya takut kalau kamu akan kelelahan. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenap
"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan," tegur ibu Herlina. Hatinya belum terketuk untuk membiarkan putra sulungnya yang belum menikah mengadopsi anak orang lain. Apalagi anak itu adalah anak sekaligus cucu dari orang yang paling dia benci sekarang. Kalau boleh dikatakan secara kasar, lebih baik mengadopsi anak dari panti asuhan daripada harus mengadopsi Niko. "Bu~" panggil Arkan. "Bukannya Niko masih punya kakek dan nenek kandung? Kenapa perawatan atas Niko harus menjadi tanggung jawab kamu?" seloroh ibu Herlina. "Kemana nih, selingkuhan kamu?" lanjut ibu Herlina bertanya pada mantan suaminya. "Aku tidak melihatnya Nyonya barumu dari tadi,"" ... "Wajah pak Hendra yang disindir seperti ini seketika berubah menjadi keruh. "Jangan bilang habis manis sepah dibuang?" tebak ibu Herlina dengan asal-asalan. Namun, wajah keruh yang ditunjukkan oleh mantan suaminya itu membuat ibu Herlina diyakinkan oleh tebakannya sendiri. Tawa nyaring pun terlempar keluar dari bibirnya yang dihia
Keesokan hari Denita menghubungi semua orang yang terkait dengan kehidupan Niko. Dia meminta untuk bertemu dengan mereka. Kemudian pada ibu Herlina, Denita menceritakan masalah mengenai anak dari Salsa dan Dimas itu. "Bagaimana keadaan Niko sekarang?" tanya Ibu Herlina. Suaranya terdengar serak seperti sedang menahan tangis. "Aku juga belum tahu, Ma!" jawab Denita. "Makanya aku minta kita semua berkumpul untuk membahas mengenai masalah ini," lanjutnya. "Oke, dimana?" tanya ibu Herlina. "Aku sudah membicarakan ini sama Arkan. Dia minta untuk kita berkumpul di kediaman Hadiwijaya," jawabku. " ... "Keheningan terjadi di seberang sana. Denita sendiri bisa memperkirakan apa yang kiranya sedang dirasakan oleh wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu, ketika dia menyebutkan kediaman Hadiwijaya. "Mama baik-baik aja?" tanya Denita memastikan. "Kalau Mama nggak setuju, nanti kita bahas lagi enaknya bertemu dimana," lanjutnya kemudian. "Mama baik-baik aja kok. Ayo segera kita bahas
Denita yang terlanjur berpikir bahwa hidupnya akan menjadi damai setelah Salsa dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa ternyata salah besar. Di tengah malam, ketika dia sedang tertidur nyenyak bersama Dominic, ponsel yang dia letakkan di atas nakas samping tempat tidur berdering nyaring. "Hermm," Denita menggeram pelan dengan alis yang berkerut di dalam tidurnya. Dengan mata setengah terpejam, Denita meraba nakas yang ada di samping tempat tidurnya untuk mencari benda pipih yang mengeluarkan suara ribut-ribut itu. Tanpa melihat nama orang tidak sopan yang menghubunginya tengah malam begini, Denita menjawab panggilan telepon itu dengan sedikit kesal. "Halo!" jawab Denita dengan nada ketus. "Nit, ini Angga," sapa orang dari seberang. Dengan kening yang berkerut semakin dalam, Denita terdiam sementara untuk mencerna suara orang di seberang. Dia yakin bahwa dia sedang tidak bermimpi, tapi kenapa Angga meneleponnya? " ... "Denita terdiam tidak menanggapi untuk waktu yang lama. Baginya