Pasca insiden semalam, hari ini Denita memutuskan untuk berangkat kerja lebih awal daripada biasanya, sebab dia tidak mau berpapasan dengan yang dinamakan keluarga. Selain itu, sebagai seorang sekertaris, dia juga masih harus menyortir beberapa pekerjaan yang akan dipindahtangankan kepada CEO baru perusahaan tempatnya bekerja.
Sambil berjalan menuju mobil CRV putih miliknya, Denita terus mencoba menghubungi Angga. Tapi lagi-lagi, dia hanya dibalas oleh operator yang mengatakan bahwa sang pemilik ponsel sedang sibuk."Dia kemana aja sih?" dumel Denita.Hatinya mulai terasa pengap karena firasat tak nyaman yang kembali merajai hatinya. Dia tidak percaya kalau Angga sama sekali tidak melihat belasan panggilan darinya sejak semalam."Sesibuk itukah?" tanya Denita lagi pada diri sendiri.Bukannya dia tidak ingin mengerti akan kesibukan Angga yang sedang merintis perusahaan startup-nya sendiri. Hanya saja, beberapa waktu belakangan ini, Denita memang mulai merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Akan tetapi, dia tidak tahu apa itu.Karena dia harus berangkat kerja, Denita hanya mengambil foto selfie untuk memperlihatkan dahinya yang ditempel perban sambil tidak lupa menuliskan rentetan pesan pengaduan. Setelah itu, ponselnya diletakkan begitu saja di atas dashboard mobil.Baru saja Denita selesai menstarter mobilnya, dering pada ponselnya berbunyi nyaring. Denita yang berpikir bahwa telepon itu dari Angga langsung dibuat kecewa tatkala melihat justru nama Dimas yang terpampang pada layar."Halo!" sapa Denita."Nit, nanti jam 8 kamu tunggu Dominic di lobi, ya. Sekalian kasih tahu dia apa saja jadwalnya hari ini," beritahu Dimas dari seberang."Oke!" jawab Denita dengan nada datar."Satu lagi, kamu harus tahu kalau Dominic tidak suka bertele-tele. Langsung sat set sat set aja!" beritahu Dimas sekali lagi."Aku mengerti," jawab Denita dengan nada datar seperti sebelumnya."Oke kalau begitu!"Sambungan telepon lantas terputus begitu saja. Setelah menatap lekat pada layar ponsel yang perlahan kembali menghitam, Denita menghela nafas pelan sebelum kemudian mulai menjalankan mobilnya menuju perusahaan Sagara Group.* * *"Psst, itu dia pelakor yang lagi viral itu ya?""Kayaknya sih, iya!""Pasti dia. Wajahnya sama persis dengan yang ada di foto.Alis Denita terangkat tinggi ketika mendengar isi gosip para karyawan yang sedang berlalu-lalang di lobi perusahaan saat ini. Namun, yang Denita tidak mengerti, kenapa mereka membicarakan mengenai pelakor, tapi malah menatap sambil menunjuk ke arahnya? Gosip apa yang telah dia lewatkan pagi ini?Namun, karena dia tidak memiliki waktu lebih untuk bergosip, Denita terus menyeret langkahnya menuju lift VIP yang akan membawanya menuju lantai tertinggi perusahaan. Dia hanya memiliki waktu satu jam untuk mengecek kembali agenda penting yang harus dilakukan bos barunya hari ini.Setibanya Denita di meja kerjanya yang tepat berada di depan pintu ruangan sang bos, sebuah amplop coklat yang tampak misterius sudah tergeletak rapi di atas mejanya.'Untuk Denita'Adalah tulisan yang tertera di sampulnya. Denita lantas membolak-balik amplop itu dengan dahi berkerut samar. Karena dia tidak menemukan penjelasan lain tentang si pengirim, Denita segera membuka amplop yang memang ditujukan untuk dirinya itu.Alhasil, alis Denita seketika menukik tajam saat melihat isi amplop yang berupa kumpulan fotonya bersama Angga kemarin. Mulai dari ketika dia dan Angga memasuki apartemen yang sama, hingga mereka kemudian berpisah.Tetapi, bukannya panik melihat foto-foto kebersamaannya dengan suami orang itu, Denita justru terkekeh pelan."Jadi ini yang orang-orang bicarakan!" gumamnya pada diri sendiri.Dengan acuh tak acuh, Denita memasukkan begitu saja foto-foto itu kembali ke dalam amplop, lalu menyelipkannya ke dalam tas secara sembarangan. Di detik berikutnya, dia sudah mulai tenggelam dalam pekerjaan yang sedang dia tekuni.Menit demi menit perlahan berlalu. Denita baru saja akan beranjak dari kursinya ketika dia mendengar denting suara lift yang terdengar berhenti di lantai 30 ini.Setelah itu, suara ketukan high heels yang beradu terburu-buru dengan lantai membuat Denita kembali mendudukkan diri pada kursinya. Dia menunggu sumber keributan muncul di hadapannya."Nit! Kamu ... tau ... gak?!"Sosok wanita cantik berambut pendek itu menggebrak mejanya, dan langsung bertanya padanya di sela nafas yang masih memburu.Denita hanya terdiam tanpa menimpali. Dia terus menunggu wanita yang tak lain adalah sahabatnya itu, Widia Wiranata Kusuma menormalkan nafasnya yang tersengal-sengal terlebih dahulu."Kamu viral di burung biru!"Widia setengah menjerit saat menyampaikan informasi ini. Sedangkan Denita hanya mengangkat alis tinggi saat mendengarnya."Salsa bikin utas panjang tentang kamu yang jadi selingkuhan suaminya!" jelas Widia menggebu-gebu. Akan tetapi, Denita sama sekali tidak terkejut."Baguslah!" balasnya santai yang membuat bola mata Widia hampir copot dari rongga matanya."Baguslah?!" ulang Widia memastikan pendengarannya tidak bermasalah.Dia menatap Denita dengan penuh tanda tanya. Barulah saat itu dia menyadari seonggok kain kasa putih nangkring di dahi sahabatnya itu."Dahi kamu kenapa?" tanya Widia hampir menjerit histeris."Habis nabrak tiang listrik. Terlalu fokus main hape!" jawab Denita tidak serius.Widia akan menjadi bodoh jika mempercayai jawaban mengada-ada ini. Kalau mengingat utas panjang nan kontroversial itu, lalu mengaitkannya dengan kain kasa putih di dahi Denita, Widia segera dapat menebaknya. Hanya helaan nafas ringan yang kemudian keluar dari hidungnya sebagai bentuk simpati pada sahabatnya ini.Akan tetapi, melihat Denita yang tampak tidak tertarik dengan permasalahan ini, dia juga bisa apa selain ikut mengabaikannya? Lebih baik dia membahas topik yang menjadi favoritnya."Eh, katanya Mr. Edward bakal digantiin anaknya, ya?" tanya Widia mengangkat topik baru."Hmm," jawab Denita singkat."Gimana? Kamu pernah liat anaknya Mr. Edward yang katanya ganteng itu, gak?" Widia menaik-turunkan alisnya menggoda.Denita memutar matanya melihat cengiran lebar Widia. Otak sahabatnya ini telah lama terkontaminasi roman picisan tentang CEO muda kaya raya jatuh cinta pada upik abu sejak pandangan pertama. Tapi Denita tetap menganggukkan kepalanya sebagai jawaban."Ganteng?!" Widia menjerit histeris saat melihat kepala Denita yang mengangguk ringan."Yaaa, barangkali sesuailah sama bayangan kamu," ucap Denita membuat Widia semakin girang.Widia menangkupkan tangannya di depan dada sambil menerawang bodoh dengan senyum lebar menghiasi wajahnya seperti orang gila. Denita tidak tahu apa yang sedang dikhayalkan sahabatnya ini. Dia hanya menggelengkan kepala pelan tak habis pikir."By the way, ini sudah jam 8. Aku harus nunggu bos baru di lobi!" ujar Denita seraya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Yuk turun! Aku juga ada meeting sekarang!" ajak Widia dengan bibir yang dimajukan beberapa senti. Terlihat tampak enggan.Denita lalu mendengus samar sembari beranjak dari kursinya. "Jadi kamu repot-repot banget naik ke sini cuma untuk informasi tidak penting ini?" tanya Denita sambil menggelengkan kepala tak habis pikir.Widia mengendikkan bahu dengan acuh tak acuh. "Orang-orang udah mulai heboh tuh di bawah. Aku pikir kamu bakal jadi satu-satunya orang yang gak tahu!" ujar Widia." ... "Denita terdiam. Jika saja dia tidak menemukan amplop coklat berisi foto mesranya dengan Angga, mungkin saat ini dia masih menjadi satu-satunya orang yang tidak mengetahui gosip tentang dirinya sendiri yang sedang viral di perusahaan. Tapi Widia tidak perlu tahu tentang ini."Ngomong-ngomong~"Alis Denita terangkat tinggi tatkala mendengar nada panjang yang menggantung, dan melihat sorot mata genit penuh maksud yang diarahkan Widia padanya."Nit, fotoin bos baru dong. Mau lihat~" rengek Widia sambil merangkul salah satu lengan Denita ketika mereka sedang berdua saja di dalam lift yang hendak turun."Ogah!" tolak Denita dengan tegas."Ayolah~" pinta Widia tak kenal menyerah."No way!"Bibir Widia seketika maju beberapa senti. "Gak asik!" dumelnya sambil menghempas lengan Denita, lalu keluar begitu saja dari dalam kotak besi yang berhenti di lantai lima belas. Tempat dimana ruangan divisi pemasaran berada.Denita hanya mengendikkan bahu masa bodoh. Dia tidak mau ambil pusing dengan reaksi merajuk yang dibuat-buat oleh sahabatnya itu.Beberapa menit berikutnya, kotak besi yang membawa Denita ke lantai dasar akhirnya berhenti. Dengan langkah-langkah konstan, dia kemudian berjalan membelah lobi yang terlihat agak ramai pagi ini. Dipikirnya, para karyawan ini mungkin ingin melihat seperti apa penampakan bos baru mereka.Begitu khusyuknya Denita berjalan, tiba-tiba ...Byuuuurr,"Dasar pelakor tak tahu malu!"Langkah Denita seketika berhenti ketika sisi kanan tubuhnya dihantam oleh sisa air pel dalam ember." ... "Suasana lobi seketika jatuh dalam kesunyian sesaat. Tapi setelahnya, beberapa karyawan muda langsung mulai memvideokan dirinya. Mereka tampak sedang berlomba-lomba membuat Denita semakin viral.Dengan gerakan slow motion, Denita lantas mengalihkan perhatiannya pada sosok yang baru saja menyiram dirinya dengan air kotor."Inilah yang pantas didapatkan oleh pelakor seperti kamu!" desis orang itu dari balik giginya yang terkatup rapat.* * *"Aruna Basagita! Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Denita pada pelaku wanita yang baru saja menyiramkan air kotor padanya. Prok Prok Prok, Bukannya menjawab pertanyaan Denita, wanita bernama Aruna itu malah bertepuk tangan dengan girang. Sembari bertepuk tangan, dia terus melangkah setapak demi setapak untuk mempersempit jarak di antara mereka. "Wow!""Aku tidak menyangka kalau pelakor murahan seperti kamu masih memiliki wajah untuk ditunjukkan di depan umum, terutama setelah apa yang kamu lakukan pada sahabatku. Benar-benar tidak tahu malu!" hujat Aruna sambil menatap Denita dengan pandangan jijik. Karena terus dipojokkan dengan kata pelakor, Denita mulai tidak tahan. Dia mengunyah gerahamnya dengan keras. Jari jemari yang tergantung di kedua sisi tubuhnya pun mengepal erat. "Kenapa harus malu? Bukannya sahabatmu itu yang mengambil pacarku duluan agar bisa memberi status pada bayi yang dia kandung di luar pernikahan?" sanggah Denita acuh tak acuh. Senyum menyeringai seketika
"Arkana Hadiwijaya. Masih belum menyerah juga?" tanya Dominic dengan nada dingin. Dia bahkan tidak repot-repot untuk mengajak pria itu masuk ke dalam ruangannya untuk menjamu tamu tak diundang ini. "Kecuali kamu berhenti menjadi pengecut, baru aku berhenti meneror hidupmu!" desis Arkan sengit. Dominic menggelengkan kepalanya dengan geli. "Ayolah Arkan, ini memalukan. Kita semua tahu kebenarannya!" ujar Dominic menimpali."Kebenaran apa?" "Kebenaran bahwa yang menghamili Salsa adalah kamu! Kenapa masih ngotot memaksa aku untuk tanggung jawab?" "Aku tidak pernah menghamili Salsa!" bantah Arkan dengan sengit. Dia menekan setiap kata yang diucapkan itu dengan berat. "Ck ck ck! Lantas apa yang membuat kamu begitu yakin kalau aku adalah orang yang menghamili Salsa?" tanya Dominic.Empat tahun dikejar oleh orang ini membuat Dominic benar-benar kelelahan. Terlebih lagi karena pria ini meminta hal yang tidak bisa dia lakukan. Mendengar tuduhan bahwa dia akan menjadi seorang ayah saja sudah
"Arkan brengsek!"Dominic menggebrak meja kerjanya dengan keras hingga benda-benda yang ada di atas meja itu turut bergetar. Berberapa bahkan berjatuhan ke lantai. Dominic paling benci dengan cara Arkan berbicara padanya, yang seolah ingin mendominasi dirinya. Apa pula katanya tadi? Dia itu tidak akan berhenti sebelum Dominic bersedia menikah dengan Salsa? Apakah orang itu berpikir bahwa dia bisa diancam dengan cara ini? "Arkan sialan!" geram Dominic sekali lagi. Dia tidak pernah takut pada Arkan, tapi dia risih setengah mati pada pria itu. Sudah empat tahun berlalu, tapi pria itu masih betah menjadi ekor kecil di belakangnya. Kemanapun Dominic pergi, pria itu pasti bisa menemukannya. Kemudian hal yang terjadi selanjutnya adalah, pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa dia tidak mencintai Salsa? Kenapa dia tidak mau menikah dengan Salsa akan terus berulang. Jika terus seperti ini, dia bisa-bisa jadi gila! Nafas Dominic memburu naik turun dengan cepat akibat kemarahan yang belum mere
Tok Tok Tok, Denita melayangkan kepalan tangan ringan di atas daun pintu ruangan sang Presdir. "Masuk!" perintah suara dari dalam. "Bapak memanggil saya?" tanya Denita formal dengan tangan terlipat di atas perut begitu dia tiba di dalam ruangan Dominic. Terlepas dari ajakan beraninya hampir satu jam yang lalu, Denita tetap berupaya untuk menarik batas yang jelas antara persoalan pribadi dan pekerjaan. Saat ini adalah jam kerja, jadi dia harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk tetap bersikap profesional. " ... "Namun, hening. Dominic tidak segera mengutarakan kenapa dia memanggil Denita ke ruangan ini. Pria itu terus membiarkan Denita berdiri keki di seberang meja kerjanya entah untuk berapa menit lamanya. "Maaf... ""Kamu benar-benar berselingkuh dengan suami orang? Suaminya Salsa?"Denita yang baru saja akan mulai mengajukan tanya langsung dibungkam oleh pertanyaan yang lebih dulu diutarakan oleh Dominic. " ... "Denita hanya bisa kembali diam. Dia lalu menatap lamat-lama
Udara panas yang terjalin di sekitar mereka membuat Denita merasa tak tertahankan. Dia bahkan harus menggigit bibir bawahnya keras-keras agar kakinya tetap menapak bumi. Dia tidak mau terlihat seperti wanita murahan yang gampang tergoda. "Ekhm!""Ini masih jam kerja, Pak!" ujar Denita memberanikan diri untuk mengingatkan. "Aku tahu!" jawab Dominic santai. "Lalu... ""Lalu?"Dominic menjauhkan tubuhnya sedikit dari Denita. Dia kemudian mengendikkan bahu dengan jenaka. "Mungkin aku harus menunggu sampai kita sah menjadi suami istri," celetuk Dominic seraya menatap pada Denita dengan penuh arti. Denita yang ditatap sedemikian rupa hampir tersedak ludah sendiri ketika mendengar ucapan Dominic. Dia lebih dari sekedar mengerti mengenai hendak mengarah ke mana kata-kata Presdir baru di depannya ini. "Kalau begitu, saya bisa melanjutkan pekerjaan dulu?" tanya Denita berniat mengalihkan pembicaraan. "Tapi kamu belum menyetujui kondisi yang aku sebutkan tadi," tutur Dominic. Kata-kata ini
Denita mendorong tubuh Dominic dengan sekuat tenaga kemudian bergegas keluar dari lift, dan langsung menyeret Widia dengan langkah cepat setengah berlari. Mereka mengambil langkah seribu, menjauh dari Dominic yang menatap kepergian mereka dengan seringaian nakal. "Kamu jangan mikir macem-macem!" desis Denita memperingatkan Widia saat mereka sudah berada di luar gedung perusahaan. Jantungnya masih berdetak kencang. Dan nafasnya terus memburu dengan gila. "Aku gak mikir apa-apa tuh!" Widia menggelengkan kepala pelan.Blush,Wajah Denita berubah semerah kepiting rebus saat melihat Widia menaik-turunkan alisnya dengan jail. "Tsk, pokoknya aku gak ada hubungannya dengan pria mesum itu!" Denita menukas memperingatkan. Widia yang tidak percaya semakin melemparkan kerlingan nakal. Tanyakan saja pada siapapun. Jika kalian melihat dua insan berbeda kelamin menempel hampir seperti tak terpisahkan, bisakah kalian tidak berpikir ada yang macam-macam? "Ada juga gak apa-apa kok," ucap Widia."Po
Denita mendecakkan lidah tak nyaman setelah menyesap minuman beralkohol yang sengaja dia pesan untuk menemaninya malam ini. Dia juga sesekali mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah untuk mencari sosok bosnya itu. Namun, belum juga terlihat batang hidungnya. "Angga nelepon kamu tuh!" Widia menyenggol bahu Denita pelan sambil setengah berteriak di tengah kebisingan. Denita yang tadinya masih sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut, perlahan mengalihkan perhatiannya pada telepon genggam yang berkedip-kedip tanpa bosan di atas meja. Ada nama Angga yang terpampang pada layar. "Halo!" jawab Denita setelah melakukan peperangan singkat dengan batinnya terkait apakah dia harus mengangkat telepon ini atau tidak. “Kamu dimana? Gak pulang?” tanya Angga perhatian. " ... " Denita mendengus dalam hati. Entah kenapa, pertanyaan sederhana ini justru membuat jantung Denita terasa semakin diremas-remas menyesakkan. Apalagi saat mendengar kalimat tanya yang disampaikan dengan begitu lembu
Setelah mengendarai mobil Rolls Royce warna hitamnya dengan kalap, Dominic akhirnya tiba di Penthouse mewahnya yang tepat berada di tengah-tengah kota.Denita yang diajak ke tempat mewah ini tidak memiliki waktu untuk hanya sekedar mengagumi kemegahan tempat ini. Sebab, dia terlalu sibuk mengimbangi ciuman penuh gairah dari sang bos. Jika saja mereka tidak membutuhkan udara untuk bernafas, mereka tidak akan berhenti dari aktivitas ini walau hanya sesaat. "Hosh!""Hosh!""Hosh!"Suara tarikan, dan hembusan nafas yang memburu memenuhi ruang tamu di Penthouse mewah itu, membentuk harmoni dengan detak jarum jam di dinding. "Kamu yakin?" tanya Dominic pada Denita dari sela-sela nafas yang naik turun tak beraturan. Dia ingin memastikan sekali lagi kesanggupan wanita di hadapannya. Dari dulu hingga sekarang, Dominic paling anti menjalin hubungan tanpa consent. Dia harus memastikan bahwa wanita yang hendak berhubungan dengannya, melakukannya secara sukarela. Tanpa banyak kata, Denita mele
"Mas, si Dominic sialan itu melaporkan aku ke polisi. Kamu tolong bebaskan aku!" seloroh Bik Ayu sesaat setelah sambungan teleponnya terhubung."Memangnya apalagi yang kamu lakukan?" tanya Pak Hendra dari seberang telepon."Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin melihat anak sialan itu bersenang-senang. Kenapa dia boleh berbahagia, sementara anakku sendiri gila?!" bentak Bik Ayu tanpa memedulikan dimana dia berada. "Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu bisa berakhir di kantor polisi? Aku sudah muak dengan kalian semua. Kamu jangan ganggu aku lagi. Namaku sudah cukup tercoreng gara-gara kamu. Berhubungan denganmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup ini," geram Pak Hendra. Dia lalu menutup telepon tanpa ada niat untuk memperdulikan nasib yang akan menimpa Bik Ayu."Mas Hendra? Mas Hendra!" Bik Ayu berteriak sambil membanting telepon milik kantor polisi. "Ibu tolong tenang!" tegur salah seorang polisi yang bertugas menangani kasusnya."T
Melalui data diri yang dibubuhkan Bik Ayu dalam surat lamaran kerjanya, orang suruhan Dominic terus mencari keberadaan wanita itu. Tentu saja rumah kediaman keluarga Hadiwijaya juga tidak luput dari target pencarian. Pada akhirnya, tidak sulit bagi orang suruhan Dominic untuk menemukan wanita yang sudah membuatnya sangat marah itu. Bik Ayu memang ditemukan di rumah keluarga Hadiwijaya. Dan atas perintah Dominic, wanita itu digelandang dengan paksa menuju kantor polisi. "Lepaskan aku! Ini pemaksaan!" seru Bik Ayu. Dia memberontak dengan keras. Namun, tenaga setengah tuanya tentu saja kalah dengan tenaga para laki-laki suruhan Dominic itu."Lepaskan aku!" teriak Bik Ayu bahkan meski dirinya sudah berada di kantor polisi.Dominic yang sedang membuat laporan hanya menatap sekilas pada wanita yang terlihat menyebalkan itu. "Ini dia orang yang ingin saya laporkan. Dan saya tidak ingin adanya upaya damai. Tolong hukum dia sesuai dengan undang-undang yang berlaku," pungkas Dominic."Apa y
Aksi Dominic yang mengumpulkan para cleaning service di lobi kantor menarik rasa penasaran para karyawan lain mengenai apa yang tengah terjadi.Namun, Dominic tidak mau ambil pusing soal mereka untuk saat ini. Biarkan saja mereka mengatakan apapun yang mereka inginkan. "Berikan data cleaning service yang masih aktif bekerja di sini," tukas Dominic begitu staff HRD di perusahaannya tiba.Tanpa banyak bertanya, sang staff langsung memberikan apa yang diinginkan oleh Dominic. Dia pun langsung melakukan pemindaian cepat pada tumpukan dokumen yang dibawakan padanya. Sampai kemudian matanya menangkap sosok familiar yang membuatnya menggertakkan gigi dengan keras."Ayu Hapsari?!" gumam Dominic dengan marah.Dia pikir musuh bebuyutan istrinya ini sudah menyerah dan kapok mencari masalah dengan mereka. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata wanita ini sedang membuat rencana jahat di bawah hidungnya."Dimana wanita bernama Ayu Hapsari ini?" tanya Damian seraya menatap satu per satu wajah yan
"Dok, bagaimana kondisi istri dan calon anak saya?" "Dok, bagaimana kabar menantu dan cucu saya?""Dok, bagaimana kabar anak dan cucu saya?"Dominic, ibu Herlina dan ibu Evelyn berhamburan menghampiri dokter yang baru saja memberi penanganan pada Denita. Mereka bertiga langsung merongrong sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Melihat wajah khawatir ketiga orang di depannya, sang dokter hanya tersenyum simpul. "Nona Denita baik-baik. Dia hanya terlalu shock dan butuh istirahat yang baik," jawab dokter."Serius, Dok?" tanya Dominic tidak benar-benar lega.Dengan sabar dokter itu mengangguk. "Iya," "Lalu cucu kami gimana, Dok?" tanya ibu Herlina."Bayi di dalam kandungan Nona Denita juga baik-baik saja. Untung langsung segera dibawa ke rumah sakit sehingga dapat dengan cepat ditangani. Jadi kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan," ucap Dokter menjelaskan."Syukurlah,""Terima kasih, Dok!""Iya, sama-sama,"Setelah kepergian dokter yang menangani Denita, baik ibu Herlina dan ibu Ev
Dengan bibir cemberut, Denita keluar dari ruangan Dominic menuju meja kerjanya. Pakaian ganti yang agak sempit membuat setiap pergerakannya menjadi tidak nyaman. Dan karena suasana hati yang tidak terlalu baik, Denita tidak memperhatikan ada tetesan cairan berwarna biru di samping kaki mejanya. Tatkala kakinya menginjak cairan itu, tubuh Denita limbung ke belakang. Dia menjerit dengan panik dan berusaha mencari pegangan. Akan tetapi, tangannya hanya bisa menggapai udara yang kosong. "Arrrrrgggghhhhh!!!" BRUUUK, Suara tubuhnya yang menghantam lantai begitu keras hingga membuat Dominic yang ada di dalam ruang kerjanya terkejut setengah mati. "Denita!" serunya. Tanpa membuang-buang banyak waktu, dia langsung berlari menuju sumber suara. Sosok sang istri yang terbaring di atas lantai sambil memegangi perutnya membuat sepasang netra Dominic membulat lebar. "Denita!" serunya. "Sakiiiitttt," keluh Denita. Air mata menitik deras dari pelupuk matanya. Rasa panik akan bayi di
Setelah masalah Niko selesai, Denita akhirnya bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Dia juga bisa menikmati kehamilannya dalam damai tanpa adanya drama yang berliku-liku. Bahkan diusia kandungan yang sudah menginjak delapan bulan, dia masih semangat bekerja."Babe, kamu berhenti kerja aja ya. Perut kamu sudah mulai buncit. Pergerakan kamu juga sudah tidak luwes lagi. Sebaiknya istirahat di rumah," Ucapan Dominic ini langsung membuat bibir Denita maju beberapa senti. Dia tidak tahu apakah ini karena faktor kehamilan atau bukan. Akan tetapi, dia mulai menerjemahkan kata-kata orang dengan cara yang berbeda. Seperti sekarang ini, dia tiba-tiba merasa bahwa ucapan suaminya memiliki arti yang negatif. "Jadi kamu merasa terganggu karena perutku yang buncit?" tanya Denita dengan nada merajuk. Suaranya bahkan terdengar tercekat seperti sedang menahan tangis."Bukan begitu," tukas Dominic dengan segera. "Aku hanya takut kalau kamu akan kelelahan. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenap
"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan," tegur ibu Herlina. Hatinya belum terketuk untuk membiarkan putra sulungnya yang belum menikah mengadopsi anak orang lain. Apalagi anak itu adalah anak sekaligus cucu dari orang yang paling dia benci sekarang. Kalau boleh dikatakan secara kasar, lebih baik mengadopsi anak dari panti asuhan daripada harus mengadopsi Niko. "Bu~" panggil Arkan. "Bukannya Niko masih punya kakek dan nenek kandung? Kenapa perawatan atas Niko harus menjadi tanggung jawab kamu?" seloroh ibu Herlina. "Kemana nih, selingkuhan kamu?" lanjut ibu Herlina bertanya pada mantan suaminya. "Aku tidak melihatnya Nyonya barumu dari tadi,"" ... "Wajah pak Hendra yang disindir seperti ini seketika berubah menjadi keruh. "Jangan bilang habis manis sepah dibuang?" tebak ibu Herlina dengan asal-asalan. Namun, wajah keruh yang ditunjukkan oleh mantan suaminya itu membuat ibu Herlina diyakinkan oleh tebakannya sendiri. Tawa nyaring pun terlempar keluar dari bibirnya yang dihia
Keesokan hari Denita menghubungi semua orang yang terkait dengan kehidupan Niko. Dia meminta untuk bertemu dengan mereka. Kemudian pada ibu Herlina, Denita menceritakan masalah mengenai anak dari Salsa dan Dimas itu. "Bagaimana keadaan Niko sekarang?" tanya Ibu Herlina. Suaranya terdengar serak seperti sedang menahan tangis. "Aku juga belum tahu, Ma!" jawab Denita. "Makanya aku minta kita semua berkumpul untuk membahas mengenai masalah ini," lanjutnya. "Oke, dimana?" tanya ibu Herlina. "Aku sudah membicarakan ini sama Arkan. Dia minta untuk kita berkumpul di kediaman Hadiwijaya," jawabku. " ... "Keheningan terjadi di seberang sana. Denita sendiri bisa memperkirakan apa yang kiranya sedang dirasakan oleh wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu, ketika dia menyebutkan kediaman Hadiwijaya. "Mama baik-baik aja?" tanya Denita memastikan. "Kalau Mama nggak setuju, nanti kita bahas lagi enaknya bertemu dimana," lanjutnya kemudian. "Mama baik-baik aja kok. Ayo segera kita bahas
Denita yang terlanjur berpikir bahwa hidupnya akan menjadi damai setelah Salsa dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa ternyata salah besar. Di tengah malam, ketika dia sedang tertidur nyenyak bersama Dominic, ponsel yang dia letakkan di atas nakas samping tempat tidur berdering nyaring. "Hermm," Denita menggeram pelan dengan alis yang berkerut di dalam tidurnya. Dengan mata setengah terpejam, Denita meraba nakas yang ada di samping tempat tidurnya untuk mencari benda pipih yang mengeluarkan suara ribut-ribut itu. Tanpa melihat nama orang tidak sopan yang menghubunginya tengah malam begini, Denita menjawab panggilan telepon itu dengan sedikit kesal. "Halo!" jawab Denita dengan nada ketus. "Nit, ini Angga," sapa orang dari seberang. Dengan kening yang berkerut semakin dalam, Denita terdiam sementara untuk mencerna suara orang di seberang. Dia yakin bahwa dia sedang tidak bermimpi, tapi kenapa Angga meneleponnya? " ... "Denita terdiam tidak menanggapi untuk waktu yang lama. Baginya