"Saya tidak menyangka Anda akan pensiun dini, Pak Edward!" "Hahaha. Yah, Anak-anak saya sudah dewasa. Sudah waktunya mereka diberikan tanggung jawab. Pensiun dini bukan pilihan buruk loh. Pak Hendra juga harusnya mulai mempertimbangkan ini. Lagipula Arkan juga sudah cukup mampu untuk mengurus perusahaan," pungkas Pak Edward panjang. "Anda bisa aja. Arkan masih butuh banyak pengalaman," ujar Pak Hendra rendah hati."Dom, akhirnya kamu di sini," sapa ibu Evelyn tiba-tiba menyela obrolan basa-basi bapak-bapak ini ketika melihat putra bungsunya berjalan mendekat. "Bu, Yah!""Om! Tante!" Dominic, dan Denita menyapa Pak Edward, dan Ibu Evelyn dengan serentak. "Eh, ada Om Hendra, dan Tante Herlina juga," sapa Dominic ketika melihat siapa orang yang sedang menjadi lawan bicara orang tuanya. Sementara itu, Denita hanya diam. "Jeng Herlina, kok tidak bilang-bilang sih kalau Denita ini sebenarnya putri kandung dari Jeng Herlina dan Pak Hendra," Ibu Evelyn perlahan mulai menggeser arah obro
Begitu kaki Denita menapak di luar toilet, dia langsung disuguhkan oleh penampakan Angga yang sedang berdiri bersandar di dinding yang ada di depan pintu toilet wanita. "Nit, Salsa ada di dalam?" tanya Angga. "Ada!" jawab Denita dengan acuh tak acuh. "Tadi di dalam kamu gak ngapa-ngapain Salsa 'kan?" tanya Angga lagi. Nada curiga yang terdengar dari suara pria ini membuat Denita segera melemparkan delikan tak suka. "Kalau kamu gak mau istri kamu diapa-apain, tolong kasih tahu dia untuk tidak terus-terusan menggangguku. Harus berapa kali sih aku peringatkan? Apa insiden tikus mati itu tidak cukup untuk membuat dia mengerti?!" seru Denita dengan alis yang saling terjalin rumit. "Tolong maklumin Salsa, Nit. Dia 'kan lagi hamil," ujar Angga dengan nada suara penuh kelemah lembutan. Rahang Denita hampir jatuh ketika mendengar alasan ini. Jadi hanya karena Salsa sedang hamil, dia harus memaklumi apapun yang wanita itu lakukan? "Kamu dan Salsa sama-sama menyebalkannya. Pantas saja ka
Keheningan seketika meliput ballroom hotel mewah itu pasca Dominic mengungkapkan informasi yang cukup mengejutkan bagi beberapa orang ini. Berpasang-pasang mata saling tatap seakan sedang mempertanyakan kebenaran dari apa yang baru saja Dominic sampaikan. Bahkan suara nafas banyak manusia di tempat ini hanya terdengar samar-samar. Denita yang bisa melihat seluruh tamu undangan dari tempatnya berdiri menyempatkan diri untuk melirik ke arah meja dimana orang tua kandungnya berada. Hati Denita langsung berbunga-bunga ketika melihat wajah keruh setiap orang yang ada di meja itu. Wajah marah Arkan, dan ayahnya terlihat amat jelas. Sementara ibu Herlina justru menunjukkan ekspresi yang tidak terbaca di wajahnya. Adapun Salsa, dia yang tidak menyangka bahwa Denita akan menggunakan kesempatan ini untuk membuat pengumuman mengenai status mereka hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Apalagi ketika berpasang-pasang mata kemudian mencuri lirik ke arahnya. Sedangkan Angga, matanya menatap
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika acara perayaan Anniversary perusahaan Sagara Group ini akhirnya berakhir. Banyak di antara para tamu undangan yang segera memilih untuk membubarkan diri. Namun, ada juga segelintir orang yang sengaja menunggu berakhirnya acara untuk bisa sedikit bertukar sapa dengan mereka. Keluarga Hadiwijaya adalah salah satu di antara orang-orang itu. "Apa sih tujuan kamu memberitahu orang lain tentang masalah ini sekarang? Kamu sengaja ingin memperlakukan keluarga kita?" tanya Arkan ketus. Dia tidak peduli jika Pak Edward, dan Ibu Evelyn masih ada di sana. Mendengar pertanyaan bernada ofensif ini, senyum tanpa sadar merekah di wajah Denita. "Bukankah tadi aku sudah menyebutkan alasannya?" balas Denita. "Halah. Bullshit! Kamu pasti sengaja mau mempermalukan Salsa 'kan?" tuding Arkan tidak percaya. "Kak Arkan!" seru Salsa sambil menahan lengan Arkan.Denita melemparkan dengusan sinis sambil mengendikkan bahunya masa bodoh. "Terserah kamu mau perc
"Kamu keluar sudah dari tadi, tapi si Dimas belum datang juga?" tanya Denita. Dia meregangkan lehernya hingga batas maksimal untuk melihat deretan mobil yang mengular di depan teras hotel. Siap menjemput para penumpangnya. "Tau nih!" keluh Widia seraya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Denita. "Dia naruh mobilnya terlalu tengah kali ya, terus sekarang susah keluar," tebak Widia sembari mulai disibukkan oleh ponsel di tangannya "Halo, Dim? Kamu dimana?" tanya Widia begitu sambungan telepon telah terhubung. "Aku baru keluar dari tempat parkir. Di sini macet!" jawab Dimas dari seberang. "Aku pikir kamu udah lupain aku, dan sekarang malah sudah sampai rumah!" celetuk Widia setengah bercanda."Aku nggak mungkin lupain kamulah!" balas Dimas dari seberang. "Ya sudah. Aku tunggu!" seru Widia seraya memutus sambungan telepon. "Sesuai dugaan!" ujarnya beralih pada Denita. "Hm," gumam Denita sambil menganggukkan kepala mengerti. "Terus sekarang gimana? Setelah orang-ora
"Aku mau belajar bela diri!"Ucapan itu Denita lontarkan ketika dia sedang berada di dalam mobil Rolls-Royce milik Dominic yang saat ini sedang melaju kembali ke Penthouse mewah sang presdir. "Hah?!"Dominic hampir menginjak dengan keras rem mobilnya sedetik setelah mendengar keinginan Denita yang menurutnya sangat random ini. Untungnya kontrol dirinya masih sangat baik, sehingga tidak perlu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Aku cuma mau belajar bela diri. Bukan mau ngajak kamu ngerampok Bank! Reaksinya berlebihan banget!" sindir Denita. Dia seraya memandang miring ke arah Dominic yang duduk di balik kemudi."Kamu kenapa tiba-tiba mau belajar bela diri?" tanya Dominic begitu Denita selesai mengutarakan niatnya. "Kamu nggak pernah cerita kalau Salsa ternyata punya penggemar yang sama gilanya dengan Arkan," protes Denita. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan yang telah diajukan Dominic lebih dulu. Tidak heran jika kening pria itu kemudian berkerut tidak mengerti. "Hah? Siap
"Aku benar-benar tidak menyangka Rafael akan benar-benar bertindak!" seru Dominic tidak habis pikir. " ... ""Lalu, apa rencana kamu berikutnya?" tanya Dominic pada Denita. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dari kediaman Alex setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan. " ... "Denita tidak serta merta menjawab pertanyaan ini. Sepasang netra cemerlangnya terus menatap ke kejauhan pada jingga merah di langit kelabu. Saat ini kepalanya terus memikirkan segala rencana agar Salsa berhenti mengganggu hidupnya. "Aku akan kembali ke kediaman Hadiwijaya!" tutur Denita setelah memikirkan berbagai macam pertimbangan. "Hah?!"Lagi-lagi Dominic hampir menginjak rem mobilnya dengan keras karena keputusan tak terduga yang kembali diutarakan oleh Denita. "Kamu yakin?" tanya Dominic. Alisnya berkerut sanksi. "Yakin!" jawab Denita dengan mantap. Dia bahkan menatap sisi wajah Dominic dengan sangat serius untuk menunjukkan kesungguhannya. "Kali ini untuk alasan apa?" tanya Do
Salsa berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Kuku ibu jarinya digigit dengan keras menunjukkan betapa risaunya dia saat ini. Ingatan ketika ibu Herlina mengakui Denita sebagai anak kandungnya terus berputar-putar dalam benak Salsa. Dibandingkan dengan hal lain, dia paling takut jika Denita berhasil menyingkirkannya dari ruang lingkup perhatian orang-orang yang selama ini dia sebut sebagai keluarga. Bahwa apa yang selama ini dia nikmati akan direbut oleh Denita. "Keluarga ini adalah milikku sejak awal. Denita tidak boleh mengambil apa yang sudah menjadi milikku!" gumam Salsa sambil terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar. "Tidak bisa dibiarkan!" serunya. Tidak tahan dengan segala pikiran risau dalam benaknya, Salsa kemudian mulai disibukkan dengan ponsel yang ada dalam genggamannya. Dengan gerakan tergesa-gesa, dia mulai menghubungi seseorang. "Halo, Sa?" sapa orang di seberang begitu sambungan telepon terhubung. "Huhuhu!"Salsa langsung menggelontorkan air mata palsunya s