Keheningan seketika meliput ballroom hotel mewah itu pasca Dominic mengungkapkan informasi yang cukup mengejutkan bagi beberapa orang ini. Berpasang-pasang mata saling tatap seakan sedang mempertanyakan kebenaran dari apa yang baru saja Dominic sampaikan. Bahkan suara nafas banyak manusia di tempat ini hanya terdengar samar-samar. Denita yang bisa melihat seluruh tamu undangan dari tempatnya berdiri menyempatkan diri untuk melirik ke arah meja dimana orang tua kandungnya berada. Hati Denita langsung berbunga-bunga ketika melihat wajah keruh setiap orang yang ada di meja itu. Wajah marah Arkan, dan ayahnya terlihat amat jelas. Sementara ibu Herlina justru menunjukkan ekspresi yang tidak terbaca di wajahnya. Adapun Salsa, dia yang tidak menyangka bahwa Denita akan menggunakan kesempatan ini untuk membuat pengumuman mengenai status mereka hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Apalagi ketika berpasang-pasang mata kemudian mencuri lirik ke arahnya. Sedangkan Angga, matanya menatap
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika acara perayaan Anniversary perusahaan Sagara Group ini akhirnya berakhir. Banyak di antara para tamu undangan yang segera memilih untuk membubarkan diri. Namun, ada juga segelintir orang yang sengaja menunggu berakhirnya acara untuk bisa sedikit bertukar sapa dengan mereka. Keluarga Hadiwijaya adalah salah satu di antara orang-orang itu. "Apa sih tujuan kamu memberitahu orang lain tentang masalah ini sekarang? Kamu sengaja ingin memperlakukan keluarga kita?" tanya Arkan ketus. Dia tidak peduli jika Pak Edward, dan Ibu Evelyn masih ada di sana. Mendengar pertanyaan bernada ofensif ini, senyum tanpa sadar merekah di wajah Denita. "Bukankah tadi aku sudah menyebutkan alasannya?" balas Denita. "Halah. Bullshit! Kamu pasti sengaja mau mempermalukan Salsa 'kan?" tuding Arkan tidak percaya. "Kak Arkan!" seru Salsa sambil menahan lengan Arkan.Denita melemparkan dengusan sinis sambil mengendikkan bahunya masa bodoh. "Terserah kamu mau perc
"Kamu keluar sudah dari tadi, tapi si Dimas belum datang juga?" tanya Denita. Dia meregangkan lehernya hingga batas maksimal untuk melihat deretan mobil yang mengular di depan teras hotel. Siap menjemput para penumpangnya. "Tau nih!" keluh Widia seraya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Denita. "Dia naruh mobilnya terlalu tengah kali ya, terus sekarang susah keluar," tebak Widia sembari mulai disibukkan oleh ponsel di tangannya "Halo, Dim? Kamu dimana?" tanya Widia begitu sambungan telepon telah terhubung. "Aku baru keluar dari tempat parkir. Di sini macet!" jawab Dimas dari seberang. "Aku pikir kamu udah lupain aku, dan sekarang malah sudah sampai rumah!" celetuk Widia setengah bercanda."Aku nggak mungkin lupain kamulah!" balas Dimas dari seberang. "Ya sudah. Aku tunggu!" seru Widia seraya memutus sambungan telepon. "Sesuai dugaan!" ujarnya beralih pada Denita. "Hm," gumam Denita sambil menganggukkan kepala mengerti. "Terus sekarang gimana? Setelah orang-ora
"Aku mau belajar bela diri!"Ucapan itu Denita lontarkan ketika dia sedang berada di dalam mobil Rolls-Royce milik Dominic yang saat ini sedang melaju kembali ke Penthouse mewah sang presdir. "Hah?!"Dominic hampir menginjak dengan keras rem mobilnya sedetik setelah mendengar keinginan Denita yang menurutnya sangat random ini. Untungnya kontrol dirinya masih sangat baik, sehingga tidak perlu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Aku cuma mau belajar bela diri. Bukan mau ngajak kamu ngerampok Bank! Reaksinya berlebihan banget!" sindir Denita. Dia seraya memandang miring ke arah Dominic yang duduk di balik kemudi."Kamu kenapa tiba-tiba mau belajar bela diri?" tanya Dominic begitu Denita selesai mengutarakan niatnya. "Kamu nggak pernah cerita kalau Salsa ternyata punya penggemar yang sama gilanya dengan Arkan," protes Denita. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan yang telah diajukan Dominic lebih dulu. Tidak heran jika kening pria itu kemudian berkerut tidak mengerti. "Hah? Siap
"Aku benar-benar tidak menyangka Rafael akan benar-benar bertindak!" seru Dominic tidak habis pikir. " ... ""Lalu, apa rencana kamu berikutnya?" tanya Dominic pada Denita. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dari kediaman Alex setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan. " ... "Denita tidak serta merta menjawab pertanyaan ini. Sepasang netra cemerlangnya terus menatap ke kejauhan pada jingga merah di langit kelabu. Saat ini kepalanya terus memikirkan segala rencana agar Salsa berhenti mengganggu hidupnya. "Aku akan kembali ke kediaman Hadiwijaya!" tutur Denita setelah memikirkan berbagai macam pertimbangan. "Hah?!"Lagi-lagi Dominic hampir menginjak rem mobilnya dengan keras karena keputusan tak terduga yang kembali diutarakan oleh Denita. "Kamu yakin?" tanya Dominic. Alisnya berkerut sanksi. "Yakin!" jawab Denita dengan mantap. Dia bahkan menatap sisi wajah Dominic dengan sangat serius untuk menunjukkan kesungguhannya. "Kali ini untuk alasan apa?" tanya Do
Salsa berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Kuku ibu jarinya digigit dengan keras menunjukkan betapa risaunya dia saat ini. Ingatan ketika ibu Herlina mengakui Denita sebagai anak kandungnya terus berputar-putar dalam benak Salsa. Dibandingkan dengan hal lain, dia paling takut jika Denita berhasil menyingkirkannya dari ruang lingkup perhatian orang-orang yang selama ini dia sebut sebagai keluarga. Bahwa apa yang selama ini dia nikmati akan direbut oleh Denita. "Keluarga ini adalah milikku sejak awal. Denita tidak boleh mengambil apa yang sudah menjadi milikku!" gumam Salsa sambil terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar. "Tidak bisa dibiarkan!" serunya. Tidak tahan dengan segala pikiran risau dalam benaknya, Salsa kemudian mulai disibukkan dengan ponsel yang ada dalam genggamannya. Dengan gerakan tergesa-gesa, dia mulai menghubungi seseorang. "Halo, Sa?" sapa orang di seberang begitu sambungan telepon terhubung. "Huhuhu!"Salsa langsung menggelontorkan air mata palsunya s
"Kamu sudah gila?!" Angga berseru sambil menatap tak percaya pada wanita di depannya. "Aku memang sudah gila. Dan itu semua disebabkan oleh mantan pacar kamu itu!" timpal Salsa dengan sengit. " ... "Angga terus menggelengkan kepala dengan pelan. Dia tidak pernah menyangka bahwa wanita yang dia pertahankan sebagai istri ini memiliki niat yang begitu kejam. Pada darah daging yang ada di dalam rahimnya saja dia berniat untuk menghilangkannya?Dalam benak Angga berputar memori ketika Salsa dengan bahagianya mengumumkan tentang kehadiran anak itu. Jadi itu semua hanya pura-pura? Hanya karena dia ingin membuat Denita sakit hati? "Kamu tidak bisa melakukan itu!" ujar Angga sembari meremas kuat bahu Salsa. Sepasang matanya menyala penuh akan segala macam emosi yang berusaha dia tahan. "Kenapa tidak? Ini tubuhku! Aku memiliki hak sepenuhnya atas tubuhku sendiri!" timpal Salsa semakin sengit. Dia bahkan menepis keras tangan Angga yang masih bertengger erat di atas bahunya. "Salsa!" teriak
"Huh!" Denita mendengus dingin mendengar tuduhan tak berdasar yang dikemukakan Salsa ini. "Aku cuma lagi main sama Niko. Kamu yang tiba-tiba teriak. Niko jadi kaget terus nangis 'kan tuh," bantah Denita dengan santai. "Bohong!" sentak Salsa dengan keras. Teriakannya membuat Niko semakin menangis histeris. Ibu Herlina yang berdiri di samping bisa merasakan sisi pelipisnya berkedut tidak sabaran. Dia menatap bolak-balik pada Denita, dan juga Salsa yang tidak pernah bisa akur itu dengan disertai helaan nafas panjang. "Salsa, Kamu jangan teriak dong. Niko makin nangis tuh!" tegur Ibu Herlina seraya meraih Niko dari gendongan Salsa. "Cup cup cup. Cucu nenek kenapa nangis?" tanya Ibu Herlina sambil menepuk pelan bahu pria kecil itu. "Ma, Mama harus percaya sama Salsa. Wanita ini mau mencelakai Niko!" seru Salsa seraya menunjuk Denita dengan ujung telunjuk lentiknya. Denita menjulingkan matanya. "Mau mencelakai gimana? Jelas-jelas aku cuma lagi main sama Niko kok," sambar Denita tidak