"Aku mau belajar bela diri!"Ucapan itu Denita lontarkan ketika dia sedang berada di dalam mobil Rolls-Royce milik Dominic yang saat ini sedang melaju kembali ke Penthouse mewah sang presdir. "Hah?!"Dominic hampir menginjak dengan keras rem mobilnya sedetik setelah mendengar keinginan Denita yang menurutnya sangat random ini. Untungnya kontrol dirinya masih sangat baik, sehingga tidak perlu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Aku cuma mau belajar bela diri. Bukan mau ngajak kamu ngerampok Bank! Reaksinya berlebihan banget!" sindir Denita. Dia seraya memandang miring ke arah Dominic yang duduk di balik kemudi."Kamu kenapa tiba-tiba mau belajar bela diri?" tanya Dominic begitu Denita selesai mengutarakan niatnya. "Kamu nggak pernah cerita kalau Salsa ternyata punya penggemar yang sama gilanya dengan Arkan," protes Denita. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan yang telah diajukan Dominic lebih dulu. Tidak heran jika kening pria itu kemudian berkerut tidak mengerti. "Hah? Siap
"Aku benar-benar tidak menyangka Rafael akan benar-benar bertindak!" seru Dominic tidak habis pikir. " ... ""Lalu, apa rencana kamu berikutnya?" tanya Dominic pada Denita. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dari kediaman Alex setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan. " ... "Denita tidak serta merta menjawab pertanyaan ini. Sepasang netra cemerlangnya terus menatap ke kejauhan pada jingga merah di langit kelabu. Saat ini kepalanya terus memikirkan segala rencana agar Salsa berhenti mengganggu hidupnya. "Aku akan kembali ke kediaman Hadiwijaya!" tutur Denita setelah memikirkan berbagai macam pertimbangan. "Hah?!"Lagi-lagi Dominic hampir menginjak rem mobilnya dengan keras karena keputusan tak terduga yang kembali diutarakan oleh Denita. "Kamu yakin?" tanya Dominic. Alisnya berkerut sanksi. "Yakin!" jawab Denita dengan mantap. Dia bahkan menatap sisi wajah Dominic dengan sangat serius untuk menunjukkan kesungguhannya. "Kali ini untuk alasan apa?" tanya Do
Salsa berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Kuku ibu jarinya digigit dengan keras menunjukkan betapa risaunya dia saat ini. Ingatan ketika ibu Herlina mengakui Denita sebagai anak kandungnya terus berputar-putar dalam benak Salsa. Dibandingkan dengan hal lain, dia paling takut jika Denita berhasil menyingkirkannya dari ruang lingkup perhatian orang-orang yang selama ini dia sebut sebagai keluarga. Bahwa apa yang selama ini dia nikmati akan direbut oleh Denita. "Keluarga ini adalah milikku sejak awal. Denita tidak boleh mengambil apa yang sudah menjadi milikku!" gumam Salsa sambil terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar. "Tidak bisa dibiarkan!" serunya. Tidak tahan dengan segala pikiran risau dalam benaknya, Salsa kemudian mulai disibukkan dengan ponsel yang ada dalam genggamannya. Dengan gerakan tergesa-gesa, dia mulai menghubungi seseorang. "Halo, Sa?" sapa orang di seberang begitu sambungan telepon terhubung. "Huhuhu!"Salsa langsung menggelontorkan air mata palsunya s
"Kamu sudah gila?!" Angga berseru sambil menatap tak percaya pada wanita di depannya. "Aku memang sudah gila. Dan itu semua disebabkan oleh mantan pacar kamu itu!" timpal Salsa dengan sengit. " ... "Angga terus menggelengkan kepala dengan pelan. Dia tidak pernah menyangka bahwa wanita yang dia pertahankan sebagai istri ini memiliki niat yang begitu kejam. Pada darah daging yang ada di dalam rahimnya saja dia berniat untuk menghilangkannya?Dalam benak Angga berputar memori ketika Salsa dengan bahagianya mengumumkan tentang kehadiran anak itu. Jadi itu semua hanya pura-pura? Hanya karena dia ingin membuat Denita sakit hati? "Kamu tidak bisa melakukan itu!" ujar Angga sembari meremas kuat bahu Salsa. Sepasang matanya menyala penuh akan segala macam emosi yang berusaha dia tahan. "Kenapa tidak? Ini tubuhku! Aku memiliki hak sepenuhnya atas tubuhku sendiri!" timpal Salsa semakin sengit. Dia bahkan menepis keras tangan Angga yang masih bertengger erat di atas bahunya. "Salsa!" teriak
"Huh!" Denita mendengus dingin mendengar tuduhan tak berdasar yang dikemukakan Salsa ini. "Aku cuma lagi main sama Niko. Kamu yang tiba-tiba teriak. Niko jadi kaget terus nangis 'kan tuh," bantah Denita dengan santai. "Bohong!" sentak Salsa dengan keras. Teriakannya membuat Niko semakin menangis histeris. Ibu Herlina yang berdiri di samping bisa merasakan sisi pelipisnya berkedut tidak sabaran. Dia menatap bolak-balik pada Denita, dan juga Salsa yang tidak pernah bisa akur itu dengan disertai helaan nafas panjang. "Salsa, Kamu jangan teriak dong. Niko makin nangis tuh!" tegur Ibu Herlina seraya meraih Niko dari gendongan Salsa. "Cup cup cup. Cucu nenek kenapa nangis?" tanya Ibu Herlina sambil menepuk pelan bahu pria kecil itu. "Ma, Mama harus percaya sama Salsa. Wanita ini mau mencelakai Niko!" seru Salsa seraya menunjuk Denita dengan ujung telunjuk lentiknya. Denita menjulingkan matanya. "Mau mencelakai gimana? Jelas-jelas aku cuma lagi main sama Niko kok," sambar Denita tidak
"Nit, aku masih mencintaimu!""Hah?!" pekik Denita. Pupil matanya hampir terbelah ketika mendengar ucapan tiba-tiba dari Angga ini. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba mengaku cinta? Akan sangat bodoh bagi Denita jika dia langsung percaya. "Kamu mabok?" tanya Denita seraya mencoba melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman erat jemari Angga. "Aku serius!" pungkas Angga dengan tegas. Sorot matanya memang benar-benar menunjukkan keseriusan. "Tapi maaf, aku sudah tidak cinta lagi sama kamu!" timpal Denita tanpa basa-basi. Dia sudah sangat mantap dengan pilihannya saat ini. Sejak Angga memutuskan untuk memilih Salsa, dia juga bertekad bahwa tidak akan ada jalan kembali bagi hubungan mereka. Lagipula, pria ini juga tampak mantap dengan keputusan yang dia buat sebelumnya. Lalu kenapa?"Kamu yakin?" tanya Angga. Perlahan dia mulai menyeret langkahnya untuk mempersempit jarak antara dirinya dan Denita. "Kamu mau apa?" tanya Denita dengan kening berkerut tak nyaman. Walau
Keesokan harinya, Setelah menyantap sarapannya, Denita bergegas keluar dari kediaman keluarga Hadiwijaya. Mengingat rencananya hari ini membuat Denita sedikit antusias. Sambil mengutak-atik telepon genggamnya, Denita menuntun sepasang tungkai panjangnya menuju tempat dimana mobilnya di parkir. Seteleh duduk dengan rapi di balik kursi kemudi, dia mulai menghubungi seseorang. "Dom, aku mau minta izin datang terlambat," pinta Denita pada orang di seberang telepon. "Kenapa? Ada masalah apa? Butuh bantuan?" Dominic memberondong Denita dengan banyak pertanyaan sekaligus. Meski Dominic tidak bisa melihatnya, tapi Denita tetap menggelengkan kepala dengan cepat. "Enggak! Aku cuma ada urusan sebentar doang!" ujar Denita sambil mulai menyalakan mesin mobilnya. "Urusan apa?" tanya Dominic kepo. "Nanti deh aku kasih tahu kalau sudah sampai di kantor. Ini aku lagi di jalan soalnya!" tukas Denita sambil terus memfokuskan diri pada jalanan di depannya. "Ya udah, kamu hati-hati di jalan," bala
"Ini bakal sangat membagongkan sih kalau sampai si Niko ini benar anaknya Arkan!" Widia bergumam sendiri setelah dia selesai menjalankan misinya membantu Denita untuk melakukan tes DNA. "Tapi bakal lebih mencengangkan lagi kalau ternyata Niko ini adalah anaknya Dominic," lanjut Widia masih bermonolog sendiri. Begitu pemikiran itu selesai melintas di dalam benaknya, terjadi jeda untuk sementara waktu. Tak lama kemudian, bulu kuduk Widia meremang karena ngeri. Dia lalu dengan cepat menggelengkan kepala untuk menepis pemikiran yang baru saja melintas dalam benaknya. "Enggak! Enggak!" Widia menggelengkan kepala semakin kencang untuk mengusir pemikiran itu. Setelahnya, dia lalu menghela nafas dengan tak berdaya. "Denita! Denita! Kenapa jalan hidup kamu begitu berliku!" gumam Widia bersimpati pada nasib sahabatnya itu. Widia terus menyeret langkahnya menyusuri koridor rumah sakit ketika langkahnya tiba-tiba dihentikan oleh seseorang. "Kamu 'kan?" tunjuk orang itu ketika mata mereka ti