"Fariz, tidak usah pakai foto, ya. Malu.""Mbak Fika harus mulai siap-siap terkenal. Karena pemasaran itu ada rumusnya, TAK KENAL, MAKA TAK BELI," ucap Fariz menekankan peribahasa yang sudah diplintir."Jadi ini positif foto, nih?" tanyaku masih menggunakan kosakata yang jadi trending topic."Iya, Mbak Fika bos Sederek Kitchen!"Ternyata, adik iparku ini pinter, mengerti tentang pemasaran, foto, pengeditan, dan mengerti harus bantu apa untuk Mbak Iparnya ini. Tanpa disuruh pun, langsung mempunyai inisiatif ini dan itu.Pada hari H, semua sudah bersiap. Fariz sampai ijin tidak masuk kerja, katanya dia ingin mendampingiku. Siapa tahu nanti dapat kunjungan pejabat. Makanya, dia dandan abis dan terlihat rapi dan bersih, bahkan malamnya disempatkan potong rambut.Pagi hari kami sudah bersiap di kecamatan, Pak Lurah pun mengunjungi kami didampingi Pak RT. Ternyata banyak juga UMKM undangan di kecamatan ini. Dari produk minuman, makanan, sampai kerajinan. Sembari menunggu pembukaan, Mas Far
Mungkin ini sudah jalannya. Ketika kita di tempat yang lebih baik, semua akan datang membanggakan kita. Apapun alasannya, aku merasa bahagia. Dari pameran itu, aku mendapatkan fasilitas bantuan alat yang disesuaikan kebutuhan, senilai tertentu. Nanti, dari dinas akan datang untuk berkunjung."Fika, selamat, ya. Ikutan seneng punya teman yang berprestasi!" seru Nurul sahabatku sekaligus pemasok bahan-bahan kue. Aku berkunjung sekaligus totalan nota kredit pengambilan bahan."Terima kasih, ya. Ini juga berkat bantuan kamu. Kalau tidak dapat utangan seperti ini, mana bisa cepet jalannya," ucapku sembari menyerahkan nota kredit yang sudah aku rekap, beserta kartu ATM untuk pembayaran.Bahan yang aku ambil dari dia, mendapat tenggang waktu kredit satu bulan. Namun satu atau dua minggu sudah aku setor pembayarannya. Kawatir, uang pembelian sudah terkumpul dan terlihat banyak, padahal di situ masih ada tanggungan yang harus dibayarkan. Bisa menjadi godaan, ingin beli ini dan itu."Tidak di
“Eh, sudah selesai,” ucap Mas Farhan setelah menyadari aku yang sudah berdiri di dekatnya. Dia menyerahkan helm dan mulai bersiap menyalakan sepeda motor."Mas Farhan, kalau sering pergi sendirian apa pernah ada yang menggoda?" tanyaku setelah diam beberapa saat. Ucapan Nurul membuatku berpikir lebih, apalagi punggung kokoh suamiku ini terasa nyaman dengan harum parfum yang menguar ini. Siapa yang mampu menolak pesonanya?"Tidak ada? Kenapa bertanya seperti itu?" ucapnya sembari menepuk punggung tanganku yang melingkar di pinggangnya. Aku merasakan laju sepeda motor ini mulai melambat, sepertinya Mas Farhan memberi kesempatan untuk berbincang."Berarti, Mas Farhan tidak keren, dong. Buktinya tidak ada yang melirik," ejekku dengan mendekatkan kepalaku ke punggungnya. Senyumku tercipta dengan sendirinya. Perasaan lega akan kecurigaan Nurul, ternyata terbukti. Ini berarti kondisinya aman. Tidak ada yang perlu dikawatirkan."Ya walaupun banyak, masak ya diladeni.""Apa?! Berarti ada?! Sia
'Duh, Mas Farhan membuatku kesal,' ucapku dalam hati, walaupun terbersit senyum karena kejadian tiba-tiba tadi.Permasalahannya sekarang, bagaimana caranya aku mandi keramas dan tidak menimbulkan pertanyaan yang aneh dari Santi. Apalagi, kamar mandi ada di belakang dan melewati mereka. Terlebih, membayangkan tatapan curiga dari karyawan yang sudah mulai bekerja di belakang. Aku ada ide!"San, adonannya sudah Mbak siapkan. Kalau kurang bilang, ya?" Aku mendekati dia yang menjawab chat dari pelanggan di marketplace. "Sementara cukup, Mbak." Dia menoleh sekilas dan menoleh lagi ke arahku. Kemudian menyudahi aktifitas dengan memicingkan mata menatap ke rambutku. "Mbak Fika, rambutnya kena tepung, ya?" Aku menelengkan kepala pada cermin, lalu menimpali ucapannya. "Iya, San. Kok banyak, ya. Mungkin pas tadi buat adonan. Duh, rambut Mbak jadi kotor." Aku melirik sebentar melihat reaksinya."Dikeramasi saja, Mbak. Nanti, kelamaan lengket, lo, kecampur keringat."Der! Akhirnya pancinganku
[Mama baru tahu kabar tentang kamu dari internet. Malah, tetangga sebelah yang tanya sama Mama. Kenal dengan Mbak ini tidak? Kan satu kampung. Mama malu, Fik. Tentang anaknya tidak ngerti apa-apa. Kesannya Mama ini orang tua yang tidak perhatian dengan kamu.]Kabar baik, internet, tetangga sebelah, kata kunci yang membuatku mencari tahu apa yang dimaksud Mama. Oh, ternyata itu. Pasti tentang pameran sehari itu. Lebih baik aku telpon langsung. Kadang, tulisan salah meletakkan tanda koma saja mempunyai arti berbeda. Ini bisa salah maksud lagi. "Assaalamualaikum, Ma.""Waalaikumsalam. Fika! Kenapa Mama tidak diberi kabar kalau kamu ada di internet? Tadi pagi, Mama itu ditanya tetangga. Katanya ada orang yang satu kampung dan dapat juara. Eh, ternyata ada fotonya kamu. Mbok, ya, kalau ada kabar gituan ngomong. Jadi kalau ada yang tanya, Mama bisa jawab. Kalau seperti ini, Mama kan mak-klakep tidak mengerti apa-apa. Kamu sengaja, ya?"Tuh, kan, ini gara-gara artikel di internet. Kabar beg
Benar yang dijanjikan Mas Farhan. Dia memulai membangun rumah produksi di halaman rumah. Batu pondasi sudah mulai dipasang, dan masih cukup luas untuk tempat parkir. Rencananya, minggu ini akan dipasang tiang yang berbahan baja. Kata Mas Farhan, pengerjaan tidak membutuhkan waktu lama."Mas mempunyai konsep industrial interior. Jadi nanti tiang baja dicat hitam akan diespos, yang nantinya kontras dengan dinding batu bata tanpa diplester. Mas juga akan tambahkan peralatan dari kayu natural. Dek Fika juga bisa tambahkan tanaman hijau," ucap suamiku menerangkan konsep yang akan dia kerjakan. Dia begitu bersemangat mengerjakan proyek ini. Katanya, ini tidak sekadar pekerjaan, tetapi kesempatan menuangkan ide sesuai kata hati."Setiap sudut akan memiliki rasa. Terutama, rasa cinta dan sayang Mas kepadamu, Dek.""Mas Farhan mulai, deh. Ngegombal," sahutku sambil tersenyum dikulum. Walaupun sudah bertahun-tahun bersama, celetukan tentang cinta masih membuat hatiku berdebar. "Pokoknya, setel
Entah kenapa, penyakitku kambuh. Mungkin karena kecapekan dan pengaruh udara di luar yang menyebabkan sakit kepalaku mendera. Terasa nyeri dan seperti ditusuk-tusuk. "Ibuk gak tidak enak badan. Kepala terasa nyut-nyut," ucapku setelah makan malam selesai. "Biar Lisa saja, Buk." Lisa anak gadisku mengambil alih piring kotor di tanganku, kemudian berucap, "Ibuk istirahat saja dulu. Nanti Lisa buatkan teh tubruk."Lisa tahu benar kebiasaanku. Saat sakit kepala datang, aku merasa lebih baik setelah minum obat dan minum teh tubruk--daun teh yang diseduh dengan air mendidih. Biasanya setelah meminumnya, badanku akan berkeringat dan sakit kepala terasa berkurang."Fikri belikan obat, ya? Ini habis," tanya Fikri setelah memeriksa kotak obat, memastikan persediaan obat sakit kepala.Aku mengangguk sembari menunjuk dompet di atas kulkas. Jam dinding menunjuk angka tujuh, Mas Farhan belum kembali dari mushola. Ada selamatan di sana, makanya dia tidak ikut makan malam.Walaupun kepala terasa nye
Sebelum berangkat ke rumah sakit, Mas Farhan mengecup keningku. Ada rasa sedikit kecewa di sudut hati ini.Pertanyaan berawalan kenapa mulai bergulir. Kalau adik iparku itu sakit dan cukup ditemani suaminya, kenapa suamiku ini harus ke rumah sakit sekarang? Sedangkan aku, istrinya juga sakit. Kenapa Mas Farhan seperti mengeyampingkan aku? Sedangkan dia tahu, sakit ini mereda kalau dipijat olehnya.Setelah memastikan suara sepeda motor Mas Farhn tidak terdengar lagi, aku beranjak turun dari ranjang mengambil obat dan meminumnya kembali. Mungkin kalau dosisnya ditambah, rasa nyeri ini secepatnya hilang.Mempunyai suami yang memiliki adik, kita harus bersiap berbagi suami. Apalagi, suamiku ini sangat sayang kepada adiknya. Seperti aku sekarang ini. Tidak mungkin aku menahan Mas Farhan untuk tidak pergi, walaupun hari sudah tengah malam atau sekadar alasan menemaniku.Cemburu? Jujur, iya.*Pengaruh obat dobel dosis mengantarkan aku terlel