Share

Bab 49. Harga Teman

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-27 21:20:29

Mungkin ini sudah jalannya. Ketika kita di tempat yang lebih baik, semua akan datang membanggakan kita. Apapun alasannya, aku merasa bahagia.

Dari pameran itu, aku mendapatkan fasilitas bantuan alat yang disesuaikan kebutuhan, senilai tertentu. Nanti, dari dinas akan datang untuk berkunjung.

"Fika, selamat, ya. Ikutan seneng punya teman yang berprestasi!" seru Nurul sahabatku sekaligus pemasok bahan-bahan kue. Aku berkunjung sekaligus totalan nota kredit pengambilan bahan.

"Terima kasih, ya. Ini juga berkat bantuan kamu. Kalau tidak dapat utangan seperti ini, mana bisa cepet jalannya," ucapku sembari menyerahkan nota kredit yang sudah aku rekap, beserta kartu ATM untuk pembayaran.

Bahan yang aku ambil dari dia, mendapat tenggang waktu kredit satu bulan. Namun satu atau dua minggu sudah aku setor pembayarannya. Kawatir, uang pembelian sudah terkumpul dan terlihat banyak, padahal di situ masih ada tanggungan yang harus dibayarkan. Bisa menjadi godaan, ingin beli ini dan itu.

"Tidak di
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 50. Ngambul

    “Eh, sudah selesai,” ucap Mas Farhan setelah menyadari aku yang sudah berdiri di dekatnya. Dia menyerahkan helm dan mulai bersiap menyalakan sepeda motor."Mas Farhan, kalau sering pergi sendirian apa pernah ada yang menggoda?" tanyaku setelah diam beberapa saat. Ucapan Nurul membuatku berpikir lebih, apalagi punggung kokoh suamiku ini terasa nyaman dengan harum parfum yang menguar ini. Siapa yang mampu menolak pesonanya?"Tidak ada? Kenapa bertanya seperti itu?" ucapnya sembari menepuk punggung tanganku yang melingkar di pinggangnya. Aku merasakan laju sepeda motor ini mulai melambat, sepertinya Mas Farhan memberi kesempatan untuk berbincang."Berarti, Mas Farhan tidak keren, dong. Buktinya tidak ada yang melirik," ejekku dengan mendekatkan kepalaku ke punggungnya. Senyumku tercipta dengan sendirinya. Perasaan lega akan kecurigaan Nurul, ternyata terbukti. Ini berarti kondisinya aman. Tidak ada yang perlu dikawatirkan."Ya walaupun banyak, masak ya diladeni.""Apa?! Berarti ada?! Sia

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 51. Akibat Serangan Mendadak

    'Duh, Mas Farhan membuatku kesal,' ucapku dalam hati, walaupun terbersit senyum karena kejadian tiba-tiba tadi.Permasalahannya sekarang, bagaimana caranya aku mandi keramas dan tidak menimbulkan pertanyaan yang aneh dari Santi. Apalagi, kamar mandi ada di belakang dan melewati mereka. Terlebih, membayangkan tatapan curiga dari karyawan yang sudah mulai bekerja di belakang. Aku ada ide!"San, adonannya sudah Mbak siapkan. Kalau kurang bilang, ya?" Aku mendekati dia yang menjawab chat dari pelanggan di marketplace. "Sementara cukup, Mbak." Dia menoleh sekilas dan menoleh lagi ke arahku. Kemudian menyudahi aktifitas dengan memicingkan mata menatap ke rambutku. "Mbak Fika, rambutnya kena tepung, ya?" Aku menelengkan kepala pada cermin, lalu menimpali ucapannya. "Iya, San. Kok banyak, ya. Mungkin pas tadi buat adonan. Duh, rambut Mbak jadi kotor." Aku melirik sebentar melihat reaksinya."Dikeramasi saja, Mbak. Nanti, kelamaan lengket, lo, kecampur keringat."Der! Akhirnya pancinganku

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-28
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 52. Aku Jadul?

    [Mama baru tahu kabar tentang kamu dari internet. Malah, tetangga sebelah yang tanya sama Mama. Kenal dengan Mbak ini tidak? Kan satu kampung. Mama malu, Fik. Tentang anaknya tidak ngerti apa-apa. Kesannya Mama ini orang tua yang tidak perhatian dengan kamu.]Kabar baik, internet, tetangga sebelah, kata kunci yang membuatku mencari tahu apa yang dimaksud Mama. Oh, ternyata itu. Pasti tentang pameran sehari itu. Lebih baik aku telpon langsung. Kadang, tulisan salah meletakkan tanda koma saja mempunyai arti berbeda. Ini bisa salah maksud lagi. "Assaalamualaikum, Ma.""Waalaikumsalam. Fika! Kenapa Mama tidak diberi kabar kalau kamu ada di internet? Tadi pagi, Mama itu ditanya tetangga. Katanya ada orang yang satu kampung dan dapat juara. Eh, ternyata ada fotonya kamu. Mbok, ya, kalau ada kabar gituan ngomong. Jadi kalau ada yang tanya, Mama bisa jawab. Kalau seperti ini, Mama kan mak-klakep tidak mengerti apa-apa. Kamu sengaja, ya?"Tuh, kan, ini gara-gara artikel di internet. Kabar beg

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-28
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 53. Gara-Gara Pondasi

    Benar yang dijanjikan Mas Farhan. Dia memulai membangun rumah produksi di halaman rumah. Batu pondasi sudah mulai dipasang, dan masih cukup luas untuk tempat parkir. Rencananya, minggu ini akan dipasang tiang yang berbahan baja. Kata Mas Farhan, pengerjaan tidak membutuhkan waktu lama."Mas mempunyai konsep industrial interior. Jadi nanti tiang baja dicat hitam akan diespos, yang nantinya kontras dengan dinding batu bata tanpa diplester. Mas juga akan tambahkan peralatan dari kayu natural. Dek Fika juga bisa tambahkan tanaman hijau," ucap suamiku menerangkan konsep yang akan dia kerjakan. Dia begitu bersemangat mengerjakan proyek ini. Katanya, ini tidak sekadar pekerjaan, tetapi kesempatan menuangkan ide sesuai kata hati."Setiap sudut akan memiliki rasa. Terutama, rasa cinta dan sayang Mas kepadamu, Dek.""Mas Farhan mulai, deh. Ngegombal," sahutku sambil tersenyum dikulum. Walaupun sudah bertahun-tahun bersama, celetukan tentang cinta masih membuat hatiku berdebar. "Pokoknya, setel

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 54. Mengalah Lagi

    Entah kenapa, penyakitku kambuh. Mungkin karena kecapekan dan pengaruh udara di luar yang menyebabkan sakit kepalaku mendera. Terasa nyeri dan seperti ditusuk-tusuk. "Ibuk gak tidak enak badan. Kepala terasa nyut-nyut," ucapku setelah makan malam selesai. "Biar Lisa saja, Buk." Lisa anak gadisku mengambil alih piring kotor di tanganku, kemudian berucap, "Ibuk istirahat saja dulu. Nanti Lisa buatkan teh tubruk."Lisa tahu benar kebiasaanku. Saat sakit kepala datang, aku merasa lebih baik setelah minum obat dan minum teh tubruk--daun teh yang diseduh dengan air mendidih. Biasanya setelah meminumnya, badanku akan berkeringat dan sakit kepala terasa berkurang."Fikri belikan obat, ya? Ini habis," tanya Fikri setelah memeriksa kotak obat, memastikan persediaan obat sakit kepala.Aku mengangguk sembari menunjuk dompet di atas kulkas. Jam dinding menunjuk angka tujuh, Mas Farhan belum kembali dari mushola. Ada selamatan di sana, makanya dia tidak ikut makan malam.Walaupun kepala terasa nye

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 55. Niat Baik Belum Tentu Diterima

    Sebelum berangkat ke rumah sakit, Mas Farhan mengecup keningku. Ada rasa sedikit kecewa di sudut hati ini.Pertanyaan berawalan kenapa mulai bergulir. Kalau adik iparku itu sakit dan cukup ditemani suaminya, kenapa suamiku ini harus ke rumah sakit sekarang? Sedangkan aku, istrinya juga sakit. Kenapa Mas Farhan seperti mengeyampingkan aku? Sedangkan dia tahu, sakit ini mereda kalau dipijat olehnya.Setelah memastikan suara sepeda motor Mas Farhn tidak terdengar lagi, aku beranjak turun dari ranjang mengambil obat dan meminumnya kembali. Mungkin kalau dosisnya ditambah, rasa nyeri ini secepatnya hilang.Mempunyai suami yang memiliki adik, kita harus bersiap berbagi suami. Apalagi, suamiku ini sangat sayang kepada adiknya. Seperti aku sekarang ini. Tidak mungkin aku menahan Mas Farhan untuk tidak pergi, walaupun hari sudah tengah malam atau sekadar alasan menemaniku.Cemburu? Jujur, iya.*Pengaruh obat dobel dosis mengantarkan aku terlel

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 56. Mulai Lelah

    "Dek, benar yang diucapkan Santi. Rendra mulai goyah," ucap Mas Farhan tertunduk lesu. Teh hangat yang menguar bunga melati, hanya didiamkan olehnya. Tidak seperti biasanya, yang selalu mengirup dalam-dalam aroma yang dia sukai ini, perpaduan teh hijau dan bunga melati. Tanganku yang sudah meraih cangkir berisi kopi hitam panas, aku urungkan. Aku memilih beranjak mendekati dan duduk di samping suamiku. Wajahnya terlihat berpikir keras, ditandai kerutan yang menautkan kedua alisnya. "Rendra mengatakan apa, Mas?" Aku menatapnya dengan was-was, menunggu yang akan diucap tentang arti kata 'goyah', tadi. Apakah sama dengan perkirakan Santi? Sudah tiga hari ini, Mas Farhan berusaha mendekati pasangan itu, dan sekarang hasilnya seperti ini. "Dek Hana begitu keras, dan Rendra sudah mulai lelah. Tadi malam dia mengeluhkan sikap istrinya kepada Mas. Dia tidak bisa disalahkan, tapi, Dek Hana adik Mas sendiri. Entah, apalagi yang bisa Mas lakukan." Dia menengadahkan kepala dengan mata terpej

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 57. Siap Jadi Pengangguran?

    Walaupun Mas Farhan disibukkan masalah pribadi, pembangunan rumah produksi tetap berjalan lancar. Suamiku ini ternyata sudah mempunyai tim proyek yang bisa diandalkan. Bangunan lantai satu sudah berbentuk. Sedangkan bangunan lantai dua, akan menyusul secara bertahap tanpa mengganggu aktifitas lantai satu. Mas Farhan meletakkan tangga di luar bangunan. Jadi walaupun satu gedung, kami tidak saling mengganggu. Dinding yang memunculkan karakter batu bata, tidak membutuhkan waktu lama. Sekarang, rumah produksi sudah masuk tahap interior. Untuk hal ini, Mas Farhan dibantu oleh Fariz. "Mbak Fika, boleh Fariz keluar dari pekerjaan di bengkel? Fariz lebih suka membantu Mbak Fika dan Mas Farhan. Seperti sekarang ini," ucap adik iparku ini. Aku terkejut dengan yang dia sampaikan, memang dia masih karyawan baru di bengkel itu. Namun, melihat sistem penggajian dan perlakuan kepada karyawan, rasanya sayang kalau keluar begitu saja. Pimpinan dimana tempat dia bekerja begitu baik memperlakukan p

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01

Bab terbaru

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 65. Ada saja

    "Karena itu Mas. Walaupun berat meninggalkan Dek Hana, saya harus berangkat berlayar. Apalagi setelah dedek bayi lahir memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada kesempatan kali ini, e ... saya minta bantuan Mas Farhan sekeluarga untuk menemani Dek Hana saat lahiran nanti," ucap Rendra menunjukkan tatapan memohon kepada Mas Farhan.Suamiku tersenyum, dengan tatapan teduh mulai bicara kembali. "Tanpa kamu mintapun, kami sekeluarga siap mendampingi Dek Hana, Ren. Namun, perlu kamu ingat nanti setelah anakmu lahir. Seorang anak tidak cukup diberi sandang, pangan, dan papan, tetapi dia butuh kasih sayang dan sosok seorang ayah. Didikan dari orang tua, tidak sekadar dijejali dengan materi. Ok, lah. Kalau kamu sekarang berangkat berlayar. Tetapi, Mas memberi pendapat, mulailah berpikir untuk bekerja dari rumah. Mendampingi keluargamu. Pengalaman kamu ke luar negeri bisa kamu aplikasikan di sini.""Iya, Mas. Saya juga sudah berpikir ke sana.""Tapi, Mas. Kalau Mas Rendra cari kerja di sini, u

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 64. Permohonan Rendra

    Waktu terus berjalan, lantai dua di rumah produksi sudah terbangun. Bahkan Mas Farhan sudah berkantor di sana. Fariz pun mempunyai ruangan di lantai dua, mengerjakan yang dia cita-citakan. Sedangkan, aku dan Santi semakin sibuk di lantai satu.[Mbak Fika. Hari ini di rumah? Aku dan Rendra ingin mampir] Pesan whatsapp dari Dek Hana. Alhamdulillah, kandungan dia tidak ada masalah. Hubungan mereka sudah tidak terdengar riak lagi. Walaupun, kami jarang bertemu, tetapi Santi selalu menceritakan kabar mereka. Apalagi, ibu mertua mondar-mandir ke rumah Dek Hana, memastikan calon cucunya baik-baik saja.[Datang saja, Dek. Mas Farhan juga ada, kebetulan tidak ada rencana pergi] Balasan pesan whatsappku kepada Dek Hana.Tepat setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka berdua datang. Eh, bertiga bersama ibu mertua. Kami berkumpul di ruang tamu. Aku dan Santi menyiapkan makanan kecil dan minum teh hangat. Aku merasa, kedatangannya ini pasti mempunyai niat selain hanya sekadar berkunjung. Karena, in

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 63. Dikejar Orderan

    Keesokan harinya, ponselku tidak berhenti berbunyi tanda panggilan atau pesan whatsapp yang masuk. Semuanya senada. Memberi selamat atas keberhasilan bisnisku.Tidak ketinggalan Mama, dia sudah menelponku tadi pagi. Banyak sekali wejangan yang aku terima. Intinya, supaya aku tidak cepat puas apalagi besar kepala."Ini baru anak Mama. Berani tampil ke depan. Mama juga sudah share artikel tentang kamu. Dan, sampai sekarang Mama kebanjiran kata selamat." Yang membuatku menitikkan air mata, saat Mama menyinggung orangtuaku. "Fika, kalau Bapak dan Ibumu masih hidup, pasti dia sangat bangga. Mempunyai putri yang berbuat lebih dan membantu orang lain. Mama sangat senang, diberi kesempatan menjadi ibu kamu, Fik."Berita tersebar ini karena berita di internet sudah muncul. Artikel tayang di situs pemerintahan daerah, dan media yang meliput pada hari kemarin. Bahkan, di media online terlihat angka puluhan pada tanda bagikan. Fariz tergopoh mendatangiku dengan wajah yang mewakili kata puas."M

DMCA.com Protection Status