Sebelum berangkat ke rumah sakit, Mas Farhan mengecup keningku. Ada rasa sedikit kecewa di sudut hati ini.Pertanyaan berawalan kenapa mulai bergulir. Kalau adik iparku itu sakit dan cukup ditemani suaminya, kenapa suamiku ini harus ke rumah sakit sekarang? Sedangkan aku, istrinya juga sakit. Kenapa Mas Farhan seperti mengeyampingkan aku? Sedangkan dia tahu, sakit ini mereda kalau dipijat olehnya.Setelah memastikan suara sepeda motor Mas Farhn tidak terdengar lagi, aku beranjak turun dari ranjang mengambil obat dan meminumnya kembali. Mungkin kalau dosisnya ditambah, rasa nyeri ini secepatnya hilang.Mempunyai suami yang memiliki adik, kita harus bersiap berbagi suami. Apalagi, suamiku ini sangat sayang kepada adiknya. Seperti aku sekarang ini. Tidak mungkin aku menahan Mas Farhan untuk tidak pergi, walaupun hari sudah tengah malam atau sekadar alasan menemaniku.Cemburu? Jujur, iya.*Pengaruh obat dobel dosis mengantarkan aku terlel
"Dek, benar yang diucapkan Santi. Rendra mulai goyah," ucap Mas Farhan tertunduk lesu. Teh hangat yang menguar bunga melati, hanya didiamkan olehnya. Tidak seperti biasanya, yang selalu mengirup dalam-dalam aroma yang dia sukai ini, perpaduan teh hijau dan bunga melati. Tanganku yang sudah meraih cangkir berisi kopi hitam panas, aku urungkan. Aku memilih beranjak mendekati dan duduk di samping suamiku. Wajahnya terlihat berpikir keras, ditandai kerutan yang menautkan kedua alisnya. "Rendra mengatakan apa, Mas?" Aku menatapnya dengan was-was, menunggu yang akan diucap tentang arti kata 'goyah', tadi. Apakah sama dengan perkirakan Santi? Sudah tiga hari ini, Mas Farhan berusaha mendekati pasangan itu, dan sekarang hasilnya seperti ini. "Dek Hana begitu keras, dan Rendra sudah mulai lelah. Tadi malam dia mengeluhkan sikap istrinya kepada Mas. Dia tidak bisa disalahkan, tapi, Dek Hana adik Mas sendiri. Entah, apalagi yang bisa Mas lakukan." Dia menengadahkan kepala dengan mata terpej
Walaupun Mas Farhan disibukkan masalah pribadi, pembangunan rumah produksi tetap berjalan lancar. Suamiku ini ternyata sudah mempunyai tim proyek yang bisa diandalkan. Bangunan lantai satu sudah berbentuk. Sedangkan bangunan lantai dua, akan menyusul secara bertahap tanpa mengganggu aktifitas lantai satu. Mas Farhan meletakkan tangga di luar bangunan. Jadi walaupun satu gedung, kami tidak saling mengganggu. Dinding yang memunculkan karakter batu bata, tidak membutuhkan waktu lama. Sekarang, rumah produksi sudah masuk tahap interior. Untuk hal ini, Mas Farhan dibantu oleh Fariz. "Mbak Fika, boleh Fariz keluar dari pekerjaan di bengkel? Fariz lebih suka membantu Mbak Fika dan Mas Farhan. Seperti sekarang ini," ucap adik iparku ini. Aku terkejut dengan yang dia sampaikan, memang dia masih karyawan baru di bengkel itu. Namun, melihat sistem penggajian dan perlakuan kepada karyawan, rasanya sayang kalau keluar begitu saja. Pimpinan dimana tempat dia bekerja begitu baik memperlakukan p
Kadang, kita sekolah jurusan apa, kerjanya dimana, dan berakhir sukses di bidang apa. Banyak artikel tentang keberhasilan seseorang yang pernah aku baca. Sekolah di pertanian, kemudian kerja sebagai karyawan bank, eh keluar dari pekerjaan malah sukses di bidang kuliner. Seperti Presiden Joko Widodo, lulusan fakultas kehutanan, eh lulus kuliah usaha pertukangan, dan setelahnya malah jadi presiden. Itu yang menjadi dasar pemaklumanku atas keputusan Fariz. Aku berbicara dengan Mas Farhan terlebih dahulu, supaya dia tidak kaget. Mengingat suamiku itu pernah berkata kalau Fariz beruntung memiliki pekerjaan sesuai akademi yang dia pelajari. Bahkan, dia menyatakan kalau tanggungjawabnya berkurang karena adiknya itu sudah mulai mapan."Fariz mengatakan itu? Duh, anak itu sudah di posisi yang benar, malah ingin cari pusing! Apa dia tidak tahu, mencari kerja itu susah!" ucap Mas Farhan, membenarkan prediksiku. Ketidaksetujuannya terlihat kentara. Dia mengusap kasar wajahnya dengan dahi berke
Aku menatap keduanya, suamiku dan Fariz. Mereka terlihat sama-sama bersikukuh dengan pendiriannya. Fariz yang aku kira tidak teguh dan berani mengemukakan pendapatnya, terlihat bersiap. Seakan dia sudah membulatkan tekad untuk mengupayakan apa yang diinginkan.Seperti menjawab tantangan, adik iparku ini duduk menegak dan mulai berkata, "Dalam berbisnis ada itung-itungannya. Tidak seperti matematika, yang satu tambah satu sama dengan dua. Dalam berbisnis, satu tambah satu bisa jadi seribu atau satu juta. Namun bisa jadi berakhir minus."Fariz mengambil jeda untuk mengambil napas dan berujar kembali, "Fariz siap mengambil resiko, Mas. Fariz minta doa Mas Farhan dan Mbak Fika."Mas Farhan diam sembari menatap lekat adiknya itu. Wajahnya masih menunjukkan keberatan, tetapi sudah mulai memudar. Fariz mengambil tas ranselnya, kemudian mengeluarkan map bertuliskan Proposal Usaha. Dia menyerahkan kepada kakaknya itu."Fariz sudah mempelajari semuanya. Selain Fariz menyukai bidang ini, sekar
Tanggung jawab sebagai kakak tertua di pundak Mas Farhan begitu berat. Bisa saja dia mengabaikannya, bukankah Hana, Fariz, dan Santi sudah lulus sekolah? Ibaratnya, Mas Farhan sudah memberikan mereka kail. Sekarang, tergantung mereka memberi warna apa, pada kehidupan mereka. "Mereka itu tidak sekadar adik bagi Mas. Semenjak Bapak meninggal, tanggung jawab beliau berpindah kepada Mas. Termasuk, memastikan kebahagiaan mereka." Ini yang dikatakan Mas Farhan. Oleh karena itu, aku sebagai istri berusaha memberi dukungan semampuku, walaupun itu bukan sesuatu yang mudah.Seperti merubah sikap seseorang, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sampai sekarang, kasus Dek Hana dan Renda masih belum ada perubahan. Walaupun Mas Farhan sudah berusaha, mereka masih keras dalam pendiriannya. Seiring waktu, suamiku pun tidak bisa selalu mengawasi mereka, dia juga tenggelam dalam pekerjaan yang mulai berdatangan. Keinginanku untuk tidak turut ikut campur urusan keduanya,
Memang Dek Hana hanya adik ipar, tapi aku merasa tidak terima. Bibirku bergetar menahan amarah. Dengan mengetatkan rahang, aku mengambil dompet dari tas dan mengambil tiga lembar ratusan ribu. "Mbak. Maaf, saya tidak kenal dengan kamu. Tetapi, saya kenal laki-laki di samping kamu. Dia suami adik suami saya, dan sekarang istrinya sedang mengandung. Tolong, jangan ganggu dia. Sesama perempuan aku harap kamu mengerti. Ini uang taxi. Pulanglah, sebelum kamu terikut dalam masalah ini. Atau, aku bisa berkata kasar kepada kamu," ucapku sembari memberikan uang kepadanya. Dia menatap Rendra seakan minta bantuan."Rendra, kita harus bicara. Sekarang," ucapku dengan menunjukkan wajah datar."Tapi, Fika--""Aku yakin kamu orang baik. Jangan paksa saya untuk bertindak tegas," ucapku dengan nada berat, menegaskan kalau aku serius. Tanganku yang menggenggam kunci mobil, semakin mengetat, seakan menjadi pelampiasan kekesalan yang mulai membuncah. Kok bisanya dia bersikap berat melepaskan perempuan
Ponselku masih dalam genggaman. Foto-foto yang terpampang di layar ponselku tidak tampak lagi, seiring dengan menggelapnya benda pipih ini. Keraguan menggoyahkan aku yang semula berniat menyimpan bukti perselingkuhan Rendra. Bukan perselingkuhan, katanya hanya sekadar pengurai penat. Memikirkan saja, aku sudah begidik, jijik. Ini lebih gila, lagi. Sisi diriku yang lain, jengah untuk mencampuri urusan mereka lebih jauh lagi. Tugasku sudah selesai, memberi peringatan Rendra untuk kembali ke jalan yang seharusnya. Tentang keutuhan rumah tangga mereka, bukahkah itu tergantung seberapa keras mereka mau mempertahankan? Mereka sudah bukan anak kecil lagi. Kalau kami harus mengawal mereka terus, kapan bisa menjadi dewasa? Setelah menghela napas, aku bulatkan keputusan untuk menghapus foto-foto itu. Keberadaannya membuatku tidak tenang. Kalau ada yang menemui bukti ini, bisa jadi terjadi salah paham lagi. Berkata salah, menyimpan juga bisa jadi tidak tepat. Toh kejadian itu sudah satu bul