Aku menatap keduanya, suamiku dan Fariz. Mereka terlihat sama-sama bersikukuh dengan pendiriannya. Fariz yang aku kira tidak teguh dan berani mengemukakan pendapatnya, terlihat bersiap. Seakan dia sudah membulatkan tekad untuk mengupayakan apa yang diinginkan.Seperti menjawab tantangan, adik iparku ini duduk menegak dan mulai berkata, "Dalam berbisnis ada itung-itungannya. Tidak seperti matematika, yang satu tambah satu sama dengan dua. Dalam berbisnis, satu tambah satu bisa jadi seribu atau satu juta. Namun bisa jadi berakhir minus."Fariz mengambil jeda untuk mengambil napas dan berujar kembali, "Fariz siap mengambil resiko, Mas. Fariz minta doa Mas Farhan dan Mbak Fika."Mas Farhan diam sembari menatap lekat adiknya itu. Wajahnya masih menunjukkan keberatan, tetapi sudah mulai memudar. Fariz mengambil tas ranselnya, kemudian mengeluarkan map bertuliskan Proposal Usaha. Dia menyerahkan kepada kakaknya itu."Fariz sudah mempelajari semuanya. Selain Fariz menyukai bidang ini, sekar
Tanggung jawab sebagai kakak tertua di pundak Mas Farhan begitu berat. Bisa saja dia mengabaikannya, bukankah Hana, Fariz, dan Santi sudah lulus sekolah? Ibaratnya, Mas Farhan sudah memberikan mereka kail. Sekarang, tergantung mereka memberi warna apa, pada kehidupan mereka. "Mereka itu tidak sekadar adik bagi Mas. Semenjak Bapak meninggal, tanggung jawab beliau berpindah kepada Mas. Termasuk, memastikan kebahagiaan mereka." Ini yang dikatakan Mas Farhan. Oleh karena itu, aku sebagai istri berusaha memberi dukungan semampuku, walaupun itu bukan sesuatu yang mudah.Seperti merubah sikap seseorang, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sampai sekarang, kasus Dek Hana dan Renda masih belum ada perubahan. Walaupun Mas Farhan sudah berusaha, mereka masih keras dalam pendiriannya. Seiring waktu, suamiku pun tidak bisa selalu mengawasi mereka, dia juga tenggelam dalam pekerjaan yang mulai berdatangan. Keinginanku untuk tidak turut ikut campur urusan keduanya,
Memang Dek Hana hanya adik ipar, tapi aku merasa tidak terima. Bibirku bergetar menahan amarah. Dengan mengetatkan rahang, aku mengambil dompet dari tas dan mengambil tiga lembar ratusan ribu. "Mbak. Maaf, saya tidak kenal dengan kamu. Tetapi, saya kenal laki-laki di samping kamu. Dia suami adik suami saya, dan sekarang istrinya sedang mengandung. Tolong, jangan ganggu dia. Sesama perempuan aku harap kamu mengerti. Ini uang taxi. Pulanglah, sebelum kamu terikut dalam masalah ini. Atau, aku bisa berkata kasar kepada kamu," ucapku sembari memberikan uang kepadanya. Dia menatap Rendra seakan minta bantuan."Rendra, kita harus bicara. Sekarang," ucapku dengan menunjukkan wajah datar."Tapi, Fika--""Aku yakin kamu orang baik. Jangan paksa saya untuk bertindak tegas," ucapku dengan nada berat, menegaskan kalau aku serius. Tanganku yang menggenggam kunci mobil, semakin mengetat, seakan menjadi pelampiasan kekesalan yang mulai membuncah. Kok bisanya dia bersikap berat melepaskan perempuan
Ponselku masih dalam genggaman. Foto-foto yang terpampang di layar ponselku tidak tampak lagi, seiring dengan menggelapnya benda pipih ini. Keraguan menggoyahkan aku yang semula berniat menyimpan bukti perselingkuhan Rendra. Bukan perselingkuhan, katanya hanya sekadar pengurai penat. Memikirkan saja, aku sudah begidik, jijik. Ini lebih gila, lagi. Sisi diriku yang lain, jengah untuk mencampuri urusan mereka lebih jauh lagi. Tugasku sudah selesai, memberi peringatan Rendra untuk kembali ke jalan yang seharusnya. Tentang keutuhan rumah tangga mereka, bukahkah itu tergantung seberapa keras mereka mau mempertahankan? Mereka sudah bukan anak kecil lagi. Kalau kami harus mengawal mereka terus, kapan bisa menjadi dewasa? Setelah menghela napas, aku bulatkan keputusan untuk menghapus foto-foto itu. Keberadaannya membuatku tidak tenang. Kalau ada yang menemui bukti ini, bisa jadi terjadi salah paham lagi. Berkata salah, menyimpan juga bisa jadi tidak tepat. Toh kejadian itu sudah satu bul
Keesokan harinya, ponselku tidak berhenti berbunyi tanda panggilan atau pesan whatsapp yang masuk. Semuanya senada. Memberi selamat atas keberhasilan bisnisku.Tidak ketinggalan Mama, dia sudah menelponku tadi pagi. Banyak sekali wejangan yang aku terima. Intinya, supaya aku tidak cepat puas apalagi besar kepala."Ini baru anak Mama. Berani tampil ke depan. Mama juga sudah share artikel tentang kamu. Dan, sampai sekarang Mama kebanjiran kata selamat." Yang membuatku menitikkan air mata, saat Mama menyinggung orangtuaku. "Fika, kalau Bapak dan Ibumu masih hidup, pasti dia sangat bangga. Mempunyai putri yang berbuat lebih dan membantu orang lain. Mama sangat senang, diberi kesempatan menjadi ibu kamu, Fik."Berita tersebar ini karena berita di internet sudah muncul. Artikel tayang di situs pemerintahan daerah, dan media yang meliput pada hari kemarin. Bahkan, di media online terlihat angka puluhan pada tanda bagikan. Fariz tergopoh mendatangiku dengan wajah yang mewakili kata puas."M
Waktu terus berjalan, lantai dua di rumah produksi sudah terbangun. Bahkan Mas Farhan sudah berkantor di sana. Fariz pun mempunyai ruangan di lantai dua, mengerjakan yang dia cita-citakan. Sedangkan, aku dan Santi semakin sibuk di lantai satu.[Mbak Fika. Hari ini di rumah? Aku dan Rendra ingin mampir] Pesan whatsapp dari Dek Hana. Alhamdulillah, kandungan dia tidak ada masalah. Hubungan mereka sudah tidak terdengar riak lagi. Walaupun, kami jarang bertemu, tetapi Santi selalu menceritakan kabar mereka. Apalagi, ibu mertua mondar-mandir ke rumah Dek Hana, memastikan calon cucunya baik-baik saja.[Datang saja, Dek. Mas Farhan juga ada, kebetulan tidak ada rencana pergi] Balasan pesan whatsappku kepada Dek Hana.Tepat setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka berdua datang. Eh, bertiga bersama ibu mertua. Kami berkumpul di ruang tamu. Aku dan Santi menyiapkan makanan kecil dan minum teh hangat. Aku merasa, kedatangannya ini pasti mempunyai niat selain hanya sekadar berkunjung. Karena, in
"Karena itu Mas. Walaupun berat meninggalkan Dek Hana, saya harus berangkat berlayar. Apalagi setelah dedek bayi lahir memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada kesempatan kali ini, e ... saya minta bantuan Mas Farhan sekeluarga untuk menemani Dek Hana saat lahiran nanti," ucap Rendra menunjukkan tatapan memohon kepada Mas Farhan.Suamiku tersenyum, dengan tatapan teduh mulai bicara kembali. "Tanpa kamu mintapun, kami sekeluarga siap mendampingi Dek Hana, Ren. Namun, perlu kamu ingat nanti setelah anakmu lahir. Seorang anak tidak cukup diberi sandang, pangan, dan papan, tetapi dia butuh kasih sayang dan sosok seorang ayah. Didikan dari orang tua, tidak sekadar dijejali dengan materi. Ok, lah. Kalau kamu sekarang berangkat berlayar. Tetapi, Mas memberi pendapat, mulailah berpikir untuk bekerja dari rumah. Mendampingi keluargamu. Pengalaman kamu ke luar negeri bisa kamu aplikasikan di sini.""Iya, Mas. Saya juga sudah berpikir ke sana.""Tapi, Mas. Kalau Mas Rendra cari kerja di sini, u
"Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha