[Mama baru tahu kabar tentang kamu dari internet. Malah, tetangga sebelah yang tanya sama Mama. Kenal dengan Mbak ini tidak? Kan satu kampung. Mama malu, Fik. Tentang anaknya tidak ngerti apa-apa. Kesannya Mama ini orang tua yang tidak perhatian dengan kamu.]Kabar baik, internet, tetangga sebelah, kata kunci yang membuatku mencari tahu apa yang dimaksud Mama. Oh, ternyata itu. Pasti tentang pameran sehari itu. Lebih baik aku telpon langsung. Kadang, tulisan salah meletakkan tanda koma saja mempunyai arti berbeda. Ini bisa salah maksud lagi. "Assaalamualaikum, Ma.""Waalaikumsalam. Fika! Kenapa Mama tidak diberi kabar kalau kamu ada di internet? Tadi pagi, Mama itu ditanya tetangga. Katanya ada orang yang satu kampung dan dapat juara. Eh, ternyata ada fotonya kamu. Mbok, ya, kalau ada kabar gituan ngomong. Jadi kalau ada yang tanya, Mama bisa jawab. Kalau seperti ini, Mama kan mak-klakep tidak mengerti apa-apa. Kamu sengaja, ya?"Tuh, kan, ini gara-gara artikel di internet. Kabar beg
Benar yang dijanjikan Mas Farhan. Dia memulai membangun rumah produksi di halaman rumah. Batu pondasi sudah mulai dipasang, dan masih cukup luas untuk tempat parkir. Rencananya, minggu ini akan dipasang tiang yang berbahan baja. Kata Mas Farhan, pengerjaan tidak membutuhkan waktu lama."Mas mempunyai konsep industrial interior. Jadi nanti tiang baja dicat hitam akan diespos, yang nantinya kontras dengan dinding batu bata tanpa diplester. Mas juga akan tambahkan peralatan dari kayu natural. Dek Fika juga bisa tambahkan tanaman hijau," ucap suamiku menerangkan konsep yang akan dia kerjakan. Dia begitu bersemangat mengerjakan proyek ini. Katanya, ini tidak sekadar pekerjaan, tetapi kesempatan menuangkan ide sesuai kata hati."Setiap sudut akan memiliki rasa. Terutama, rasa cinta dan sayang Mas kepadamu, Dek.""Mas Farhan mulai, deh. Ngegombal," sahutku sambil tersenyum dikulum. Walaupun sudah bertahun-tahun bersama, celetukan tentang cinta masih membuat hatiku berdebar. "Pokoknya, setel
Entah kenapa, penyakitku kambuh. Mungkin karena kecapekan dan pengaruh udara di luar yang menyebabkan sakit kepalaku mendera. Terasa nyeri dan seperti ditusuk-tusuk. "Ibuk gak tidak enak badan. Kepala terasa nyut-nyut," ucapku setelah makan malam selesai. "Biar Lisa saja, Buk." Lisa anak gadisku mengambil alih piring kotor di tanganku, kemudian berucap, "Ibuk istirahat saja dulu. Nanti Lisa buatkan teh tubruk."Lisa tahu benar kebiasaanku. Saat sakit kepala datang, aku merasa lebih baik setelah minum obat dan minum teh tubruk--daun teh yang diseduh dengan air mendidih. Biasanya setelah meminumnya, badanku akan berkeringat dan sakit kepala terasa berkurang."Fikri belikan obat, ya? Ini habis," tanya Fikri setelah memeriksa kotak obat, memastikan persediaan obat sakit kepala.Aku mengangguk sembari menunjuk dompet di atas kulkas. Jam dinding menunjuk angka tujuh, Mas Farhan belum kembali dari mushola. Ada selamatan di sana, makanya dia tidak ikut makan malam.Walaupun kepala terasa nye
Sebelum berangkat ke rumah sakit, Mas Farhan mengecup keningku. Ada rasa sedikit kecewa di sudut hati ini.Pertanyaan berawalan kenapa mulai bergulir. Kalau adik iparku itu sakit dan cukup ditemani suaminya, kenapa suamiku ini harus ke rumah sakit sekarang? Sedangkan aku, istrinya juga sakit. Kenapa Mas Farhan seperti mengeyampingkan aku? Sedangkan dia tahu, sakit ini mereda kalau dipijat olehnya.Setelah memastikan suara sepeda motor Mas Farhn tidak terdengar lagi, aku beranjak turun dari ranjang mengambil obat dan meminumnya kembali. Mungkin kalau dosisnya ditambah, rasa nyeri ini secepatnya hilang.Mempunyai suami yang memiliki adik, kita harus bersiap berbagi suami. Apalagi, suamiku ini sangat sayang kepada adiknya. Seperti aku sekarang ini. Tidak mungkin aku menahan Mas Farhan untuk tidak pergi, walaupun hari sudah tengah malam atau sekadar alasan menemaniku.Cemburu? Jujur, iya.*Pengaruh obat dobel dosis mengantarkan aku terlel
"Dek, benar yang diucapkan Santi. Rendra mulai goyah," ucap Mas Farhan tertunduk lesu. Teh hangat yang menguar bunga melati, hanya didiamkan olehnya. Tidak seperti biasanya, yang selalu mengirup dalam-dalam aroma yang dia sukai ini, perpaduan teh hijau dan bunga melati. Tanganku yang sudah meraih cangkir berisi kopi hitam panas, aku urungkan. Aku memilih beranjak mendekati dan duduk di samping suamiku. Wajahnya terlihat berpikir keras, ditandai kerutan yang menautkan kedua alisnya. "Rendra mengatakan apa, Mas?" Aku menatapnya dengan was-was, menunggu yang akan diucap tentang arti kata 'goyah', tadi. Apakah sama dengan perkirakan Santi? Sudah tiga hari ini, Mas Farhan berusaha mendekati pasangan itu, dan sekarang hasilnya seperti ini. "Dek Hana begitu keras, dan Rendra sudah mulai lelah. Tadi malam dia mengeluhkan sikap istrinya kepada Mas. Dia tidak bisa disalahkan, tapi, Dek Hana adik Mas sendiri. Entah, apalagi yang bisa Mas lakukan." Dia menengadahkan kepala dengan mata terpej
Walaupun Mas Farhan disibukkan masalah pribadi, pembangunan rumah produksi tetap berjalan lancar. Suamiku ini ternyata sudah mempunyai tim proyek yang bisa diandalkan. Bangunan lantai satu sudah berbentuk. Sedangkan bangunan lantai dua, akan menyusul secara bertahap tanpa mengganggu aktifitas lantai satu. Mas Farhan meletakkan tangga di luar bangunan. Jadi walaupun satu gedung, kami tidak saling mengganggu. Dinding yang memunculkan karakter batu bata, tidak membutuhkan waktu lama. Sekarang, rumah produksi sudah masuk tahap interior. Untuk hal ini, Mas Farhan dibantu oleh Fariz. "Mbak Fika, boleh Fariz keluar dari pekerjaan di bengkel? Fariz lebih suka membantu Mbak Fika dan Mas Farhan. Seperti sekarang ini," ucap adik iparku ini. Aku terkejut dengan yang dia sampaikan, memang dia masih karyawan baru di bengkel itu. Namun, melihat sistem penggajian dan perlakuan kepada karyawan, rasanya sayang kalau keluar begitu saja. Pimpinan dimana tempat dia bekerja begitu baik memperlakukan p
Kadang, kita sekolah jurusan apa, kerjanya dimana, dan berakhir sukses di bidang apa. Banyak artikel tentang keberhasilan seseorang yang pernah aku baca. Sekolah di pertanian, kemudian kerja sebagai karyawan bank, eh keluar dari pekerjaan malah sukses di bidang kuliner. Seperti Presiden Joko Widodo, lulusan fakultas kehutanan, eh lulus kuliah usaha pertukangan, dan setelahnya malah jadi presiden. Itu yang menjadi dasar pemaklumanku atas keputusan Fariz. Aku berbicara dengan Mas Farhan terlebih dahulu, supaya dia tidak kaget. Mengingat suamiku itu pernah berkata kalau Fariz beruntung memiliki pekerjaan sesuai akademi yang dia pelajari. Bahkan, dia menyatakan kalau tanggungjawabnya berkurang karena adiknya itu sudah mulai mapan."Fariz mengatakan itu? Duh, anak itu sudah di posisi yang benar, malah ingin cari pusing! Apa dia tidak tahu, mencari kerja itu susah!" ucap Mas Farhan, membenarkan prediksiku. Ketidaksetujuannya terlihat kentara. Dia mengusap kasar wajahnya dengan dahi berke
Aku menatap keduanya, suamiku dan Fariz. Mereka terlihat sama-sama bersikukuh dengan pendiriannya. Fariz yang aku kira tidak teguh dan berani mengemukakan pendapatnya, terlihat bersiap. Seakan dia sudah membulatkan tekad untuk mengupayakan apa yang diinginkan.Seperti menjawab tantangan, adik iparku ini duduk menegak dan mulai berkata, "Dalam berbisnis ada itung-itungannya. Tidak seperti matematika, yang satu tambah satu sama dengan dua. Dalam berbisnis, satu tambah satu bisa jadi seribu atau satu juta. Namun bisa jadi berakhir minus."Fariz mengambil jeda untuk mengambil napas dan berujar kembali, "Fariz siap mengambil resiko, Mas. Fariz minta doa Mas Farhan dan Mbak Fika."Mas Farhan diam sembari menatap lekat adiknya itu. Wajahnya masih menunjukkan keberatan, tetapi sudah mulai memudar. Fariz mengambil tas ranselnya, kemudian mengeluarkan map bertuliskan Proposal Usaha. Dia menyerahkan kepada kakaknya itu."Fariz sudah mempelajari semuanya. Selain Fariz menyukai bidang ini, sekar