Keesokan harinya. Dengan semangat empat lima. Seperti mau maju ke medan perang. Jam lima pagi aku sudah bangun. Tanpa kata malas. Padahal, kebiasaan burukku, kalau belum pintu kamar digedor sama emak sambil teriak-teriak dengan suara khas beliau yang cempreng, aku gak bakal bangun. Biasa, teriakan emak adalah jam beker alami.
Mengenakan kemeja putih, rok span pendek selutut warna hitam, gaya andalan pegawai magang. Tak lupa kupoles bedak tipis dan lipstik warna pink muda, warna kesukaanku. Rambut kubiarkan berurai. Terlihat lebih fresh. Jam tujuh tepat aku keluar rumah. Kustater sepeda motor matic kesayangan. Hasil kerja paruh waktu semasa kuliah dulu.Macet, sudah menjadi makanan sehari-hari. Apalagi jam-jam produktif. Setelah sejam berpanas-panas, akhirnya sampai juga di tempat parkir perusahaan.Luas dan mewah. Bangunan tinggi bertingkat sepuluh berada di depan mata. Megah. Aku masuk perlahan. Kuedarkan pandangan, berharap ada seseorang yang datang membantu."Selamat pagi Bu," sapa pak satpam. "Ada yang bisa saya bantu?" sahutnya kemudian."Saya Shera, Pak. Ada jadwal interview jam sembilan pagi. Menemui Ibu Sherly," jelasku secara singkat."Ruangan Ibu Sherly ada di lantai empat. Ibu Shera lurus saja, lalu belok ke kanan. Lift ada di sebelah kiri,""Baik, terima kasih, Pak," ucapku seraya berjalan menuju arah yang di tunjukkan.Sesampainya di lantai empat. Kuedarkan pandanganku. Di sudut , ada ruangan paling besar. Terdapat papan nama kayu dengan ukiran huruf yang bertuliskan 'HRD' di pintu ruangan. Terkesan elegan dan artistik. Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Di salah satu sudut, dekat jendela terlihat kursi tunggu. Kulangkahkan kakiku ke sana. Terlihat pemandangan yang tidak asing dari sini, kemacetan kota Surabaya."Pegawai baru kok, suka melamun, awas ntar kesambet setan lewat." Terdengar suara cowok. Kutoleh ke arahnya. Sosok jangkung mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam, tanpa dasi. Bersepatu pantofel tertangkap di mataku. 'Pasti mau wawancara juga ni anak.'"Malah diem, disapa juga ... woy!" teriaknya sambil menangkupkan kedua tangan di depan wajahku. Aku tersentak."Apaan sih, yang ngelamun siapa coba," elakku. "Jadi anak baru itu, yang rajin kerja, jangan cuma bengong di sini.""Aku ... masih mau interview. Belum jadi pegawai sini.""Saudari Shera, ada yang bernama saudari Shera di sini ... harap segera ke kantor HRD. Di tunggu Ibu Sherly." Seorang ibu paruh baya memanggil. "I-iya saya," jawabku sambil melangkahkan kaki.Kutinggalkan cowok tengil, usil nan dekil itu sendirian. Sekilas nampak seringai andalan playboy cap kapal terbang.Tok ... tok ... tok ....Demi menjaga kesopanan kuketok pintu ruangan bu Sherly."Masuk." Terdengar sahutan dari dalam."Selamat pagi, Bu," sapaku secara formal."Selamat pagi, silahkan duduk," jawabnya."Dengan Saudari Shera?" Pertanyaan klasik sebagai pembuka interview kerja.
Setelah beberapa menit berbasa basi. Terdengar nada dering telepon di mejanya."Baiklah, Pak, akan saya laksanakan segera." Hanya itu yang tertangkap dengarku. Entah apa yang dibicarakan Bu Sherly, di telepon genggamnya. Beliau menjauh di pojokan, suaranya sangat lirih seakan takut didengar orang lain. Yah, emang ada aku di sini. Setelah menunggu sekian lama, interview berlanjut. "Selamat, Saudari Shera anda diterima bekerja di perusahaan kami. Mulai besok.Jam kerja hari Senin hingga Jumat pukul sembilan pagi sampai lima sore. Pakaian bebas, rapi, dan sopan. Ada yang perlu ditanyakan?" jelas bu Sherly secara panjang lebar."Tidak ada pertanyaan, Bu. Terima kasih, saya permisi."Keluar dari ruangan bu Sherly, aku tersenyum. 'Mak anakmu akhirnya diterima kerja,' Ingin rasanya lompat-lompat. Namun, aku malu. Banyak mata memandang dengan enggan. Dengan terburu-buru aku berjalan menuju pintu keluar.Kemudian ....
Bruk!
Aku menabrak dada bidang seorang pangeran. Eh, maksudku seorang laki-laki yang tadi usil mengganggu proses melamun.'Dia lagi, dia lagi, apa di dunia ini tak ada makhluk yang lain selain cowok astral tak jelas ini?' rutukku dalam hati."Eh, tukang lamun udah mau pergi, ditolak kerja ya?" ucapnya. Dengan enggan aku jawab, "Sok tau," lalu aku bergegas pergi. Malas meladeni dia yang enggan mengerti.***Cuaca terasa panas. Matahari pun bersinar terik. Kuputuskan mampir di salah satu cafe langganan. Mungkin akan jarang aku nongkrong di cafe ini siang-siang. Kupesan segelas es jeruk. Pelepas dahaga di kala bosan melanda. Duduk di pojokan cafe, sambil stalking-stalking instagramnya mantan. Udah punya gebetan baru dia. Lha aku kapan? Postingan mantan bikin eneg. Pamer kemesraan yang tak sepatutnya. Fix, aku iri karena masih sendiri. Belum ada pengganti.Batinku meronta. Tak kuasa melihat, jadi kututup saja dan menyesap minuman yang sudah tak lagi dingin. Ah, sebegitu ngenesnya aku, secepat itu dia mendapatkan pengganti. Sedangkan aku, masih sendiri karena gagal move on. Hiks.Pagi ini, adalah hari pertamaku kerja di PT. Nusantara Jaya Group, sebagai pegawai magang. Sengaja aku berangkat lebih pagi, selain menghindari macet, juga menghindari terlambat. Terlebih, dari info yang kudapat jika datang terlambat hari pertama bekerja di kantor, tiada maaf bagimu.Layaknya pegawai baru, mengenakan rok span warna hitam, blouse putih juga sepatu pantofel dengan warna senada. Rambut kuikat sepatutnya. Rapi. Itulah sekilas yang aku lihat dari cermin sepeda motor.Kususuri lorong panjang area kantor. Lengang. Terasa sepi. Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan. Sesuai arahan pak satpam. Kuberjalan menuju bilik kerja yang ada di lantai tiga. Sudah ada papan nama tertera di sana.Sebuah ruangan sederhana, layaknya ruangan kantor pada umumnya. Terdapat sebuah meja, lengkap dengan seperangkat komputer dan telepon. Tersedia juga berbagai macam alat tulis dan kertas, sebuah almari lengkap beserta kuncinya yang masih menggantung pada tempatn
Punggung terasa pegal setelah seharian duduk berkutat dengan berbagai paper dan data. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Saatnya makan siang. Tanpa terasa perut sudah keroncongan. Cacing-cacing di dalam sepertinya sedang meronta meminta asupan.Ingin rasanya pergi keluar kantor, makan di cafe seberang. Sejenak inginku beranjak, namun kata-kata bu Sherly kembali berontak. Kuurungkan niatku beristirahat. Melanjutkan pekerjaan agar segera selesai. Walaupun lapar kian meraja.Tanpa terasa waktu berjalan cukup cepat. Laporan yang kukerjakan seharian hampir selesai. Beruntung, walau tak sempat makan siang, Bi Ijah membantu membelikan roti di store bawah. Lumayan sebagai penunda lapar.Kini, data-data telah tersusun rapi. Terpisah menurut jenis dan divisi. Tinggal merekap, memasukkan ke dalam komputer. Segera kukebut laporan. Kubuka Komputer yang ada di atas meja. Jari-jariku mengetuk tuts-tuts keyboard dengan lincah. Menimbulkan suara kha
Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala. Sudah bertingkah absurd.Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.Eh, koq jadi menghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang gak akan pernah ada matinya.Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, rasanya
Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak."Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata."Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar."Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar
Part 5Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin.Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping."Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
Astaga kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tetapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan hongga akhirnya aku terbahak.“Hahaha,”Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mempause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku menertawakannya. Matanya terlihat ada sedikit binar-binar entah bahagia atau apalah ketika memandangku.Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapa
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping."Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
Part 5Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin.Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak."Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata."Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar."Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar
Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala. Sudah bertingkah absurd.Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.Eh, koq jadi menghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang gak akan pernah ada matinya.Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, rasanya