Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala. Sudah bertingkah absurd.
Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.
Eh, koq jadi menghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang gak akan pernah ada matinya.
Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.
Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, rasanya tidak. Hanya saja aku malu mengakuinya. Masa iya cinta datang hanya karena sekotak nasi berlabel Ayam Bakar Wong Solo? Sungguh tidak mungkin, bukan?
Tapi, mau gimana, aku terlanjur suka. Sama rasa ayam bakarnya. Enak, cocok di lidahku yang sederhana. Terlebih, ayam bakar gratisan. Bisa makan tanpa mengeluarkan kocek tambahan. Uang jajan sehari aman. Lumayan, bisa buat beli kuota tambahan sebagai bekal mabar nanti malam.
Usai degup jantungku mulai normal. Kuputuskan kembali ke ruangan pak Nala, untuk mengambil sisa kotak nasi yang baru tandas setengahnya. Inginku bawa saja ke ruangan, makan di sana. Kan sayang kalau dibiarkan begitu saja. Makan di ruangan sendiri akan lebih aman dan nyaman. Tanpa gangguan yang berarti. Tanpa perasaan malu yang meninggi.
Tok ... tok ... tok ....
Kuketuk pintu ruangan pak Nala. Walaupun aku setengah gila, tapi di kantor tetap sopan. Tak kutunjukkan sikap bar-bar ku yang semakin tak karuan.
"Masuk." Terdengar suara dari dalam.
Segera kubuka pintu ruangan."Per ... mi ...." Belum sempat kuselesaikan ucapan. Terlihat pak Nala asyik di pojok ruangan. Memegang sepotong sayap ayam dengan tangan kanannya, dan kotak nasi di tangan kirinya. Kotak yang sama seperti yang aku buka tadi. Pak Nala begitu lahap menggigit ayam di tangannya. Tanpa memedulikan siapa yang datang ke ruangan .
"Shera," ucap pak Nala.
Pak Nala kelihatan terkejut. Aku masuk ke ruangannya kembali. Berjalan perlahan menuju ke tempat di mana dia duduk.
"Ini ... tidak seperti yang kamu pikir," jelasnya. Dia terlihat gelagapan. Menjelaskan sesuatu yang sudah kutahu pasti jawabannya.
"Emang, saya berpikir apa, Pak?" tanyaku dengan wajah polos.
"I ... tu, bukankah nasi yang saya makan tadi? Saya kembali hanya untuk mengambilnya. Mau saya bawa ke ruangan." Aku tak tau harus berkata apa. Kaget melihat apa yang terjadi di depan mata. Kotak nasi yang ada di meja kini habis tak bersisa. Padahal, cacing-cacing di dalam perutku masih meronta-ronta.
"Ini, iya nasi kamu. Masih banyak. Sayang kalau dibuang. Mubazir. Karena saya lapar jadi saya habiskan," jawabnya.
"Haaaaaa."
Fix, pak Nala orangnya ngajak ribut.
Ini manusia apa setengah dewa? Atau dewa setengah manusia? Atau iblis setengah dewa? Atau manusia setengah iblis? Atau bahkan bukan ketiganya? Mungkin siluman harimau yang suka makan ayam bakar sisa.Itu nasi makanan yang dikasih ke aku kok maen diembat aja. Nanti kalau bintitan baru tau rasa. Eh, apaan sih Shera, kok doanya yang jelek-jelek. Harusnya, mendoakan semoga pak Nala tambah ganteng maksimal.
"Bapak, gak jijik apa gitu, makan nasi bekas saya?" Aku bertanya dengan rasa penasaran tingkat dewa.
"Enggak, selama itu punyamu," jawabnya tegas.
"Eh." Aku tak berkutik. Tak bisa mengucapkan kata-kata lagi.
Kan, ini orang suka deh bikin orang baper. Pak Nala, Shera ini masih ABG, anak yang baru gede kemarin sore. Dikasih gombalan receh sedikit terang aja baper. Apalagi kalau dikasih lemper. Pasti langsung diserobot, dimakan buat pengganjal lapar.
Sehari saja bertemu pak Nala sudah membikin hati kembang kempis. Jantung berdetak tak karuan. Wajah memerah seperti kepiting rebus. Tingkah sudah tak beraturan. Fix, aku terkena virus merah jambu. Tertular penyakitnya mbak Sinta. Apalagi kalau setiap hari diperlakukan demikian. Bisa-bisa pertahananku jebol. Bisa-bisa aku benar-benar akan dibuat jatuh cinta."Ya sudah, Pak. Saya permisi. Pamit pulang." Akhirnya hanya kata itu yang bisa aku ucapkan. Setelah melirik jam yang ada di dinding, menunjukkan pukul lima sore.
Tanpa menunggu jawaban dari pak Nala. Segera aku bergegas kembali ke ruangan. Tanpa perduli dengan nasip nasi kotak ayam bakar yang tengah di tangan Pak Nala. Kuambil tas kesayangan. Dan beranjak pulang.
***
Seperti biasa, berangkat dan pulang kerja ditemani sepeda motor matic andalan.
Kucoba double stater. Tidak mau menyala. Ah sial. Baru sehari kerja motor kesayangan sudah ngambek tak mau diajak kerja sama.Sekali lagi.
Dua kali.
Tiga kali.
Hingga akhirnya aku pasrah. Lalu duduk di sebelah motor. Melamun. Melihat kejauhan. Pikiranku melayang entah ke mana. Membayangkan masa-masa indah saat mendorong sepeda motor bersama mantan.
Tin ... tin ... bunyi bel sepeda motor bersaut sautan. Membuyarkan lamunanku yang lagi mesra-mesranya.
"Shera, ngapain jongkok di situ?" Terdengar suara lelaki usil nan dekil membahana. Motor yang dikendarainya berhenti. Kawasaki ninja berwarna ijo tampak di depan mata. Lelaki itu tampak gagah mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Sungguh kontras dengan badannya yang kerempeng seakan-akan kurang gizi.
Kalau dibonceng pasti nyaman. Terlintas dalam pikiranku untuk minta antar pulang. Eh, apaan sih otakku belum gesrek. Sampai minta antar si Raka, cowok dekil, usil, dan kadang bersikap tengil.
"Motorku gak mau nyala," jawabku. Suaraku yang pelan semakin tak terdengar terkena hembusan angin.
"Minggir!" perintahnya. Lelaki itu turun dari sepeda motornya dan mendekatiku. Dia berjalan menuju ke arah sepeda motorku terparkir.
Dicobanya double stater. Enggak bisa. Dicobanya juga menggunakan engkol . Enggak nyala juga. Raka mengutak-atik busi dan karburatornya, masih baik-baik saja. Hingga akhirnya ....
"Shera, kamu pikun gak tanggung-tanggung yak. Kamu terakhir isi bensin taun berapa?" Pertanyaan raka secara tiba-tiba setelah melihat spidometer. Jarum pendeteksi menukik turun di bawah garis merah huruf E. Pantas saja, dicoba nyalakan gak bisa. Bensin habis tak tersisa. Kering.
"Kalau bensinnya kosong, mau dinyalakan sampai lebaran kucing juga kaga bakal nyala, Shera oneng," omelnya kemudian.
Aku cuma bisa menepuk jidat. Sambil cengar cengir. Juga menggaruk kepala yang tak gatal. Emang sifat pelupaku kebangetan. Terakhir mengisi bensin sepeda motor, seminggu yang lalu sehabis mengantarkan emak berbelanja ke pasar pagi.
"Trus gimana donk Ka, bantuin aku ya. Beliin bensin. Please," pintaku dengan wajah melas. Kucoba untuk merayunya. Semoga dia berbaik hati dan mau membantu.
"Tungguin di sini, ku beliin ke toko depan," jawabnya. Dia melajukan sepeda motornya dan segera berlalu.
"Siap, Bos!" teriakku. Tanganku bersikap hormat. Seperti sikap murid saat upacara bendera setiap hari Senin.
Selang beberapa lama, Raka datang membawa sebotol bensin. Lumayan cukup sebagai amunisi sebelum ketemu dengan pom bensin.
"Makasih, Ka," kataku.
"Makasih doank?" tanyanya.
"Terus, aku harus ngapain?" Aku balik bertanya.
"Kamu gak lupa bayar bensinnya, kan? Semua itu gak gratis, Oneng." Raka berkata sambil mengacungkan tangannya.
Segera kubuka dompet dan mengambil selembar uang kertas dari sana. Kuberikan padanya. Aku bergegas, pulang ke rumah membawa pengalaman baru. Bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini.
Suasana kota Surabaya di sore hari macet. Sampai di rumah sudah hampir Isya. Segera bergegas mandi dan rutinitas lainnya.
Jam sepuluh malam, mata sudah mau terpejam. Mengharap impian datang menggenggam. Sayup-sayup terdengar nada pesan di handphone.Ting ....
[Besok, jangan terlambat]
Tanpa aku buka, aku tahu siapa pengirim aksara. Kuabaikan saja dan segera memejamkan mata.
***
Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak."Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata."Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar."Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar
Part 5Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin.Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping."Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Astaga kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tetapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan hongga akhirnya aku terbahak.“Hahaha,”Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mempause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku menertawakannya. Matanya terlihat ada sedikit binar-binar entah bahagia atau apalah ketika memandangku.Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapa
Astaga kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tetapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan hongga akhirnya aku terbahak.“Hahaha,”Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mempause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku menertawakannya. Matanya terlihat ada sedikit binar-binar entah bahagia atau apalah ketika memandangku.Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapa
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping."Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
Part 5Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin.Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak."Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata."Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar."Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar
Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala. Sudah bertingkah absurd.Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.Eh, koq jadi menghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang gak akan pernah ada matinya.Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, rasanya