Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping.
"Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.
Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga tampak menggantung sehingga mampu untuk menghalangi sinar matahari yang akan masuk. Di pojok, terdapat rak yang berisi bunga-bunga sederhana. Tak lupa beberapa jenis kaktus juga menghiasinya. Sungguh indah. Membuatku ingin segera pindah ke sini andai saja bukan ruangan istimewa bos beku itu.
"Makan!" perintahnya. Sesaat setelah aku duduk di depannya. Yah, aku mengambil duduk di depannya karena hanya satu kursi yang terlihat di mataku. Suasana semakin canggung, membuatku semakin ragu untuk melahap aneka jenis hidangan di atas meja. Jadi, aku hanya menatap tanpa kedip.
Beberapa jenis makanan yang terhidang di atas meja begitu menggugah seleraku. Terlihat dari jenisnya, Pak Nala pasti membeli makanan ini dari restauran masakan padang. Ada lodeh nangka yang cukup nikmat, harumnya sangat menggoda. Tak lupa sambal cabe hijau khas padang dan ada beberapa lauk yang kesemuanya sangat menggiurkan.
Aku duduk dan mengambil sebuah piring di atas meja. Menyendok nasi lengkap dengan lauk pauknya. Tanpa perlu bertanya apa kesukaan duda tampan di hadapan. Kuserahkan piring kepadanya. Lengkap dengan sendok beserta garpunya. Sejenak, baru kusadari jika diri ini lebih mirip sebagai seorang istri yang sedang melayani suaminya. Bukan serupa sekretaris yang melayani atasannya.
"Dimakan, Pak," kataku sopan. Pak Nala melihatku dengan tatapan yang entah membuat bulu kudukku merinding.
"Terima kasih," jawabnya. Dia segera mengangkat sendok dan garpu. Kemudian aku melanjutkan aktivitas dengan menyiapkan nasi untuk kumakan sendiri.
Tanpa gengsi aku mencuci tangan di wastafel dekat pantri. Makan nasi padang dengan lauk ayam goreng menjadi pilihan. Tanpa menggunakan sendok, kumakan dengan jari tangan. Sungguh nikmat, senikmat tatapan Pak Nala yang membuat jantung berdetak lebih cepat dan muka memerah.Pak Nala menaruh sendok setelah beberapa kali menyuapkan nasi. Aku segera memberhentikan aktivitasku dan menatapnya heran.
"Kenapa, Pak? Apa lauknya gak enak?" tanyaku perlahan.
"Suapi saya!" perintahnya. Sungguh tak sopan. Bagaimana mungkin atasan yang tak mempunyai hubungan apa pun minta disuapi. Hello! Kita tak sedekat itu, Pak.
Melihat tatapan tajamnya, dengan sangat terpaksa aku beranjak mendekat. Mengambil sesendok nasi lengkap dengan lauknya. Segera aku arahkan ke mulut Pak Nala. Damn! Seolah-olah tersihir, mau-maunya aku melakukan hal konyol bin bodoh di depan matanya."Suapi pakai tanganmu, Shera. Bukan dengan sendok! Apa gunanya kamu punya dua tangan jika masih menggunakan sendok. Apa kamu gak lihat kalau lauknya tidak pantas disendok?" Pak Nala mencebik. Dih! Dasar bos manja. Ya Tuhan, tangan mulusku akan ternoda bibir Pak Nala yang ciumable.
Bukan Shera namanya kalau tidak patuh sama perintah atasan. Jadi dengan terpaksa aku beranjak untuk mencuci tangan di wastafel terdekat. Kemudian duduk mengambil sesuap nasi serta lauk pauk dari piring. Menyodorkan ke mulut Pak Nala. Kalau dipikir-pikir, aku persis seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya.
“Tanganmu enak,” ucap Pak Nala setelah menerima satu suapan. “Minum!” lanjutnya kemudian.
Dengan sigap segera aku ambilkan air putih di atas meja. Pak Nala menerimanya dan meneguk dengan cerpat.
Tanpa terasa nasi di piring sudah habis tak bersisa. Melihat Pak Nala begitu lahap memakannya. Aku hanya bisa memperhatikan, beliau masih saja mengetik sesuatu di laptop. Pantas saja suapan demi suapan tak terasa, hingga aku lupa jika belum memakan sesuap nasi pun.
“Buka mulutmu!” perintah Pak Nala. Terlalu lama aku melamun secara tak sadar beliau sudah mengambilkan sepiring nasi beserta lauknya dan sekarang sedang mengarahkan tangannya ke mulutku. Demi Planet Pluto, Pak Nala menyuapiku. Jantung ini terasa berdetak lebih kencang. Mau tak mau aku pun membuka mulut. Menerima suapan pertama dari Pak Nala.
“Mengapa mukamu memerah, Shera?” tanya Pak Nala.
Apa? Mukaku memerah? Ah, sungguh sial. Mengapa pula gampang sekali wajah ini memerah saat aku sedang terharu atau malu? Segera kuhabiskan suapan di dalam mulut.
“Saya … malu, Pak. Belum pernah disuapin oleh lelaki lain selain almarhum ayah,” jawabku. Mataku berkaca-kaca. Aku jadi teringat akan sosok ayah yang penuh kasih sayang. Ada sesuatu yang memaksa untuk keluar. Dan akhirnya pertahananku pun runtuh. Air mata ini mengalir tak mau berhenti. Aku terisak. Menahan sesak yang menusuk rongga dada. Kerinduan kepada Ayah yang selama ini aku pendam.
Entah berapa lama aku menangis. Leki-laki berkaca mata itu segera menarikku ke dalam pelukannya. Cukup hangat dan membuatku merasa tenang sekaligus nyaman dalam waktu yang bersamaan.“Menangislah … jika itu membuatmu sedikit lega dan mengurangi rindumu,” ucapnya. Aku menatap mata Pak Nala. Sorot mata teduh, seteduh mata ayah. Aku mendekapnya dengan erat, meluapkan segala rasa dan penat. Terkadang, aku tertawa akan takdir yang sedang bermain peran. Ayah meninggal dan kini aku dapat pengganti lain dalam bentuk bos killer, muka es, yang sialnya berhasil membuat degup jantung ini lebih cepat dan muka ini memerah.
Semakin lama berada di pelukan lelaki itu, semakin berat mata ini terasa. Akhirnya aku pun tertidur.
***
Kubuka mata, aku melihat ruangan yang sangat asing. Gorden berwarna abu tertutup sempurna, langit-langit berwarna putih lengkap dengan lampu gantung yang berwarna-warni. Design ruangan ini sangat maskulin. Bisa dipastikan empunya ruangan adalah lelaki yang bertipe tegas dan lugas. Aku mengingat satu hal jika tadi tertidur. Pelukan Pak Nala menjadi obat tidur alami yang nyata. Entah sudah berapa lama. Bagaimana mungkin aku tertidur saat makan siang? Apa kabar dengan kerjaanku? Dan siapa yang memindahkanku di ruangan ini? Semua pertanyaan muncul dalam benakku.
Pintu terbuka, menampilkan sosok berjas hitam berkaca mata. Lelaki yang bisa aku sebut bos itu sedang memerhatikanku dengan lekat. Penuh minat.
“Sudah bangun?” tanyanya dengan suara yang lembut.
Eh, tunggu sebentar. Suara Pak Nala lembut? Apakah matahari sedang terbit dari barat? Apa aku tak salah dengar? Namun, di depanku kini memang benar-benar sosok bos killer itu. Bukan yang lainnya. Bagaimana bisa dia selembut ini?
“Baru saja, Pak,” jawabku. Gugup. Aku takut jika akan dihukum untuk menyelesaikan semua pekerjaanku yang tertunda karena tertidur. Lebih gawatnya lagi, terancam dipecat karena melalaikan tugas. Tuhan … apa yang harus aku lakukan? Dan handphone-ku di mana? Perasaan aku taruh di kantong celana. Aku mencari-cari di saku hasilnya nihil.
“Kamu mencari ini?" tanya Pak Nala sambil memperlihatkan sebuah benda pipih di tangannya.
“Iya … Pak.” Aku menjawab.
“Ternyata …kamu … tenar juga ya, Shera. Ponselmu berisik. Ratusan kali lelaki yang bernama Raka itu menelepon.” Pak Nala semakin mendekat kemudian berbisik. “Kamu jangan macam-macam, apa lagi genit karena kamu adalah milikku, Shera.”
Aku terdiam. Mencoba mengartikan bisikan dari Pak Nala. Sekelibat tanya muncul di dalam benak. Apa maksudnya?
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Astaga kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tetapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan hongga akhirnya aku terbahak.“Hahaha,”Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mempause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku menertawakannya. Matanya terlihat ada sedikit binar-binar entah bahagia atau apalah ketika memandangku.Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapa
Namaku Shera, biasa dipanggil She yang artinya dia perempuan. Ya, kan emang aku perempuan tulen sejak lahir. Bukan jadi-jadian. Aku lahir di kota Metropolis, Surabaya dua puluh dua tahun lalu. Salah satu penyuka jenis musik pop. Juga sangat menyukai kopi. Bagiku, hidup tanpa kopi itu hambar. Gak ada pait-paitnya. Terasa manis gitu, semanis senyumanku yang membuat lelaki terpesona. Juga aromanya, hems sangat menenangkan walau tidak mengenyangkan.Aku adalah salah satu lulusan ekonomi terbaik di Unair. Beberapa hari yang lalu kucoba melamar kerja di beberapa perusahaan bonafide. Daerah Surabaya juga. Ya, biar tidak jauh sama orang tua. Maklum, Emak akan kesepian kalau kutinggal kelayapan ke kota orang. Maklumlah, tipe sepertiku akan sangat disayangkan jika jauh dari keluarga. Bagaimana tidak? Pergi ke kota orang juga butuh biaya, terutama buat kos dan makan. Kalau di kota sendiri kan bisa numpang makan dan tidur di rumah emak. ***🎶Terima
Keesokan harinya. Dengan semangat empat lima. Seperti mau maju ke medan perang. Jam lima pagi aku sudah bangun. Tanpa kata malas. Padahal, kebiasaan burukku, kalau belum pintu kamar digedor sama emak sambil teriak-teriak dengan suara khas beliau yang cempreng, aku gak bakal bangun. Biasa, teriakan emak adalah jam beker alami.Mengenakan kemeja putih, rok span pendek selutut warna hitam, gaya andalan pegawai magang. Tak lupa kupoles bedak tipis dan lipstik warna pink muda, warna kesukaanku. Rambut kubiarkan berurai. Terlihat lebih fresh.Jam tujuh tepat aku keluar rumah. Kustater sepeda motor matic kesayangan. Hasil kerja paruh waktu semasa kuliah dulu.Macet, sudah menjadi makanan sehari-hari. Apalagi jam-jam produktif. Setelah sejam berpanas-panas, akhirnya sampai juga di tempat parkir perusahaan.Luas dan mewah. Bangunan tinggi bertingkat sepuluh berada di depan mata. Megah. Aku masuk perlahan. Kuedarkan pandangan, be
Pagi ini, adalah hari pertamaku kerja di PT. Nusantara Jaya Group, sebagai pegawai magang. Sengaja aku berangkat lebih pagi, selain menghindari macet, juga menghindari terlambat. Terlebih, dari info yang kudapat jika datang terlambat hari pertama bekerja di kantor, tiada maaf bagimu.Layaknya pegawai baru, mengenakan rok span warna hitam, blouse putih juga sepatu pantofel dengan warna senada. Rambut kuikat sepatutnya. Rapi. Itulah sekilas yang aku lihat dari cermin sepeda motor.Kususuri lorong panjang area kantor. Lengang. Terasa sepi. Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan. Sesuai arahan pak satpam. Kuberjalan menuju bilik kerja yang ada di lantai tiga. Sudah ada papan nama tertera di sana.Sebuah ruangan sederhana, layaknya ruangan kantor pada umumnya. Terdapat sebuah meja, lengkap dengan seperangkat komputer dan telepon. Tersedia juga berbagai macam alat tulis dan kertas, sebuah almari lengkap beserta kuncinya yang masih menggantung pada tempatn
Astaga kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tetapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan hongga akhirnya aku terbahak.“Hahaha,”Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mempause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku menertawakannya. Matanya terlihat ada sedikit binar-binar entah bahagia atau apalah ketika memandangku.Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapa
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping."Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
Part 5Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin.Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak."Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata."Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar."Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar
Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala. Sudah bertingkah absurd.Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.Eh, koq jadi menghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang gak akan pernah ada matinya.Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, rasanya