Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak.
"Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata.
"Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.
Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar.
"Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.
Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar bau badan ini seharum melati, tak ketahuan kalau enggak mandi.
Entah apa yang meracuniku pagi ini. Terlambat bangun padahal jam beker setia berbunyi dari pukul empat pagi.
Terlalu asyik terlelap dalam mimpi yang membuatku seakan enggan untuk pergi. Dekapan guling begitu menyilaukan. Harumnya bantal seakan memabukkan. Padahal bau iler. Bau molto bekas cucian sudah menguap tak tahu kemana.Aku teringat pesan semalam. Gak boleh terlambat. Mati aku, pasti kena hukuman dari pak Nala. Hukuman cantik tetapi tak asyik. Iya kalau dihukum, misal langsung dipecat gimana? Atau parahnya disuruh pergi. Pergi ke KUA bersamanya maksudnya. Eh ... ngarep banget kan aku. Ya gapapa lah ngarep dikit pak Nala kan sandarable dan suamiable banget. Pasti emak bakalan setuju kalau pak Nala jadi calon imamku.
Segera saja aku ganti baju. Dengan tergesa-gesa kusambar kunci sepeda motor. Tak memedulikan teriakan emak buat ajak sarapan.
"Shera, sarapan dulu." Teriakan emak bertalu-talu nyaring di telinga. "Emak masakin sayur lodeh kesukaanmu," lanjutnya kemudian.
"Kaga, Mak, Shera mau langsung berangkat. Udah telat," sahutku sambil menstater sepeda. Segera tancap gas tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Lebih cepat lebih baik.
Padahal perut udah dangdutan. Cacing-cacing minta jatah asupan. Sayur lodeh nangka aku tinggalkan. Demi apa coba? Demikian dan terima gaji. Ah demi ketemu bapak Nala yang terhormat pagi-pagi biar enggak kena semprot. Eh, marah maksudku atau minimal kena omelan yang bisa menidurkan.
Kata mbak Shinta, pak Nala itu kalau marah serem. Suka membentak-bentak sambil melotot gitu. Kan aku takut, takut kalau bola matanya tiba-tiba meloncat keluar pas lagi marahin aku. Kan jadi horor.
Segera kujalankan sepeda. Spidometer bergerak di angka seratus. Gila, sungguh gila! Aku sudah mirip dengan Valentina Rosi. Kecepatan yang hakiki. Andai emak tahu aku ngebut, pasti sampai rumah kena gebuk. Berdoa semoga enggak ada tetangga yang berpapasan atau paling tidak tukang sayur langganan berseberangan. Bisa gawat pokoknya, SIM-ku pasti dicabut dan alamat harus naik angkot kemana-mana. Berpanas-panasan, berdesak-desakan, kehujanan. Aku gak bisa bayangin jika semua itu terjadi. Sudah keringatan, bau apek dan rokok bercampur-baur. Ditambah make up yang luntur. Oh ... tidak!
Jantungku berdetak semakin tak karuan. Ngebut di jalan raya waktu jam sibuk sungguh menegangkan. Sensasinya berbeda. Apalagi di jalan Pahlawan. Banyak polisi mangkal nyari keributan. Maksudku suka mencari kesempatan buat nilang orang. Terlebih kepada para pengguna jalan yang tak taat pada aturan. Enggak pakai helm, juga tanpa surat-surat kendaraan.
Tak lama akhirnya sampai di tujuan. Kutengok jam tangan. Sudah pukul sembilan lebih sepuluh menit. Segera kulari. Apes. Semua lift sedang aktif. Mau tak mau aku harus naik tangga, capek belum sarapan, jadi nyesel tadi menolak ajakan emak buat sarapan. Badan yang terasa bau karena tak mandi akan semakin terasa sedap tak tahu kondisi. Langkahku kian pelan memasuki tangga lantai ketiga. Lutut terasa lemas. Tenaga pun kian melemah.
Baru saja aku duduk, belum bernapas dan menyesap kopi yang sudah terhidang di meja kantor. Aroma kopi memang menenangkan. Kuhidu sebentar, membawaku pada sebagian memori yang pernah tertinggal.
"Shera! Dari mana saja kamu? Sudah jam berapa sekarang?"
Deg ... suara yang ingin aku hindari pagi ini mendadak terdengar di telinga yang tak lagi tuli. Kutolah-toleh asal suara. Ternyata berasal dari bangku di pojok ruangan. Pak Nala duduk santai sambil berpangku tangan menyaksikan kegiatanku sepagian.
"Pak Nala, saya dari toilet ... iya toilet," jawabku. Gugup. Aku takut beliau tahu kalau terlambat datang.
"Ke ruangan saya, sekarang!" gertaknya. Nada suaranya tegas dan garang. Kemudian lelaki itu berjalan menjauh.
"Baik, Pak," jawabku pelan. Menolak pun rasanya tidak mungkin. Aku beranjak dan berjalan perlahan, mengekori langkah pak Nala.
"Duduk," perintah pak Nala terdengar di telinga.
Dengan segera aku duduk di kursi depan meja hitam yang berdiri kokoh di ruangan tersebut. Sambil menunduk tanpa berani menatap. Karena aku tahu, tatapannya tajam akan merusak moodku seharian.
Gila ini orang, kenapa pas serius tetep aja ganteng. Tatapan tajamnya seolah melucutiku sampai telanjang. Aku melirik sekilas menunduk kembali.
"Lihat hasil kerjamu kemarin, berantakan semua. Apa gini yang di ajarkan kampusmu untuk membuat laporan?" Kata-katanya meluncur bak mobil tanpa hand rem, sambil membanting laporanku ke atas meja. Untung saja tak dilempar ke muka. Bisa semakin manis nanti mukaku. Padahal harapanku, laporan disebar gitu kaya di film-film, terus aku gugup dan memungut satu per satu dengan perlahan. Emang ya kadang kenyataan tak sesuai dengan harapan.
Aku cuma bisa diam. Melongo tak tau harus berbuat apa. Semua tugas yang diberikan, kukerjakan sesuai dengan arahan. Tak tahu di mana letak kesalahan. Sungguh sial. Mimpi apa aku semalam, pagi-pagi mendapat kenangan semanis cabe rawit.
"Perbaiki sekarang, jangan harap bisa pulang kalau tak kamu selesaikan," perintahnya. Kali ini nada bicaranya sudah turun satu oktaf.
"Baik, Pak." Aku berdiri, segera undur diri. Belum sempat kubuka pintu ruangan. Pak Nala memanggil kembali.
"Siapa yang suruh kamu pergi, Shera?" tanya pak Nala sambil berjalan ke arahku. Badannya mendekat. Aku semakin dibuat gugup olehnya.
"Lha ... Bapak tadi bilang saya disuruh perbaiki laporan," kataku membela diri. Aku semakin ingin segera beranjak pergi. Lama-lama menghirup udara di ruangan pak Nala membuat paru-paruku semakin sesak.
"Mandi dulu gih, kamu bau asem, dan lepas roll di rambutmu," bisik pak Nala tepat di telingaku. Wajahnya sangat dekat dan terlihat tampan.
Geli. Secara refleks aku pegang rambutku. Astaga, aku lupa semalem rambut aku roll di bagian poni. Mukaku langsung merah padam. Malu, tengsin, geli menjadi satu.
Apa aku tak salah dengar? Disuruh mandi? Eh, apa pak Nala sadar kalau aku belum mandi tadi pagi?"Mandi di ruangan ini, ada baju ganti juga make up lengkap, tidak ada bantahan, ini perintah!"
Dasar bos gila, seenaknya aja nyuruh mandi. Dia untung. Nanti kalau aku diintip gimana? Emaaak anak gadismu tak suci lagi. Ada yang mau ngintipin mandi. Eh ....
"Atau ...." Belum sempat pak Nala selesai berbicara.
Segera aku ambil langkah seribu. Masuk ke kamar mandi mengikuti perintahnya. Sungguh kapok, pak Nala kalau bercanda suka kelewatan. Bikin jantung berdegup tak beraturan.
"Saya juga gak keberatan kalau bantuin kamu mandi, Shera," kata pak Nala. Kudengar sebelum berhasil menjangkau pintu kamar mandi.
Aku berbalik arah, menatapnya. Sekilas kulihat pak Nala tersenyum, sebelum aku menutup pintu. Pak Nala tersenyum? Bisa untung tujuh turunan aku melihat pak Nala senyum. Hal yang mustahil terjadi selama berabad-abad. Tak pernah kutahu pak Nala tersenyum dalam setiap kesempatan. Beruntungnya aku, melihatmu senyum. Aku adalah saksi, lihat senyum manis bibirmu. Mendadak aku bernyanyi lagunya Virgoun-Bukti yang diplesetin. Ternyata pak Nala berlipat-lipat lebih ganteng dikala tersenyum simpul.
Part 5Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin.Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping."Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Astaga kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tetapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan hongga akhirnya aku terbahak.“Hahaha,”Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mempause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku menertawakannya. Matanya terlihat ada sedikit binar-binar entah bahagia atau apalah ketika memandangku.Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapa
Namaku Shera, biasa dipanggil She yang artinya dia perempuan. Ya, kan emang aku perempuan tulen sejak lahir. Bukan jadi-jadian. Aku lahir di kota Metropolis, Surabaya dua puluh dua tahun lalu. Salah satu penyuka jenis musik pop. Juga sangat menyukai kopi. Bagiku, hidup tanpa kopi itu hambar. Gak ada pait-paitnya. Terasa manis gitu, semanis senyumanku yang membuat lelaki terpesona. Juga aromanya, hems sangat menenangkan walau tidak mengenyangkan.Aku adalah salah satu lulusan ekonomi terbaik di Unair. Beberapa hari yang lalu kucoba melamar kerja di beberapa perusahaan bonafide. Daerah Surabaya juga. Ya, biar tidak jauh sama orang tua. Maklum, Emak akan kesepian kalau kutinggal kelayapan ke kota orang. Maklumlah, tipe sepertiku akan sangat disayangkan jika jauh dari keluarga. Bagaimana tidak? Pergi ke kota orang juga butuh biaya, terutama buat kos dan makan. Kalau di kota sendiri kan bisa numpang makan dan tidur di rumah emak. ***🎶Terima
Astaga kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tetapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan hongga akhirnya aku terbahak.“Hahaha,”Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mempause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku menertawakannya. Matanya terlihat ada sedikit binar-binar entah bahagia atau apalah ketika memandangku.Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapa
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping."Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
Part 5Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin.Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak."Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata."Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar."Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar
Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala. Sudah bertingkah absurd.Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.Eh, koq jadi menghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang gak akan pernah ada matinya.Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, rasanya