Punggung terasa pegal setelah seharian duduk berkutat dengan berbagai paper dan data. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Saatnya makan siang. Tanpa terasa perut sudah keroncongan. Cacing-cacing di dalam sepertinya sedang meronta meminta asupan.
Ingin rasanya pergi keluar kantor, makan di cafe seberang. Sejenak inginku beranjak, namun kata-kata bu Sherly kembali berontak. Kuurungkan niatku beristirahat. Melanjutkan pekerjaan agar segera selesai. Walaupun lapar kian meraja. Tanpa terasa waktu berjalan cukup cepat. Laporan yang kukerjakan seharian hampir selesai. Beruntung, walau tak sempat makan siang, Bi Ijah membantu membelikan roti di store bawah. Lumayan sebagai penunda lapar. Kini, data-data telah tersusun rapi. Terpisah menurut jenis dan divisi. Tinggal merekap, memasukkan ke dalam komputer. Segera kukebut laporan. Kubuka Komputer yang ada di atas meja. Jari-jariku mengetuk tuts-tuts keyboard dengan lincah. Menimbulkan suara khasnya. Pukul 16.00, pak Nala--kepala divisi, datang meminta pertanggung jawaban. Sosok lelaki dewasa, tinggi jangkung dengan jenggot tipis tertangkap mata. Tanpa senyum. Dingin. Ada gurat ketegasan di wajahnya. Akhirnya, aku mengalami sendiri, cerita-cerita romance di Wattpad yang menceritakan sosok CEO dingin , tanpa senyum, dan perasaan.Kira-kira seperti itulah penjabaran tentang sosok pak Nala, sang kepala divisi marketing di perusahaan ini. Aku meneguk ludah. Gagap."Shera, tugas yang saya minta, segera bawa ke ruangan!" Setelah berkata. "Baik, Pak." Dengan tanpa basa-basi segera aku susul beliau membawakan sebuah map merah, berisi data-data yang diperlukan.Aku bingung, ada tanya dalam benakku. Bukankah pak Nala bisa saja mengambil data sembari memanggilku tadi. Kenapa aku harus ikut ke ruangannya. Atau? Bisa saja dia menyuruhku ke ruangannya dengan menelepon. Bukankah itu lebih tidak membuang waktu dan tenaganya untuk berjalan?Ah, sudahlah. Bos model seperti itu memang susah dipahami. Sesampainya di depan ruangan Pak Nala, aku ragu untuk melangkah."Kenapa tidakmasuk?" Pak Nala akhirnya mengeluarkan suara."I .... iya, Pak." Dengan pelan aku melangkah memasuki ruangan."Mana laporannya?"Dengan segera kuberikan map merah yang kubawa."Di meja pojok ada makanan, kamu makan sekarang.""Eh." Aku terkejut dengan kalimat terakhir."Ini perintah, Shera. Tidak habis kamu tidak boleh pulang," kata Pak Nala bagai guntur menggelegar. Tegas dan keras. Lelaki tegap berkaca-mata itu cukup membingungkan."Eh, i .... iya, Pak," sahutku pelan.Dengan langkah perlahan aku menuju meja yang dibicarakan. Di atas meja ada sebuah kotak nasi berlabel Ayam Bakar Wong Solo. Berisikan nasi dengan lauk ayam bakar, lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Air liurku menetes, namun aku tak berani membuka. Jadi, kudiamkan saja."Dimakan Shera, atau mau saya suapin?" tanya pak Nala."Eh, i ... ya, Pak."Tanpa perduli, aku buka kotak. Makan dengan lahap, seperti kuntilanak yang lagi kelaparan. Memang, sebungkus roti tak mampu menggantikan sepiring nasi. "Pelan-pelan saja, tidak ada yang minta."Deg! cara makanku yang tak ada anggun-anggunnya diperhatikan pak Nala. Mukaku merah padam. Langsung saja aku ambil langkah seribu. Keluar ruangan dengan hati berdegup kencang. Tanpa memedulikan sekotak nasi yang belum habis. "Mati kamu, Shera!" aku segera sadar jika membiarkan kotak nasi begitu saja. ***Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala. Sudah bertingkah absurd.Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.Eh, koq jadi menghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang gak akan pernah ada matinya.Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, rasanya
Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak."Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata."Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar."Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar
Part 5Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin.Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping."Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Astaga kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tetapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan hongga akhirnya aku terbahak.“Hahaha,”Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mempause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku menertawakannya. Matanya terlihat ada sedikit binar-binar entah bahagia atau apalah ketika memandangku.Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapa
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping."Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
Part 5Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin.Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak."Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata."Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar."Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar
Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala. Sudah bertingkah absurd.Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.Eh, koq jadi menghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang gak akan pernah ada matinya.Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, rasanya