Share

Part 4

last update Last Updated: 2022-07-16 12:21:46

Ini uangku, Mas

Part 4(split, bukan pelit)

 

Tiga ratus ribu sebulan? Yang makan tidak hanya keluarga kecilku, ada ibu dan Ima beserta putrinya. Baru juga memegang uang lebih, dan itu pun dari hasil pikiranku. Sementara Ima, ia seenak hati diberi ponsel dan berdadan ria dengan perhiasan emasnya. Padahal ia masih punya suami.

 

Oke oke, Mas. Kamu kira aku diam tak berani melawan? Kita lihat saja. Terutama kamu Ima dan ibu mertua.

 

Pagi harinya tetap kusiapkan kopi untuk mas Aga berangkat kerja. Ini gula dan kopi masih sisa kemarin yang masih banyak. Aku bersikap santai seperti biasa meskipun kulihat Ima dan putrinya berfoto ria dengan ponsel baru. Kulihat ibu juga ikut senyum-senyum melihat putrinya berpose mengeluarkan lidah seperti sok imut.

 

"Bi Ima, beli hp baru?" tanya Tia tiba-tiba ikut duduk di dekat Ima.

 

"Iya, emang kamu aja yang bisa beli hp? Kita juga bisa, iya, 'kan Mi?" Ima membangga sambil tersenyum dengan putrinya.

 

Membangga dengan uang dapurku. Kesal sekali, tapi aku punya cara untuk membalas.

 

"Ooh, bagus lah, tapi jangan norak gaya fotonya, Bi."

 

"Norak? Ngomong yang benar dong, aku juga masih tau gaya, jangan sok ngajarin mentang-mentang jadi silibgram, mengira aku bodoh?" tukas Ima sewot.

 

"Selebgram, Bunda, bukan silipgram," sanggah Mimi.

 

"Aaah, sama aja." Ima tak mau disalahkan.

 

"Maaf, lagian aku hanya kasih usul," ucap Tia, lalu ia sibuk dengan ponselnya.

 

Tak ada rasa bersalah di wajah mas Aga tentang uang gaji tiga ratus ribu. Bahkan ia juga ikut senang melihat adiknya berpose depan kamera sambil mengeluarkan lidah dan menyipitkan mata. Dan mimik wajah mas Aga semakin membuat darahku naik. Tapi aku tak akan membalas dengan cara mulut kasar, tapi dengan perbuatan.

 

"Aku berangkat dulu." Mas Aga bangkit berdiri. Aku mencium punggung tangannya.

 

"Tia, jangan lupa belajar."

 

"Iya, Pa." Tia juga ikut mencium punggung tangan papanya.

 

Aku mengiringi mas Aga hingga teras. Lalu ia berlalu pergi dengan motornya.

 

Setelah itu aku masuk. Tapi aku langsung duduk sambil minum kopi dan lihat ponsel. Biasanya jam segini aku ke warung membeli bahan-bahan untuk di masak. Namun tidak untuk bulan ini.

 

"Hey Tia, cara masukin video ke tik tok gimana?" tanya Ima mendekati Tia.

 

"Ooh, udah Bibi d******d tik tok?"

 

"Sudah, i*******m juga sudah."

 

"Mana kulihat."

 

Tia asyik mengajari Ima. Kulihat ibu duduk menatap televisi. Kali ini mereka santai karena belum lapar setelah makan nasi goreng. Tapi siang nanti pasti menjerit minta makan. Kalau aku dan putriku lapar, tinggal ke rumah makan saja. Toh aku punya uangku sendiri.

 

"Tia, seperti apa sih vidiomu? Kok bisa ada yang endors?" tanya Ima sambil melihat ponsel Tia.

 

"Bibi buka aja videoku di tik tok dan I*, semuanya terlihat kok."

 

"Iya, Bun, aku tahu caranya," tukas Mimi lalu jarinya sibuk ke ponsel.

 

Tak lama kemudian.

 

"Ini, Bun," ucap Mimi menyodorkan ponsel. Ima langsung melihat layar ponsel.

 

"Ini aku mana bisa! Kakiku tak selentur itu, aaah, kok nggak bilang kalau Tia bikin vidio itu."

 

"Bukannya Bibi sering lihat aku buat video?"

 

"Iya, tapi hanya sekilas. Eh Mi, coba deh belajar gerakan Tia tu, pasti kamu juga ada yang endors ntar."

 

"Itu bakat Tia, Bun. Aku mana bisa."

 

"Ya belajar dong, kita sudah beli hp tapi kok nggak dimanfaatin."

 

"Nggak bisa, Bun, aku nggak bisa seperti Tia," rengek Mimi.

 

"Emang seperti apa gerakan Tia, seperti nggak bisa gerak aja," tukas ibu.

 

"Split, Nek."

 

"Hah? Jadi harus pelit dulu baru bisa ada edor? Pantas tu si ono pelit pinjamin uang," cerocos ibu memajukan bibirnya menunjukku. Tentu saja menyindir, aku tetap santai duduk mengetik dengan ponsel.

 

"Endorse Nek, bukan endor," tukas Mimi.

 

"Bukan pelit Nek, tapi split!" kata Tia meluruskan. Terlihat Tia ikut kesal aku disindir.

 

"Sama aja, toh sama-sama kikir maksudnya," bantah ibu.

 

"Iih, Ibu, yang kayak gini sepelit, bukan pelit," ucap Ima memperlihatkan layar ponselnya.

 

"Bunda, bukan sepelit, tapi split," sanggah Mimi ke bundanya.

 

"Alah, sama aja kok, mau sepelit mau silit, aku dah tau gerakan lentur tubuh itu, toh katanya pakai lit lit juga, kamu kira Bunda bodoh apa?"

 

Mimi manyun mendengar cerocos bundanya. Itu lah Ima, tak jauh berbeda dengan ibunya. Sudah salah suka sok tahu, dan tukang sindir. 

 

"Ini mah sulit, Mimi mana bisa kayak Tia, lihat tuh, kaki Tia bisa dibentang lurus, sambil berdiri angkat kaki bisa cium lutut tanpa membungkuk." Ibu terkasima melihat video Tia.

 

Benar sekali. Tia punya bakat breakdance. Tubuhnya juga lentur digerakan, ini namanya 'split', itulah kenapa videonya banyak difollow. Bakat ini lah yang menghasilkan uang. Aku saja tak pernah kepikir tentang tik tok atau i*******m. Mungkin ini zamannya anakku.

 

"Dengan joget-joget sembarang juga bisa kok, Bun. Lihat vidio yang banyak follow-nya," tukas Mimi.

 

"Benaran? Kalau gitu kita cari goyang yang mudah aja." Ima terlihat senang.

 

Lalu mereka sibuk melihat video-video tik tok ataupun di i*******m. Sementara itu Tia berlalu duduk di kursi teras.

 

"Ini juga bagus, Mi. Lihat tuh mukanya putih, cantiknya, ntar kita joget gini juga ya," ajak Ima ke putrinya.

 

"Mana Ibu lihat." Ibu juga ikut melihat.

 

"Kenapa nggak pakai baju putri aja, kayak orang nikah, pasti cantik," ide ibu.

 

"Benar tuh, Mi, kita sewa baju dan mek ap, pasti banyak yang puji, ntar vidionya kita lihatin ke Ibu-ibu yang kumpul di warung, biar kita dianggap seperti artis."

 

"Malu, Bun, aku nggak mau pakai mek ap, ntar kayak emak-emak," sanggah Mimi.

 

"Benar tuh, yang biasa saja, lagian sayang uangnya digunakan untuk hal gituan," ucapku  memberi pendapat. Maksudmya agar jangan membebani suamiku lagi kalau uang mereka habis. Ujung-ujungnya, mas Aga diancam lagi demi kebutuhan ibu dan adiknya.

 

"Aku tak butuh pendapatmu, Mbak, bilang aja iri ntar vidioku dan Mimi lebih banyak yang suka."

 

"Nggak usah didengarin, Im. Orang pelit pasti juga suka iri," sindir ibu.

 

"Tapi Bi Mita benar kok Bun." Suara Mimi pelan. Tertekan karena takut dimarahi Bundanya.

 

"Kamu jangan dengarin dia! Pasti tu ia takut Tia kalah saing."

 

Astagfirullah'alazimm. Seburuk itukah pikiran adik iparku. Kalah saing? Justru aku prihatin kalau mereka terlihat malu-maluin. Ibu-ibu yang kumpul di warung kebanyakan ibu-ibu yang tak kurang seons seperti dia.

 

"Terserah," ucapku berlalu ke kamar. Sebaiknya aku tidur-tiduran sambil mengetik di ponsel.

 

"Orang pelit mah tetap aja suka iri, tak sadar tinggal di mana."

 

Aku berusaha sabar mendengar sindiran ibu. Tunggu uangku cukup dulu baru bisa cari kontrakkan. Seatap dengan mereka hidupku tak akan bisa tenang.

 

Sudah jam 12 siang lewat. Ini waktunya makan siang. Nasi masih banyak di rice cooker, jadi tak perlu beli beras. Beras masih tersisa sekitar dua kali masak lagi. Setelah itu, pikirkan perut masing-masing.

 

"Mbak Mita!" Ima muncul di pintu kamarku.

 

"Ya, Im," jawabku santai sambil melihat ponsel.

 

"Belum masak? Udah jam berapa nih? Aku lapar."

 

"Loh, perutmu yang lapar kenapa bilang aku?"

 

"Iya, masakannya mana?"

 

"Cari sendiri lah, itu urusan perutmu bukan urusanku," jawabku sinis.

 

"Masak sana, Ibu juga kelaparan."

 

"Untuk Ibu, ntar nasi pake garam aja, beres kan?"

 

"Garam? Yang bener dong? Masak kami makan nasi garam, cepat sana goreng ikan, jangan lupa sayur asam kesukaanku."

 

Aku bangkit lalu duduk di tepi ranjang.

 

"Aku ngantuk, lagian aku belum lapar. Kamu saja yang masak," jawabku lalu menguap.

 

"Mana uangnya? Sini aku ke warung, tapi kamu yang masak, Mbak."

 

"Uang? Bukankah Mas Aga sudah kasih uang dua juta? Jadi biaya makan selama satu bulan, itu kamu yang tanggung jawab, sana cepatan ke warung."

 

"Enak saja, itu uang buat beli hp! Nggak ada sangkut paut ma uang dapur."

 

Aku berdiri menghadap Ima.

 

"Iya, tapi itu uang dapurku yang dikasih Mas Aga. Itu lah masalahnya, gara-gara kamu minta beliin hp, Ibu mengancam Mas Aga hingga uang dapur jadi korban. Sekarang kamu tanggung jawab."

 

"Enak saja, itu urusanku dengan Mas Aga."

 

"Itu juga urusanku karena gara-gara kamu, seisi rumah kelaparan. Dan lagian kamu sadar diri, kamu bukan kewajiban suamiku, kamu juga punya suami, 'kan?"

 

"Ada apa ini?" Ibu muncul di belakang Ima.

 

"Bu, masak kita disuruh makan pake garam?" Ima mengadu.

 

"Apa? Seumur hidup meskipun aku tak punya banyak uang, tak pernah makan nasi pakai garam aja, sekurang-kurangnya dengan sambal tempe."

 

"Mbak Mita bilang, ini lantaran aku beli hp."

 

"Nggak bisa gitu? Hey Mita! Cepat ke warung lalu masak, awas ya kalau tak masak." Ibu melototiku.

 

"Aku tak punya uang beli ikan ataupun sayur. Mas Aga hanya kasih tiga ratus ribu. Dua ratus ribu untuk bayar listrik, seratus ribu untuk jajan Tia," jawabku.

 

"Kamu, 'kan ada simpanan, pakai itu lah."

 

"Kenapa uangku yang dilihat, tuh Ima ada emas, jual sana buat ganti uang dapur, jangan seenaknya saja. Lagian bukan kewajibanku cari nafkah." Aku tak mau kalah.

 

"Kalau bukan karena putraku, tak sudi aku punya mantu pelit kayak kamu."

 

"Bu, kita telpon Mas Aga, percuma meladeninya, biar ia dimarai nanti." Ima menarik tangan ibunya.

 

Aku juga ingin lihat dan dengar apa yang diucapkan suamiku nanti. Tiga ratus ribu aku diwajibkan memberi makan mereka. Tidak bisa begitu dong, mulut mereka juga tak menghargaiku, apa gunanya aku berkorban.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

  • Ini Uangku, Mas!   Part 5

    Ini uangku, MasPart 5(mengadu ke suamiku)"Lihat tu minantu Ibu, mentang-mentang anaknya artis silipgram dan baru juga nulis tak seberapa, sudah bergaya SOK TERKENAL! Dulu patuh, sekarang membangkang, dasar minantu durhaka, nggak sadar apa tinggal di mana!" Terdengar celotehan Ima mengompori ibu mertua atas sikapku hari ini tidak memasak. Berusaha cuek, toh bukan kewajibanku membiayai makan Ima dan Mimi. Kalau masalah ibu mertua, tentu sesuai keuangan yang diberikan mas Aga. Aku santai memegang ponsel, tentu ini cerbung terbaruku. Dengan kehidupan sehari-hari yang kualami, lahirlah cerbungku ini. Mudah-mudahan banyak yang baca dan aku bisa dapat uang buat ngontrak rumah. Tak tahan rasanya seatap dengan mertua dan adik ipar. "Menyesal Ibu merestui Aga menikahinya, awalnya aja kelihatan baik, tapi pelit minta ampun. Mana hp-mu Im? Cepatan telpon Mas-mu."Ibu semakin emosi. Seperti biasa, sindirian pedas selalu kudengar. Sangat tak nyaman di telinga, seharusnya ibu mertua pengganti ib

    Last Updated : 2022-07-16
  • Ini Uangku, Mas!   Part 6

    Ini uangku, MasPart 6 (kedatangan ibuku) "Eh, Bu Besan, ayo masuk. Ima! Bikinin teh hangat untuk Ibunya Mita!"Idih, ibu mertua terdengar sangaaaat baik. Oke mertua, aku tahu baiknya pasti ada mau. Kutes dulu ah, pura-pura tak dengar kalau ibuku datang."Iya, Bu!" Kali ini suara Ima terdengar baik. Seperti penjahat insaf saja. Mulut pun bersih dari kata sindiran."Bu Ros apa kabar? Sehat, Bu?" Terdengar suara ibuku menyapa ibu mertua. Itu lah ibu, suara tenang dan selalu ramah."Alhamdulillah, Bu Eli, Bu Eli sendirian saja?""Tadinya sama Papanya Mita, tapi karena Papanya ke notaris, makanya saya sendirian, Bu.""Notaris? Wah, sudah pensiun tetap sibuk ya, Bu.""Ya, karena ada yang diurus, Bu. Oh ya, Mita dan Tia mana, Bu?""Oh ada, Mita jam segini mah tidur siang, kalau Tia bermain. Sebentar saya panggilkan, Bu."Aku pura-pura berbaring tidur. Tak lama kemudian, terdengar pintu kamarku berderit ada yang masuk."Mit! Mita! Bangun, ada Ibumu, Nak." teriak ibu membangunkan.'Nak', tum

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 7 Dapat Jatah Karna Ayah Jual Tanah

    Ini uangku, MasPart 7 (dapat jatah karena ayahku jual tanah)Berdiri di balik dinding luar dekat kaca jendela, terdengar ibu mertua memakai namaku untuk pinjam uang ke ibuku. Dan alasannya agar aku bisa punya baju daster baru. Oh Tuhan, ibu mertua banyak akalnya. Mentang-mentang dengar kabar ayahku jual tanah, langsung itu mata ingin lihat uang. Tapi tak akan kubiarkan itu berhasil. "Assalamualaikum," ucapku melangkah ke pintu."Waalaikumsalam," jawab ibuku dan ibu mertua serentak.Aku dan Tia masuk. Terlihat ibu mertua langsung terdiam tidak membahas itu lagi."Mita, bikinin jus jeruk untuk ibumu sana," titah ibu mertua. Kali ini mau cari alasan agar aku jauh dari ibu dan ia bisa melanjutkan aksi pinjam uang. Aku yakin itu rencana ibu mertua."Tidak usah, Bu Ros. Aku hanya ingin Mita tetap duduk di sampingku karena masih ada yang ingin kubicarakan," sanggah ibuku. Ibu mertua langsung terdiam menghela nafas pendek.Aku dan Tia duduk di samping ibuku. Tak lama kemudian, Ima dan Mimi

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 8 Tiba-tiba Mertua Baik

    Ini uangku, MasPart 8 (tiba-tiba ibu mertua bersikap baik)Biasanya jika aku belum selesai membersihkan rumah atau mencuci pakaian, ibu sering ngomel-ngomel meskipun aku duduk sejenak istirahat. Ditambah Ima juga ikut mengompori ibunya. Aku seperti pembantu yang digaji gratis. "Ibu kenapa sih? Kok aku yang nyuci? Kukuku baru di cat, bentar lagi mau bikin vidio untuk IG." Terdengar tolakan Ima saat ibu menyuruhnya mencuci."IG IG gigimu! Ini lebih penting dari foto-foto tak jelas. Cepat kerjain sana!""Nggak mau, dia tidur-tiduran kok aku yang ngerjain?""Siniii."Tak terdengar lagi perdebatan ibu mertua dan adik iparku. Aku yakin Ima disuruh mengerjakan pekerjaan yang biasa kulakukan. Bisa jadi ibu memaksa Ima kali ini. Justru ini kumanfaatkan sebelum aku betul-betul pasti meninggalkan rumah ini. Kali ini tidak terdengar keributan. Biasanya suara ibu dan Ima lantang menyindirku hingga terdengar ke dalam kamar. Aku bisa mengetik cerbung dengan tenang. Alhamdulillah, dengan menulis d

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 9 Diam dan Sabar Itu Menyiksa, Mas

    Ini uangku, MasPart 9 (diam dan sabar itu menyiksaku, Mas)Harga diri suamiku? Jadi harga diriku di rumah ini dibiarkan diinjak demi harga dirinya? Pernikahan apa yang kujalani jika sang suami hanya memikirkan dirinya ataupun keluarganya saja. Aku bukan malaikat yang selalu tahan disindir ataupun dihina adiknya. Dan baru hari ini ibu mertua bersikap baik."Jika aku mikirkan harga dirimu, trus harga diriku dibiarkan diinjak gitu?""Bukan gitu, Mit, sabar lah dulu hingga kukumpulkan uang dan kita bisa beli rumah." Suara suamiku melunak."Sampai kapan? Sementara uangmu saja dengan mudah diberikan buat Ima beli hp, kapan bisa nabung jika setiap bulan aku ngutang di warung demi bisa mencukupi isi perut adikmu beserta putrinya. Aku capek, Mas." Lalu aku masuk kamar. "Bukan gitu, Mit, aku hanya ingin kamu bersabar, lagian nanti Ima dan putrinya pasti ikut Ipul, kok." Mas Aga mengikutiku ke kamar."Sudah bertahun-tahun, Mas, lihat adikmu tak pernah dibawa suaminya, trus sampai kapan aku ber

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 10 Terusir

    Ini uangku, MasPart 10 (terusir)"Jadi apa gunanya kamu menikah dengan putraku? Mengadah tangan saja?" Ibu melotot seakan aku tak ada gunanya. Padahal selama ini kukerjakan pekerjaan rumah komplit dengan mencuci baju Ima dan Mimi. Tapi tidak untuk kedepannya, sabar itu ada batasnya."Jika Ibu mengerti mana yang kewajiban dan mana yang hak, tidak bakalan kata-kata itu muncul dari mulut Ibu. Tapi jika kata-kata itu membuat batasan rasa hormat terhapus, itu akibat mulut Ibu sendiri." Aku berusaha tidak mengeluarkan air mata. Tetap saja sulit."Ibu bilang apa sih? Mita Istriku ya wajar lah kunafkahi, jangan bilang gitu lah, Bu.""Tapi bukan minantu seperti ini yang kumau, ada duit, pelit, perhitungan lagi.""Bu, kemampuanku hanya segitu, jadi apa yang mau diberikan lagi, ini saja aku harus bayar hutang ke Bu Tita. Tolong jangan buat aku pusing.""Hay Mas, Istrimu punya simpanan seharusnya membantumu, bukan membiarkanmu berhutang!" Ima menunjukku."Ini uangku, bukan uang hasil dari meramp

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 11 Astaga, aku seperti toko emas berjalan

    Ini uangku, MasPart 11(Astaga, aku seperti toko emas berjalan)"Pakai Ini, ini juga, ini," titah ibu padaku.Ibu mengeluarkan kotak perhiasan dari lemari. Setelah dibuka, satu gelang rantai emas sebesar jari telunjuk dikalungkan ke pergelangan tangan kiriku. Belum lagi gelang emas keroncong dengan macam tiga motif, menghiasi pergelangan tangan kananku. "Bu, ini banyak sekali, tanganku merasa berat," jawabku melihat gelang emas di kedua pergelanganku."Mita, ini belum semuanya, ini ada model terbaru, dan ini juga ada yang Ibu minta disain sendiri ke tokonya." Ibu justru menambah memakaikan gelang dengan model yang berbeda. "Aku takut dirampok, Bu.""Kita pergi pakai mobil pribadi, Mit, bukan naik angkot."Terpaksa nurut. Aku tak biasa pakai perhiasan banyak. Waktu gadis pun, ibu juga beli perhiasan tapi tak kupakai. Setelah menikah perhiasan itu sedikit-sedikit kujual agar jangan berhutang di warung. Sekarang hanya anting perak yang tersisa menghiasi telingaku. "Ini anting apaan si

    Last Updated : 2022-07-20
  • Ini Uangku, Mas!   Part 12 Belanja Banyak

    Ini uangku, MasPart 12 (belanja banyak / pov Ima)Pov ImaAstaga naga dari pegunungan himalaya! Ini benaran mbak Mita nggak, sih? Bajunya ..., bagus sekaliii, terus gelangnya banyak, itu kalungnya benaran emas murni? Tasnya, sepatunya. Aaah! Bisa pingsan aku melihatnya."Ima, jangan kelamaan mangap," tegur mpok Leha. Ini orang bikin kesal saja. Mulut punya aku kenapa dia yang sewot. Secepatnya kutup mulutku. Menelan air ludah, aku berusaha tenang dan tarik nafas panjang. Aku juga tak boleh kelihatan malu-maluin."Mpok Leha, saya sudah bilang, semua belanjaan Ibu-ibu di warung ini tanpa terkecuali saya yang bayar, saya hanya minta doanya agar tanah Ayah Mita yang lain cepat terjual juga, biar kami bisa bagi rejeki lagi," jelas ibu Eli dengan ramah."Aaminn, terima kasih ya, Bu.""Makasi, Bu, Mita.""Alhamdulillah, semoga rejeki Ibu dan Mita selalu lancar.""Semoga cepat terjual lagi tanah Ayahnya Mita, Aaminn."Ibu-ibu di warung mengucapkan terima kasih dan doa untuk mbak Mita dan ib

    Last Updated : 2022-07-20

Latest chapter

  • Ini Uangku, Mas!   Part 62 Ending

    Ini uangku, MasPart 62 ( ending )Sulit kuungkapkan kata-kata betapa terkejutnya aku dengan lamaran ini. Istri mantan suamiku ingin melamarku? Ide gila macam apa yang ada dipikiran Bulbul dan mas Aga. "Ini pasti lelucon. Bul, kamu sadar dengan maksud kedatanganmu?" Kuulangi bertanya.Bulbul menatap mas Aga sebentar. Mas Aga justru menatapku. Netranya membicarakan betapa ia menginkanku lagi jadi istrinya. Namun, tidak di diriku."Aku sadar, Kak. Kita berbagi suami, dan ini juga banyak terjadi di luar sana.""Aku akan berusaha adil, Mit," ucap mas Aga. Tak ada rasa bersalah dan ia berucap seperti seorang lelaki yang kuharapkan lagi seperti dulu. Justru dengan keadaan seperti ini membuatku semakin tak suka.Di cerbung yang kutulis. Ada beberapa kisah pelakor dengan judul 'Anaknya mirip suamiku' dan 'Acara di rumah ibumu'. Di sana kutulis ada yang terinspirasi dari kisah nyata. Tapi itu hanya cerita yang kugabung dari beberapa kisah. Intinya aku tak suka jika berbagi suami walaupun buka

  • Ini Uangku, Mas!   Part 61 Lamaran

    Ini uangku, MasPart 61 ( lamaran )"Dasar si Aga, siang hari mabuk, apa nggak punya malu," cerocos Ibu sambil meletakan secangkir kopi."Sudah, Bu, yang penting sekarang sudah aman," kata ayah."Iya, tapi tetap aja bukan contoh yang baik, lah mabuk terlihat Tia, apa dia nggak mikir, bodoh dipelihara.""Sst!" Ayah menempelkan telunjuk depan bibir menyuruh ibu diam. "Ada Tia, Bu, kasihan," ucap ayah melirik Tia yang sedang duduk di sampingku. Tentu kami menyimak obrolan ibu dan ayah.Kulihat Tia, ia seperti memikirkan sesuatu, pasti tentang papanya. Seharusnya ia tak melihat mas Aga mabuk. Dan ini pertama kalinya kulihat mantan suami seperti itu. Apakah karena ada masalah. Setahuku ia bukan tipe lelaki peminum alkohol.Mungkinkah tentang pelet itu benar? Kasihan Bulbul. Ia masuk ke keluarga yang salah. Seandainya sikap Ima dan ibunya berubah, aku yakin Bulbul bahagia bersama mas Aga. "Ma, jadi orang mabuk seperti Papa itu ya?" tanya Tia."Ya, tapi nggak usah dipikirkan," jawabku. "K

  • Ini Uangku, Mas!   Part 60 Kesadaran Dalam Musibah

    Ini uangku, MasPart 60 ( kesadaran dalam musibah )Pov BulbulDulu, aku tak peduli dengan kata cinta. Tujuan menikah dengan mas Aga sekedar ingin punya keturunan. Hidup sebatang kara. Berjuang sendiri agar dihargai. Dari kecil hinaan terus kuterima dengan sakit hati. Orang tuaku selalu mengajarkan, 'buktikan kamu sukses dengan pikiran, jika fisik yang kamu sesali berarti kamu membenci pemberian Tuhan', itulah yang selalu kutanamkan. Hingga menata hati tak akan pernah mencintai lelaki mana pun."Mas, ayo pulang." Kutarik tangan mas Aga. Ia masih suamiku, jika pernikahan ini karena pengaruh pelet, itu bukan salahnya."Bul, itu Mita kan?" Mas Aga menunjuk kak Mita. Bau minuman alkohol menyengat dari mulutnya. Dulu aku tidak cemburu karena aku tahu mereka sudah bercerai. Kak Mita tidak pernah menunjukan ingin rujuk. Itulah kenapa aku bisa menerima dengan akal sehat. Namun, kali ini aku cemburu. Aku tak rela melihat suamiku masih mengharapkan mantan istrinya. Apakah 'cinta' tak pernah b

  • Ini Uangku, Mas!   Part 59 Kacau

    Ini uangku, MasPart 59 ( kacau )Pov Aga_2Apa yang terjadi padaku? Kenapa Bulbul? Ah! Aku bingung. Rasa ingin jauh darinya. Kok mendadak rasaku bisa berubah dengan sekejap. Rasa cinta dan menggebu berubah seiring melihatnya tampak beda hari ini."Bu, Ima, ada apa dengan Mas Aga? Kenapa ia terlihat aneh hari ini?" Bulbul bertanya seolah ia istriku. Maksudku istri yang kucinta. Ah! Aku sulit menjelaskanya."Bulbul, mungkin Aga kurang enak badan," jawab ibu."Ibu, i-ini kenapa? Aku aku ...." "Sudahlah, Mas, ayo duduk dulu." Ima menarik tanganku."Ima, kenapa temanmu sekamar denganku?" bisiku saat melangkah ke kursi."Bulbul istrimu, Mas," jawab Ima juga berbisik."Nggak mungkin! Tapi bukan yang itu!" ucapku lantang karena tak menerima semua ini. Aku tak ingin menikahi Bulbul, lagian bukan Bulbul yang ini yang ingin kujadikan istri."Kecilkan suaramu, Mas." Ima berbisik menekan suara agar tak didengar Bulbul. "Apa yang tidak mungkin, Mas Aga?" tanya Bulbul. Kupalingkan ke belakang,

  • Ini Uangku, Mas!   Part 58 Astagfirullahalaziim

    Ini uangku, MasPart 58 ( pov Aga : Astagfirullah'alaziim! )Pov Aga"Mita! Tunggu dulu, aku belum selsai ngomong!"Mita terus melangkah memasuki pagar rumahnya."Mita! Atau seperempat aja bagianku! Aku butuh buat membahagiakan Bulbul, Mita!""Jangan teriak-teriak!" bentak Mita tanpa menoleh padaku."Maka dengarin, bukan pergi gitu aja.""Brisik!" Prak!Pintu dihempaskannya ditutup."Mita! Mita!"Ia tak peduli dengan panggilanku. Justru hempasan pintu yang kudapat seiring bentakannya. Dasar maruk!"Mita!"Sekencang apa pun aku memanggilnya, tetap saja ia tak peduli. Padahal sudah kuberi ide bagus agar kita sama-sama adil dalam memiliki Tia. Tanpa aku Tia belum tentu bisa ada di dunia ini, bibitku hebat bisa mempunyai anak berbakat. Seharusnya Mita menyadari itu.Kemana lagi kucari uang biar bisa beli mobil. Bulbul pasti senang jika aku juga mampu. Dengan gajiku tak akan cukup. Lagian ibu dan Ima juga harus kubiayai, belum lagi makan Mimi juga banyak. Ima dan Mimi sama banyak makanny

  • Ini Uangku, Mas!   Part 57 Bicara Pikirkan Dulu

    Ini uangku, MasPart 57 ( bicara dipikirkan dulu )Aku tak ingin masuk ke lubang yang sama. Bertahun-tahun sudah cukup bagiku mengenal ibu mantan mertua dan Ima, apa lagi mantan suamiku. Jika ia mengakui dosanya, itu bukan urusanku karena yang diperbuat itu lah yang dipetik.Hanya prihatin. Aku tak ingin ikut campur dengan urusan yang bukan urusanku. Jika pernikahan mas Aga dengan Bulbul di luar kesadaran mas Aga, yang patut dipersalahkan adalah ibunya dan adiknya. "Mita.""Astagfirullah'alaziim." Aku mengucap terkejut. Tiba-tiba pundakku ditepuk ibu dari belakang."Melamun aja, mikirin apa?" "Oh, nggak, nggak ada, Bu," jawabku lalu pura-pura sibuk melihat layar ponsel. "Kamu tu lahir dari rahim Ibu, kamu sedang bohong, pura-pura, sedih, atau menyembunyikan sesuatu, Ibu pasti tau."Tuh kan, sudah berusaha menghindari, tetap saja ibu tahu. Sebenarnya malas bicara jujur. Ujung-ujungnya aku pasti kena semprot jika membahas tentang keluarga mantan suamiku."Ya udah, tapi ingat, serapi

  • Ini Uangku, Mas!   Part 56 Sedih lihat anak

    Ini uangku, MasPart 56 ( pov bu Ros: aku yang lebih tersiksa melihat penderitaan anak-anaku )Melangkah pulang dengan hati kecewa. Mita menolak rujuk dengan Aga. Apakah sesulit itu baginya memaafkan yang terjadi? Atau aku yang tak menyadari penderitaanya selama ini?Di mana-mana, menantu yang kerjakan semua pekerjaan rumah suatu hal yang biasa. Itu gunanya ia tinggal di rumah. Tapi kenapa Mita seperti aku memperbudaknya? Apakah karena selama ini Ima juga ikut adil dalam memerintah? Kuakui, Ima punya sifat semena-mena akibat kumanjakan. Dulu saja aku hampir sakit saat Mita terusir dan aku lah yang mengerjakan semuanya. Apakah aku salah mendidik anak?"Ibu dari mana? Lihat Ima belum berhenti menangis seperti anak kecil, telingaku sakit!" Bulbul berdiri berkacak pinggang. Aku baru masuk langsung disambut dengan omongan tak enak. Ia berlagak seolah nyonya besar dan aku pembantunya."Itu aja kamu sewot," jawabku berusaha mengabaikanya."Lah iya lah aku sewot, Ima sangat berisik! Aku ing

  • Ini Uangku, Mas!   Part 55 Maaf?

    Ini uangku, MasPart 55 ( maaf )"Jangan menangis, Ma," ucap Tia menatapku.Aku duduk menyeka air mata. Rasa khawatir, takut jauh dari putriku. "Nak, jika suatu saat kamu tak nyaman bersama Mama, bicara lah." Kubelai pipi Tia."Mama bicara apa sih? Justru aku takut membebani Mama, aku hanya ingin Mama, aku juga sayang Papa, tapi kenyamananku bersama Mama."Ya Allah, terima kasih tidak menjauhkanku dari putriku. Hamba mohon, jangan pernah pisahkan kami. Tapi seandainya maut memisahkan, biarkan putriku di tangan orang yang tepat hingga hidupnya tak teraniaya. Pengalaman berumah tangga dan tinggal di rumah mertua sudah cukup memberiku pelajaran tentang hidup sesungguhnya.Jika dulu aku berpikir logis. Cinta tak cukup membuat bahagia, lingkungan saling menghargai itu penting. Seandainya sudah menjadi seorang ibu, tak ada yang lebih penting dari anak. Mantan suami ada, tapi mantan anak tidak akan pernah ada. Satu hal yang kuabaikan, firasat orang tua itu benar. "Mita! Mit!"Ibu memanggil

  • Ini Uangku, Mas!   Part 54 Muak

    Ini uangku, MasPart 54 ( pov Aga: aku muak dibilang anak durhaka!)"Kok diam, Bu? Ada apa dengan tiga hari lagi?" tanyaku lagi karena belum dijawab."Oh, itu, Ga, tiga hari lagi Ibu berencana mengadakan syukuran buat pernikahan kalian," jawab ibu."Iya, Mas, warga sini juga harus tau kalau kamu bukan suami Mbak Mita lagi, tapi suami Bulbul," ucap Ima."Tapi aku tak punya uang buat acara syukuran, Ibu tau itu kan?"Buat apa mengadakan acara syukuran jika yang datang dikasih makan angin. Aku tak yakin Bulbul mau, uangnya banyak terpakai."Nanti kita bicarakan lagi ke Bulbul, mana tau ia mau.""Jangan, Bu, aku tak enak dengan Bulbul, pasti ia marah dan aku nggak mau ia malah minta cerai, aku cinta Bulbul, Bu."Jujur dan terbuka lebih baik. Biar hati merasa lega. Lagian yang memperkenalkan Bulbul adalah Ima. "Mas Aga! Kok malah lemah gitu? Jadi laki ya harus tegas, lawan rasa lemahmu."Ima ngomong aja yang bisa. Apa ia merasakan yang kurasakan? Hati ini betul-betul terpaut pada Bulbul.

DMCA.com Protection Status