Ini uangku, MasPart 8 (tiba-tiba ibu mertua bersikap baik)Biasanya jika aku belum selesai membersihkan rumah atau mencuci pakaian, ibu sering ngomel-ngomel meskipun aku duduk sejenak istirahat. Ditambah Ima juga ikut mengompori ibunya. Aku seperti pembantu yang digaji gratis. "Ibu kenapa sih? Kok aku yang nyuci? Kukuku baru di cat, bentar lagi mau bikin vidio untuk IG." Terdengar tolakan Ima saat ibu menyuruhnya mencuci."IG IG gigimu! Ini lebih penting dari foto-foto tak jelas. Cepat kerjain sana!""Nggak mau, dia tidur-tiduran kok aku yang ngerjain?""Siniii."Tak terdengar lagi perdebatan ibu mertua dan adik iparku. Aku yakin Ima disuruh mengerjakan pekerjaan yang biasa kulakukan. Bisa jadi ibu memaksa Ima kali ini. Justru ini kumanfaatkan sebelum aku betul-betul pasti meninggalkan rumah ini. Kali ini tidak terdengar keributan. Biasanya suara ibu dan Ima lantang menyindirku hingga terdengar ke dalam kamar. Aku bisa mengetik cerbung dengan tenang. Alhamdulillah, dengan menulis d
Ini uangku, MasPart 9 (diam dan sabar itu menyiksaku, Mas)Harga diri suamiku? Jadi harga diriku di rumah ini dibiarkan diinjak demi harga dirinya? Pernikahan apa yang kujalani jika sang suami hanya memikirkan dirinya ataupun keluarganya saja. Aku bukan malaikat yang selalu tahan disindir ataupun dihina adiknya. Dan baru hari ini ibu mertua bersikap baik."Jika aku mikirkan harga dirimu, trus harga diriku dibiarkan diinjak gitu?""Bukan gitu, Mit, sabar lah dulu hingga kukumpulkan uang dan kita bisa beli rumah." Suara suamiku melunak."Sampai kapan? Sementara uangmu saja dengan mudah diberikan buat Ima beli hp, kapan bisa nabung jika setiap bulan aku ngutang di warung demi bisa mencukupi isi perut adikmu beserta putrinya. Aku capek, Mas." Lalu aku masuk kamar. "Bukan gitu, Mit, aku hanya ingin kamu bersabar, lagian nanti Ima dan putrinya pasti ikut Ipul, kok." Mas Aga mengikutiku ke kamar."Sudah bertahun-tahun, Mas, lihat adikmu tak pernah dibawa suaminya, trus sampai kapan aku ber
Ini uangku, MasPart 10 (terusir)"Jadi apa gunanya kamu menikah dengan putraku? Mengadah tangan saja?" Ibu melotot seakan aku tak ada gunanya. Padahal selama ini kukerjakan pekerjaan rumah komplit dengan mencuci baju Ima dan Mimi. Tapi tidak untuk kedepannya, sabar itu ada batasnya."Jika Ibu mengerti mana yang kewajiban dan mana yang hak, tidak bakalan kata-kata itu muncul dari mulut Ibu. Tapi jika kata-kata itu membuat batasan rasa hormat terhapus, itu akibat mulut Ibu sendiri." Aku berusaha tidak mengeluarkan air mata. Tetap saja sulit."Ibu bilang apa sih? Mita Istriku ya wajar lah kunafkahi, jangan bilang gitu lah, Bu.""Tapi bukan minantu seperti ini yang kumau, ada duit, pelit, perhitungan lagi.""Bu, kemampuanku hanya segitu, jadi apa yang mau diberikan lagi, ini saja aku harus bayar hutang ke Bu Tita. Tolong jangan buat aku pusing.""Hay Mas, Istrimu punya simpanan seharusnya membantumu, bukan membiarkanmu berhutang!" Ima menunjukku."Ini uangku, bukan uang hasil dari meramp
Ini uangku, MasPart 11(Astaga, aku seperti toko emas berjalan)"Pakai Ini, ini juga, ini," titah ibu padaku.Ibu mengeluarkan kotak perhiasan dari lemari. Setelah dibuka, satu gelang rantai emas sebesar jari telunjuk dikalungkan ke pergelangan tangan kiriku. Belum lagi gelang emas keroncong dengan macam tiga motif, menghiasi pergelangan tangan kananku. "Bu, ini banyak sekali, tanganku merasa berat," jawabku melihat gelang emas di kedua pergelanganku."Mita, ini belum semuanya, ini ada model terbaru, dan ini juga ada yang Ibu minta disain sendiri ke tokonya." Ibu justru menambah memakaikan gelang dengan model yang berbeda. "Aku takut dirampok, Bu.""Kita pergi pakai mobil pribadi, Mit, bukan naik angkot."Terpaksa nurut. Aku tak biasa pakai perhiasan banyak. Waktu gadis pun, ibu juga beli perhiasan tapi tak kupakai. Setelah menikah perhiasan itu sedikit-sedikit kujual agar jangan berhutang di warung. Sekarang hanya anting perak yang tersisa menghiasi telingaku. "Ini anting apaan si
Ini uangku, MasPart 12 (belanja banyak / pov Ima)Pov ImaAstaga naga dari pegunungan himalaya! Ini benaran mbak Mita nggak, sih? Bajunya ..., bagus sekaliii, terus gelangnya banyak, itu kalungnya benaran emas murni? Tasnya, sepatunya. Aaah! Bisa pingsan aku melihatnya."Ima, jangan kelamaan mangap," tegur mpok Leha. Ini orang bikin kesal saja. Mulut punya aku kenapa dia yang sewot. Secepatnya kutup mulutku. Menelan air ludah, aku berusaha tenang dan tarik nafas panjang. Aku juga tak boleh kelihatan malu-maluin."Mpok Leha, saya sudah bilang, semua belanjaan Ibu-ibu di warung ini tanpa terkecuali saya yang bayar, saya hanya minta doanya agar tanah Ayah Mita yang lain cepat terjual juga, biar kami bisa bagi rejeki lagi," jelas ibu Eli dengan ramah."Aaminn, terima kasih ya, Bu.""Makasi, Bu, Mita.""Alhamdulillah, semoga rejeki Ibu dan Mita selalu lancar.""Semoga cepat terjual lagi tanah Ayahnya Mita, Aaminn."Ibu-ibu di warung mengucapkan terima kasih dan doa untuk mbak Mita dan ib
Ini uangku, MasPart 13 (ngintip di balik pohon)Pov Bu Ros (ibu mertua Mita)"Awas ya, kalau kamu bohong! nggak mungkin deh si Mita tiba-tiba banyak emas dan bagi-bagi duit. Belum juga sehari," ucapku saat kami melangkah ke rumah bu Tita. Kuangkat daster panjangku hingga selutut demi melangkah cepat.Lagian saat kemarin ke rumah, Bu Eli naik taksi. Ngapain juga tak naik mobil baru. Terus kulihat ia tak punya emas melingkar di leher atau pun di tangannya. Hanya seperti cincin nikah yang menghiasi jarinya. Kalau ibunya Mita banyak emas, pasti sudah dipakai."Buat apa aku bohong, Bu? Bisa jadi karena Ayahnya jual tanah."Iya juga sih, tapi kok cepat jualnya. "Itu mobilnya?" Aku menunjuk ke halaman rumah bu Tita, ada mobil putih mengkilat terparkir. Dari warna cat, itu pasti mobil baru."Iya, Bu," jawab Ima."Paling cuma mobil rental, Im. Dia sakit hati karena anaknya kita usir." "Tapi mereka bagi duit di warung loh, Bu, maksudnya bayarin semua belanjaan Ibu-ibu.""Trus kamu nggak diba
Ini uangku, MasPart 14 (menyesal)Pov Ima"Ima! Im! Ima!"Terdengar teriakan ibu datang. Bikin ribut saja ibuku. Tidak tahu kakiku bentol-bentol karena semut sialan itu. Tau begini ngapain juga aku ikut ibu berdiri bawah pohon."Apaan sih, Bu?" sahutku sambil mengobati gigitan semut dengan balsem."Tolong Ibu, Im, aduh! Sakit!" Ibu berdiri di depanku sambil menyibakkan daster hingga sepaha. Lalu tanpa ragu ibu melepaskan celana dalamnya."Ibu kenapa?" tanyaku heran. Kenapa juga celana dalam dilepas, kulihat ibu tidak ngompol dicelana."Iiih, Nenek nggak malu, buka celana dalam di sini," ucap Mimi menujuk ibu."Jangan ribut!" Ibu mengibaskan celana dalamnya hingga menyebarkan aroma tak sedap."Sudah berapa hari, sih, Bu, nggak ganti celana dalam?" Spontan kucubit hidungku menghindari orama itu."Iya, nih, bau pesing campur asam," sahut Mimi membenarkan perkataanku."Uh!" Dengan kesal ibu melempar celana dalamnya padaku, hingga tepat mendarat di kepalaku."Ibu apaan sih, jorok, uweek!
Ini uangku, MasPart 15 (di rumah orang tuaku)Aku dan ibu meninggalkan rumah bu Tita. Ada rasa aneh melihat sikap ibu mertua. Caraya menatapku pasti juga ingin memiliki perhiasan yang kupakai. Tapi cukuplah sudah, selama ini bertahun-tahun aku tersiksa dalam keterdiaman. Semua demi menjaga rumah tanggaku utuh dan bentuk tanggung jawabku memilih mas Aga sebagai suami. "Pasti mertuamu kebakaran jenggot, apa lagi si Ima, mulutnya mangap lihat kamu," kata ibu senang seperti puas dengan rencana beliau."Apa aku tak terlihat norak pakai emas begini banyak, Bu?"Tentu saja aku risih. Aku seperti toko emas berjalan. Kedua pergelangan tanganku hampir penuh dan mendadak jari-jariku terhalang bergerak karena cincin tiga buah di tangan kanan, dan tiga lagi di tangan kiri. Astaga, ampun deh."Alah, itu saja kok repot, kamu bisa lihat kan, gimana Ibu-Ibu di warung melihatmu, ini demi menaikan namamu di sana, malu dong terusir, kamu tu masih punya Ibu dan Ayah."Aku tahu ibu sangat kesal. Apa lagi