Ini uangku, MasPart 13 (ngintip di balik pohon)Pov Bu Ros (ibu mertua Mita)"Awas ya, kalau kamu bohong! nggak mungkin deh si Mita tiba-tiba banyak emas dan bagi-bagi duit. Belum juga sehari," ucapku saat kami melangkah ke rumah bu Tita. Kuangkat daster panjangku hingga selutut demi melangkah cepat.Lagian saat kemarin ke rumah, Bu Eli naik taksi. Ngapain juga tak naik mobil baru. Terus kulihat ia tak punya emas melingkar di leher atau pun di tangannya. Hanya seperti cincin nikah yang menghiasi jarinya. Kalau ibunya Mita banyak emas, pasti sudah dipakai."Buat apa aku bohong, Bu? Bisa jadi karena Ayahnya jual tanah."Iya juga sih, tapi kok cepat jualnya. "Itu mobilnya?" Aku menunjuk ke halaman rumah bu Tita, ada mobil putih mengkilat terparkir. Dari warna cat, itu pasti mobil baru."Iya, Bu," jawab Ima."Paling cuma mobil rental, Im. Dia sakit hati karena anaknya kita usir." "Tapi mereka bagi duit di warung loh, Bu, maksudnya bayarin semua belanjaan Ibu-ibu.""Trus kamu nggak diba
Ini uangku, MasPart 14 (menyesal)Pov Ima"Ima! Im! Ima!"Terdengar teriakan ibu datang. Bikin ribut saja ibuku. Tidak tahu kakiku bentol-bentol karena semut sialan itu. Tau begini ngapain juga aku ikut ibu berdiri bawah pohon."Apaan sih, Bu?" sahutku sambil mengobati gigitan semut dengan balsem."Tolong Ibu, Im, aduh! Sakit!" Ibu berdiri di depanku sambil menyibakkan daster hingga sepaha. Lalu tanpa ragu ibu melepaskan celana dalamnya."Ibu kenapa?" tanyaku heran. Kenapa juga celana dalam dilepas, kulihat ibu tidak ngompol dicelana."Iiih, Nenek nggak malu, buka celana dalam di sini," ucap Mimi menujuk ibu."Jangan ribut!" Ibu mengibaskan celana dalamnya hingga menyebarkan aroma tak sedap."Sudah berapa hari, sih, Bu, nggak ganti celana dalam?" Spontan kucubit hidungku menghindari orama itu."Iya, nih, bau pesing campur asam," sahut Mimi membenarkan perkataanku."Uh!" Dengan kesal ibu melempar celana dalamnya padaku, hingga tepat mendarat di kepalaku."Ibu apaan sih, jorok, uweek!
Ini uangku, MasPart 15 (di rumah orang tuaku)Aku dan ibu meninggalkan rumah bu Tita. Ada rasa aneh melihat sikap ibu mertua. Caraya menatapku pasti juga ingin memiliki perhiasan yang kupakai. Tapi cukuplah sudah, selama ini bertahun-tahun aku tersiksa dalam keterdiaman. Semua demi menjaga rumah tanggaku utuh dan bentuk tanggung jawabku memilih mas Aga sebagai suami. "Pasti mertuamu kebakaran jenggot, apa lagi si Ima, mulutnya mangap lihat kamu," kata ibu senang seperti puas dengan rencana beliau."Apa aku tak terlihat norak pakai emas begini banyak, Bu?"Tentu saja aku risih. Aku seperti toko emas berjalan. Kedua pergelangan tanganku hampir penuh dan mendadak jari-jariku terhalang bergerak karena cincin tiga buah di tangan kanan, dan tiga lagi di tangan kiri. Astaga, ampun deh."Alah, itu saja kok repot, kamu bisa lihat kan, gimana Ibu-Ibu di warung melihatmu, ini demi menaikan namamu di sana, malu dong terusir, kamu tu masih punya Ibu dan Ayah."Aku tahu ibu sangat kesal. Apa lagi
Ini uangku, MasPart 16 (ini uangku!)Pintu kamar berderit, mas Aga masuk. Aku sedang duduk di ranjang sambil mengetik cerbung. Kejadian hari ini juga bisa jadi inspirasi ceritaku. Mulai dari persiteruan mertua dan ipar, hingga ibuku yang mulai jengkel hingga melakukan ide yang menurutku norak tapi berhasil menampar mereka. Tapi sampai kapan? Jenuh dengan masalah ini yang tak ada jalan keluarnya. Mertua dan ipar itu penghancur rumah tangga kalau suamiku tak bisa bersikap tegas. Intinya sikap suamiku."Sibuk Mit?" tanya mas Aga duduk di sampingku."Ada apa, Mas?" tanyaku lalu berhenti mengetik. "Kamu punya uang simpanan nggak? Aku butuh uang karena uang sakuku hanya tersisa lima puluh ribu."Tadi kudengar mas Aga bicara di ponsel kalau uangnya hanya sisa lima puluh ribu. Ini pasti jujur. "Buat apa, Mas?""Untuk isi sakuku, aku tak punya uang lagi, Mit, tapi aku janji, jika ada uang lebih, pasti uang dapur kutambah."Sebenarnya aku tak yakin mas Aga bisa menambah uang dapur. Toh, sela
Ini uangku, MasPart 17 (menyerah)"Aku nyerah, Mas, aku tak sanggup lagi menjalani rumah tangga ini. Kurelakan dirimu mencari penggantiku," ucapku tegas. Ingin menangis tapi kutahan sekuat hati. Rasa kesal dibohongi dan ia memakai uangku. Sulit kugambarkan betapa kesalnya yang kurasakan. Sangat kesal.Tidak ada yang ingin bercerai. Dulu saat pilihanku jatuh pada mas Aga, aku sudah siap dengan segala resiko. Tapi kenyataan tak semanis bayanganku. Dengan diam diperlakukan seperti babu di rumah ibunya, mas Aga mengangap itu hal yang biasa dialami menantu. "Mitaaa, tolong ngertiin aku, aku tak sanggup melihat Ibuku menderita." Wajah mas Aga memelas. "Kamu tak sanggup lihat Ibumu menderita, jika aku yang menderita tidak masalah gitu?" Mataku tak lepas dari suamiku. Sial, mataku berkaca juga akhirnya.Mas Aga menghela nafas panjang. Duduk di tepi ranjang, sesekali ia menjambak rambutnya tanpa melihatku."Satu hal lagi, aku tidak mau berhubungan keluarga dengan Ima adikmu." Sengaja kusebu
Ini uangku, MasPart 18 (curhat/pov Aga)Pov AgaSukurlah aku dapat pinjaman uang. Akan kuperlihatkan ke Mita, uangnya bisa kuganti cepat agar ia tak merendahkanku."Makasih ya, Dam, nanti gajian kubayar uangmu." Kumasukan uang itu ke saku celana. Tadi sudah kukirim pesan ke Mita bahwa uangnya yang terpakai sudah bisa kuganti. Tapi tak dibalas.Rasanya harga diriku diinjak. Kukira ia bisa menolongku karena istri. Tapi aku salah, dengan terusirnya kami, ia memendam sakit hati dan sepertinya tidak bisa diobati. Kukira Mita wanita yang sabar dan pengertian. Baru semalam kami tinggal di rumah orang tuanya, ia seperti tak menghargaiku lagi. Mentang-mentang aku tak bisa membelikannya perhiasan seperti orang tuanya. Seharusnya ia sadar kemampuanku dari awal menikah hanya seperti ini. "Kusut kali mukamu, Ga?" Adam melirikku sebentar, lalu sibuk lagi mencatat orderan barang."Itulah, Dam, pusing aku, pulang merasa tak nyaman," jawabku sambil duduk setelah mengeluarkan barang dari gudang."Ada
Ini uangku, MasPart 19 (antara istri dan ibu)Pov Aga (2)"Gimana, Ga? Bisa bawa Mita balik lagi ke sini? Ibu nggak sanggup, capek." Mata sayu, ibu berbaring menatapku.Apakah dengan kehadiran Mita di rumah ini lagi bisa memecahkan masalah ibu? Terus bagaimana dengan Mita? Aku tak yakin ia mau kembali setelah diusir.Kuhela nafas berat. Mau jawab jujur tak mungkin. Aku masih menenggang perasaan ibu, karena penyebab Mita minta cerai karena uangnya kupakai untuk ibu. "Mungkin Mita nggak mau ya, setelah Ibu dan Ima usir, ini salah Ibu juga membela Adikmu." Ibu menduga sendiri tanpa kujawab."Ibu istirahat saja, nanti kucoba bicara dengan Mita, mau kuambilkan nasi Ibu?" Tadi ibu tak jadi makan karena mendengar perkataan Ima. Tentu ibu sedih, Ima anak yang paling disayang dan dimanja dari kecil."Kamu sudah makan?""Kita makan bersama yok, Bu?" ajakku.Kini, kami sudah duduk di meja makan. Ima dan Mimi sedang berselfie ria di ponsel. Kulihat di meja makan, ada tiga potong ikan asin dan s
Ini uangku, MasPart 20 (oke! kucoba, Mas)Tadinya aku sudah siap dengan perceraian. Menyerah, itulah yang kurasakan. Masalah ini bertahun-tahun hingga aku selalu harus mengalah karena aku seorang menantu dan istri. Apakah setiap istri yang tinggal di rumah mertua harus ditindas seperti pembantu dan tak dihargai? Salahkan suami memberi nafkah ke istri karena itu kewajibannya? Kenapa ibu mertua menganggapku seperti saingannya? Jika itu suatu tradisi, apa gunanya berumah tangga hanya membawa sengsara. Ini bukan zaman di mana istri selalu takut bertindak. Istri juga punya hati dan perasaan."Baiklah, aku setuju asalkan kita tidak bercerai, ingat Mit, Tia masih butuh kita." Mas Aga menatapku dalam. Matanya berkaca, tak pernah kulihat ia seperti ini. Apakah ia bisa memegang kata-katanya?"Tidak ada yang ingin bercerai, Mas, aku hanya menyerah karena lelahnya hati, kupinta kamu bisa mengambil sikap, hanya itu," bathinku, lalu membalas pelukan mas Aga.Mungkin lelaki seperti mas Aga, ibarat