Ini uangku, MasPart 18 (curhat/pov Aga)Pov AgaSukurlah aku dapat pinjaman uang. Akan kuperlihatkan ke Mita, uangnya bisa kuganti cepat agar ia tak merendahkanku."Makasih ya, Dam, nanti gajian kubayar uangmu." Kumasukan uang itu ke saku celana. Tadi sudah kukirim pesan ke Mita bahwa uangnya yang terpakai sudah bisa kuganti. Tapi tak dibalas.Rasanya harga diriku diinjak. Kukira ia bisa menolongku karena istri. Tapi aku salah, dengan terusirnya kami, ia memendam sakit hati dan sepertinya tidak bisa diobati. Kukira Mita wanita yang sabar dan pengertian. Baru semalam kami tinggal di rumah orang tuanya, ia seperti tak menghargaiku lagi. Mentang-mentang aku tak bisa membelikannya perhiasan seperti orang tuanya. Seharusnya ia sadar kemampuanku dari awal menikah hanya seperti ini. "Kusut kali mukamu, Ga?" Adam melirikku sebentar, lalu sibuk lagi mencatat orderan barang."Itulah, Dam, pusing aku, pulang merasa tak nyaman," jawabku sambil duduk setelah mengeluarkan barang dari gudang."Ada
Ini uangku, MasPart 19 (antara istri dan ibu)Pov Aga (2)"Gimana, Ga? Bisa bawa Mita balik lagi ke sini? Ibu nggak sanggup, capek." Mata sayu, ibu berbaring menatapku.Apakah dengan kehadiran Mita di rumah ini lagi bisa memecahkan masalah ibu? Terus bagaimana dengan Mita? Aku tak yakin ia mau kembali setelah diusir.Kuhela nafas berat. Mau jawab jujur tak mungkin. Aku masih menenggang perasaan ibu, karena penyebab Mita minta cerai karena uangnya kupakai untuk ibu. "Mungkin Mita nggak mau ya, setelah Ibu dan Ima usir, ini salah Ibu juga membela Adikmu." Ibu menduga sendiri tanpa kujawab."Ibu istirahat saja, nanti kucoba bicara dengan Mita, mau kuambilkan nasi Ibu?" Tadi ibu tak jadi makan karena mendengar perkataan Ima. Tentu ibu sedih, Ima anak yang paling disayang dan dimanja dari kecil."Kamu sudah makan?""Kita makan bersama yok, Bu?" ajakku.Kini, kami sudah duduk di meja makan. Ima dan Mimi sedang berselfie ria di ponsel. Kulihat di meja makan, ada tiga potong ikan asin dan s
Ini uangku, MasPart 20 (oke! kucoba, Mas)Tadinya aku sudah siap dengan perceraian. Menyerah, itulah yang kurasakan. Masalah ini bertahun-tahun hingga aku selalu harus mengalah karena aku seorang menantu dan istri. Apakah setiap istri yang tinggal di rumah mertua harus ditindas seperti pembantu dan tak dihargai? Salahkan suami memberi nafkah ke istri karena itu kewajibannya? Kenapa ibu mertua menganggapku seperti saingannya? Jika itu suatu tradisi, apa gunanya berumah tangga hanya membawa sengsara. Ini bukan zaman di mana istri selalu takut bertindak. Istri juga punya hati dan perasaan."Baiklah, aku setuju asalkan kita tidak bercerai, ingat Mit, Tia masih butuh kita." Mas Aga menatapku dalam. Matanya berkaca, tak pernah kulihat ia seperti ini. Apakah ia bisa memegang kata-katanya?"Tidak ada yang ingin bercerai, Mas, aku hanya menyerah karena lelahnya hati, kupinta kamu bisa mengambil sikap, hanya itu," bathinku, lalu membalas pelukan mas Aga.Mungkin lelaki seperti mas Aga, ibarat
Ini uangku, MasPart 21 (mendadak kedatangan Ima)Kusetujui untuk mencoba mengontrak ajakan mas Aga. Tapi tak mungkin ngontrak bisa dua ratus ribu sebulan, seperti apa kontrakkan yang akan kami tempati. Ini lah bentukku membantu selagi aku bisa, dengan lima ratus ribu sebulan, mungkin agak mendingan. Mungkin saja."Baiklah, Mas, kamu cari kontrakkan itu dulu, bawa aku melihatnya jika sudah dapat, setelah itu baru minta ijin ke orang tuaku.""Iya iya, Mit, besok aku usahakan tanya atau ijin kerja setengah hari mencari kontrakan. Terima kasih ya, kamu bersedia membantuku." Mata mas Aga terlihat senang karena idenya kusetujui. Mungkin inilah rumah tanggaku yang sebenarnya. Rumah tangga tanpa campur tangan orang tua atau pun saudara suamiku. Hanya ada kami suami istri dan anakku. Jika ada masalah diselesaikan berdua. Ini juga lah yang ingin kucoba mempertahankanya. Mencoba.Apakah jadi wanita itu harus dituntut bersabar? Atau memang status istri itu harus diam menahan hati? Padahal wanit
Ini uangku, MasPart 22 (minta izin ke orang tuaku)"Okeh, aku akan bilang Mas Aga agar kamu segera diceraikan, Uh!" ucap Ima lantang, lalu kue bawang yang dibawanya itu langsung diambil lagi. Tentu sayang jika ditinggal. Ima tak akan mau rugi, seperti itulah yang kutahu."Hey! Kamu ngapain di rumahku?" Ibu melangkah masuk."Tenang aja, aku juga akan pergi," jawab Ima melangkah ke pintu."Jangan pernah ke sini lagi, bilang Ibumu juga!" teriak ibuku melihat Ima berlalu."Anak dan Ibu sama pelitnya!""Hus hus, sana pergi." Ibu juga tak tinggal diam.Kini Ima telah pergi. Sepertinya ia tak mau meladeni ibuku. Lalu ibu menatapku tapi aku tak kuasa membalas. Nyaliku langsung menciut. Pasti aku diomelin."Nah gitu dong, pintar dikit menjawab, jangan takut, kalau kamu takut ujung-ujungnya diinjak, makanya diperlakukan seperti babu di rumah mertua. Ambil sikap tegas, jangan mewek." Lalu ibu berlalu dari hadapanku.Aku terpana mendengar ucapan ibu. Tumben ibu mendukungku. Mendadak kesalku berk
Ini uangku, MasPart 23 (Maaf, Mas, idemu tak sejalan denganku)Aku bangkit berdiri. Menarik nafas dalam, aku berusaha sabar. Astagfirullah'alazimm, kuurut dada sambil mengucap."Loh, kok malah mengucap, Mit? Apakah aku salah?" Alis mas Aga bertaut melihatku."Sebaiknya kamu aja yang ngontrak," jawabku.Mas Aga langsung berdiri. "Kamu kan Istriku? Kok malah nyuruh aku ngontrak sendiri, kata kamu mau kuajak ngontrak dengan semampuku.""Aku punya anak perempuan, SATU! jika kamu bawa kami ke rumah yang kurasa tidak aman, itu sama artinya aku mengorbankan putri kita!""Tunggu tunggu, aku juga tak ingin putri kita dalam bahaya, jadi apa hubungannya?"Kenapa pikiran lelaki yang berstatus suamiku ini pendek. Ia kepala rumah tangga, tapi kenapa aku merasa itu hanya sebutan saja.Biasanya lelaki berpikir dengan otak dan wanita dengan perasaan, mungkinkah aku salah. Tapi kenapa itu tak seperti yang sering dibilang ibuku? Atau aku salah dalam menyikapinya."Kamu bawa kami ke rumah dekat sungai,
Ini uangku, MasPart 24 (Tindakan)"Terus aku gimana, Mit? Coba kamu jadi aku, apa bisa melihat Ibumu menderita?" Suara mas Aga ikutan lantang."Menderita? Tinggal bersama putri kesayangan bisa menderita juga? Yang salah tu Ibumu atau Ima?""Yang salah tu kamu menghalangiku mengurus Ibuku!" Urat leher mas Aga timbul berucap."Kamu menyalahkanku? Kamu yang urus Ibumu atau menyuruhku yang ngurus? Pergi pagi pulang sore, siapa yang ngurus Ibumu kalau bukan aku! Kamu kira aku mau jadi babu lagi.""Aku nggak nyangka kamu tega padaku. Selama ini kukira kamu Istri yang nurut serta ngerti aku, tapi aku salah.""Yang buat salah itu kamu, aku sudah capek jadi babu dan diusir seperti tak berharga. Jika kamu mau ngurus Ibumu, sana! Nggak usah bawa aku!""Cukup Mita!""Kamu yang cukup, Mas! Mau menyalahkanku atas perbuatan adikmu yang tak becus mengurus ibumu, enak saja, Jika aku penghalangimu mengurus Ibumu, tinggalkan aku, beres kan?"Enak saja menyalahkan aku. Sulit mengendalikan amarah. Aku ha
Ini uangku, MasPart 25 (Kenapa sewot, Mas?)"Mungkin kamu salah lihat, Nak. Papanya Mimi kerja di Kalimantan, mungkin juga itu hanya mirip," ucapku tak yakin. "Coba nanti Mama lihat sendiri, kok bisa mirip seperti kembar?" Tia masih kukuh dengan apa yang dilihatnya.Rasanya tak mungkin. Anak Yuni sepertinya seumuran dengan Mimi. Lagian jika benar suami Yuni adalah Ipul suaminya Ima, kenapa juga anak mereka bisa seumuran."Nanti Mama coba lihat, sekarang habisin pizzanya."Dua potong pizza kuletakkan di meja tudung saji. Ini untuk mas Aga. Jika aku makan enak, tentu suamiku juga ikut menyicipi. Itulah rumah tangga sebenarnya menurutku. Sama susah dan sama-sama merasakan bahagia.***"Ini kopinya, Mas," ucapku meletakkan secangkir kopi di meja."Makasih, Mit," jawab suamiku sambil membuka sepatu."Pa, ini." Tia meletakkan piring berisi dua potong pizza di meja depan mas Aga."Pizza?" Mas Aga melotot. Tapi kenapa melotot?"Iya, Mas, tadi aku pesan pizza," jawabku."Enak, Pa," sahut Tia