Ini uangku, MasPart 21 (mendadak kedatangan Ima)Kusetujui untuk mencoba mengontrak ajakan mas Aga. Tapi tak mungkin ngontrak bisa dua ratus ribu sebulan, seperti apa kontrakkan yang akan kami tempati. Ini lah bentukku membantu selagi aku bisa, dengan lima ratus ribu sebulan, mungkin agak mendingan. Mungkin saja."Baiklah, Mas, kamu cari kontrakkan itu dulu, bawa aku melihatnya jika sudah dapat, setelah itu baru minta ijin ke orang tuaku.""Iya iya, Mit, besok aku usahakan tanya atau ijin kerja setengah hari mencari kontrakan. Terima kasih ya, kamu bersedia membantuku." Mata mas Aga terlihat senang karena idenya kusetujui. Mungkin inilah rumah tanggaku yang sebenarnya. Rumah tangga tanpa campur tangan orang tua atau pun saudara suamiku. Hanya ada kami suami istri dan anakku. Jika ada masalah diselesaikan berdua. Ini juga lah yang ingin kucoba mempertahankanya. Mencoba.Apakah jadi wanita itu harus dituntut bersabar? Atau memang status istri itu harus diam menahan hati? Padahal wanit
Ini uangku, MasPart 22 (minta izin ke orang tuaku)"Okeh, aku akan bilang Mas Aga agar kamu segera diceraikan, Uh!" ucap Ima lantang, lalu kue bawang yang dibawanya itu langsung diambil lagi. Tentu sayang jika ditinggal. Ima tak akan mau rugi, seperti itulah yang kutahu."Hey! Kamu ngapain di rumahku?" Ibu melangkah masuk."Tenang aja, aku juga akan pergi," jawab Ima melangkah ke pintu."Jangan pernah ke sini lagi, bilang Ibumu juga!" teriak ibuku melihat Ima berlalu."Anak dan Ibu sama pelitnya!""Hus hus, sana pergi." Ibu juga tak tinggal diam.Kini Ima telah pergi. Sepertinya ia tak mau meladeni ibuku. Lalu ibu menatapku tapi aku tak kuasa membalas. Nyaliku langsung menciut. Pasti aku diomelin."Nah gitu dong, pintar dikit menjawab, jangan takut, kalau kamu takut ujung-ujungnya diinjak, makanya diperlakukan seperti babu di rumah mertua. Ambil sikap tegas, jangan mewek." Lalu ibu berlalu dari hadapanku.Aku terpana mendengar ucapan ibu. Tumben ibu mendukungku. Mendadak kesalku berk
Ini uangku, MasPart 23 (Maaf, Mas, idemu tak sejalan denganku)Aku bangkit berdiri. Menarik nafas dalam, aku berusaha sabar. Astagfirullah'alazimm, kuurut dada sambil mengucap."Loh, kok malah mengucap, Mit? Apakah aku salah?" Alis mas Aga bertaut melihatku."Sebaiknya kamu aja yang ngontrak," jawabku.Mas Aga langsung berdiri. "Kamu kan Istriku? Kok malah nyuruh aku ngontrak sendiri, kata kamu mau kuajak ngontrak dengan semampuku.""Aku punya anak perempuan, SATU! jika kamu bawa kami ke rumah yang kurasa tidak aman, itu sama artinya aku mengorbankan putri kita!""Tunggu tunggu, aku juga tak ingin putri kita dalam bahaya, jadi apa hubungannya?"Kenapa pikiran lelaki yang berstatus suamiku ini pendek. Ia kepala rumah tangga, tapi kenapa aku merasa itu hanya sebutan saja.Biasanya lelaki berpikir dengan otak dan wanita dengan perasaan, mungkinkah aku salah. Tapi kenapa itu tak seperti yang sering dibilang ibuku? Atau aku salah dalam menyikapinya."Kamu bawa kami ke rumah dekat sungai,
Ini uangku, MasPart 24 (Tindakan)"Terus aku gimana, Mit? Coba kamu jadi aku, apa bisa melihat Ibumu menderita?" Suara mas Aga ikutan lantang."Menderita? Tinggal bersama putri kesayangan bisa menderita juga? Yang salah tu Ibumu atau Ima?""Yang salah tu kamu menghalangiku mengurus Ibuku!" Urat leher mas Aga timbul berucap."Kamu menyalahkanku? Kamu yang urus Ibumu atau menyuruhku yang ngurus? Pergi pagi pulang sore, siapa yang ngurus Ibumu kalau bukan aku! Kamu kira aku mau jadi babu lagi.""Aku nggak nyangka kamu tega padaku. Selama ini kukira kamu Istri yang nurut serta ngerti aku, tapi aku salah.""Yang buat salah itu kamu, aku sudah capek jadi babu dan diusir seperti tak berharga. Jika kamu mau ngurus Ibumu, sana! Nggak usah bawa aku!""Cukup Mita!""Kamu yang cukup, Mas! Mau menyalahkanku atas perbuatan adikmu yang tak becus mengurus ibumu, enak saja, Jika aku penghalangimu mengurus Ibumu, tinggalkan aku, beres kan?"Enak saja menyalahkan aku. Sulit mengendalikan amarah. Aku ha
Ini uangku, MasPart 25 (Kenapa sewot, Mas?)"Mungkin kamu salah lihat, Nak. Papanya Mimi kerja di Kalimantan, mungkin juga itu hanya mirip," ucapku tak yakin. "Coba nanti Mama lihat sendiri, kok bisa mirip seperti kembar?" Tia masih kukuh dengan apa yang dilihatnya.Rasanya tak mungkin. Anak Yuni sepertinya seumuran dengan Mimi. Lagian jika benar suami Yuni adalah Ipul suaminya Ima, kenapa juga anak mereka bisa seumuran."Nanti Mama coba lihat, sekarang habisin pizzanya."Dua potong pizza kuletakkan di meja tudung saji. Ini untuk mas Aga. Jika aku makan enak, tentu suamiku juga ikut menyicipi. Itulah rumah tangga sebenarnya menurutku. Sama susah dan sama-sama merasakan bahagia.***"Ini kopinya, Mas," ucapku meletakkan secangkir kopi di meja."Makasih, Mit," jawab suamiku sambil membuka sepatu."Pa, ini." Tia meletakkan piring berisi dua potong pizza di meja depan mas Aga."Pizza?" Mas Aga melotot. Tapi kenapa melotot?"Iya, Mas, tadi aku pesan pizza," jawabku."Enak, Pa," sahut Tia
Ini uangku, MasPart 26 (semuanya aku yang beli, Mas!)Saat kubuka kulkas ingin memasukkan bakso yang diberikan ibu, mataku terbelalak melihat isi kulkasku berkurang. Baru tadi aku belanja untuk stok satu minggu. Ada daging, ikan, ikan sarden, kornet dan bermacam sayur lainnya agar aku tak repot bolak balik ke warung. Lagian tukang sayurnya tak setiap hari lewat, itu kata Yuni saat ia bertandang ke sini.Akan tetapi daging yang kubeli tak ditemui. Bukan hanya itu, kentang dan bawang yang kutata di meja sudut dapur juga tinggal separuh. Dan beras dua karung, satu karung masih utuh dan karung satu lagi tinggal separuh. Ini pasti dicuri.Astagfirullah'alazimm. Jadi ini tujuan suamiku mengantarkanku ke rumah orang tuaku. Semua demi bisa mengambil stok dapurku untuk adiknya. Aku yakin Ima pasti dari sini.Kuhela nafas panjang untuk bersiap-siap menanyakan semua ini ke mas Aga. Darahku terasa naik ke ubun-ubun. Bukan karena tak mau berbagi, aku bukan malaikat yang punya hati pemaaf dengan c
Ini uangku, MasPart 27 (informasi dari putrinya Yuni)Ya Allah. Jika aku memaafkan perbuatan suamiku lagi, apakah aku istri yang bodoh? Hati nurani tak tega mendengar kata 'kelaparan'. Bukan berarti aku dengan mudah melupakan yang telah terjadi. Tapi ....***"Aku berangkat kerja dulu," ucap mas Aga. Lalu kucium punggung tangannya."Hati-hati, Mas," ucapku mengiringi sampai teras.Berdiri di teras, kulihat cerahnya sinar matahari pagi. Lingkungan rumah ini masih banyak tanaman dan tepat di belakang jendela dapur, disambut dengan sawah. Itulah kenapa rumah kontrakkan ini memasuki persimpangan dan sedikit jauh dari jalan raya. Untuk keluar harus menggunakan kendaraan pribadi atau ojek."Mbak Mita, masak apa hari ini?" sahut Yuni juga berdiri di teras rumah kontrakannya."Mungkin goreng ikan saja, Yun," jawabku. Lalu aku melangkah mendekati Yuni."Ini tanaman cabenya subur sekali, Yun," ucapku melihat tanaman cabe rawit tumbuh subur di tanah ujung teras kotrakan Yuni."Iya, Mbak, itu su
Ini uangku, MasPart 28 (kenapa marah padaku?)"Bi Mita, aku lapar," ucap Mimi sambil mengelus perutnya. Terlihat wajahnya sedikit pucat. Astagfirullah'alazimm, Ima keterlaluan. Untuk cari makan sepiring buat Mimi pun tak bisa. Tak ada uang ya hutang dulu, toh yang penting anak tidak kelaparan. Lagian di samping rumah ada tanam singkong, tinggal cabut dan rebus buahnya. Itu lah yang sering kulakukan dulunya jika beras habis. Efeknya badanku tak mau gemuk, Alhamdulillah masih sehat."Ayo masuk," ajakku ke Mimi.Mengingat bundanya aku sangat kesal. Tapi Mimi tak bersalah, tak terbayangkan jika Tia kelaparan namun tak ada yang beri makan. Kasihan.Kuambilkan sepiring nasi lengkap dengan goreng ikan dan sayurnya. Seperti tiga hari belum makan, Mimi menyantap nasi itu dengan lahap. Tangannya gemetar, mungkin saja efek kelaparan."Berapa hari belum makan? Kok seperti itu makannya?" ucap Pita melihat geli ke Mimi."Baru pagi ini," jawab Mimi dengan mulut berisi. Lalu ia melihat padaku. "Bi