Ini uangku, MasPart 60 ( kesadaran dalam musibah )Pov BulbulDulu, aku tak peduli dengan kata cinta. Tujuan menikah dengan mas Aga sekedar ingin punya keturunan. Hidup sebatang kara. Berjuang sendiri agar dihargai. Dari kecil hinaan terus kuterima dengan sakit hati. Orang tuaku selalu mengajarkan, 'buktikan kamu sukses dengan pikiran, jika fisik yang kamu sesali berarti kamu membenci pemberian Tuhan', itulah yang selalu kutanamkan. Hingga menata hati tak akan pernah mencintai lelaki mana pun."Mas, ayo pulang." Kutarik tangan mas Aga. Ia masih suamiku, jika pernikahan ini karena pengaruh pelet, itu bukan salahnya."Bul, itu Mita kan?" Mas Aga menunjuk kak Mita. Bau minuman alkohol menyengat dari mulutnya. Dulu aku tidak cemburu karena aku tahu mereka sudah bercerai. Kak Mita tidak pernah menunjukan ingin rujuk. Itulah kenapa aku bisa menerima dengan akal sehat. Namun, kali ini aku cemburu. Aku tak rela melihat suamiku masih mengharapkan mantan istrinya. Apakah 'cinta' tak pernah b
Ini uangku, MasPart 61 ( lamaran )"Dasar si Aga, siang hari mabuk, apa nggak punya malu," cerocos Ibu sambil meletakan secangkir kopi."Sudah, Bu, yang penting sekarang sudah aman," kata ayah."Iya, tapi tetap aja bukan contoh yang baik, lah mabuk terlihat Tia, apa dia nggak mikir, bodoh dipelihara.""Sst!" Ayah menempelkan telunjuk depan bibir menyuruh ibu diam. "Ada Tia, Bu, kasihan," ucap ayah melirik Tia yang sedang duduk di sampingku. Tentu kami menyimak obrolan ibu dan ayah.Kulihat Tia, ia seperti memikirkan sesuatu, pasti tentang papanya. Seharusnya ia tak melihat mas Aga mabuk. Dan ini pertama kalinya kulihat mantan suami seperti itu. Apakah karena ada masalah. Setahuku ia bukan tipe lelaki peminum alkohol.Mungkinkah tentang pelet itu benar? Kasihan Bulbul. Ia masuk ke keluarga yang salah. Seandainya sikap Ima dan ibunya berubah, aku yakin Bulbul bahagia bersama mas Aga. "Ma, jadi orang mabuk seperti Papa itu ya?" tanya Tia."Ya, tapi nggak usah dipikirkan," jawabku. "K
Ini uangku, MasPart 62 ( ending )Sulit kuungkapkan kata-kata betapa terkejutnya aku dengan lamaran ini. Istri mantan suamiku ingin melamarku? Ide gila macam apa yang ada dipikiran Bulbul dan mas Aga. "Ini pasti lelucon. Bul, kamu sadar dengan maksud kedatanganmu?" Kuulangi bertanya.Bulbul menatap mas Aga sebentar. Mas Aga justru menatapku. Netranya membicarakan betapa ia menginkanku lagi jadi istrinya. Namun, tidak di diriku."Aku sadar, Kak. Kita berbagi suami, dan ini juga banyak terjadi di luar sana.""Aku akan berusaha adil, Mit," ucap mas Aga. Tak ada rasa bersalah dan ia berucap seperti seorang lelaki yang kuharapkan lagi seperti dulu. Justru dengan keadaan seperti ini membuatku semakin tak suka.Di cerbung yang kutulis. Ada beberapa kisah pelakor dengan judul 'Anaknya mirip suamiku' dan 'Acara di rumah ibumu'. Di sana kutulis ada yang terinspirasi dari kisah nyata. Tapi itu hanya cerita yang kugabung dari beberapa kisah. Intinya aku tak suka jika berbagi suami walaupun buka
Ini uangku, MasPart 1"Ga, lihat tu istrimu beliin Tia hp, belagak orang kaya saja. Sayang, 'kan uang cuma buat benda tak berguna," cerocos ibu mertua saat suamiku baru masuk ke rumah, pulang kerja."Masak iya, Bu?" tanya mas Aga dengan alis bertaut. Sudah pasti ia juga sepemikiran dengan ibunya.Aku melirik sambil membuatkan secangkir kopi. Seperti biasa, jika ibu tak suka dengan yang kuperbuat, pasti mengadu ke mas Aga sambil menyindir, disertai adik ipar yang mengompori ibu. Aku diam menunggu reaksi suamiku. "Ini kopinya, Mas," ucapku sambil meletakkan secangkir kopi di meja."Mita, benar kamu beliin Tia hp?" tanya mas Aga sambil membuka sepatu."Iya, Mas, Tia sudah kelas 1 Smp, lagian hp tu penting untuk sekolahnya.""Sudah kubilang jangan kasih anak hp! Ini memanjakan seperti orang kaya saja, sadar kondisi lah, bukannya lebih baik kamu tabungkan uang itu!" Suara mas Aga terdengar lantang. Urat lehernya timbul berucap "Loh, Mas, hp ini penting untuk Tia belajar daring," jawabku
Ini uangku, MasPart 2"Satu dua tiga empat ....""Banyak duit ya, Mbak?" Tiba-tiba Ima nongol depan pintu kamarku. Aku menghitung uang sisa hasil menulis karena dua juta sudah kubelikan ponsel. Alhamdulillah sisa sekitar delapan ratus ribu."Alhamdulillah," jawabku langsung memasukan uang ke saku baju daster yang kukenakan. Melihat gelagat Ima, pasti ada maunya.Ima masuk. "Aku bisa pinjam uang nggak Mbak?"Benar firasatku. Ima pasti ada maunya. Pantas bicaranya baik."Nggak bisa," jawabku dingin tanpa melihatnya. "Pelit amat sih, Mbak, lagian kalau tidak perlu aku juga nggak bakalan minjam."Aku diam tidak memperdulikan Ima, lalu melangkah ke luar kamar. Ima mengikutiku dari belakang karena masih kukuh agar kupinjamkan uang."Lagian aku juga pengen beli hp buat Mimi, Mbak."Aku langsung berpaling menatap wajah Ima. Ia memasang senyum termanis namun aku tahu itu senyum tak iklas."Beli hp minjam uang?" tanyaku memperjelas agar terdengar ibu dan mas Aga. Tapi sepertinya mas Aga tidak
Ini uangku, MasPart 3"Ibu ..., aku juga mau Mimi jadi artis, beliin aku hp, Mas Aga ..., bantuin mmm." Lebay sekali Ima menangis. Seperti anak kecil meraung minta dibelikan sesuatu. Padahal punya cincin emas yang bisa dijual, lah aku, hanya anting perak dan berdaster bolong."Tuh, istrimu perhitungan, ada duit bukannya bantu adikmu malah cuek seperti nggak punya perasaan." Suara ibu terdengar lantang menyindir. Aku tetap berbaring di kamar pura-pura tidur."Lagian Ima ada emas, jual saja kenapa?" Terdengar tanggapan mas Aga. Kali ini ia membelaku."Hey Ga, pikir ya, jika perhiasan dijual, ntar Ima nggak bisa membangga lagi di warung, apa lagi sama Mpok Leha, pasti ia cari cara membuat adikmu rendah.""Mpok Leha wajar punya uang banyak, suaminya baru jual tanah, jangan lihat ke atas lah, Bu.""Kamu mana ngerti, pergi pagi pulang sore, kalau Ima banyak emas, setidaknya Ibu juga ikut membangga, nggak malu punya mantu pelit kayak istrimu. Coba kamu menikah dengan wanita kaya, aku nggak
Ini uangku, MasPart 4(split, bukan pelit)Tiga ratus ribu sebulan? Yang makan tidak hanya keluarga kecilku, ada ibu dan Ima beserta putrinya. Baru juga memegang uang lebih, dan itu pun dari hasil pikiranku. Sementara Ima, ia seenak hati diberi ponsel dan berdadan ria dengan perhiasan emasnya. Padahal ia masih punya suami.Oke oke, Mas. Kamu kira aku diam tak berani melawan? Kita lihat saja. Terutama kamu Ima dan ibu mertua.Pagi harinya tetap kusiapkan kopi untuk mas Aga berangkat kerja. Ini gula dan kopi masih sisa kemarin yang masih banyak. Aku bersikap santai seperti biasa meskipun kulihat Ima dan putrinya berfoto ria dengan ponsel baru. Kulihat ibu juga ikut senyum-senyum melihat putrinya berpose mengeluarkan lidah seperti sok imut."Bi Ima, beli hp baru?" tanya Tia tiba-tiba ikut duduk di dekat Ima."Iya, emang kamu aja yang bisa beli hp? Kita juga bisa, iya, 'kan Mi?" Ima membangga sambil tersenyum dengan putrinya.Membangga dengan uang dapurku. Kesal sekali, tapi aku punya car
Ini uangku, MasPart 5(mengadu ke suamiku)"Lihat tu minantu Ibu, mentang-mentang anaknya artis silipgram dan baru juga nulis tak seberapa, sudah bergaya SOK TERKENAL! Dulu patuh, sekarang membangkang, dasar minantu durhaka, nggak sadar apa tinggal di mana!" Terdengar celotehan Ima mengompori ibu mertua atas sikapku hari ini tidak memasak. Berusaha cuek, toh bukan kewajibanku membiayai makan Ima dan Mimi. Kalau masalah ibu mertua, tentu sesuai keuangan yang diberikan mas Aga. Aku santai memegang ponsel, tentu ini cerbung terbaruku. Dengan kehidupan sehari-hari yang kualami, lahirlah cerbungku ini. Mudah-mudahan banyak yang baca dan aku bisa dapat uang buat ngontrak rumah. Tak tahan rasanya seatap dengan mertua dan adik ipar. "Menyesal Ibu merestui Aga menikahinya, awalnya aja kelihatan baik, tapi pelit minta ampun. Mana hp-mu Im? Cepatan telpon Mas-mu."Ibu semakin emosi. Seperti biasa, sindirian pedas selalu kudengar. Sangat tak nyaman di telinga, seharusnya ibu mertua pengganti ib