Ini uangku, MasPart 4(split, bukan pelit)Tiga ratus ribu sebulan? Yang makan tidak hanya keluarga kecilku, ada ibu dan Ima beserta putrinya. Baru juga memegang uang lebih, dan itu pun dari hasil pikiranku. Sementara Ima, ia seenak hati diberi ponsel dan berdadan ria dengan perhiasan emasnya. Padahal ia masih punya suami.Oke oke, Mas. Kamu kira aku diam tak berani melawan? Kita lihat saja. Terutama kamu Ima dan ibu mertua.Pagi harinya tetap kusiapkan kopi untuk mas Aga berangkat kerja. Ini gula dan kopi masih sisa kemarin yang masih banyak. Aku bersikap santai seperti biasa meskipun kulihat Ima dan putrinya berfoto ria dengan ponsel baru. Kulihat ibu juga ikut senyum-senyum melihat putrinya berpose mengeluarkan lidah seperti sok imut."Bi Ima, beli hp baru?" tanya Tia tiba-tiba ikut duduk di dekat Ima."Iya, emang kamu aja yang bisa beli hp? Kita juga bisa, iya, 'kan Mi?" Ima membangga sambil tersenyum dengan putrinya.Membangga dengan uang dapurku. Kesal sekali, tapi aku punya car
Ini uangku, MasPart 5(mengadu ke suamiku)"Lihat tu minantu Ibu, mentang-mentang anaknya artis silipgram dan baru juga nulis tak seberapa, sudah bergaya SOK TERKENAL! Dulu patuh, sekarang membangkang, dasar minantu durhaka, nggak sadar apa tinggal di mana!" Terdengar celotehan Ima mengompori ibu mertua atas sikapku hari ini tidak memasak. Berusaha cuek, toh bukan kewajibanku membiayai makan Ima dan Mimi. Kalau masalah ibu mertua, tentu sesuai keuangan yang diberikan mas Aga. Aku santai memegang ponsel, tentu ini cerbung terbaruku. Dengan kehidupan sehari-hari yang kualami, lahirlah cerbungku ini. Mudah-mudahan banyak yang baca dan aku bisa dapat uang buat ngontrak rumah. Tak tahan rasanya seatap dengan mertua dan adik ipar. "Menyesal Ibu merestui Aga menikahinya, awalnya aja kelihatan baik, tapi pelit minta ampun. Mana hp-mu Im? Cepatan telpon Mas-mu."Ibu semakin emosi. Seperti biasa, sindirian pedas selalu kudengar. Sangat tak nyaman di telinga, seharusnya ibu mertua pengganti ib
Ini uangku, MasPart 6 (kedatangan ibuku) "Eh, Bu Besan, ayo masuk. Ima! Bikinin teh hangat untuk Ibunya Mita!"Idih, ibu mertua terdengar sangaaaat baik. Oke mertua, aku tahu baiknya pasti ada mau. Kutes dulu ah, pura-pura tak dengar kalau ibuku datang."Iya, Bu!" Kali ini suara Ima terdengar baik. Seperti penjahat insaf saja. Mulut pun bersih dari kata sindiran."Bu Ros apa kabar? Sehat, Bu?" Terdengar suara ibuku menyapa ibu mertua. Itu lah ibu, suara tenang dan selalu ramah."Alhamdulillah, Bu Eli, Bu Eli sendirian saja?""Tadinya sama Papanya Mita, tapi karena Papanya ke notaris, makanya saya sendirian, Bu.""Notaris? Wah, sudah pensiun tetap sibuk ya, Bu.""Ya, karena ada yang diurus, Bu. Oh ya, Mita dan Tia mana, Bu?""Oh ada, Mita jam segini mah tidur siang, kalau Tia bermain. Sebentar saya panggilkan, Bu."Aku pura-pura berbaring tidur. Tak lama kemudian, terdengar pintu kamarku berderit ada yang masuk."Mit! Mita! Bangun, ada Ibumu, Nak." teriak ibu membangunkan.'Nak', tum
Ini uangku, MasPart 7 (dapat jatah karena ayahku jual tanah)Berdiri di balik dinding luar dekat kaca jendela, terdengar ibu mertua memakai namaku untuk pinjam uang ke ibuku. Dan alasannya agar aku bisa punya baju daster baru. Oh Tuhan, ibu mertua banyak akalnya. Mentang-mentang dengar kabar ayahku jual tanah, langsung itu mata ingin lihat uang. Tapi tak akan kubiarkan itu berhasil. "Assalamualaikum," ucapku melangkah ke pintu."Waalaikumsalam," jawab ibuku dan ibu mertua serentak.Aku dan Tia masuk. Terlihat ibu mertua langsung terdiam tidak membahas itu lagi."Mita, bikinin jus jeruk untuk ibumu sana," titah ibu mertua. Kali ini mau cari alasan agar aku jauh dari ibu dan ia bisa melanjutkan aksi pinjam uang. Aku yakin itu rencana ibu mertua."Tidak usah, Bu Ros. Aku hanya ingin Mita tetap duduk di sampingku karena masih ada yang ingin kubicarakan," sanggah ibuku. Ibu mertua langsung terdiam menghela nafas pendek.Aku dan Tia duduk di samping ibuku. Tak lama kemudian, Ima dan Mimi
Ini uangku, MasPart 8 (tiba-tiba ibu mertua bersikap baik)Biasanya jika aku belum selesai membersihkan rumah atau mencuci pakaian, ibu sering ngomel-ngomel meskipun aku duduk sejenak istirahat. Ditambah Ima juga ikut mengompori ibunya. Aku seperti pembantu yang digaji gratis. "Ibu kenapa sih? Kok aku yang nyuci? Kukuku baru di cat, bentar lagi mau bikin vidio untuk IG." Terdengar tolakan Ima saat ibu menyuruhnya mencuci."IG IG gigimu! Ini lebih penting dari foto-foto tak jelas. Cepat kerjain sana!""Nggak mau, dia tidur-tiduran kok aku yang ngerjain?""Siniii."Tak terdengar lagi perdebatan ibu mertua dan adik iparku. Aku yakin Ima disuruh mengerjakan pekerjaan yang biasa kulakukan. Bisa jadi ibu memaksa Ima kali ini. Justru ini kumanfaatkan sebelum aku betul-betul pasti meninggalkan rumah ini. Kali ini tidak terdengar keributan. Biasanya suara ibu dan Ima lantang menyindirku hingga terdengar ke dalam kamar. Aku bisa mengetik cerbung dengan tenang. Alhamdulillah, dengan menulis d
Ini uangku, MasPart 9 (diam dan sabar itu menyiksaku, Mas)Harga diri suamiku? Jadi harga diriku di rumah ini dibiarkan diinjak demi harga dirinya? Pernikahan apa yang kujalani jika sang suami hanya memikirkan dirinya ataupun keluarganya saja. Aku bukan malaikat yang selalu tahan disindir ataupun dihina adiknya. Dan baru hari ini ibu mertua bersikap baik."Jika aku mikirkan harga dirimu, trus harga diriku dibiarkan diinjak gitu?""Bukan gitu, Mit, sabar lah dulu hingga kukumpulkan uang dan kita bisa beli rumah." Suara suamiku melunak."Sampai kapan? Sementara uangmu saja dengan mudah diberikan buat Ima beli hp, kapan bisa nabung jika setiap bulan aku ngutang di warung demi bisa mencukupi isi perut adikmu beserta putrinya. Aku capek, Mas." Lalu aku masuk kamar. "Bukan gitu, Mit, aku hanya ingin kamu bersabar, lagian nanti Ima dan putrinya pasti ikut Ipul, kok." Mas Aga mengikutiku ke kamar."Sudah bertahun-tahun, Mas, lihat adikmu tak pernah dibawa suaminya, trus sampai kapan aku ber
Ini uangku, MasPart 10 (terusir)"Jadi apa gunanya kamu menikah dengan putraku? Mengadah tangan saja?" Ibu melotot seakan aku tak ada gunanya. Padahal selama ini kukerjakan pekerjaan rumah komplit dengan mencuci baju Ima dan Mimi. Tapi tidak untuk kedepannya, sabar itu ada batasnya."Jika Ibu mengerti mana yang kewajiban dan mana yang hak, tidak bakalan kata-kata itu muncul dari mulut Ibu. Tapi jika kata-kata itu membuat batasan rasa hormat terhapus, itu akibat mulut Ibu sendiri." Aku berusaha tidak mengeluarkan air mata. Tetap saja sulit."Ibu bilang apa sih? Mita Istriku ya wajar lah kunafkahi, jangan bilang gitu lah, Bu.""Tapi bukan minantu seperti ini yang kumau, ada duit, pelit, perhitungan lagi.""Bu, kemampuanku hanya segitu, jadi apa yang mau diberikan lagi, ini saja aku harus bayar hutang ke Bu Tita. Tolong jangan buat aku pusing.""Hay Mas, Istrimu punya simpanan seharusnya membantumu, bukan membiarkanmu berhutang!" Ima menunjukku."Ini uangku, bukan uang hasil dari meramp
Ini uangku, MasPart 11(Astaga, aku seperti toko emas berjalan)"Pakai Ini, ini juga, ini," titah ibu padaku.Ibu mengeluarkan kotak perhiasan dari lemari. Setelah dibuka, satu gelang rantai emas sebesar jari telunjuk dikalungkan ke pergelangan tangan kiriku. Belum lagi gelang emas keroncong dengan macam tiga motif, menghiasi pergelangan tangan kananku. "Bu, ini banyak sekali, tanganku merasa berat," jawabku melihat gelang emas di kedua pergelanganku."Mita, ini belum semuanya, ini ada model terbaru, dan ini juga ada yang Ibu minta disain sendiri ke tokonya." Ibu justru menambah memakaikan gelang dengan model yang berbeda. "Aku takut dirampok, Bu.""Kita pergi pakai mobil pribadi, Mit, bukan naik angkot."Terpaksa nurut. Aku tak biasa pakai perhiasan banyak. Waktu gadis pun, ibu juga beli perhiasan tapi tak kupakai. Setelah menikah perhiasan itu sedikit-sedikit kujual agar jangan berhutang di warung. Sekarang hanya anting perak yang tersisa menghiasi telingaku. "Ini anting apaan si