Share

Part 5

Ini uangku, Mas

Part 5(mengadu ke suamiku)

 

"Lihat tu minantu Ibu, mentang-mentang anaknya artis silipgram dan baru juga nulis tak seberapa, sudah bergaya SOK TERKENAL! Dulu patuh, sekarang membangkang, dasar minantu durhaka, nggak sadar apa tinggal di mana!" 

 

Terdengar celotehan Ima mengompori ibu mertua atas sikapku hari ini tidak memasak. Berusaha cuek, toh bukan kewajibanku membiayai makan Ima dan Mimi. Kalau masalah ibu mertua, tentu sesuai keuangan yang diberikan mas Aga. Aku santai memegang ponsel, tentu ini cerbung terbaruku. Dengan kehidupan sehari-hari yang kualami, lahirlah cerbungku ini. Mudah-mudahan banyak yang baca dan aku bisa dapat uang buat ngontrak rumah. Tak tahan rasanya seatap dengan mertua dan adik ipar. 

 

"Menyesal Ibu merestui Aga menikahinya, awalnya aja kelihatan baik, tapi pelit minta ampun. Mana hp-mu Im? Cepatan telpon Mas-mu."

 

Ibu semakin emosi. Seperti biasa, sindirian pedas selalu kudengar. Sangat tak nyaman di telinga, seharusnya ibu mertua pengganti ibuku di sini. 

 

Tia muncul dari pintu kamar. Ia mendekat saat aku duduk terpana diam di tepi ranjang.

 

"Ma, Nenek dan Bi Ima marah lagi?" 

 

"Iya, seperti biasa, Nak," jawabku berusaha tegar.

 

"Kenapa sih, Ma?"

 

Aku menatap wajah putriku. Ingin cerita tapi ragu. Tapi mau tak mau, aku harus cerita karena ia pasti sudah mengerti. Selama ini tak ada tempat bagiku berbagi masalah, suamiku saja tak bisa dibawa kompromi jika aku ada perselisihan dengan ibu dan adiknya. Aku seperti hidup sendiri.

 

"Mama nggak masak, uang dari Papamu tak cukup."

 

"Kok Mama yang disalahin? Kalau tak cukup ya itu salah Papa. Lama-lama Bi Ima keterlaluan juga, padahal Mimi masih punya Ayah." Tia ikut kesal.

 

"Sudah lah, jangan dihiraukan. Kamu lapar?"

 

"Belum sih, Ma."

 

"Ntar sudah lapar W* Mama, agar mereka tak dengar, kita makan enak di luar, tapi jangan bilang mereka ya?"

 

"Oke Ma," jawab Tia tersenyum mengacungkan jempol.

 

Aku dan putriku ke luar dari kamar. Karena sudah azan zuhur, kami rencana mau ke kamar mandi wudhu.

 

"Ibu ..., lapar ..., kenapa sih ada orang pelit dan tega ke kita. Mungkin ia mau kita mati, lapar Bu mmm." Ima merengek ke ibunya sambil menyindir aku. Bukan kasihan, tapi hatiku semakin kesal. Emas banyak tak digunakan. Dikiranya perut bisa kenyang demi berlagak sok kaya. Aku cuek saja.

 

"Bentar lagi Mas-mu pulang, Ibu sudah minta beliin ayam bakar, kamu yang sabar ya, Im. Semoga orang pelit itu sadar," jawab ibu meliriku sinis.

 

"Kenapa sih Ibu merestui wanita pelit itu sama Mas Aga? Bikin hidup kita susah aja."

 

"Kirain ia bisa bantu kita, katanya sih anak tunggal. Percuma Ibu Bapaknya pensiun BUMN, tapi tetap aja miskin, miskin uang dan miskin hati!"

 

Panas dingin rasanya mendengar mereka menyindir. Ini bukan seperti tinggal di rumah mertua, tapi di neraka.

 

Aku dan Tia tetap berlalu menuju kamar mandi.

 

"Lihat tuh, Im, seperti nggak punya telinga aja." Ibu menujukku dengan bibirnya yang mengerucut panjang.

 

"Sabar, Bu, bentar lagi tahu rasa ia dimarahi Mas Aga. Saat itu terjadi, kita tertawa aja." Ima menanggapi perkataan ibu mertua.

 

Di kamar mandi.

 

"Ma, Nenek dan Bibi nyindir Mama tuh."

 

"Cuekin aja," jawabku sambil menggambil gayung air.

 

"Nanti kalau Papa marah gimana?"

 

"Nanti dipikirin, pokoknya kita sholat dulu."

 

Aku dan putriku salat Zuhur bersama. Tidak kusuk karena suara ibu dan Ima belum juga berhenti menyindirku. Untuk menyindir mereka punya tenaga besar. Astagfirullah'alazimm.

 

Selesai salat, aku berencana bawa putriku ke rumah makan. Akan kulepaskan selera kami yang selama ini tertahan karena faktor ekonomi pas-pasan. Bahkan aku sering makan nasi sekali sehari karena malamnya nasi habis. Kurebus buah singkong, kebetulan di samping rumah tumbuh subur. Semua agar uang diberikan suamiku cukup perbulannya dan tidak berhutang banyak di warung. Tapi tetap saja, bulan ke bulan aku pasti gali lubang tutup lubang.

 

Dulu awal menikah, aku sangat takut ibu ngomel-ngomel. Dan suamiku selalu bilang 'yang sabar, Mita', tapi sampai kapan aku sabar. Hidup tak hanya butuh makan, aku juga butuh pakaian yang layak. Tak masalah jika tamu suamiku datang, aku menyuguhkan minuman memakai daster bolong. Untung khimar-ku panjang hingga bisa menutupinya.

 

Kupakai baju gamis berpergian. Baju ini pun baju lebaranku. Sengaja jarang kupakai untuk mengunjungi ibuku agar aku terlihat senang. Semata-mata tak ingin membebani pikiran ibu karena dulu terpaksa merestuiku dengan mas Aga. 

 

"Mau ke mana, Tia?" tanya ibu melihatku dan Tia melangkah ke pintu.

 

"Mmm ikut Mama, Nek," jawab Tia berpikir.

 

"Enak kamu ya? Kami kelaparan kamu main pergi aja," tukas ibu berdiri di depanku. Matanya melotot tajam.

 

"Keluyuran tak penting tu, Bu. Mungkin cari Bapak baru untuk Tia," sahut Ima mengompori ibu.

 

Astagfirullah'alazimm. Tak bisa begini, diam semakin membuatku sesak.

 

Kupalingkan mata ke Ima.

 

"Hey Im, bisa nggak mulutmu dijaga? Lagian apa hubungannya perutmu denganku? Kalau lapar cari makan sendiri? Emangnya kewajibanku mengisi perutmu? Kamu pernah belajar agama nggak? Mana yang kewajiban dan yang tidak. Atau mungkin kamu tak pernah sekolah?"

 

Ima langsung berdiri mendekat. Kini posisinya di samping ibu.

 

"Kamu tu yang jaga mulutnya! Sadar dong tinggal di mana, ini seprrti kamu tuan rumahnya, sok berpendidikan, lagian ijazahmu juga tak laku, PNS bukan, bisanya cuma numpang!"

 

"Kamu yang numpang! Ingat tu, hp baru itu uang dapurku, aku nggak rela dunia akhirat kamu senang di atas penderitaanku. Kamu kira aku mau tinggal di sini? Duruh Kakakmu carikan aku kontrakkan, toh itu kewajibannya!"

 

"Oooh, mulai hitung-hitungan kamu, aku lebih dulu punya anak ketimbang kamu jadi istrinya Aga! Jadi jangan sok menguasai putraku!" Ibu ikut bersuara kencang.

 

"Ma, itu Papa pulang," ucap Tia menujuk ke pintu. Kulihat mas Aga sedang memakir motor lalu melangkah masuk.

 

"Aga, lihat tu istrimu sudah pandai melawan. Ibu juga lapar, lama-lama begini ibu bisa mati , bukan saja karena sikap istrimu, tapi juga karena kelaparan mmm." Ibu mengadu ke suamiku.

 

"Mas Aga, masak dia main dandan seperti menemui pacar, lihat tuh, biasanya pakai daster, ini sok bergamis dan pakai lipstik." Ima juga mendekati mas Aga. Mengompori beserta menfitnahku.

 

"Ini kubawakan ayam bakar, Ibu makan sana." Mas Aga menyodorkan kantong kresek bawaanya ke ibu.

 

"Berapa potong nih, Ga?" tanya ibu sambil mencium aroma kantong.

 

"Tiga potong," jawab suamiku sambil melihatku.

 

"Untukku dua ya, Bu, Mimi juga belum makan." Ima langsung merebut kantong itu dari ibu.

 

"Iya, kita makan enak siang ini, bukan pake garam seperti yang dikatakan si Pelit." Setiap perkataan ibu selalu menyindirku.

 

Mas Aga mendekat.

 

"Mau ke mana?" tanyanya dengan nada sewot.

 

"Ke luar cari penyegaran," jawabku datar.

 

Sementara itu Ima, ibu dan Mimi langsung mengambil nasi. Mereka makan seperti orang rakus. 

 

"Penyegaran tapi tak masak? Kamu tu mikir nggak sih! Ibuku kelaparan kamu enak-enakan ke luar."

 

"Aku pusing dengan celotehan di rumah ini, Mas."

 

"Alasan, bilang aja menolak masak, kamu tu sadar diri lah, kita tinggal di rumah Ibuku!"

 

"Aku tak minta tinggal di sini, jadi jangan aku yang disalahin."

 

"Trus di mana lagi? Kolong jembatan maumu."

 

"Itu tugasmu carikan aku tempat tinggal, Mas."

 

"Kamu tau aku belum mampu beli rumah, gajiku saja tak seberapa, masih untung kita bisa makan perbulannya, jadi istri tau diuntung lah!"

 

"Kamu juga jadi suami tau kewajiban, Mas! tiga ratus ribu aku diwajibkan memberi makan serumah, kamu kira aku ni apa? semuanya kulayani, untuk biaya dibebani juga ke aku?"

 

"Kamu 'kan punya uang, pakai itu lah, masak perhitungan sama suami. Apa gunanya kita berumah tangga?"

 

"Aju mau berumah tangga bukan cari susah, aku juga butuh kesenangan. Kalau aku yang membiayai makan adikmu yang bersuami, bagusan uang yang kupunya kusumbangkan. Ingat ya! Ima dan anaknya bukan kewajibanku atau pun kewajibanmu! Jika masalah ibu kamu bebankan padaku, cukupi biaya dapur, jangan menghitung uangku, lagian ini uangku, lihat baju rumahku tak layak pakai, bandingakan dengan adikmu bargaya punya perhiasan emas." Aku tak mau kalah.

 

"Bilang aja iri aku punya emas," sahut Ima sambil makan. 

 

"Tuh adikmu, sopan nggak padaku? Kamu mau aku berbagi padanya?" Kutunjuk Ima. Ia tetap santai makan, begitu juga ibu dan Mimi, tak peduli meskipun aku dan mas Aga bertengkar.

 

"Sudah, Ma, Pa. Jangan bertengkar lagi," ucap Tia.

 

Aku baru tersadar. Tidak baik bertengkar depan anak. Tapi diam bukan solusinya, dadaku sesak menahan.

 

"Pa, aku juga ingin makan ayam bakar, untukku mana?" tanya Tia.

 

Mas Aga terdiam melihat ibu, Ima dan Mimi makan dengan lahap. Untuk Tia putri kami mereka tak berbagi. Ini bentuk kalau mereka tak peduli.

 

"Tuh lihat, mereka peduli nggak dengan putri kita, kamu aja yang peduli membelikannya hp."

 

Mas Aga terdiam. Aku tahu ia seperti tak suka karena untuk Tia mereka tak berbagi.

 

"Ini, beli saja di rumah makan Mpok Atik." Suamiku menyodorkan uang sepuluh ribu ke Tia.

 

"Ma, nanti kita potong dua aja makan," ucap Tia. Lalu berlalu ke luar.

 

"Bukannya masih ada tiga ratus ribu, bukan berarti kamu tak masak hari ini?" Kini suara mas Aga sudah melunak.

 

"Trus bayar listriknya gimana? Tagihan dua ratus ribu, seratus ribu satu bulan dapat apa?"

 

"Pakai itu saja dulu, nanti kuusahakan cari uang dua juta, ganti bajumu, tetap di rumah."

 

Kuturuti perintah mas Aga. Jika dari semalan ia begini, tak akan ada drama pertengkaran depan anak.

 

Mas Aga berangkat lagi kerja. Aku masih di kamar melanjutkan mengetik cerbung sambil menunggu Tia pulang beli sepotong ayam bakar. Sekilas tadi di luar, kulihat ima sedang mencobgkel giginya dengan lidi selesai makan. Ibu dan Mimi tidur-tiduran depan televisi, tentu saja perut mereka sudah kenyang.

 

"Assalamu'alaikum."

 

Terdengar ada yang datang mengucapkan salam. Aku langsung meletakan hp karena itu suara ibuku. 

 

"Waalaikumsalam, Bu Besan," jawab ibu mertua ramah.

 

Ini yang sering terjadi. Ibu mertua bersikap manis depan ibuku. Jika ibuku berkunjung tak pernah dengan tangan kosong.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau sebagai istri punya otak isinya ssmpah. koq betah banget bertahan. waras dong jadi orang. udah dihina kayak masih aja menye2
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status