Share

Part 5

last update Last Updated: 2022-07-16 12:22:19

Ini uangku, Mas

Part 5(mengadu ke suamiku)

 

"Lihat tu minantu Ibu, mentang-mentang anaknya artis silipgram dan baru juga nulis tak seberapa, sudah bergaya SOK TERKENAL! Dulu patuh, sekarang membangkang, dasar minantu durhaka, nggak sadar apa tinggal di mana!" 

 

Terdengar celotehan Ima mengompori ibu mertua atas sikapku hari ini tidak memasak. Berusaha cuek, toh bukan kewajibanku membiayai makan Ima dan Mimi. Kalau masalah ibu mertua, tentu sesuai keuangan yang diberikan mas Aga. Aku santai memegang ponsel, tentu ini cerbung terbaruku. Dengan kehidupan sehari-hari yang kualami, lahirlah cerbungku ini. Mudah-mudahan banyak yang baca dan aku bisa dapat uang buat ngontrak rumah. Tak tahan rasanya seatap dengan mertua dan adik ipar. 

 

"Menyesal Ibu merestui Aga menikahinya, awalnya aja kelihatan baik, tapi pelit minta ampun. Mana hp-mu Im? Cepatan telpon Mas-mu."

 

Ibu semakin emosi. Seperti biasa, sindirian pedas selalu kudengar. Sangat tak nyaman di telinga, seharusnya ibu mertua pengganti ibuku di sini. 

 

Tia muncul dari pintu kamar. Ia mendekat saat aku duduk terpana diam di tepi ranjang.

 

"Ma, Nenek dan Bi Ima marah lagi?" 

 

"Iya, seperti biasa, Nak," jawabku berusaha tegar.

 

"Kenapa sih, Ma?"

 

Aku menatap wajah putriku. Ingin cerita tapi ragu. Tapi mau tak mau, aku harus cerita karena ia pasti sudah mengerti. Selama ini tak ada tempat bagiku berbagi masalah, suamiku saja tak bisa dibawa kompromi jika aku ada perselisihan dengan ibu dan adiknya. Aku seperti hidup sendiri.

 

"Mama nggak masak, uang dari Papamu tak cukup."

 

"Kok Mama yang disalahin? Kalau tak cukup ya itu salah Papa. Lama-lama Bi Ima keterlaluan juga, padahal Mimi masih punya Ayah." Tia ikut kesal.

 

"Sudah lah, jangan dihiraukan. Kamu lapar?"

 

"Belum sih, Ma."

 

"Ntar sudah lapar W* Mama, agar mereka tak dengar, kita makan enak di luar, tapi jangan bilang mereka ya?"

 

"Oke Ma," jawab Tia tersenyum mengacungkan jempol.

 

Aku dan putriku ke luar dari kamar. Karena sudah azan zuhur, kami rencana mau ke kamar mandi wudhu.

 

"Ibu ..., lapar ..., kenapa sih ada orang pelit dan tega ke kita. Mungkin ia mau kita mati, lapar Bu mmm." Ima merengek ke ibunya sambil menyindir aku. Bukan kasihan, tapi hatiku semakin kesal. Emas banyak tak digunakan. Dikiranya perut bisa kenyang demi berlagak sok kaya. Aku cuek saja.

 

"Bentar lagi Mas-mu pulang, Ibu sudah minta beliin ayam bakar, kamu yang sabar ya, Im. Semoga orang pelit itu sadar," jawab ibu meliriku sinis.

 

"Kenapa sih Ibu merestui wanita pelit itu sama Mas Aga? Bikin hidup kita susah aja."

 

"Kirain ia bisa bantu kita, katanya sih anak tunggal. Percuma Ibu Bapaknya pensiun BUMN, tapi tetap aja miskin, miskin uang dan miskin hati!"

 

Panas dingin rasanya mendengar mereka menyindir. Ini bukan seperti tinggal di rumah mertua, tapi di neraka.

 

Aku dan Tia tetap berlalu menuju kamar mandi.

 

"Lihat tuh, Im, seperti nggak punya telinga aja." Ibu menujukku dengan bibirnya yang mengerucut panjang.

 

"Sabar, Bu, bentar lagi tahu rasa ia dimarahi Mas Aga. Saat itu terjadi, kita tertawa aja." Ima menanggapi perkataan ibu mertua.

 

Di kamar mandi.

 

"Ma, Nenek dan Bibi nyindir Mama tuh."

 

"Cuekin aja," jawabku sambil menggambil gayung air.

 

"Nanti kalau Papa marah gimana?"

 

"Nanti dipikirin, pokoknya kita sholat dulu."

 

Aku dan putriku salat Zuhur bersama. Tidak kusuk karena suara ibu dan Ima belum juga berhenti menyindirku. Untuk menyindir mereka punya tenaga besar. Astagfirullah'alazimm.

 

Selesai salat, aku berencana bawa putriku ke rumah makan. Akan kulepaskan selera kami yang selama ini tertahan karena faktor ekonomi pas-pasan. Bahkan aku sering makan nasi sekali sehari karena malamnya nasi habis. Kurebus buah singkong, kebetulan di samping rumah tumbuh subur. Semua agar uang diberikan suamiku cukup perbulannya dan tidak berhutang banyak di warung. Tapi tetap saja, bulan ke bulan aku pasti gali lubang tutup lubang.

 

Dulu awal menikah, aku sangat takut ibu ngomel-ngomel. Dan suamiku selalu bilang 'yang sabar, Mita', tapi sampai kapan aku sabar. Hidup tak hanya butuh makan, aku juga butuh pakaian yang layak. Tak masalah jika tamu suamiku datang, aku menyuguhkan minuman memakai daster bolong. Untung khimar-ku panjang hingga bisa menutupinya.

 

Kupakai baju gamis berpergian. Baju ini pun baju lebaranku. Sengaja jarang kupakai untuk mengunjungi ibuku agar aku terlihat senang. Semata-mata tak ingin membebani pikiran ibu karena dulu terpaksa merestuiku dengan mas Aga. 

 

"Mau ke mana, Tia?" tanya ibu melihatku dan Tia melangkah ke pintu.

 

"Mmm ikut Mama, Nek," jawab Tia berpikir.

 

"Enak kamu ya? Kami kelaparan kamu main pergi aja," tukas ibu berdiri di depanku. Matanya melotot tajam.

 

"Keluyuran tak penting tu, Bu. Mungkin cari Bapak baru untuk Tia," sahut Ima mengompori ibu.

 

Astagfirullah'alazimm. Tak bisa begini, diam semakin membuatku sesak.

 

Kupalingkan mata ke Ima.

 

"Hey Im, bisa nggak mulutmu dijaga? Lagian apa hubungannya perutmu denganku? Kalau lapar cari makan sendiri? Emangnya kewajibanku mengisi perutmu? Kamu pernah belajar agama nggak? Mana yang kewajiban dan yang tidak. Atau mungkin kamu tak pernah sekolah?"

 

Ima langsung berdiri mendekat. Kini posisinya di samping ibu.

 

"Kamu tu yang jaga mulutnya! Sadar dong tinggal di mana, ini seprrti kamu tuan rumahnya, sok berpendidikan, lagian ijazahmu juga tak laku, PNS bukan, bisanya cuma numpang!"

 

"Kamu yang numpang! Ingat tu, hp baru itu uang dapurku, aku nggak rela dunia akhirat kamu senang di atas penderitaanku. Kamu kira aku mau tinggal di sini? Duruh Kakakmu carikan aku kontrakkan, toh itu kewajibannya!"

 

"Oooh, mulai hitung-hitungan kamu, aku lebih dulu punya anak ketimbang kamu jadi istrinya Aga! Jadi jangan sok menguasai putraku!" Ibu ikut bersuara kencang.

 

"Ma, itu Papa pulang," ucap Tia menujuk ke pintu. Kulihat mas Aga sedang memakir motor lalu melangkah masuk.

 

"Aga, lihat tu istrimu sudah pandai melawan. Ibu juga lapar, lama-lama begini ibu bisa mati , bukan saja karena sikap istrimu, tapi juga karena kelaparan mmm." Ibu mengadu ke suamiku.

 

"Mas Aga, masak dia main dandan seperti menemui pacar, lihat tuh, biasanya pakai daster, ini sok bergamis dan pakai lipstik." Ima juga mendekati mas Aga. Mengompori beserta menfitnahku.

 

"Ini kubawakan ayam bakar, Ibu makan sana." Mas Aga menyodorkan kantong kresek bawaanya ke ibu.

 

"Berapa potong nih, Ga?" tanya ibu sambil mencium aroma kantong.

 

"Tiga potong," jawab suamiku sambil melihatku.

 

"Untukku dua ya, Bu, Mimi juga belum makan." Ima langsung merebut kantong itu dari ibu.

 

"Iya, kita makan enak siang ini, bukan pake garam seperti yang dikatakan si Pelit." Setiap perkataan ibu selalu menyindirku.

 

Mas Aga mendekat.

 

"Mau ke mana?" tanyanya dengan nada sewot.

 

"Ke luar cari penyegaran," jawabku datar.

 

Sementara itu Ima, ibu dan Mimi langsung mengambil nasi. Mereka makan seperti orang rakus. 

 

"Penyegaran tapi tak masak? Kamu tu mikir nggak sih! Ibuku kelaparan kamu enak-enakan ke luar."

 

"Aku pusing dengan celotehan di rumah ini, Mas."

 

"Alasan, bilang aja menolak masak, kamu tu sadar diri lah, kita tinggal di rumah Ibuku!"

 

"Aku tak minta tinggal di sini, jadi jangan aku yang disalahin."

 

"Trus di mana lagi? Kolong jembatan maumu."

 

"Itu tugasmu carikan aku tempat tinggal, Mas."

 

"Kamu tau aku belum mampu beli rumah, gajiku saja tak seberapa, masih untung kita bisa makan perbulannya, jadi istri tau diuntung lah!"

 

"Kamu juga jadi suami tau kewajiban, Mas! tiga ratus ribu aku diwajibkan memberi makan serumah, kamu kira aku ni apa? semuanya kulayani, untuk biaya dibebani juga ke aku?"

 

"Kamu 'kan punya uang, pakai itu lah, masak perhitungan sama suami. Apa gunanya kita berumah tangga?"

 

"Aju mau berumah tangga bukan cari susah, aku juga butuh kesenangan. Kalau aku yang membiayai makan adikmu yang bersuami, bagusan uang yang kupunya kusumbangkan. Ingat ya! Ima dan anaknya bukan kewajibanku atau pun kewajibanmu! Jika masalah ibu kamu bebankan padaku, cukupi biaya dapur, jangan menghitung uangku, lagian ini uangku, lihat baju rumahku tak layak pakai, bandingakan dengan adikmu bargaya punya perhiasan emas." Aku tak mau kalah.

 

"Bilang aja iri aku punya emas," sahut Ima sambil makan. 

 

"Tuh adikmu, sopan nggak padaku? Kamu mau aku berbagi padanya?" Kutunjuk Ima. Ia tetap santai makan, begitu juga ibu dan Mimi, tak peduli meskipun aku dan mas Aga bertengkar.

 

"Sudah, Ma, Pa. Jangan bertengkar lagi," ucap Tia.

 

Aku baru tersadar. Tidak baik bertengkar depan anak. Tapi diam bukan solusinya, dadaku sesak menahan.

 

"Pa, aku juga ingin makan ayam bakar, untukku mana?" tanya Tia.

 

Mas Aga terdiam melihat ibu, Ima dan Mimi makan dengan lahap. Untuk Tia putri kami mereka tak berbagi. Ini bentuk kalau mereka tak peduli.

 

"Tuh lihat, mereka peduli nggak dengan putri kita, kamu aja yang peduli membelikannya hp."

 

Mas Aga terdiam. Aku tahu ia seperti tak suka karena untuk Tia mereka tak berbagi.

 

"Ini, beli saja di rumah makan Mpok Atik." Suamiku menyodorkan uang sepuluh ribu ke Tia.

 

"Ma, nanti kita potong dua aja makan," ucap Tia. Lalu berlalu ke luar.

 

"Bukannya masih ada tiga ratus ribu, bukan berarti kamu tak masak hari ini?" Kini suara mas Aga sudah melunak.

 

"Trus bayar listriknya gimana? Tagihan dua ratus ribu, seratus ribu satu bulan dapat apa?"

 

"Pakai itu saja dulu, nanti kuusahakan cari uang dua juta, ganti bajumu, tetap di rumah."

 

Kuturuti perintah mas Aga. Jika dari semalan ia begini, tak akan ada drama pertengkaran depan anak.

 

Mas Aga berangkat lagi kerja. Aku masih di kamar melanjutkan mengetik cerbung sambil menunggu Tia pulang beli sepotong ayam bakar. Sekilas tadi di luar, kulihat ima sedang mencobgkel giginya dengan lidi selesai makan. Ibu dan Mimi tidur-tiduran depan televisi, tentu saja perut mereka sudah kenyang.

 

"Assalamu'alaikum."

 

Terdengar ada yang datang mengucapkan salam. Aku langsung meletakan hp karena itu suara ibuku. 

 

"Waalaikumsalam, Bu Besan," jawab ibu mertua ramah.

 

Ini yang sering terjadi. Ibu mertua bersikap manis depan ibuku. Jika ibuku berkunjung tak pernah dengan tangan kosong.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Mendingan ngontrak
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau sebagai istri punya otak isinya ssmpah. koq betah banget bertahan. waras dong jadi orang. udah dihina kayak masih aja menye2
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ini Uangku, Mas!   Part 6

    Ini uangku, MasPart 6 (kedatangan ibuku) "Eh, Bu Besan, ayo masuk. Ima! Bikinin teh hangat untuk Ibunya Mita!"Idih, ibu mertua terdengar sangaaaat baik. Oke mertua, aku tahu baiknya pasti ada mau. Kutes dulu ah, pura-pura tak dengar kalau ibuku datang."Iya, Bu!" Kali ini suara Ima terdengar baik. Seperti penjahat insaf saja. Mulut pun bersih dari kata sindiran."Bu Ros apa kabar? Sehat, Bu?" Terdengar suara ibuku menyapa ibu mertua. Itu lah ibu, suara tenang dan selalu ramah."Alhamdulillah, Bu Eli, Bu Eli sendirian saja?""Tadinya sama Papanya Mita, tapi karena Papanya ke notaris, makanya saya sendirian, Bu.""Notaris? Wah, sudah pensiun tetap sibuk ya, Bu.""Ya, karena ada yang diurus, Bu. Oh ya, Mita dan Tia mana, Bu?""Oh ada, Mita jam segini mah tidur siang, kalau Tia bermain. Sebentar saya panggilkan, Bu."Aku pura-pura berbaring tidur. Tak lama kemudian, terdengar pintu kamarku berderit ada yang masuk."Mit! Mita! Bangun, ada Ibumu, Nak." teriak ibu membangunkan.'Nak', tum

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 7 Dapat Jatah Karna Ayah Jual Tanah

    Ini uangku, MasPart 7 (dapat jatah karena ayahku jual tanah)Berdiri di balik dinding luar dekat kaca jendela, terdengar ibu mertua memakai namaku untuk pinjam uang ke ibuku. Dan alasannya agar aku bisa punya baju daster baru. Oh Tuhan, ibu mertua banyak akalnya. Mentang-mentang dengar kabar ayahku jual tanah, langsung itu mata ingin lihat uang. Tapi tak akan kubiarkan itu berhasil. "Assalamualaikum," ucapku melangkah ke pintu."Waalaikumsalam," jawab ibuku dan ibu mertua serentak.Aku dan Tia masuk. Terlihat ibu mertua langsung terdiam tidak membahas itu lagi."Mita, bikinin jus jeruk untuk ibumu sana," titah ibu mertua. Kali ini mau cari alasan agar aku jauh dari ibu dan ia bisa melanjutkan aksi pinjam uang. Aku yakin itu rencana ibu mertua."Tidak usah, Bu Ros. Aku hanya ingin Mita tetap duduk di sampingku karena masih ada yang ingin kubicarakan," sanggah ibuku. Ibu mertua langsung terdiam menghela nafas pendek.Aku dan Tia duduk di samping ibuku. Tak lama kemudian, Ima dan Mimi

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 8 Tiba-tiba Mertua Baik

    Ini uangku, MasPart 8 (tiba-tiba ibu mertua bersikap baik)Biasanya jika aku belum selesai membersihkan rumah atau mencuci pakaian, ibu sering ngomel-ngomel meskipun aku duduk sejenak istirahat. Ditambah Ima juga ikut mengompori ibunya. Aku seperti pembantu yang digaji gratis. "Ibu kenapa sih? Kok aku yang nyuci? Kukuku baru di cat, bentar lagi mau bikin vidio untuk IG." Terdengar tolakan Ima saat ibu menyuruhnya mencuci."IG IG gigimu! Ini lebih penting dari foto-foto tak jelas. Cepat kerjain sana!""Nggak mau, dia tidur-tiduran kok aku yang ngerjain?""Siniii."Tak terdengar lagi perdebatan ibu mertua dan adik iparku. Aku yakin Ima disuruh mengerjakan pekerjaan yang biasa kulakukan. Bisa jadi ibu memaksa Ima kali ini. Justru ini kumanfaatkan sebelum aku betul-betul pasti meninggalkan rumah ini. Kali ini tidak terdengar keributan. Biasanya suara ibu dan Ima lantang menyindirku hingga terdengar ke dalam kamar. Aku bisa mengetik cerbung dengan tenang. Alhamdulillah, dengan menulis d

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 9 Diam dan Sabar Itu Menyiksa, Mas

    Ini uangku, MasPart 9 (diam dan sabar itu menyiksaku, Mas)Harga diri suamiku? Jadi harga diriku di rumah ini dibiarkan diinjak demi harga dirinya? Pernikahan apa yang kujalani jika sang suami hanya memikirkan dirinya ataupun keluarganya saja. Aku bukan malaikat yang selalu tahan disindir ataupun dihina adiknya. Dan baru hari ini ibu mertua bersikap baik."Jika aku mikirkan harga dirimu, trus harga diriku dibiarkan diinjak gitu?""Bukan gitu, Mit, sabar lah dulu hingga kukumpulkan uang dan kita bisa beli rumah." Suara suamiku melunak."Sampai kapan? Sementara uangmu saja dengan mudah diberikan buat Ima beli hp, kapan bisa nabung jika setiap bulan aku ngutang di warung demi bisa mencukupi isi perut adikmu beserta putrinya. Aku capek, Mas." Lalu aku masuk kamar. "Bukan gitu, Mit, aku hanya ingin kamu bersabar, lagian nanti Ima dan putrinya pasti ikut Ipul, kok." Mas Aga mengikutiku ke kamar."Sudah bertahun-tahun, Mas, lihat adikmu tak pernah dibawa suaminya, trus sampai kapan aku ber

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 10 Terusir

    Ini uangku, MasPart 10 (terusir)"Jadi apa gunanya kamu menikah dengan putraku? Mengadah tangan saja?" Ibu melotot seakan aku tak ada gunanya. Padahal selama ini kukerjakan pekerjaan rumah komplit dengan mencuci baju Ima dan Mimi. Tapi tidak untuk kedepannya, sabar itu ada batasnya."Jika Ibu mengerti mana yang kewajiban dan mana yang hak, tidak bakalan kata-kata itu muncul dari mulut Ibu. Tapi jika kata-kata itu membuat batasan rasa hormat terhapus, itu akibat mulut Ibu sendiri." Aku berusaha tidak mengeluarkan air mata. Tetap saja sulit."Ibu bilang apa sih? Mita Istriku ya wajar lah kunafkahi, jangan bilang gitu lah, Bu.""Tapi bukan minantu seperti ini yang kumau, ada duit, pelit, perhitungan lagi.""Bu, kemampuanku hanya segitu, jadi apa yang mau diberikan lagi, ini saja aku harus bayar hutang ke Bu Tita. Tolong jangan buat aku pusing.""Hay Mas, Istrimu punya simpanan seharusnya membantumu, bukan membiarkanmu berhutang!" Ima menunjukku."Ini uangku, bukan uang hasil dari meramp

    Last Updated : 2022-07-19
  • Ini Uangku, Mas!   Part 11 Astaga, aku seperti toko emas berjalan

    Ini uangku, MasPart 11(Astaga, aku seperti toko emas berjalan)"Pakai Ini, ini juga, ini," titah ibu padaku.Ibu mengeluarkan kotak perhiasan dari lemari. Setelah dibuka, satu gelang rantai emas sebesar jari telunjuk dikalungkan ke pergelangan tangan kiriku. Belum lagi gelang emas keroncong dengan macam tiga motif, menghiasi pergelangan tangan kananku. "Bu, ini banyak sekali, tanganku merasa berat," jawabku melihat gelang emas di kedua pergelanganku."Mita, ini belum semuanya, ini ada model terbaru, dan ini juga ada yang Ibu minta disain sendiri ke tokonya." Ibu justru menambah memakaikan gelang dengan model yang berbeda. "Aku takut dirampok, Bu.""Kita pergi pakai mobil pribadi, Mit, bukan naik angkot."Terpaksa nurut. Aku tak biasa pakai perhiasan banyak. Waktu gadis pun, ibu juga beli perhiasan tapi tak kupakai. Setelah menikah perhiasan itu sedikit-sedikit kujual agar jangan berhutang di warung. Sekarang hanya anting perak yang tersisa menghiasi telingaku. "Ini anting apaan si

    Last Updated : 2022-07-20
  • Ini Uangku, Mas!   Part 12 Belanja Banyak

    Ini uangku, MasPart 12 (belanja banyak / pov Ima)Pov ImaAstaga naga dari pegunungan himalaya! Ini benaran mbak Mita nggak, sih? Bajunya ..., bagus sekaliii, terus gelangnya banyak, itu kalungnya benaran emas murni? Tasnya, sepatunya. Aaah! Bisa pingsan aku melihatnya."Ima, jangan kelamaan mangap," tegur mpok Leha. Ini orang bikin kesal saja. Mulut punya aku kenapa dia yang sewot. Secepatnya kutup mulutku. Menelan air ludah, aku berusaha tenang dan tarik nafas panjang. Aku juga tak boleh kelihatan malu-maluin."Mpok Leha, saya sudah bilang, semua belanjaan Ibu-ibu di warung ini tanpa terkecuali saya yang bayar, saya hanya minta doanya agar tanah Ayah Mita yang lain cepat terjual juga, biar kami bisa bagi rejeki lagi," jelas ibu Eli dengan ramah."Aaminn, terima kasih ya, Bu.""Makasi, Bu, Mita.""Alhamdulillah, semoga rejeki Ibu dan Mita selalu lancar.""Semoga cepat terjual lagi tanah Ayahnya Mita, Aaminn."Ibu-ibu di warung mengucapkan terima kasih dan doa untuk mbak Mita dan ib

    Last Updated : 2022-07-20
  • Ini Uangku, Mas!   Part 13 Ngintip di balik pohon

    Ini uangku, MasPart 13 (ngintip di balik pohon)Pov Bu Ros (ibu mertua Mita)"Awas ya, kalau kamu bohong! nggak mungkin deh si Mita tiba-tiba banyak emas dan bagi-bagi duit. Belum juga sehari," ucapku saat kami melangkah ke rumah bu Tita. Kuangkat daster panjangku hingga selutut demi melangkah cepat.Lagian saat kemarin ke rumah, Bu Eli naik taksi. Ngapain juga tak naik mobil baru. Terus kulihat ia tak punya emas melingkar di leher atau pun di tangannya. Hanya seperti cincin nikah yang menghiasi jarinya. Kalau ibunya Mita banyak emas, pasti sudah dipakai."Buat apa aku bohong, Bu? Bisa jadi karena Ayahnya jual tanah."Iya juga sih, tapi kok cepat jualnya. "Itu mobilnya?" Aku menunjuk ke halaman rumah bu Tita, ada mobil putih mengkilat terparkir. Dari warna cat, itu pasti mobil baru."Iya, Bu," jawab Ima."Paling cuma mobil rental, Im. Dia sakit hati karena anaknya kita usir." "Tapi mereka bagi duit di warung loh, Bu, maksudnya bayarin semua belanjaan Ibu-ibu.""Trus kamu nggak diba

    Last Updated : 2022-07-20

Latest chapter

  • Ini Uangku, Mas!   Part 62 Ending

    Ini uangku, MasPart 62 ( ending )Sulit kuungkapkan kata-kata betapa terkejutnya aku dengan lamaran ini. Istri mantan suamiku ingin melamarku? Ide gila macam apa yang ada dipikiran Bulbul dan mas Aga. "Ini pasti lelucon. Bul, kamu sadar dengan maksud kedatanganmu?" Kuulangi bertanya.Bulbul menatap mas Aga sebentar. Mas Aga justru menatapku. Netranya membicarakan betapa ia menginkanku lagi jadi istrinya. Namun, tidak di diriku."Aku sadar, Kak. Kita berbagi suami, dan ini juga banyak terjadi di luar sana.""Aku akan berusaha adil, Mit," ucap mas Aga. Tak ada rasa bersalah dan ia berucap seperti seorang lelaki yang kuharapkan lagi seperti dulu. Justru dengan keadaan seperti ini membuatku semakin tak suka.Di cerbung yang kutulis. Ada beberapa kisah pelakor dengan judul 'Anaknya mirip suamiku' dan 'Acara di rumah ibumu'. Di sana kutulis ada yang terinspirasi dari kisah nyata. Tapi itu hanya cerita yang kugabung dari beberapa kisah. Intinya aku tak suka jika berbagi suami walaupun buka

  • Ini Uangku, Mas!   Part 61 Lamaran

    Ini uangku, MasPart 61 ( lamaran )"Dasar si Aga, siang hari mabuk, apa nggak punya malu," cerocos Ibu sambil meletakan secangkir kopi."Sudah, Bu, yang penting sekarang sudah aman," kata ayah."Iya, tapi tetap aja bukan contoh yang baik, lah mabuk terlihat Tia, apa dia nggak mikir, bodoh dipelihara.""Sst!" Ayah menempelkan telunjuk depan bibir menyuruh ibu diam. "Ada Tia, Bu, kasihan," ucap ayah melirik Tia yang sedang duduk di sampingku. Tentu kami menyimak obrolan ibu dan ayah.Kulihat Tia, ia seperti memikirkan sesuatu, pasti tentang papanya. Seharusnya ia tak melihat mas Aga mabuk. Dan ini pertama kalinya kulihat mantan suami seperti itu. Apakah karena ada masalah. Setahuku ia bukan tipe lelaki peminum alkohol.Mungkinkah tentang pelet itu benar? Kasihan Bulbul. Ia masuk ke keluarga yang salah. Seandainya sikap Ima dan ibunya berubah, aku yakin Bulbul bahagia bersama mas Aga. "Ma, jadi orang mabuk seperti Papa itu ya?" tanya Tia."Ya, tapi nggak usah dipikirkan," jawabku. "K

  • Ini Uangku, Mas!   Part 60 Kesadaran Dalam Musibah

    Ini uangku, MasPart 60 ( kesadaran dalam musibah )Pov BulbulDulu, aku tak peduli dengan kata cinta. Tujuan menikah dengan mas Aga sekedar ingin punya keturunan. Hidup sebatang kara. Berjuang sendiri agar dihargai. Dari kecil hinaan terus kuterima dengan sakit hati. Orang tuaku selalu mengajarkan, 'buktikan kamu sukses dengan pikiran, jika fisik yang kamu sesali berarti kamu membenci pemberian Tuhan', itulah yang selalu kutanamkan. Hingga menata hati tak akan pernah mencintai lelaki mana pun."Mas, ayo pulang." Kutarik tangan mas Aga. Ia masih suamiku, jika pernikahan ini karena pengaruh pelet, itu bukan salahnya."Bul, itu Mita kan?" Mas Aga menunjuk kak Mita. Bau minuman alkohol menyengat dari mulutnya. Dulu aku tidak cemburu karena aku tahu mereka sudah bercerai. Kak Mita tidak pernah menunjukan ingin rujuk. Itulah kenapa aku bisa menerima dengan akal sehat. Namun, kali ini aku cemburu. Aku tak rela melihat suamiku masih mengharapkan mantan istrinya. Apakah 'cinta' tak pernah b

  • Ini Uangku, Mas!   Part 59 Kacau

    Ini uangku, MasPart 59 ( kacau )Pov Aga_2Apa yang terjadi padaku? Kenapa Bulbul? Ah! Aku bingung. Rasa ingin jauh darinya. Kok mendadak rasaku bisa berubah dengan sekejap. Rasa cinta dan menggebu berubah seiring melihatnya tampak beda hari ini."Bu, Ima, ada apa dengan Mas Aga? Kenapa ia terlihat aneh hari ini?" Bulbul bertanya seolah ia istriku. Maksudku istri yang kucinta. Ah! Aku sulit menjelaskanya."Bulbul, mungkin Aga kurang enak badan," jawab ibu."Ibu, i-ini kenapa? Aku aku ...." "Sudahlah, Mas, ayo duduk dulu." Ima menarik tanganku."Ima, kenapa temanmu sekamar denganku?" bisiku saat melangkah ke kursi."Bulbul istrimu, Mas," jawab Ima juga berbisik."Nggak mungkin! Tapi bukan yang itu!" ucapku lantang karena tak menerima semua ini. Aku tak ingin menikahi Bulbul, lagian bukan Bulbul yang ini yang ingin kujadikan istri."Kecilkan suaramu, Mas." Ima berbisik menekan suara agar tak didengar Bulbul. "Apa yang tidak mungkin, Mas Aga?" tanya Bulbul. Kupalingkan ke belakang,

  • Ini Uangku, Mas!   Part 58 Astagfirullahalaziim

    Ini uangku, MasPart 58 ( pov Aga : Astagfirullah'alaziim! )Pov Aga"Mita! Tunggu dulu, aku belum selsai ngomong!"Mita terus melangkah memasuki pagar rumahnya."Mita! Atau seperempat aja bagianku! Aku butuh buat membahagiakan Bulbul, Mita!""Jangan teriak-teriak!" bentak Mita tanpa menoleh padaku."Maka dengarin, bukan pergi gitu aja.""Brisik!" Prak!Pintu dihempaskannya ditutup."Mita! Mita!"Ia tak peduli dengan panggilanku. Justru hempasan pintu yang kudapat seiring bentakannya. Dasar maruk!"Mita!"Sekencang apa pun aku memanggilnya, tetap saja ia tak peduli. Padahal sudah kuberi ide bagus agar kita sama-sama adil dalam memiliki Tia. Tanpa aku Tia belum tentu bisa ada di dunia ini, bibitku hebat bisa mempunyai anak berbakat. Seharusnya Mita menyadari itu.Kemana lagi kucari uang biar bisa beli mobil. Bulbul pasti senang jika aku juga mampu. Dengan gajiku tak akan cukup. Lagian ibu dan Ima juga harus kubiayai, belum lagi makan Mimi juga banyak. Ima dan Mimi sama banyak makanny

  • Ini Uangku, Mas!   Part 57 Bicara Pikirkan Dulu

    Ini uangku, MasPart 57 ( bicara dipikirkan dulu )Aku tak ingin masuk ke lubang yang sama. Bertahun-tahun sudah cukup bagiku mengenal ibu mantan mertua dan Ima, apa lagi mantan suamiku. Jika ia mengakui dosanya, itu bukan urusanku karena yang diperbuat itu lah yang dipetik.Hanya prihatin. Aku tak ingin ikut campur dengan urusan yang bukan urusanku. Jika pernikahan mas Aga dengan Bulbul di luar kesadaran mas Aga, yang patut dipersalahkan adalah ibunya dan adiknya. "Mita.""Astagfirullah'alaziim." Aku mengucap terkejut. Tiba-tiba pundakku ditepuk ibu dari belakang."Melamun aja, mikirin apa?" "Oh, nggak, nggak ada, Bu," jawabku lalu pura-pura sibuk melihat layar ponsel. "Kamu tu lahir dari rahim Ibu, kamu sedang bohong, pura-pura, sedih, atau menyembunyikan sesuatu, Ibu pasti tau."Tuh kan, sudah berusaha menghindari, tetap saja ibu tahu. Sebenarnya malas bicara jujur. Ujung-ujungnya aku pasti kena semprot jika membahas tentang keluarga mantan suamiku."Ya udah, tapi ingat, serapi

  • Ini Uangku, Mas!   Part 56 Sedih lihat anak

    Ini uangku, MasPart 56 ( pov bu Ros: aku yang lebih tersiksa melihat penderitaan anak-anaku )Melangkah pulang dengan hati kecewa. Mita menolak rujuk dengan Aga. Apakah sesulit itu baginya memaafkan yang terjadi? Atau aku yang tak menyadari penderitaanya selama ini?Di mana-mana, menantu yang kerjakan semua pekerjaan rumah suatu hal yang biasa. Itu gunanya ia tinggal di rumah. Tapi kenapa Mita seperti aku memperbudaknya? Apakah karena selama ini Ima juga ikut adil dalam memerintah? Kuakui, Ima punya sifat semena-mena akibat kumanjakan. Dulu saja aku hampir sakit saat Mita terusir dan aku lah yang mengerjakan semuanya. Apakah aku salah mendidik anak?"Ibu dari mana? Lihat Ima belum berhenti menangis seperti anak kecil, telingaku sakit!" Bulbul berdiri berkacak pinggang. Aku baru masuk langsung disambut dengan omongan tak enak. Ia berlagak seolah nyonya besar dan aku pembantunya."Itu aja kamu sewot," jawabku berusaha mengabaikanya."Lah iya lah aku sewot, Ima sangat berisik! Aku ing

  • Ini Uangku, Mas!   Part 55 Maaf?

    Ini uangku, MasPart 55 ( maaf )"Jangan menangis, Ma," ucap Tia menatapku.Aku duduk menyeka air mata. Rasa khawatir, takut jauh dari putriku. "Nak, jika suatu saat kamu tak nyaman bersama Mama, bicara lah." Kubelai pipi Tia."Mama bicara apa sih? Justru aku takut membebani Mama, aku hanya ingin Mama, aku juga sayang Papa, tapi kenyamananku bersama Mama."Ya Allah, terima kasih tidak menjauhkanku dari putriku. Hamba mohon, jangan pernah pisahkan kami. Tapi seandainya maut memisahkan, biarkan putriku di tangan orang yang tepat hingga hidupnya tak teraniaya. Pengalaman berumah tangga dan tinggal di rumah mertua sudah cukup memberiku pelajaran tentang hidup sesungguhnya.Jika dulu aku berpikir logis. Cinta tak cukup membuat bahagia, lingkungan saling menghargai itu penting. Seandainya sudah menjadi seorang ibu, tak ada yang lebih penting dari anak. Mantan suami ada, tapi mantan anak tidak akan pernah ada. Satu hal yang kuabaikan, firasat orang tua itu benar. "Mita! Mit!"Ibu memanggil

  • Ini Uangku, Mas!   Part 54 Muak

    Ini uangku, MasPart 54 ( pov Aga: aku muak dibilang anak durhaka!)"Kok diam, Bu? Ada apa dengan tiga hari lagi?" tanyaku lagi karena belum dijawab."Oh, itu, Ga, tiga hari lagi Ibu berencana mengadakan syukuran buat pernikahan kalian," jawab ibu."Iya, Mas, warga sini juga harus tau kalau kamu bukan suami Mbak Mita lagi, tapi suami Bulbul," ucap Ima."Tapi aku tak punya uang buat acara syukuran, Ibu tau itu kan?"Buat apa mengadakan acara syukuran jika yang datang dikasih makan angin. Aku tak yakin Bulbul mau, uangnya banyak terpakai."Nanti kita bicarakan lagi ke Bulbul, mana tau ia mau.""Jangan, Bu, aku tak enak dengan Bulbul, pasti ia marah dan aku nggak mau ia malah minta cerai, aku cinta Bulbul, Bu."Jujur dan terbuka lebih baik. Biar hati merasa lega. Lagian yang memperkenalkan Bulbul adalah Ima. "Mas Aga! Kok malah lemah gitu? Jadi laki ya harus tegas, lawan rasa lemahmu."Ima ngomong aja yang bisa. Apa ia merasakan yang kurasakan? Hati ini betul-betul terpaut pada Bulbul.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status