Ini uangku, MasPart 25 (Kenapa sewot, Mas?)"Mungkin kamu salah lihat, Nak. Papanya Mimi kerja di Kalimantan, mungkin juga itu hanya mirip," ucapku tak yakin. "Coba nanti Mama lihat sendiri, kok bisa mirip seperti kembar?" Tia masih kukuh dengan apa yang dilihatnya.Rasanya tak mungkin. Anak Yuni sepertinya seumuran dengan Mimi. Lagian jika benar suami Yuni adalah Ipul suaminya Ima, kenapa juga anak mereka bisa seumuran."Nanti Mama coba lihat, sekarang habisin pizzanya."Dua potong pizza kuletakkan di meja tudung saji. Ini untuk mas Aga. Jika aku makan enak, tentu suamiku juga ikut menyicipi. Itulah rumah tangga sebenarnya menurutku. Sama susah dan sama-sama merasakan bahagia.***"Ini kopinya, Mas," ucapku meletakkan secangkir kopi di meja."Makasih, Mit," jawab suamiku sambil membuka sepatu."Pa, ini." Tia meletakkan piring berisi dua potong pizza di meja depan mas Aga."Pizza?" Mas Aga melotot. Tapi kenapa melotot?"Iya, Mas, tadi aku pesan pizza," jawabku."Enak, Pa," sahut Tia
Ini uangku, MasPart 26 (semuanya aku yang beli, Mas!)Saat kubuka kulkas ingin memasukkan bakso yang diberikan ibu, mataku terbelalak melihat isi kulkasku berkurang. Baru tadi aku belanja untuk stok satu minggu. Ada daging, ikan, ikan sarden, kornet dan bermacam sayur lainnya agar aku tak repot bolak balik ke warung. Lagian tukang sayurnya tak setiap hari lewat, itu kata Yuni saat ia bertandang ke sini.Akan tetapi daging yang kubeli tak ditemui. Bukan hanya itu, kentang dan bawang yang kutata di meja sudut dapur juga tinggal separuh. Dan beras dua karung, satu karung masih utuh dan karung satu lagi tinggal separuh. Ini pasti dicuri.Astagfirullah'alazimm. Jadi ini tujuan suamiku mengantarkanku ke rumah orang tuaku. Semua demi bisa mengambil stok dapurku untuk adiknya. Aku yakin Ima pasti dari sini.Kuhela nafas panjang untuk bersiap-siap menanyakan semua ini ke mas Aga. Darahku terasa naik ke ubun-ubun. Bukan karena tak mau berbagi, aku bukan malaikat yang punya hati pemaaf dengan c
Ini uangku, MasPart 27 (informasi dari putrinya Yuni)Ya Allah. Jika aku memaafkan perbuatan suamiku lagi, apakah aku istri yang bodoh? Hati nurani tak tega mendengar kata 'kelaparan'. Bukan berarti aku dengan mudah melupakan yang telah terjadi. Tapi ....***"Aku berangkat kerja dulu," ucap mas Aga. Lalu kucium punggung tangannya."Hati-hati, Mas," ucapku mengiringi sampai teras.Berdiri di teras, kulihat cerahnya sinar matahari pagi. Lingkungan rumah ini masih banyak tanaman dan tepat di belakang jendela dapur, disambut dengan sawah. Itulah kenapa rumah kontrakkan ini memasuki persimpangan dan sedikit jauh dari jalan raya. Untuk keluar harus menggunakan kendaraan pribadi atau ojek."Mbak Mita, masak apa hari ini?" sahut Yuni juga berdiri di teras rumah kontrakannya."Mungkin goreng ikan saja, Yun," jawabku. Lalu aku melangkah mendekati Yuni."Ini tanaman cabenya subur sekali, Yun," ucapku melihat tanaman cabe rawit tumbuh subur di tanah ujung teras kotrakan Yuni."Iya, Mbak, itu su
Ini uangku, MasPart 28 (kenapa marah padaku?)"Bi Mita, aku lapar," ucap Mimi sambil mengelus perutnya. Terlihat wajahnya sedikit pucat. Astagfirullah'alazimm, Ima keterlaluan. Untuk cari makan sepiring buat Mimi pun tak bisa. Tak ada uang ya hutang dulu, toh yang penting anak tidak kelaparan. Lagian di samping rumah ada tanam singkong, tinggal cabut dan rebus buahnya. Itu lah yang sering kulakukan dulunya jika beras habis. Efeknya badanku tak mau gemuk, Alhamdulillah masih sehat."Ayo masuk," ajakku ke Mimi.Mengingat bundanya aku sangat kesal. Tapi Mimi tak bersalah, tak terbayangkan jika Tia kelaparan namun tak ada yang beri makan. Kasihan.Kuambilkan sepiring nasi lengkap dengan goreng ikan dan sayurnya. Seperti tiga hari belum makan, Mimi menyantap nasi itu dengan lahap. Tangannya gemetar, mungkin saja efek kelaparan."Berapa hari belum makan? Kok seperti itu makannya?" ucap Pita melihat geli ke Mimi."Baru pagi ini," jawab Mimi dengan mulut berisi. Lalu ia melihat padaku. "Bi
Ini uangku, MasPart 29 (diserang dan diceraikan)Mas Aga tidak suka dengan informasi yang kusampaikan. Maksudku baik agar ia bertindak dengan kelakuan Ipul. Tidak mungkin aku salah orang. Nama lengkap sama, pernah kerja di Kalimantan dan yang lebih menguatkan wajahnya sama. Mustahil ada dua orang berbeda seperti itu."Loh, aku bukannya menfitnah, Mas, coba deh kamu buktikan sendiri." Tentu aku masih kukuh dengan ucapanku. Lagian mana mau aku dituduh menfitnah. Tau begini menyesal aku beri tahu."Bikin selera makanku hilang saja!" geram mas Aga meninggalkan nasinya tersisa separuh di piring makannya.Astagfirullah'alazimm. Lelaki macam apa yang kujadikan suami. Seharusnya ia membuktikan dulu ucapanku, bukan main tuduh kalau aku menfitnah adiknya. Meskipun aku tak akur dengan adik dan ibunya, bukan berarti masalah ini kuabaikan. Aku juga bisa merasakan karena sama-sama wanita. Hanya itu. Tapi jika ia mengganggapku pengacau rumah tangga adiknya, oke! tak akan kupedulikan meskipun kuliha
Ini uangku, MasPart 30 ( Pergi dari rumah ini, Mas! )Mata Ima, Ibunya dan mas Aga terbelalak mendengar perkataan Mimi. Mungkin ini namanya petir di siang bolong. Apa yang kusampaikan tak mereka percayai, justru kata cerai yang kudapat. Tapi ini mulut Mimi sendiri yang berucap membenarkan perkataanku.Haruskah aku sedih atau senang karena perkataanku terbukti? Hanya sakit hati yang membekas. Tak kusangka, mas Aga yang sering melontarkan kata maaf di saat kami bertengkar di rumah ibuku, ternyata meninggalkan bekas luka di hatinya hingga dendam itu terucapkan.Mungkin karena merasa harga dirinya terinjak? Jika kubiarkan, mana mungkin aku tahan dan terus mengalah dalam rasa tersiksa. Mas Aga lelaki yang sangat mementingkan harga. Aku salah menilainya. Kukira mas Aga lelaki yang harus dicambuk dulu jika ada kesadaran. Atau harus dipertegas dulu baru sadar. Tapi sekali lagi kukatakan, aku salah besar. Ini egois. Aku yang tersiksa bertahun-tahun tak masalah, ia yang baru tiga hari mendeng
Ini uangku, MasPart 31 ( Memohon saja sendiri, gelaay! )Tok tok tok!"Mita! Mita! Buka pintunya!"Tok tok tok tok tok tok!"Ini hanya salah paham, kita masih bisa perbaiki, Mita!"Aku duduk bersilang kaki di sofa sambil menatap ke pintu yang kututup. Suara ketukan dan panggilan mas Aga terdengar gigih. Tia terdiam melihat tanpa berucap. Bahkan kali ini ia tak memintaku agar papanya masuk."Mita mantuku, kasihan suamimu, kalian masih bisa rujuk." Ibunya juga ikutan berucap.Menantuku? Sejak kapan mantan ibu mertua memanggilku sebaik itu. Apakah aku tersanjung? Tidak! Geli alias gelaay!"Oke, mungkin kamu butuh waktu, aku akan menunggu, nanti setelah kamu tenang, aku pasti kembali, untukmu dan untuk putri kita, Sayang."Gelaay! Ucapan mantan suamiku sama sekali tak membuatku tersanjung. Apakah ini fase di mana rasa muak dan kesalku memuncak? Ibu benar, aku bodoh dengan pilihanku. Tapi bukan berarti aku menyesal karena Alhamdulillah, ada Tia penyemangat hidupku."Mana Ipul?" Terdengar
Ini uangku, MasPart 32 ( pov Aga / mengharap )Pov AgaMalamnya kami balik lagi ke rumah Yuni. Sengaja motorku kuparkir depan rumah kontrakkan Mita. Biar cari perhatian dan ia langsung keluar melihatku. Aku masih punya keyakinan jika kami akan rujuk. Mita sudah sering memaafkanku dan akhirnya kami baikan lagi. Aku tahu itu."Kok parkir di sini, Ga?" tanya ibu."Sama aja, Bu, toh rumahnya dekat.""Parkirnya kejauhan, Mas." Ima juga ikut komentar."Terserah kamu mau parkir di mana, aku ya disi saja." Aku masih kukuh agar parkir depan rumah yang dihuni Mita dan putriku."Ya sudah, aku parkir di sini juga." Akhirnya motor Ima juga ikutan parkir di samping motorku.Ima dan Mimi melangkah di belakangku dan ibu menuju rumah Yuni. Kulihat lampu di dalam rumahku sudah padam, apakah Mita sudah tidur? Rumahku? Tentu, aku dan Mita mengontrak di sana. Sebentar lagi aku akan kembali ke rumah itu, itulah harapanku.Kini, kami sudah depan pintu rumah istri Ipul yang lainya."Biar kuketok pintunya, B