Ini uangku, MasPart 22 (minta izin ke orang tuaku)"Okeh, aku akan bilang Mas Aga agar kamu segera diceraikan, Uh!" ucap Ima lantang, lalu kue bawang yang dibawanya itu langsung diambil lagi. Tentu sayang jika ditinggal. Ima tak akan mau rugi, seperti itulah yang kutahu."Hey! Kamu ngapain di rumahku?" Ibu melangkah masuk."Tenang aja, aku juga akan pergi," jawab Ima melangkah ke pintu."Jangan pernah ke sini lagi, bilang Ibumu juga!" teriak ibuku melihat Ima berlalu."Anak dan Ibu sama pelitnya!""Hus hus, sana pergi." Ibu juga tak tinggal diam.Kini Ima telah pergi. Sepertinya ia tak mau meladeni ibuku. Lalu ibu menatapku tapi aku tak kuasa membalas. Nyaliku langsung menciut. Pasti aku diomelin."Nah gitu dong, pintar dikit menjawab, jangan takut, kalau kamu takut ujung-ujungnya diinjak, makanya diperlakukan seperti babu di rumah mertua. Ambil sikap tegas, jangan mewek." Lalu ibu berlalu dari hadapanku.Aku terpana mendengar ucapan ibu. Tumben ibu mendukungku. Mendadak kesalku berk
Ini uangku, MasPart 23 (Maaf, Mas, idemu tak sejalan denganku)Aku bangkit berdiri. Menarik nafas dalam, aku berusaha sabar. Astagfirullah'alazimm, kuurut dada sambil mengucap."Loh, kok malah mengucap, Mit? Apakah aku salah?" Alis mas Aga bertaut melihatku."Sebaiknya kamu aja yang ngontrak," jawabku.Mas Aga langsung berdiri. "Kamu kan Istriku? Kok malah nyuruh aku ngontrak sendiri, kata kamu mau kuajak ngontrak dengan semampuku.""Aku punya anak perempuan, SATU! jika kamu bawa kami ke rumah yang kurasa tidak aman, itu sama artinya aku mengorbankan putri kita!""Tunggu tunggu, aku juga tak ingin putri kita dalam bahaya, jadi apa hubungannya?"Kenapa pikiran lelaki yang berstatus suamiku ini pendek. Ia kepala rumah tangga, tapi kenapa aku merasa itu hanya sebutan saja.Biasanya lelaki berpikir dengan otak dan wanita dengan perasaan, mungkinkah aku salah. Tapi kenapa itu tak seperti yang sering dibilang ibuku? Atau aku salah dalam menyikapinya."Kamu bawa kami ke rumah dekat sungai,
Ini uangku, MasPart 24 (Tindakan)"Terus aku gimana, Mit? Coba kamu jadi aku, apa bisa melihat Ibumu menderita?" Suara mas Aga ikutan lantang."Menderita? Tinggal bersama putri kesayangan bisa menderita juga? Yang salah tu Ibumu atau Ima?""Yang salah tu kamu menghalangiku mengurus Ibuku!" Urat leher mas Aga timbul berucap."Kamu menyalahkanku? Kamu yang urus Ibumu atau menyuruhku yang ngurus? Pergi pagi pulang sore, siapa yang ngurus Ibumu kalau bukan aku! Kamu kira aku mau jadi babu lagi.""Aku nggak nyangka kamu tega padaku. Selama ini kukira kamu Istri yang nurut serta ngerti aku, tapi aku salah.""Yang buat salah itu kamu, aku sudah capek jadi babu dan diusir seperti tak berharga. Jika kamu mau ngurus Ibumu, sana! Nggak usah bawa aku!""Cukup Mita!""Kamu yang cukup, Mas! Mau menyalahkanku atas perbuatan adikmu yang tak becus mengurus ibumu, enak saja, Jika aku penghalangimu mengurus Ibumu, tinggalkan aku, beres kan?"Enak saja menyalahkan aku. Sulit mengendalikan amarah. Aku ha
Ini uangku, MasPart 25 (Kenapa sewot, Mas?)"Mungkin kamu salah lihat, Nak. Papanya Mimi kerja di Kalimantan, mungkin juga itu hanya mirip," ucapku tak yakin. "Coba nanti Mama lihat sendiri, kok bisa mirip seperti kembar?" Tia masih kukuh dengan apa yang dilihatnya.Rasanya tak mungkin. Anak Yuni sepertinya seumuran dengan Mimi. Lagian jika benar suami Yuni adalah Ipul suaminya Ima, kenapa juga anak mereka bisa seumuran."Nanti Mama coba lihat, sekarang habisin pizzanya."Dua potong pizza kuletakkan di meja tudung saji. Ini untuk mas Aga. Jika aku makan enak, tentu suamiku juga ikut menyicipi. Itulah rumah tangga sebenarnya menurutku. Sama susah dan sama-sama merasakan bahagia.***"Ini kopinya, Mas," ucapku meletakkan secangkir kopi di meja."Makasih, Mit," jawab suamiku sambil membuka sepatu."Pa, ini." Tia meletakkan piring berisi dua potong pizza di meja depan mas Aga."Pizza?" Mas Aga melotot. Tapi kenapa melotot?"Iya, Mas, tadi aku pesan pizza," jawabku."Enak, Pa," sahut Tia
Ini uangku, MasPart 26 (semuanya aku yang beli, Mas!)Saat kubuka kulkas ingin memasukkan bakso yang diberikan ibu, mataku terbelalak melihat isi kulkasku berkurang. Baru tadi aku belanja untuk stok satu minggu. Ada daging, ikan, ikan sarden, kornet dan bermacam sayur lainnya agar aku tak repot bolak balik ke warung. Lagian tukang sayurnya tak setiap hari lewat, itu kata Yuni saat ia bertandang ke sini.Akan tetapi daging yang kubeli tak ditemui. Bukan hanya itu, kentang dan bawang yang kutata di meja sudut dapur juga tinggal separuh. Dan beras dua karung, satu karung masih utuh dan karung satu lagi tinggal separuh. Ini pasti dicuri.Astagfirullah'alazimm. Jadi ini tujuan suamiku mengantarkanku ke rumah orang tuaku. Semua demi bisa mengambil stok dapurku untuk adiknya. Aku yakin Ima pasti dari sini.Kuhela nafas panjang untuk bersiap-siap menanyakan semua ini ke mas Aga. Darahku terasa naik ke ubun-ubun. Bukan karena tak mau berbagi, aku bukan malaikat yang punya hati pemaaf dengan c
Ini uangku, MasPart 27 (informasi dari putrinya Yuni)Ya Allah. Jika aku memaafkan perbuatan suamiku lagi, apakah aku istri yang bodoh? Hati nurani tak tega mendengar kata 'kelaparan'. Bukan berarti aku dengan mudah melupakan yang telah terjadi. Tapi ....***"Aku berangkat kerja dulu," ucap mas Aga. Lalu kucium punggung tangannya."Hati-hati, Mas," ucapku mengiringi sampai teras.Berdiri di teras, kulihat cerahnya sinar matahari pagi. Lingkungan rumah ini masih banyak tanaman dan tepat di belakang jendela dapur, disambut dengan sawah. Itulah kenapa rumah kontrakkan ini memasuki persimpangan dan sedikit jauh dari jalan raya. Untuk keluar harus menggunakan kendaraan pribadi atau ojek."Mbak Mita, masak apa hari ini?" sahut Yuni juga berdiri di teras rumah kontrakannya."Mungkin goreng ikan saja, Yun," jawabku. Lalu aku melangkah mendekati Yuni."Ini tanaman cabenya subur sekali, Yun," ucapku melihat tanaman cabe rawit tumbuh subur di tanah ujung teras kotrakan Yuni."Iya, Mbak, itu su
Ini uangku, MasPart 28 (kenapa marah padaku?)"Bi Mita, aku lapar," ucap Mimi sambil mengelus perutnya. Terlihat wajahnya sedikit pucat. Astagfirullah'alazimm, Ima keterlaluan. Untuk cari makan sepiring buat Mimi pun tak bisa. Tak ada uang ya hutang dulu, toh yang penting anak tidak kelaparan. Lagian di samping rumah ada tanam singkong, tinggal cabut dan rebus buahnya. Itu lah yang sering kulakukan dulunya jika beras habis. Efeknya badanku tak mau gemuk, Alhamdulillah masih sehat."Ayo masuk," ajakku ke Mimi.Mengingat bundanya aku sangat kesal. Tapi Mimi tak bersalah, tak terbayangkan jika Tia kelaparan namun tak ada yang beri makan. Kasihan.Kuambilkan sepiring nasi lengkap dengan goreng ikan dan sayurnya. Seperti tiga hari belum makan, Mimi menyantap nasi itu dengan lahap. Tangannya gemetar, mungkin saja efek kelaparan."Berapa hari belum makan? Kok seperti itu makannya?" ucap Pita melihat geli ke Mimi."Baru pagi ini," jawab Mimi dengan mulut berisi. Lalu ia melihat padaku. "Bi
Ini uangku, MasPart 29 (diserang dan diceraikan)Mas Aga tidak suka dengan informasi yang kusampaikan. Maksudku baik agar ia bertindak dengan kelakuan Ipul. Tidak mungkin aku salah orang. Nama lengkap sama, pernah kerja di Kalimantan dan yang lebih menguatkan wajahnya sama. Mustahil ada dua orang berbeda seperti itu."Loh, aku bukannya menfitnah, Mas, coba deh kamu buktikan sendiri." Tentu aku masih kukuh dengan ucapanku. Lagian mana mau aku dituduh menfitnah. Tau begini menyesal aku beri tahu."Bikin selera makanku hilang saja!" geram mas Aga meninggalkan nasinya tersisa separuh di piring makannya.Astagfirullah'alazimm. Lelaki macam apa yang kujadikan suami. Seharusnya ia membuktikan dulu ucapanku, bukan main tuduh kalau aku menfitnah adiknya. Meskipun aku tak akur dengan adik dan ibunya, bukan berarti masalah ini kuabaikan. Aku juga bisa merasakan karena sama-sama wanita. Hanya itu. Tapi jika ia mengganggapku pengacau rumah tangga adiknya, oke! tak akan kupedulikan meskipun kuliha
Ini uangku, MasPart 62 ( ending )Sulit kuungkapkan kata-kata betapa terkejutnya aku dengan lamaran ini. Istri mantan suamiku ingin melamarku? Ide gila macam apa yang ada dipikiran Bulbul dan mas Aga. "Ini pasti lelucon. Bul, kamu sadar dengan maksud kedatanganmu?" Kuulangi bertanya.Bulbul menatap mas Aga sebentar. Mas Aga justru menatapku. Netranya membicarakan betapa ia menginkanku lagi jadi istrinya. Namun, tidak di diriku."Aku sadar, Kak. Kita berbagi suami, dan ini juga banyak terjadi di luar sana.""Aku akan berusaha adil, Mit," ucap mas Aga. Tak ada rasa bersalah dan ia berucap seperti seorang lelaki yang kuharapkan lagi seperti dulu. Justru dengan keadaan seperti ini membuatku semakin tak suka.Di cerbung yang kutulis. Ada beberapa kisah pelakor dengan judul 'Anaknya mirip suamiku' dan 'Acara di rumah ibumu'. Di sana kutulis ada yang terinspirasi dari kisah nyata. Tapi itu hanya cerita yang kugabung dari beberapa kisah. Intinya aku tak suka jika berbagi suami walaupun buka
Ini uangku, MasPart 61 ( lamaran )"Dasar si Aga, siang hari mabuk, apa nggak punya malu," cerocos Ibu sambil meletakan secangkir kopi."Sudah, Bu, yang penting sekarang sudah aman," kata ayah."Iya, tapi tetap aja bukan contoh yang baik, lah mabuk terlihat Tia, apa dia nggak mikir, bodoh dipelihara.""Sst!" Ayah menempelkan telunjuk depan bibir menyuruh ibu diam. "Ada Tia, Bu, kasihan," ucap ayah melirik Tia yang sedang duduk di sampingku. Tentu kami menyimak obrolan ibu dan ayah.Kulihat Tia, ia seperti memikirkan sesuatu, pasti tentang papanya. Seharusnya ia tak melihat mas Aga mabuk. Dan ini pertama kalinya kulihat mantan suami seperti itu. Apakah karena ada masalah. Setahuku ia bukan tipe lelaki peminum alkohol.Mungkinkah tentang pelet itu benar? Kasihan Bulbul. Ia masuk ke keluarga yang salah. Seandainya sikap Ima dan ibunya berubah, aku yakin Bulbul bahagia bersama mas Aga. "Ma, jadi orang mabuk seperti Papa itu ya?" tanya Tia."Ya, tapi nggak usah dipikirkan," jawabku. "K
Ini uangku, MasPart 60 ( kesadaran dalam musibah )Pov BulbulDulu, aku tak peduli dengan kata cinta. Tujuan menikah dengan mas Aga sekedar ingin punya keturunan. Hidup sebatang kara. Berjuang sendiri agar dihargai. Dari kecil hinaan terus kuterima dengan sakit hati. Orang tuaku selalu mengajarkan, 'buktikan kamu sukses dengan pikiran, jika fisik yang kamu sesali berarti kamu membenci pemberian Tuhan', itulah yang selalu kutanamkan. Hingga menata hati tak akan pernah mencintai lelaki mana pun."Mas, ayo pulang." Kutarik tangan mas Aga. Ia masih suamiku, jika pernikahan ini karena pengaruh pelet, itu bukan salahnya."Bul, itu Mita kan?" Mas Aga menunjuk kak Mita. Bau minuman alkohol menyengat dari mulutnya. Dulu aku tidak cemburu karena aku tahu mereka sudah bercerai. Kak Mita tidak pernah menunjukan ingin rujuk. Itulah kenapa aku bisa menerima dengan akal sehat. Namun, kali ini aku cemburu. Aku tak rela melihat suamiku masih mengharapkan mantan istrinya. Apakah 'cinta' tak pernah b
Ini uangku, MasPart 59 ( kacau )Pov Aga_2Apa yang terjadi padaku? Kenapa Bulbul? Ah! Aku bingung. Rasa ingin jauh darinya. Kok mendadak rasaku bisa berubah dengan sekejap. Rasa cinta dan menggebu berubah seiring melihatnya tampak beda hari ini."Bu, Ima, ada apa dengan Mas Aga? Kenapa ia terlihat aneh hari ini?" Bulbul bertanya seolah ia istriku. Maksudku istri yang kucinta. Ah! Aku sulit menjelaskanya."Bulbul, mungkin Aga kurang enak badan," jawab ibu."Ibu, i-ini kenapa? Aku aku ...." "Sudahlah, Mas, ayo duduk dulu." Ima menarik tanganku."Ima, kenapa temanmu sekamar denganku?" bisiku saat melangkah ke kursi."Bulbul istrimu, Mas," jawab Ima juga berbisik."Nggak mungkin! Tapi bukan yang itu!" ucapku lantang karena tak menerima semua ini. Aku tak ingin menikahi Bulbul, lagian bukan Bulbul yang ini yang ingin kujadikan istri."Kecilkan suaramu, Mas." Ima berbisik menekan suara agar tak didengar Bulbul. "Apa yang tidak mungkin, Mas Aga?" tanya Bulbul. Kupalingkan ke belakang,
Ini uangku, MasPart 58 ( pov Aga : Astagfirullah'alaziim! )Pov Aga"Mita! Tunggu dulu, aku belum selsai ngomong!"Mita terus melangkah memasuki pagar rumahnya."Mita! Atau seperempat aja bagianku! Aku butuh buat membahagiakan Bulbul, Mita!""Jangan teriak-teriak!" bentak Mita tanpa menoleh padaku."Maka dengarin, bukan pergi gitu aja.""Brisik!" Prak!Pintu dihempaskannya ditutup."Mita! Mita!"Ia tak peduli dengan panggilanku. Justru hempasan pintu yang kudapat seiring bentakannya. Dasar maruk!"Mita!"Sekencang apa pun aku memanggilnya, tetap saja ia tak peduli. Padahal sudah kuberi ide bagus agar kita sama-sama adil dalam memiliki Tia. Tanpa aku Tia belum tentu bisa ada di dunia ini, bibitku hebat bisa mempunyai anak berbakat. Seharusnya Mita menyadari itu.Kemana lagi kucari uang biar bisa beli mobil. Bulbul pasti senang jika aku juga mampu. Dengan gajiku tak akan cukup. Lagian ibu dan Ima juga harus kubiayai, belum lagi makan Mimi juga banyak. Ima dan Mimi sama banyak makanny
Ini uangku, MasPart 57 ( bicara dipikirkan dulu )Aku tak ingin masuk ke lubang yang sama. Bertahun-tahun sudah cukup bagiku mengenal ibu mantan mertua dan Ima, apa lagi mantan suamiku. Jika ia mengakui dosanya, itu bukan urusanku karena yang diperbuat itu lah yang dipetik.Hanya prihatin. Aku tak ingin ikut campur dengan urusan yang bukan urusanku. Jika pernikahan mas Aga dengan Bulbul di luar kesadaran mas Aga, yang patut dipersalahkan adalah ibunya dan adiknya. "Mita.""Astagfirullah'alaziim." Aku mengucap terkejut. Tiba-tiba pundakku ditepuk ibu dari belakang."Melamun aja, mikirin apa?" "Oh, nggak, nggak ada, Bu," jawabku lalu pura-pura sibuk melihat layar ponsel. "Kamu tu lahir dari rahim Ibu, kamu sedang bohong, pura-pura, sedih, atau menyembunyikan sesuatu, Ibu pasti tau."Tuh kan, sudah berusaha menghindari, tetap saja ibu tahu. Sebenarnya malas bicara jujur. Ujung-ujungnya aku pasti kena semprot jika membahas tentang keluarga mantan suamiku."Ya udah, tapi ingat, serapi
Ini uangku, MasPart 56 ( pov bu Ros: aku yang lebih tersiksa melihat penderitaan anak-anaku )Melangkah pulang dengan hati kecewa. Mita menolak rujuk dengan Aga. Apakah sesulit itu baginya memaafkan yang terjadi? Atau aku yang tak menyadari penderitaanya selama ini?Di mana-mana, menantu yang kerjakan semua pekerjaan rumah suatu hal yang biasa. Itu gunanya ia tinggal di rumah. Tapi kenapa Mita seperti aku memperbudaknya? Apakah karena selama ini Ima juga ikut adil dalam memerintah? Kuakui, Ima punya sifat semena-mena akibat kumanjakan. Dulu saja aku hampir sakit saat Mita terusir dan aku lah yang mengerjakan semuanya. Apakah aku salah mendidik anak?"Ibu dari mana? Lihat Ima belum berhenti menangis seperti anak kecil, telingaku sakit!" Bulbul berdiri berkacak pinggang. Aku baru masuk langsung disambut dengan omongan tak enak. Ia berlagak seolah nyonya besar dan aku pembantunya."Itu aja kamu sewot," jawabku berusaha mengabaikanya."Lah iya lah aku sewot, Ima sangat berisik! Aku ing
Ini uangku, MasPart 55 ( maaf )"Jangan menangis, Ma," ucap Tia menatapku.Aku duduk menyeka air mata. Rasa khawatir, takut jauh dari putriku. "Nak, jika suatu saat kamu tak nyaman bersama Mama, bicara lah." Kubelai pipi Tia."Mama bicara apa sih? Justru aku takut membebani Mama, aku hanya ingin Mama, aku juga sayang Papa, tapi kenyamananku bersama Mama."Ya Allah, terima kasih tidak menjauhkanku dari putriku. Hamba mohon, jangan pernah pisahkan kami. Tapi seandainya maut memisahkan, biarkan putriku di tangan orang yang tepat hingga hidupnya tak teraniaya. Pengalaman berumah tangga dan tinggal di rumah mertua sudah cukup memberiku pelajaran tentang hidup sesungguhnya.Jika dulu aku berpikir logis. Cinta tak cukup membuat bahagia, lingkungan saling menghargai itu penting. Seandainya sudah menjadi seorang ibu, tak ada yang lebih penting dari anak. Mantan suami ada, tapi mantan anak tidak akan pernah ada. Satu hal yang kuabaikan, firasat orang tua itu benar. "Mita! Mit!"Ibu memanggil
Ini uangku, MasPart 54 ( pov Aga: aku muak dibilang anak durhaka!)"Kok diam, Bu? Ada apa dengan tiga hari lagi?" tanyaku lagi karena belum dijawab."Oh, itu, Ga, tiga hari lagi Ibu berencana mengadakan syukuran buat pernikahan kalian," jawab ibu."Iya, Mas, warga sini juga harus tau kalau kamu bukan suami Mbak Mita lagi, tapi suami Bulbul," ucap Ima."Tapi aku tak punya uang buat acara syukuran, Ibu tau itu kan?"Buat apa mengadakan acara syukuran jika yang datang dikasih makan angin. Aku tak yakin Bulbul mau, uangnya banyak terpakai."Nanti kita bicarakan lagi ke Bulbul, mana tau ia mau.""Jangan, Bu, aku tak enak dengan Bulbul, pasti ia marah dan aku nggak mau ia malah minta cerai, aku cinta Bulbul, Bu."Jujur dan terbuka lebih baik. Biar hati merasa lega. Lagian yang memperkenalkan Bulbul adalah Ima. "Mas Aga! Kok malah lemah gitu? Jadi laki ya harus tegas, lawan rasa lemahmu."Ima ngomong aja yang bisa. Apa ia merasakan yang kurasakan? Hati ini betul-betul terpaut pada Bulbul.