"Tolong! Tolong! Tolong!" Seorang gadis terpojok di balik tiga pria berbaju hitam, ia memundurkan dirinya sampai punggungnya menyentuh dinding.
Aku bisa menebang bagaimana raut wajah ketakutannya. Dia pasti berjongkok sambil menangis, wajahnya memelas minta dikasihani."Kau tidak bisa lari lagi." ucap salah satu pria itu."Kau jangan melawan, kami tidak akan menyakitimu. Mari ikut kami dan temui bos kami.""Kenapa bos menginginkan bocah cengeng ini?" tanya pria yang berada di samping kanan.Mereka tidak menyadari ada pria tampan di belakang yang akan meremukkan tulang belulang mereka.Cahaya redup di sebuah gang yang terapit dinding sulit melarikan diri untuk mereka yang terjebak di dalamnya. Lalat berterbangan mengitari tumpukkan sampah di sisi dinding. Bau menyengat dari tong sampah mengundang mereka untuk berpesta di sana.Orang berlalu lalang di mulut gang, tidak peduli mengikuti urusan orang lain. Bahkan sebelum aku sampai mereka sudah mendengar gadis ini meminta tolong, tapi tidak ada yang menolongnya. Betapa ironisnya jiwa kemanusiaan mereka."Aku tidak tahu apa urusan bos untuk membawa kamu kepadanya.""Mungkin untuk menikahinya." Satu temannya menimpali."Atau menjadi budak kami." Satu lagi menambah ketakutan gadis itu.Ingin menjadikannya budak ya. Itu terlalu kejam untuk seorang gadis muda yang tangannya masih halus selembut sutra. Aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti gadis itu.Aku mengepal jemari, menepuk punggung ketiga pria itu. Mereka menoleh bersamaan. Tanpa aba-aba aku memukul wajah pria yang berada di tengah, dia mengaduh kesakitan."Hei kau!"Aku menendang temannya di kiri, kemudian memukul satu lagi di sebelah kanan. Mereka berdua pingsan."Siapa kau! Beraninya ikut campur urusan kami."Aku tidak menjawab. Kembali menyerang, dia berhasil menangkis pukulanku, tetapi tidak dapat menghindari tendanganku yang tepat mengenai perutnya. Dia memegangi perutnya sambil kabur keluar gang.Gadis itu berdiri dari jangkoknya, dia menyeka air mata yang berada di pipi, memperbaiki poninya."Apa kau sudah gila!" Napasnya terengah-engah."Aku menyelamatkanmu, kenapa kamu membentakku!" Aku balas berteriak."Mereka itu rombo–" ucapnya terpotong melihat lima orang pria berpakaian sama memasuki gang, aku tebak itu teman dari ketiga pria ini. Gadis itu bersembunyi di belakang tubuhku."Beraninya dia ikut campur urusan kita.""Kita harus menghabisinya, kalau tidak bos akan memukuli kita."Lima orang berpakaian hitam-hitam itu berjalan santai mendekatiku. Ruangan yang redup tidak membuatku sulit melihat mereka. Aku tahu kami kekurangan orang. Dua lawan lima tidak sebanding jumlah."Kau sih nyari masalah, mereka akan menghabisi kita." Gadis penakut itu bergetar di belakang punggungku."Kamu tenang saja, aku kuat, lima orang ini tidak mampu untuk mengalahkanku." Aku maju dengan santai."Serang!" teriak mereka.Aku menangkis, menghindar, berkelit, lalu melompat ke arah dinding, kemudian menendang mereka. Dua orang terkapar jatuh. Aku menunduk, menghindari serangannya, meninju perut lawan, ia kesakitan.Tinggal dua orang yang masih sehat di depanku. Satu orang pemimpin mereka, sedangkan temannya di samping mulai gentar melihat kawannya tumbang dengan cepat.Aku memukul pria yang berdiri gagah di depanku, dia berhasil menghindar. Aku menendangnya, dia menunduk. Seranganku mengenai udara kosongYang satu ini hebat juga, dia berhasil lolos dari seranganku, pantas saja tidak ada ketakutan di wajahnya."Eh kau, serang!" Pria itu menyuruh temannya menyerangku.Pukulan yang tidak percaya diri, mudah sekali aku menghindarinya, lalu menendang wajahnya. Di terkapar ke tanah, kesakitan."Dasar payah!" hardiknya. "Sepertinya kau lawan yang tangguh." Pria itu menggulung lengan kemeja hitamnya sampai siku."Sebentar lagi aku akan naik pangkat. Kau tidak akan membuatku kesulit untuk mencapainya."Dia mulai menyerang, memukulku dengan tenaga yang kuat, aku menangkis pukulan itu, tubuhku sedikit terdorong, dengan cepat ia meluncurkan tendangan. Aku tidak sempat menghindar, tubuhku terpelanting.Aku cepat berdiri, balas memukul. Serangan itu berhasil dia tangkis, kemudian aku menendangnya, dia berhasil menghindar.Sial, seharusnya aku tidak meremehkannya. "Kamu hebat juga." Aku memujinya."Aku tidak seperti mereka, aku akan naik pangkat, kedudukanku menjadi tinggi, dengan mudah merampok warga, menjadi kaya dalam waktu singkat. Aku akan dilindungi oleh bawahanku yang kuat."Impiannya sangat buruk. Kenapa dia begitu bangga dengan impiannya itu. Kami saling menyerang, menghindar, menangkis. Balas-membalas pukulan, semakin aku fokus, gerakannya semakin lambat."Aku akan menghancurkan keinginanmu itu." Pukulanku berhasil mengenai bahunya, dia oleng ke belakang."Satu tangga lagi aku bisa mencapainya, tidak mungkin aku membiarkan kau menghancurkannya." Dia kembali menyerang. Menendang kemudian balas memukul.Gerakannya lambat, aku bisa membacanya. Aku balas menendang perutnya, ia terhuyung, tubuhnya tidak seimbang. Ini kesempatan yang pas untuk aku melumpuhkannya. Satu pukulan di bagian wajah, satu tendangan di kepala dan tendangan terakhir kuarahkan ke perutnya. Ia terpelanting jauh, tidak dapat berdiri lagi.Lima orang penjahat berpakaian hitam-hitam dengan mudah aku lumpuhkan, mereka tidak sekeras batu besar yang aku hancurkan berkeping-keping."Bagaimana, aku hebat kan?" Aku berlagak, tersenyum ke arah gadis itu. Dia menghembus napas panjang."Hei, lihat di belakangmu." Gadis itu kembali memasang wajah pucat.Aku menoleh. "Sial, berapa banyak rombongan mereka.""Mereka tidak akan membiarkanmu hidup, kau sih cari masalah." Gadis itu kembali ke pojok gang."Aku menyelamatkanmu!" bentakku.Kuhitung, ada sepuluh orang memasuki gang. Mereka membawa tongkat, memakai jaket hitam dengan lambang RB yang dicengkeram oleh bunglon tutul.Bergerak tanpa jejak, memangsa dalam senyap, tidak ada lawan yang bisa menghindar dari serangannya. Hewan ini walaupun kecil sulit untuk ditebak."Itu pasukan elit dari Kelompok Robber." Gadis memakai jaket crop top berwarna abu dengan rok pendek itu akhirnya keluar dari zona nyamannya di pojok gang, dia berdiri di sampingku menatap mereka dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya."Aku akan bantu. Aku tidak ingin kamu mati demi menyelamatkanku, lain kali jangan bersikap bodoh seperti ini lagi." Dia berbicara begitu mantap, seakan gadis hebat yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Tapi lihat kakinya yang bergetar hebat, menunjukkan kedua tangannya yang mengepal. Sekali-kali dia menyeka keringatnya di dahi, memperbaiki poninya yang berantakan.Mereka mulai maju menyerang, mengarahkan tongkat kayu mereka ke kepala gadis di sebelahku. Aku menangkis tongkat itu lalu bicara padanya. "Kamu di pojok dinding saja, jangan sok ingin membantu."Gadis itu bergetar, memberanikan diri berlari ke pojok gang. "Apa kamu bisa mengalahkan mereka sendirian?" tanyanya."Aku ini hebat, tidak mungkin kalah oleh pasukan bawahan macam mereka."Aku meninju perut lawan. Dia berjongkok, merasakan rasa sakit yang mendalam di perutnya.Satu orang berhasil memukul kepalaku dengan tongkat kayu mereka, yang lain memukul perutku, temannya menendang wajahku. Aku terbanting ke tanah. Sial, mereka lebih kuat dari sebelumnya."Kita habisi pria ini, lalu gadis itu kita bawa ke bos, dia pasti senang!" Mereka tertawa merendahkanku."Aaa!""Aaa!"Teriakan itu berasal dari belakang. Dua orang dari mereka terkapar ke tanah dengan dada tergores mengeluarkan darah."Rai!" Gadis di belakangku berteriak. Sudut bibirnya tertarik, matanya berwarna, bagaikan kedatangan seorang superhero yang akan menyelamatkannya.Darah menetes dari kedua pedang yang dipegangnya. Matanya tajam menatap lawan, membuat mereka gentar. Perhatian mereka terganti pada seorang pria yang berdiri memasang kuda-kuda mantap. Satu pedangnya disodorkan ke depan, tangan kanan dia arahkan ke belakang. Ia siap mencincang-cincang lawan."Kenapa kalian diam saja, cepat serang pria itu!" Pemimpin mereka berteriak, menyuruh menyerang.Pria itu berjalan santai ke arah kami, menyabet orang yang menyerangnya, tangannya kukuh memegang hulu pedang. Dia pandai menggunakan pedang, keduanya seakan menari-nari memusnahkan lawan.Tinggal dua orang tersisa, mereka menyerah, memutuskan melarikan diri. Jika aku jadi pria itu, tidak akan kubiarkan mereka keluar dari gang ini hidup-hidup."Cepat, kita pergi dari sini." Pria itu menarik tangan gadis itu, berlari keluar gang, meninggalkanku."Hei, tunggu! Kalian mau kemana?" Aku berlari mengikuti mereka.Kedua pedangnya di simpan kembali ke sarungnya yang terikat di pinggang. Kain berwarna merah di
Dari luar bangunan ini sungguh buruk, tidak ada ukiran-ukiran cantik atau model rumah keren seperti di buku-buku. Hanya tumpukkan batu yang disusun rapi. Tapi lihat lah betapa indah keadaan di dalam rumah ini. Dinding batu dia gambar sebuah perkotaan yang sungguh damai. Rumah-rumah terbuat dari kayu, jendel lebar sepanjang dinding, pohon dengan bunga berwarna merah tumbuh disetiap halaman rumah, bulan purnama bersinar sejuk, lampu-lampu jalan menyalah.Sisi sebelahnya ada ukiran sungai, airnya mengalir dari tebing-tebing. Ada daratan yang ditumbuhi pohon berdaun merah, di bawah pohon berdiri sebuah rumah kayu."Ruangan ini keren." Mataku terus menelusuri dinding. Jemariku merabah setiap detail-detail yang terukir."Papaku yang membuatnya, dia ingin kami selalu mengingat negeri kami." Rai membalik lembar demi lembar buku yang sedang ia baca.Rai menghembus napas kecewa, kemudian mengambil buku lain di lemari. Selama membaca, sesekali ia melirikku, mengamatiku dari ujung kepala hingga ka
Ada apa dengan badak ini. Dia seperti mempunyai sihir. Aku yakin sekali bahwa cula di kepalanya hanya ada satu, tapi kenapa sekarang menjadi empat. Atau jangan-jangan nanti akan tumbuh lima, enam, dan seterusnya. Sial, aku tidak bisa lari lagi. Punggungku sudah menyentuh dinding rumah, sedangkan badak ini terus berlari mengejar. Aku bukan hanya bisa bertarung, lompatku juga tinggi. Aku tersenyum. Ayo kemari badak. Persis saat badak itu berada satu meter di hadapanku, aku segerah lompat ke belakangnya. Badak itu menyungkur dinding.Rumah bergetar hebat. Gawat, kuat sekali sungkurannya, bagaimana kalau rumah itu roboh. Rai dan Aruna masih ada di dalam.Badak itu berbalik menatapku dengan mata memerah. Dia sangat marah, merasa dibohongi. Kembali menyerang.Aku menghirup udara bersih, mataku tertutup, menikmati segarnya alam Kota Seed yang asri. Jiwaku damai, tentram, fokusku bertambah. Namun, badak itu mengejutkanku. "Kali ini kau tidak bisa menghindar." ucapnya dengan nada marah.Dia b
Rai menarik tanganku. Tiga orang anggota mereka baru saja datang dari belakang kami. Rai melompat naik ke atas atap toko, aku mengikuti. Kami bersembunyi tengkurap di atap sambil melihat situasi.Ternyata satu dari ketiga orang itu merupakan komandan mereka. Ia mengenakan jaket berwarna biru dengan gambar yang sama. Tubuhnya gempal, pendek, memakai topi bundar."Berikan kalung berlian milikmu ibu toko." Komandan itu memanggul gadanya ke pundak."Anakku yang menyimpannya."Bummm ….Pemimpin pasukan elit menendang ibu itu sampai tubuhnya terpelanting. "Cepat berikan!" bentaknya.Para warga terpaku, berseru tertahan, menutup mulutnya. Anak-anak memeluk tubuh ibunya, menangis. Mereka kasihan dengan ibu itu, tapi apa daya, mereka tidak bisa apa-apa. Rai menatapku, ia takut aku tidak dapat mengendalikan diri. Aku berusaha menahan amarah yang menggebu-gebu di dalam dadaku. Tanganku terkepal, urat-uratnya terlihat.Hingar-bingar yang merupakan ciri khas pasar tidak terdengar lagi. Siapa yang
"Kenapa kita harus lari, Rai?" Aku membuang kumis palsu, melepas baju tebal dan kacamata, sambil berlari menghindari serangan para anggota Robber."Mereka terlalu banyak." Rai menendang anggota kelompok Robber yang menghalangi jalannya, ia tidak bisa menggunakan pedang, kedua tangannya memegang dua plastik kantong berisi bumbu dapur yang kami beli."Mereka lemah, Rai. Kita bisa menghabisinya." Aku menangkis pukulan anggota Robber, tanganku terangkat, tinjuku terarah tepat ke wajah musuh. Mendadak Rai berlari mendahuluiku, menarik tanganku."Cepat lari, Indra." "Kenapa kamu lemah sekali, Rai, kamu yang membuat keributan ini, kamu harus bertanggung jawab." Rahangku mengeras, menahan kesal. Rai terus menarik tanganku.Tiba-tiba pergerakan Rai terhenti, aku menabrak tubuhnya. Dia melihat ke belakang, suara jeritan terdengar nyaring."Aaa!" Para warga berlarian. Anggota kelompok Robber pada terkapar ke tanah.Suara tertawa terdengar lantang. Pria itu berwujud hitam, kukunya tajam, urat di
Aruna marah. Rai hanya membeli bumbu dapur, daging dan ikan titipannya tidak ada di dua kantong plastik yang dia letakkan di atas meja begitu saja. Sesampainya di rumah, Rai segera masuk ke ruangan favoritnya, membaca sebuah buku.Dari percakapan kami di pinggir sungai. Rai bisa menebak kalau indera perabaku bisa menetralkan virus iblis. Aku tidak akan bisa menang melawan raksasa beruang yang notabennya lebih besar dan lebih kuat tanpa mengeluarkan virus iblis itu terlebih dahulu.Ibu penjual sayur mengajak kami datang ke rumahnya, dia akan memasak makanan untuk kami sebagai tanda terima kasih. Rai menolak permintaan ibu itu, dia mengajakku lari sebelum Komandan S Twu datang.Komandan S Twu adalah komandan kedua di Kelompok Robber, jabatannya satu tingkat lebih tinggi dari Komandan S Three. Bisa saja kekuatan dan anggota kelompok elitnya bisa sangat kuat dibanding anggota S Three.Para warga memanggilku Reinkarnasi Dewa tanah yang sudah mereka tunggu sejak 50 tahun yang lalu dari kemat
Waw, ini luar biasa. Bukan hanya mudah menemukan tempat persembunyian kami, dia juga membawa ribuan anggota Kelompok Robber untuk mengepung kami. Tidak ada sisi untuk melarikan diri. Mereka berdiri serampak mengitari."Kembalikan gadis itu, dia milik bos kami." ucapnya dengan santai sambil perlahan maju mendekat. Dia tidak membawa alat untuk bertarung, dia juga tidak gegabah untuk memerintahkan pasukannya untuk menyerang."Kenapa S One memintaku membawa pasukan sebanyak ini hanya untuk melawan dua remaja ini. Takut sekali aku gagal mendapatkan Aruna." Pria berbadan kekar dan tinggi itu berjalan sambil mengomel."Ayo, pergi denganku, Aruna." Komandan S Twu menjulurkan tangannya, meminta Aruna menangkap tangan itu kemudian kabur bersamanya. Dia juga tersenyum menyapa aku dan Rai.Rai bersiaga memegang hulu kedua pedangnya. Aku meremas jemari. Dia tidak takut kami menyerangnya tiba-tiba, sedekat itu dengan kami layaknya teman yang tidak bertemu lama."Huuu." Komandan S Twu menarik tangann
Aku bersiap memasang kuda-kuda. Kedua tanganku terangkat mengepal jemari erat. Pandanganku tetap fokus menatap lawan. Aku tidak akan terpincut kepada anggotanya yang menjauh melingkari lapangan pertarungan. Komandan S Twu sangat cepat, sedikit saja aku lengah itu kesempatan yang sangat berharga baginya.Rai dan Aruna melihat kami dari belakang. Tubuh Rai bersandar ke dinding rumah, Aruna berdiri menatap tegang.Setiap pagi aku selalu latihan dan hari ini aku mendapatkan teman latihan yang benar-benar bertarung tanpa ragu. Aku akan melakukan sekuat tenagaku untuk melawannya, Komandan S Twu sudah terpancing amarah, dia pasti tidak segan-segan membunuh musuhnya seperti yang ia katakan tadi.Tendangannya yang mengenai perutku itu merupakan tanda jika tenaganya memang besar. Terlebih kaki kanannya yang menendang Rai sampai terpelanting. Komandan S Twu menyerang duluan, dia berlari ke arahku. Rumput bergoyang tersibak angin. Pukulannya berhasil aku tangkis, kemudian aku balas dengan menenda