Pagi hari, sebelum matahari bangun seutuhnya. Aku melakukan aktifitas yang sudah lama aku tekunin, yaitu berlatih bersama guru.
Aku mengingat perkataan kakek waktu aku malas berlatih, dia kata. "Ilmu itu tidak ada batasnya, jika kamu berpikir bahwa dirimu sudah hebat, itu adalah awal kesombonganmu mulai tumbuh."Aku tidak mengerti yang kakek katakan, aku memang hebat, pukulanku kuat, bisa menghancurkan batu besar sampai berkeping-keping."Coba kamu daki pohon ini sampai kepuncaknya, Indra." ucap guru."Aku sudah pernah memanjat pohon itu, guru. Waktu latihan pertama, apa guru tidak ingat?" tanyaku."Saat itu kamu tidak menyadari apa yang ada di atas sana. Kamu ingin tahu dari mana virus iblis itu. Jawabannya ada di atas sana."Mendaki pohon adalah latihan yang sangat membosankan, bagaimana tidak. Jika kamu sudah berhasil memecahkan teka-teki, kamudian kamu di perintah menyelesaikan teka-teki itu lagi, kamu tidak akan sebahagia saat pertama dulu.Namun, untuk mengetahu jawab yang aku cari, aku harus memanjatnya. Memang ada apa di atas sana selain awan dan burung-burung yang terbang bebas.Sampai di puncang pohon tertinggi di dalam hutan kehidupan. Mataku menyapu sekitar, mencari jawab itu. Tidak ada yang berbeda, dari dulu mataku hanya melihat burung, awan dan matahari yang perlahan mendaki langit."Apa kamu melihatnya, Indra?" Guru berteriak dari bawah sana.Aku melambaikan tangan, memberi isyarat."Coba kamu lihat dengan teliti ke seluruh arah."Aku kembali menyari, terus mencari, keseluruhan kawasan yang bisa mataku jangkau, sampai aku menemukan sesuatu yang menarik."Aku melihat ada pohon yang lebih tinggi, guru, sampai menembus awan." teriakku."Penglihatanmu sungguh buruk, Indra. Itu menara, bukan pohon." Guru memberi isyarat, menyuruhku turun."Kenapa menara itu sangat tinggi? Siapa yang membuatnya?" tanyaku setelah sampai ke tanah."Benda itu lah yang menyebarkan virus iblis. Namanya, Menara Olympus. Mata Iblis membuatnya untuk menyegel Deadwan. Kakekmu sudah menceritakannya kan."Aku mengangguk, tapi kakek tidak menceritakan virus iblis ini."Mata Iblis merasa terdesak sebab kehidupan di Nobel semakin berkembang banyak, oleh karena itu dia meminta bantuan Deadwan untuk menyebarkan virus iblis kepada kita. Virus itu menyerang seseorang yang memiliki dendam, kebencian dan orang-orang yang mempunyai energi negatif berlebihan. Siapa yang sudah terinfeksi oleh virus ini, dia akan kehilangan kesadarannya, kekuatannya dapat berlipat-lipat ganda, dan tidak bisa mengendalikan tubuhnya." Guru menjelaskan."Kenapa tidak ada yang ingin menghancurkan menara terkutuk itu. Aku yakin di luar sana banyak orang hebat.""Menara itu kukuh, tidak sembarang orang bisa menghancurkannya, lagi pula letak menara itu berada di kediaman bangsa iblis, sebelum sampai ke sana, mereka akan mati dibunuh iblis."Aku bersandar ke pohon, menatap langit. Sudah ribuan tahun Nobel menjadi rebutan antara manusia dan iblis. Kenapa tidak hidup berdampingan saja. Seperti manusia, hewan dan tumbuhan yang ada di hutan kehidupan ini."Indra, usia kamu sebentar lagi 17 tahun. Kemampuan bertarungmu sudah hebat, maka pergilah mencari ayahmu. Apa kamu tidak ingin melihat ayahmu?""Aku tidak peduli dengan dia, tanpanya aku bisa hidup." Aku melempar kerikil ke sembarang arah. "Tapi guru, aku ingin membebaskan negeri ini dari bangsa iblis. Aku akan menghancurkan Menara Olympus itu.""Memang seharusnya kamu harus pergi dari hutan ini, Indra. Temui ayahmu maka kamu akan mengetahui asal-usulmu."Aku pergi bukan untuk mencari pria brengsek itu. Aku adalah keluarga Ras Triton, tidak peduli dari ras apa aku lahir."Indra, aku memberimu buku setiap hari supaya kamu tahu isi dunia ini. Menjadi bekal pengetahuan kamu untuk menjelajahi Nobel, tapi kamu tidak pernah menyelesaikan buku yang kamu baca sampai akhir."Aku mengangguk. Setiap hari guru memberiku sebuah buku, padahal aku bukan orang yang suka membaca, tetap saja dia memaksa untuk membacanya sampai habis. Itu percuma, aku tidak dapat menemukan ras bermata merah di setiap buku yang aku baca.Para warga melambaikan tangan menemani kepergianku. Ini pertama kalinya aku melihat dunia luar hutan kehidupan. Dari buku yang aku baca. Nobel adalah dunia peperangan. Aku sangat antusias ingin melawan orang-orang hebat di dalamnya."Selamat jalan, Indra.""Hati-hati di jalan ya.""Aku pasti kangen denganmu.""Tanpa si pendek makananku akan tahan sampai satu bulan. Selera makanmu yang kuat itu membuat aku selalu kangen padamu, pendek.""Jangan memanggilnya pendek, dia akan marah. Kita harus membuatnya senang untuk terakhir kalinya.""Sampai jumpa semuanya!" Aku berteriak sambil melambaikan tangan. Mereka baik, sedangkan aku selalu menyusahkannya.Aku naik ke batang pohon, melompat dari batang pohon satu ke batang pohon lainnya. Semangatku berkobaran, tidak tahan ingin melihat dunia luar.Dibawah sana seekor rusa sedang memakan rumput dengan santainya, sementara di sampingnya ada singa yang sedang mengawasi. Singa itu tidak berselera makan daging rusa, ia memilih mengunyah rumput di depannya.Hewan di dalam hutan kehidupan tidak ada yang karnivora, mereka semua herbivora, pemakan tumbuhan, begitu juga dengan aku dan Ras Triton. Oleh sebab itu kami tidak saling membunuh, hidup berdampingan dengan alam.Aku lompat dari pohon, sandalku menindih rumput. Sebentar lagi sampai di kerajaan Manggo, aku tidak ingin mereka terkejut ada manusia yang bisa lompat jauh.Dalam perjalanan gerombolan lebah mengikutiku di atas kepala, aku tahu mereka akan menyerangku. Hewan yang licik, jika berani lawan satu-satu denganku.Aku tidak menghiraukannya. Suaranya memekakkan telinga, berisik sekali. Aku terus berjalan santai, sebentar lagi juga lebah-lebah ini akan mati.Benar saja, hutan kehidupan ini akan melakukan tugasnya, melindungi aku. Akar-akar berduri menyerang lebah itu, menusuknya satu persatu. Aku tetap jalan, tidak menghiraukan pertempuran yang sedang terjadi di atas kepalaku.Tidak lama, lebah-lebah itu mati, tubuhnya tertanam di batang pohon. Hutan kehidupan ini mempunyai aturannya sendiri, jika kamu sopan dia akan segan.Aku berhasil keluar dari hutan. Lihat lah, pemandangan yang belum pernah aku nikmati terpampang indah di hadapanku.Bukit-bukit berbaris rapi melingkari Kerajaan Manggo, air jernih mengalir di sungai yang terbentang ke seluruh daratan Manggo. Air itu jatuh dari tebing tempat aku berada. Pemandangan hijau, tanah tertutup rerumputan.Ada bukit paling tinggi diantara yang lain, di atas bukit itu berdiri istana kukuh dan megah. Di samping istana itu ada patung raksasa, tingginya melebihi istana.Patung raksasa itu mempunyai dua tanduk besar. Mata, hidung dan bagian-bagian wajahnya diukir sempurna, sangat nyata.Rumah mereka tidak seperti ras Triton yang tinggal di dalam pohon. Tempat tinggal mereka pendek, dari batu-batu yang disusun menjadi satu dan atap yang berbentuk segitiga.Aku menarik napas, menghirup udara segar, sangat damai. Telingaku bergerak-gerak, menangkap suara dari kejauhan."Tolong! Tolong! Jangan mendekat!" Suara teriakan seorang wanita, keberadaannya tidak jauh dari tempatku berada.Aku segera lompat dari tebing, menelusuri suara itu. Dia dalam bahaya, aku harus menolongnya."Tolong! Tolong! Tolong!" Seorang gadis terpojok di balik tiga pria berbaju hitam, ia memundurkan dirinya sampai punggungnya menyentuh dinding. Aku bisa menebang bagaimana raut wajah ketakutannya. Dia pasti berjongkok sambil menangis, wajahnya memelas minta dikasihani. "Kau tidak bisa lari lagi." ucap salah satu pria itu."Kau jangan melawan, kami tidak akan menyakitimu. Mari ikut kami dan temui bos kami." "Kenapa bos menginginkan bocah cengeng ini?" tanya pria yang berada di samping kanan.Mereka tidak menyadari ada pria tampan di belakang yang akan meremukkan tulang belulang mereka. Cahaya redup di sebuah gang yang terapit dinding sulit melarikan diri untuk mereka yang terjebak di dalamnya. Lalat berterbangan mengitari tumpukkan sampah di sisi dinding. Bau menyengat dari tong sampah mengundang mereka untuk berpesta di sana.Orang berlalu lalang di mulut gang, tidak peduli mengikuti urusan orang lain. Bahkan sebelum aku sampai mereka sudah mendengar gadis ini meminta tolong, tapi
Darah menetes dari kedua pedang yang dipegangnya. Matanya tajam menatap lawan, membuat mereka gentar. Perhatian mereka terganti pada seorang pria yang berdiri memasang kuda-kuda mantap. Satu pedangnya disodorkan ke depan, tangan kanan dia arahkan ke belakang. Ia siap mencincang-cincang lawan."Kenapa kalian diam saja, cepat serang pria itu!" Pemimpin mereka berteriak, menyuruh menyerang.Pria itu berjalan santai ke arah kami, menyabet orang yang menyerangnya, tangannya kukuh memegang hulu pedang. Dia pandai menggunakan pedang, keduanya seakan menari-nari memusnahkan lawan.Tinggal dua orang tersisa, mereka menyerah, memutuskan melarikan diri. Jika aku jadi pria itu, tidak akan kubiarkan mereka keluar dari gang ini hidup-hidup."Cepat, kita pergi dari sini." Pria itu menarik tangan gadis itu, berlari keluar gang, meninggalkanku."Hei, tunggu! Kalian mau kemana?" Aku berlari mengikuti mereka.Kedua pedangnya di simpan kembali ke sarungnya yang terikat di pinggang. Kain berwarna merah di
Dari luar bangunan ini sungguh buruk, tidak ada ukiran-ukiran cantik atau model rumah keren seperti di buku-buku. Hanya tumpukkan batu yang disusun rapi. Tapi lihat lah betapa indah keadaan di dalam rumah ini. Dinding batu dia gambar sebuah perkotaan yang sungguh damai. Rumah-rumah terbuat dari kayu, jendel lebar sepanjang dinding, pohon dengan bunga berwarna merah tumbuh disetiap halaman rumah, bulan purnama bersinar sejuk, lampu-lampu jalan menyalah.Sisi sebelahnya ada ukiran sungai, airnya mengalir dari tebing-tebing. Ada daratan yang ditumbuhi pohon berdaun merah, di bawah pohon berdiri sebuah rumah kayu."Ruangan ini keren." Mataku terus menelusuri dinding. Jemariku merabah setiap detail-detail yang terukir."Papaku yang membuatnya, dia ingin kami selalu mengingat negeri kami." Rai membalik lembar demi lembar buku yang sedang ia baca.Rai menghembus napas kecewa, kemudian mengambil buku lain di lemari. Selama membaca, sesekali ia melirikku, mengamatiku dari ujung kepala hingga ka
Ada apa dengan badak ini. Dia seperti mempunyai sihir. Aku yakin sekali bahwa cula di kepalanya hanya ada satu, tapi kenapa sekarang menjadi empat. Atau jangan-jangan nanti akan tumbuh lima, enam, dan seterusnya. Sial, aku tidak bisa lari lagi. Punggungku sudah menyentuh dinding rumah, sedangkan badak ini terus berlari mengejar. Aku bukan hanya bisa bertarung, lompatku juga tinggi. Aku tersenyum. Ayo kemari badak. Persis saat badak itu berada satu meter di hadapanku, aku segerah lompat ke belakangnya. Badak itu menyungkur dinding.Rumah bergetar hebat. Gawat, kuat sekali sungkurannya, bagaimana kalau rumah itu roboh. Rai dan Aruna masih ada di dalam.Badak itu berbalik menatapku dengan mata memerah. Dia sangat marah, merasa dibohongi. Kembali menyerang.Aku menghirup udara bersih, mataku tertutup, menikmati segarnya alam Kota Seed yang asri. Jiwaku damai, tentram, fokusku bertambah. Namun, badak itu mengejutkanku. "Kali ini kau tidak bisa menghindar." ucapnya dengan nada marah.Dia b
Rai menarik tanganku. Tiga orang anggota mereka baru saja datang dari belakang kami. Rai melompat naik ke atas atap toko, aku mengikuti. Kami bersembunyi tengkurap di atap sambil melihat situasi.Ternyata satu dari ketiga orang itu merupakan komandan mereka. Ia mengenakan jaket berwarna biru dengan gambar yang sama. Tubuhnya gempal, pendek, memakai topi bundar."Berikan kalung berlian milikmu ibu toko." Komandan itu memanggul gadanya ke pundak."Anakku yang menyimpannya."Bummm ….Pemimpin pasukan elit menendang ibu itu sampai tubuhnya terpelanting. "Cepat berikan!" bentaknya.Para warga terpaku, berseru tertahan, menutup mulutnya. Anak-anak memeluk tubuh ibunya, menangis. Mereka kasihan dengan ibu itu, tapi apa daya, mereka tidak bisa apa-apa. Rai menatapku, ia takut aku tidak dapat mengendalikan diri. Aku berusaha menahan amarah yang menggebu-gebu di dalam dadaku. Tanganku terkepal, urat-uratnya terlihat.Hingar-bingar yang merupakan ciri khas pasar tidak terdengar lagi. Siapa yang
"Kenapa kita harus lari, Rai?" Aku membuang kumis palsu, melepas baju tebal dan kacamata, sambil berlari menghindari serangan para anggota Robber."Mereka terlalu banyak." Rai menendang anggota kelompok Robber yang menghalangi jalannya, ia tidak bisa menggunakan pedang, kedua tangannya memegang dua plastik kantong berisi bumbu dapur yang kami beli."Mereka lemah, Rai. Kita bisa menghabisinya." Aku menangkis pukulan anggota Robber, tanganku terangkat, tinjuku terarah tepat ke wajah musuh. Mendadak Rai berlari mendahuluiku, menarik tanganku."Cepat lari, Indra." "Kenapa kamu lemah sekali, Rai, kamu yang membuat keributan ini, kamu harus bertanggung jawab." Rahangku mengeras, menahan kesal. Rai terus menarik tanganku.Tiba-tiba pergerakan Rai terhenti, aku menabrak tubuhnya. Dia melihat ke belakang, suara jeritan terdengar nyaring."Aaa!" Para warga berlarian. Anggota kelompok Robber pada terkapar ke tanah.Suara tertawa terdengar lantang. Pria itu berwujud hitam, kukunya tajam, urat di
Aruna marah. Rai hanya membeli bumbu dapur, daging dan ikan titipannya tidak ada di dua kantong plastik yang dia letakkan di atas meja begitu saja. Sesampainya di rumah, Rai segera masuk ke ruangan favoritnya, membaca sebuah buku.Dari percakapan kami di pinggir sungai. Rai bisa menebak kalau indera perabaku bisa menetralkan virus iblis. Aku tidak akan bisa menang melawan raksasa beruang yang notabennya lebih besar dan lebih kuat tanpa mengeluarkan virus iblis itu terlebih dahulu.Ibu penjual sayur mengajak kami datang ke rumahnya, dia akan memasak makanan untuk kami sebagai tanda terima kasih. Rai menolak permintaan ibu itu, dia mengajakku lari sebelum Komandan S Twu datang.Komandan S Twu adalah komandan kedua di Kelompok Robber, jabatannya satu tingkat lebih tinggi dari Komandan S Three. Bisa saja kekuatan dan anggota kelompok elitnya bisa sangat kuat dibanding anggota S Three.Para warga memanggilku Reinkarnasi Dewa tanah yang sudah mereka tunggu sejak 50 tahun yang lalu dari kemat
Waw, ini luar biasa. Bukan hanya mudah menemukan tempat persembunyian kami, dia juga membawa ribuan anggota Kelompok Robber untuk mengepung kami. Tidak ada sisi untuk melarikan diri. Mereka berdiri serampak mengitari."Kembalikan gadis itu, dia milik bos kami." ucapnya dengan santai sambil perlahan maju mendekat. Dia tidak membawa alat untuk bertarung, dia juga tidak gegabah untuk memerintahkan pasukannya untuk menyerang."Kenapa S One memintaku membawa pasukan sebanyak ini hanya untuk melawan dua remaja ini. Takut sekali aku gagal mendapatkan Aruna." Pria berbadan kekar dan tinggi itu berjalan sambil mengomel."Ayo, pergi denganku, Aruna." Komandan S Twu menjulurkan tangannya, meminta Aruna menangkap tangan itu kemudian kabur bersamanya. Dia juga tersenyum menyapa aku dan Rai.Rai bersiaga memegang hulu kedua pedangnya. Aku meremas jemari. Dia tidak takut kami menyerangnya tiba-tiba, sedekat itu dengan kami layaknya teman yang tidak bertemu lama."Huuu." Komandan S Twu menarik tangann