Darah menetes dari kedua pedang yang dipegangnya. Matanya tajam menatap lawan, membuat mereka gentar. Perhatian mereka terganti pada seorang pria yang berdiri memasang kuda-kuda mantap. Satu pedangnya disodorkan ke depan, tangan kanan dia arahkan ke belakang. Ia siap mencincang-cincang lawan.
"Kenapa kalian diam saja, cepat serang pria itu!" Pemimpin mereka berteriak, menyuruh menyerang.Pria itu berjalan santai ke arah kami, menyabet orang yang menyerangnya, tangannya kukuh memegang hulu pedang. Dia pandai menggunakan pedang, keduanya seakan menari-nari memusnahkan lawan.Tinggal dua orang tersisa, mereka menyerah, memutuskan melarikan diri. Jika aku jadi pria itu, tidak akan kubiarkan mereka keluar dari gang ini hidup-hidup."Cepat, kita pergi dari sini." Pria itu menarik tangan gadis itu, berlari keluar gang, meninggalkanku."Hei, tunggu! Kalian mau kemana?" Aku berlari mengikuti mereka.Kedua pedangnya di simpan kembali ke sarungnya yang terikat di pinggang. Kain berwarna merah di lengannya melambai-lambai terbawa angin. Kaos berwarna hijau dengan celana hitam panjang. Mereka berlari menjauhi kepadatan kota.Aku membantu gadis itu, tetapi mereka malah meninggalkanku begitu saja. Dari awal memang ada yang aneh dengan mereka dan kelompok yang dipanggil Robber.Aku mengejar mereka, melompat di atas atap dari rumah ke rumah. Aku berhasil menyamakan posisi, lompat turun."Tunggu." Aku menepuk pundak pria itu. Dia berhenti kemudian menyabetkan pedangnya ke arahku, untung saja aku cepat menunduk, jika tidak kepalaku akan terputus."Cepat!" Dia kembali menarik tangan gadis itu, berlari begitu saja tanpa berkata apapun."Hei, aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin menyelamatkan gadis ini, kenapa kalian lari?"Mereka tidak menjawab, raut wajahnya tegang.Aku kembali ke tempat dimana pertama kali datang. Di tepi sungai pinggir tebing, ada rumah terbuat dari batu, berdiri sendiri. Rumah pertama yang aku lihat ternyata milik mereka.Aku tinggal di Banua Utara, lebih tepatnya, aku sekarang berada di Kota Seed. Kota terpojok dari Kerajaan Manggo. Di atas tebing sana hutan kehidupan, tanah kelahiranku.Gren, keturunan dari raja sebelumnya. Dia yang membuat negeri ini bisa berkembang walau berada di ujung Banua. Perjuangannya untuk menempati posisi raja sangat lah besar.Aku menyesal tidak membaca buku sejarah Nobel sampai selesai. Saking banyaknya halaman membuatku ingin muntah. Aku tidak tahu kakek mendapatkan buku tua itu dari mana.Mereka memasuki rumah itu, aku segera menyelinap masuk sebelum pintu ditutup.Gadis itu membungkukkan tubuhnya sambil mengangkat sedikit rok pendeknya dengan anggun. "Terima kasih sudah menyelamatkanku." ucapnya, kemudian berlalu memasuki salah satu ruangan."Apa sekarang kita aman?" tanyaku pada pria yang sedang menggantung kedua pedangnya di dinding."Rumah ini tidak banyak yang tahu." jawab pria itu. "Jika mereka tidak melihat kita masuk, berarti kita aman.""Kenapa kalian lari? Kita kan sudah mengalahkan mereka?""Mustahil untuk mengalahkan kelompok besar semacam Robber. Jika kita tidak segera lari mereka akan terus berdatangan menyerang, membuat kita kehabisan tenaga, belum lagi para komandan sudah turun tangan. Nyawa kita akan melayang."Gadis itu keluar ruangan membawa makanan, dia meletakkannya di atas meja. "Mari kita makan. Anggap saja hadiah terima kasih dariku.""Ayo makan." Pria itu menuju meja makan, duduk sila di lantai. Ia mencuci tangannya pada wadah yang sudah terisi air.Cara makan mereka berbeda dengan kami di hutan kehidupan. Setiap pagi kami makan bersama-sama, satu warga berkumpul di halaman, duduk berbaris di depan meja panjang yang sudah tersedia berbagai sayur-mayur. Para wanita di desa kami yang membuat makanan, sedang para pria pergi mencari kayu bakar.Meja mereka pendek, tidak ada kursi, duduk sila di lantai, juga tidak menggunakan garpu dan sendok."Kenapa tidak ada sayur?" tanyaku setelah melihat menu makanan yang dibuat gadis itu."Persediaan sayur kami habis, aku lupa membelinya di pasar." jawab gadis itu."Siapa namamu?" pria itu bertanya, mulutnya terus mengunyah makanan."Indra.""Coba rasakan daging rusa buatan Aruna, Indra, kamu pasti menyukainya." Dia melirik ke samping, menyuruhku duduk."Aku tidak memakan daging."Mulut pria itu terhenti, begitu juga dengan tangan gadis berponi yang ingin mengambil daging. "Kamu dari mana, Indra?" tanya pria itu."Mana ada manusia yang tidak memakan daging." ucap gadis itu.Aku duduk di sebelah pria itu, mulai menjelaskan. "Hutan kehidupan. Berada di atas tebing itu. Tempat kami mempunyai peraturannya tersendiri, tidak boleh menyakiti sesama makhluk hidup di dalamnya, kecuali tumbuhan yang bisa dimakan, sebab tumbuhan di sana Akan muncul kembali dalam waktu singkat, tidak ada habisnya.""Itu hutan ajaib, apa aku boleh berkunjung ke desamu. Aku ingin melukis di sana." ucap gadis itu."Aku pernah dengar hutan kehidupan, pikirku itu hanya rumor, ternyata memang ada di dunia nyata.""Aku sudah memperkenalkan diriku, sekarang giliran kalian. Siapa nama kalian?""Aku Rai dan dia Aruna.""Rai seni berpedangmu hebat juga.""Aku sudah bermain dengan pedang sejak kecil. Pedang adalah harta termahal yang aku punya, terutama kedua pedang itu." Rai menunjuk pedang yang tergantung di dinding. "Itu pemberian dari papaku." lanjutnya."Apa kamu tidak ingin mencoba masakan aku, Indra." ujar Aruna, gadis itu sifatnya berubah tidak seperti di dalam gang tadi.Mataku membola, kedua bibirku tertarik. Tidak pernah aku memakan makanan seenak ini. Ternyata rasa daging mengalahkan sayur-mayur kesukaanku.Aku mengambil banyak sekali daging, piringku tidak muat untuk menampungnya. Biarkan mereka bicara apa padaku. Aku tidak akan melewatkan rasa menakjubkan ini.Aruna membersihkan piring, makanan yang dibuatnya tidak tersisa, habis di makan. Aku yang paling banyak menghabiskan daging rusa itu, tulang belulang tertumpuk di piringku."Aku tebak kamu bukan human." Rai menggangguku yang sedang bersandar di tiang, meluruskan kaki sambil menunggu perutku memproses makanan, aku kenyang sekali."Kenapa?""Walaupun rambut dan alismu berwarna hitam sama sepertiku, tapi matamu bukan hitam, melainkan merah. Kamu beda denganku yang Ras Human. Lihat, Aruna Ras Human sepertiku. Mata dan alisnya hitam." Rai melirik Aruna yang sedang melukis."Tapi kenapa rambutnya pirang?""Mungkin terlalu banyak kena sinar matahari.""Rai!" Aruna melotot, kemudian kembali menatap kanvas dihadapnya, tangannya memegang kuas, menari-nari membentuk sebuah gambar."Aku juga tidak tahu berasal dari ras mana?""Kalau gitu mari kita cari tahu." Rai berdiri, dia berjalan mendekati salah satu ruangan di dalam rumah."Ayo, apa kamu tidak ingin tahu rasmu, Indra."Aku ingin mengetahui dari ras mana aku ini, tapi dalam pikiranku aku memohon semoga ayah dan ibuku berbeda ras, lalu aku keturunan ras dari ibuku. Tidak ingin keturunan dari ras ayah.Dari luar bangunan ini sungguh buruk, tidak ada ukiran-ukiran cantik atau model rumah keren seperti di buku-buku. Hanya tumpukkan batu yang disusun rapi. Tapi lihat lah betapa indah keadaan di dalam rumah ini. Dinding batu dia gambar sebuah perkotaan yang sungguh damai. Rumah-rumah terbuat dari kayu, jendel lebar sepanjang dinding, pohon dengan bunga berwarna merah tumbuh disetiap halaman rumah, bulan purnama bersinar sejuk, lampu-lampu jalan menyalah.Sisi sebelahnya ada ukiran sungai, airnya mengalir dari tebing-tebing. Ada daratan yang ditumbuhi pohon berdaun merah, di bawah pohon berdiri sebuah rumah kayu."Ruangan ini keren." Mataku terus menelusuri dinding. Jemariku merabah setiap detail-detail yang terukir."Papaku yang membuatnya, dia ingin kami selalu mengingat negeri kami." Rai membalik lembar demi lembar buku yang sedang ia baca.Rai menghembus napas kecewa, kemudian mengambil buku lain di lemari. Selama membaca, sesekali ia melirikku, mengamatiku dari ujung kepala hingga ka
Ada apa dengan badak ini. Dia seperti mempunyai sihir. Aku yakin sekali bahwa cula di kepalanya hanya ada satu, tapi kenapa sekarang menjadi empat. Atau jangan-jangan nanti akan tumbuh lima, enam, dan seterusnya. Sial, aku tidak bisa lari lagi. Punggungku sudah menyentuh dinding rumah, sedangkan badak ini terus berlari mengejar. Aku bukan hanya bisa bertarung, lompatku juga tinggi. Aku tersenyum. Ayo kemari badak. Persis saat badak itu berada satu meter di hadapanku, aku segerah lompat ke belakangnya. Badak itu menyungkur dinding.Rumah bergetar hebat. Gawat, kuat sekali sungkurannya, bagaimana kalau rumah itu roboh. Rai dan Aruna masih ada di dalam.Badak itu berbalik menatapku dengan mata memerah. Dia sangat marah, merasa dibohongi. Kembali menyerang.Aku menghirup udara bersih, mataku tertutup, menikmati segarnya alam Kota Seed yang asri. Jiwaku damai, tentram, fokusku bertambah. Namun, badak itu mengejutkanku. "Kali ini kau tidak bisa menghindar." ucapnya dengan nada marah.Dia b
Rai menarik tanganku. Tiga orang anggota mereka baru saja datang dari belakang kami. Rai melompat naik ke atas atap toko, aku mengikuti. Kami bersembunyi tengkurap di atap sambil melihat situasi.Ternyata satu dari ketiga orang itu merupakan komandan mereka. Ia mengenakan jaket berwarna biru dengan gambar yang sama. Tubuhnya gempal, pendek, memakai topi bundar."Berikan kalung berlian milikmu ibu toko." Komandan itu memanggul gadanya ke pundak."Anakku yang menyimpannya."Bummm ….Pemimpin pasukan elit menendang ibu itu sampai tubuhnya terpelanting. "Cepat berikan!" bentaknya.Para warga terpaku, berseru tertahan, menutup mulutnya. Anak-anak memeluk tubuh ibunya, menangis. Mereka kasihan dengan ibu itu, tapi apa daya, mereka tidak bisa apa-apa. Rai menatapku, ia takut aku tidak dapat mengendalikan diri. Aku berusaha menahan amarah yang menggebu-gebu di dalam dadaku. Tanganku terkepal, urat-uratnya terlihat.Hingar-bingar yang merupakan ciri khas pasar tidak terdengar lagi. Siapa yang
"Kenapa kita harus lari, Rai?" Aku membuang kumis palsu, melepas baju tebal dan kacamata, sambil berlari menghindari serangan para anggota Robber."Mereka terlalu banyak." Rai menendang anggota kelompok Robber yang menghalangi jalannya, ia tidak bisa menggunakan pedang, kedua tangannya memegang dua plastik kantong berisi bumbu dapur yang kami beli."Mereka lemah, Rai. Kita bisa menghabisinya." Aku menangkis pukulan anggota Robber, tanganku terangkat, tinjuku terarah tepat ke wajah musuh. Mendadak Rai berlari mendahuluiku, menarik tanganku."Cepat lari, Indra." "Kenapa kamu lemah sekali, Rai, kamu yang membuat keributan ini, kamu harus bertanggung jawab." Rahangku mengeras, menahan kesal. Rai terus menarik tanganku.Tiba-tiba pergerakan Rai terhenti, aku menabrak tubuhnya. Dia melihat ke belakang, suara jeritan terdengar nyaring."Aaa!" Para warga berlarian. Anggota kelompok Robber pada terkapar ke tanah.Suara tertawa terdengar lantang. Pria itu berwujud hitam, kukunya tajam, urat di
Aruna marah. Rai hanya membeli bumbu dapur, daging dan ikan titipannya tidak ada di dua kantong plastik yang dia letakkan di atas meja begitu saja. Sesampainya di rumah, Rai segera masuk ke ruangan favoritnya, membaca sebuah buku.Dari percakapan kami di pinggir sungai. Rai bisa menebak kalau indera perabaku bisa menetralkan virus iblis. Aku tidak akan bisa menang melawan raksasa beruang yang notabennya lebih besar dan lebih kuat tanpa mengeluarkan virus iblis itu terlebih dahulu.Ibu penjual sayur mengajak kami datang ke rumahnya, dia akan memasak makanan untuk kami sebagai tanda terima kasih. Rai menolak permintaan ibu itu, dia mengajakku lari sebelum Komandan S Twu datang.Komandan S Twu adalah komandan kedua di Kelompok Robber, jabatannya satu tingkat lebih tinggi dari Komandan S Three. Bisa saja kekuatan dan anggota kelompok elitnya bisa sangat kuat dibanding anggota S Three.Para warga memanggilku Reinkarnasi Dewa tanah yang sudah mereka tunggu sejak 50 tahun yang lalu dari kemat
Waw, ini luar biasa. Bukan hanya mudah menemukan tempat persembunyian kami, dia juga membawa ribuan anggota Kelompok Robber untuk mengepung kami. Tidak ada sisi untuk melarikan diri. Mereka berdiri serampak mengitari."Kembalikan gadis itu, dia milik bos kami." ucapnya dengan santai sambil perlahan maju mendekat. Dia tidak membawa alat untuk bertarung, dia juga tidak gegabah untuk memerintahkan pasukannya untuk menyerang."Kenapa S One memintaku membawa pasukan sebanyak ini hanya untuk melawan dua remaja ini. Takut sekali aku gagal mendapatkan Aruna." Pria berbadan kekar dan tinggi itu berjalan sambil mengomel."Ayo, pergi denganku, Aruna." Komandan S Twu menjulurkan tangannya, meminta Aruna menangkap tangan itu kemudian kabur bersamanya. Dia juga tersenyum menyapa aku dan Rai.Rai bersiaga memegang hulu kedua pedangnya. Aku meremas jemari. Dia tidak takut kami menyerangnya tiba-tiba, sedekat itu dengan kami layaknya teman yang tidak bertemu lama."Huuu." Komandan S Twu menarik tangann
Aku bersiap memasang kuda-kuda. Kedua tanganku terangkat mengepal jemari erat. Pandanganku tetap fokus menatap lawan. Aku tidak akan terpincut kepada anggotanya yang menjauh melingkari lapangan pertarungan. Komandan S Twu sangat cepat, sedikit saja aku lengah itu kesempatan yang sangat berharga baginya.Rai dan Aruna melihat kami dari belakang. Tubuh Rai bersandar ke dinding rumah, Aruna berdiri menatap tegang.Setiap pagi aku selalu latihan dan hari ini aku mendapatkan teman latihan yang benar-benar bertarung tanpa ragu. Aku akan melakukan sekuat tenagaku untuk melawannya, Komandan S Twu sudah terpancing amarah, dia pasti tidak segan-segan membunuh musuhnya seperti yang ia katakan tadi.Tendangannya yang mengenai perutku itu merupakan tanda jika tenaganya memang besar. Terlebih kaki kanannya yang menendang Rai sampai terpelanting. Komandan S Twu menyerang duluan, dia berlari ke arahku. Rumput bergoyang tersibak angin. Pukulannya berhasil aku tangkis, kemudian aku balas dengan menenda
"Hentikan!" Aruna menjerit sangat kencang. Bumi bergoyang, burung-burung di hutan kehidupan berterbangan. Karakal berjatuhan, air sungai bermuncratan, meluap, banjir sampai mengenai kakiku.Komandan S Twu menghentikan pergerakannya sejenak, melihat sekitar. Anggota Kelompok Robber berhamburan, berteriak-teriak menyebut kata gempa. Aruna berusaha melepaskan diri dari cengkraman dua tangan anggota Robber yang tubuhnya lumayan kekar."Lihat itu!" Salah satu dari mereka menunjuk seekor badak yang berlari kencang, cula di atas kepalanya ada empat, menyungkur anggota Kelompok Robber yang terdekat."Aaa!" Tubuh mereka tergores-gores, mengeluarkan banyak darah. "Serang dia!" Anggota Keluarga Robber menyerang, tongkat kayu mereka patah.Badak itu menderu, membabi buta menyerang mereka tanpa ampun. Banyak anggota kelompok Robber tertusuk culanya, sebagian dari mereka mati, tidak tahan menahan rasa sakit.Seseorang melesat cepat seperti cahaya, tubuhnya melayang dua puluh sentimeter dari tanah,