Mendengar namanya di panggil Niko segera menyahut. "Saya Mbak."
Garin terkejut dan menoleh ke asal suara, menatap bingung pada pria yang barusan bicara.
"Saya Niko, Mbak."
Garin melongo kaget lalu kembali menoleh pada pria tampan yang nyaris mendekati kata sempurna itu. "Lalu pria ini siapa?"
"Dia Tuan Askan, Mbak. Majikan saya," akui pria yang bernama Niko tersebut.
Dari segi fisik sebenarnya Niko bukanlah pria yang jelek-jelek amat. Tapi, jika dibandingkan dengan pria yang bernama Askan ini tentulah sangat jauh berbeda.
"Saya bekerja sebagai sopirnya, Tuan Askan."
Garin menutup mulutnya sesaat, syok luar biasa mendengar penjelasan Niko.
"Maafin saya, s-saya tidak tahu kalau anda ini...."
Askan menggelengkan kepalanya, "tidak masalah." selanya tersenyum hangat yang langsung membuat Garin meleleh.
Tidak tersenyum saja sangat tampan. Apalagi ditambah dia tersenyum seperti ini. Astaga, sungguh luar biasa mahluk hidup ciptaanmu yang satu ini Tuhan.
Bolehkah dia jadi jodohku? batin Garin.
Oh, ya ampun! Apa yang aku pikirkan? Jodoh? Hadehhh! Sadar Garin, sadar! Jangan bermimpi terlalu ketinggian, nanti jatuh rasanya sakit banget tau. sambung batin Garin bermonolog.
"Hei!" pekik Askan kaget dengan reaksi tiba-tiba dari Garin yang memukuli kepalanya sendiri. "Ada apa? Kenapa memukuli kepalamu sendiri?"
"Memalukan...." lirih Garin keceplosan.
"What? Siapa yang memalukan?"
Garin menggeleng, "ah, tidak. Saya hanya asal bicara Tuan."
Askan terlihat bingung, Garin wanita yang aneh menurutnya. Sehingga dia mengangguk saja pada apa yang Garin katakan.
Walaupun aneh, namun dari segi fisik harus Askan akui kalau Garin adalah wanita yang cantik. Dan hampir mendekati kata sempurna.
Kalau untuk jadi pendamping hidupnya? Rasanya sangat pas dan cocok, dia yang tampan bersanding dengan wanita secantik Garin.
Eh, apa yang aku pikirkan? batin Askan tersenyum geli dengan pemikirannya sendiri.
Mereka baru bertemu ini, tapi Askan malah sudah berpikiran terlalu jauh. Astaga! Bagaimana kalau Garin sudah ada yang memiliki? Ah, iya. Mungkin saja kan?
"Kamu sudah menikah?"
"Hah?!" reaksi spontan Garin yang syok luar biasa dengan pertanyaan secara tiba-tiba dari Askan.
Tak hanya Garin saja, Niko dan Rina juga sama terkejutnya.
"S-saya tanya, apakah kamu sudah menikah?" ulang Askan gugup.
"Kenapa Tuan bertanya seperti itu?" tanya Niko berbisik di telinga Askan.
"Kenapa memangnya, Nik? Apa saya tidak boleh bertanya demikian?" balas Askan berbisik dengan nada sedikit sewot.
"B-bukan begitu Tuan, kan cukup aneh saja kalau tiba-tiba Tuan bertanya begitu."
"Cukup!" seru Askan mulai lelah dengan Niko yang suka sekali berbisik-bisik. "Saya bertanya seperti itu karena saya penasaran. Maka dari itu saya bertanya, dan saya harap Nona sudi menjawabnya." ucap Askan santun namun terkesan kaku.
Garin sendiri terlihat ragu ingin mengatakannya. "S-saya belum menikah Tuan."
"Bagus!" tukas Askan senang mendengarnya namun ia tahan ekspresi bahagia itu.
Niko yang tak mengerti maksud majikannya bertanya seperti itu pun hanya mengendikkan kedua bahunya tak acuh. Menurutnya, apapun itu bukanlah urusannya. Sedangkan Rina justru menangkap sesuatu hal dari Askan kepada putrinya. Bibirnya tersenyum senang saat dugaannya sangat yakin kalau Askan menyukai putrinya sejak pandangan pertama.
Ah, ada untung dan hikmahnya juga kejadian hari ini. Karena dia pingsan dijalan membuat ia bertemu dengan Askan. Oh, terima kasih Tuhan. batin Rina kesenangan.
***
Seminggu setelah kejadian di rumah sakit itu, Askan selalu kepikiran Garin. Kebayang wajah cantik gadis itu yang tak mau hilang dari pikirannya.
Sementara orang yang tengah di pikirin justru sibuk mencari pekerjaan kesana-kemari. Namun selama seminggu ini tak ada satupun perkejaan yang Garin dapat. Hingga ini puncaknya ia merasa lelah.
"Tidak!" Garin menggelengkan kepalanya kuat. Ia tidak boleh menyerah begitu saja.
Dengan sisa-sisa tenaganya Garin pun mencoba membangun semangat lagi. Ia harus segera mendapatkan perkejaan, jika tidak mau makan apa ia sama ibunya.
Tapi sampai sore hari pun Garin tetap tak mendapatkan pekerjaan. Gadis itu pulang dengan perasaan kecewa juga sedih.
Ibunya pasti marah dan ngomel-ngomel lagi padanya. Garin meringis saat teringat semalam, dia di usir sang ibu ketika pulang pada sore hari dengan masih membawa kabar belum mendapatkan perkejaan.
"Jangan kembali jika belum membawa kabar baik meskipun hari sudah sangat gelap!" itulah kata-kata yang diucapkan ibunya.
Garin melongos kaget melihat rumahnya yang di gembok. Itu artinya sang ibu tidak ada di rumah saat ini.
"Astaga, Ibu pergi kemana ya?" gumam Garin bertanya-tanya.
Garin pun mengambil ponselnya dari dalam tas selempangnya. Mencari nomor sang ibu untuk ia telepon.
Garin bernafas lega karena panggilan telepon tersambung, namun tak kunjung di angkat Rina. Saat Garin ingin menghubungi lagi terlihat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya.
"Siapa ya?" gumam Garin penasaran dan mengurungkan niatnya yang ingin kembali menelpon ibunya.
"Ibu!" pekik Garin kaget saat melihat sosok sang ibu keluar dari dalam mobil tersebut. Tak lama disusul sosok tampan yang seminggu ini mengacaukan pikirannya. Askan.
Pria itu menatap lekat Garin yang juga tengah menatapnya. Melangkah mendekatinya hingga berdiri tepat di hadapannya.
"Hai," sapa Askan tersenyum tipis. Hanya tipis, tapi sudah membuat Garin terpana.
"T-tuan Askan," panggil Garin dengan suara bergetar dan terbata.
"Kita bertemu lagi, Nona Garin."
Garin berdesir begitu mendengar namanya disebut Askan untuk yang pertama kalinya.
Sedikit tersentak Garin menoleh pada sang ibu yang menyentuh lembut bahunya. "Kamu baru pulang dari cari pekerjaan sayang?" tanya Rina dengan lembut.
Garin terkejut melihat sikap lembut Ibunya. Aneh! Tak biasanya seperti ini. pikir Garin yang tak lama langsung mengerti.
Ada Tuan Askan dan Pak Niko. batin Garin menebak.
Garin mengangguk, "iya Bu."
"Gimana nak hari ini? Lancar?"
Garin menggeleng lemah, "hasilnya masih sama Bu. Aku belum mendapatkan perkejaan lagi."
Tak di duga, ibunya tersenyum seraya berujar. "Tidak apa-apa sayang. Kuncinya harus sabar, dan Ibu yakin kamu pasti akan dapat pekerjaan lagi."
"Aminnn. Tapi, Ibu kenapa bisa bersama Tuan Askan?" tanya Garin yang hampir lupa menanyakan pertanyaan ini.
"Ah, itu-"
"Saya gak sengaja ngelihat Ibu Rina, dan saya menawarkan tumpangan untuk beliau pulang."
"Loh, memangnya Ibu habis darimana?" tanya Garin lagi terlihat penasaran.
Rina menggeram kesal dalam hati, ini putrinya kenapa menyebalkan sekali sih. Terlalu banyak tanya.
"Ibu dari.... Eh! Sayang, sebaiknya kita mengobrol di dalam." ucap Rina mengalihkan ucapannya. "Haduh, maaf ya Tuan Askan dan Pak Niko, saya dan Garin sampai lupa menawarkan untuk masuk ke dalam rumah."
"Ya sudah, ayo masuk." ajak Rina menyikut lengan putrinya. Kemudian Rina mengkode Garin lewat matanya.
Garin mengangguk kemudian juga ikut menawari masuk Askan dan Niko.
***
Flashback on.Hari ini Rina merasa suntuk sekali di rumah, hutang tak kunjung lunas eh anak semata wayangnya malah dipecat dari pekerjaannya. Uang pesangon Garin dan uang yang diberikan Tuan Askan waktu itu juga sudah ludes habis.Bagaimana tidak habis? Untuk kebutuhan makan setiap hari, untuk membayar uang sewa rumah yang menunggak. Dan belum lagi yang lainnya. Hadehhh! Kepala Rina rasanya mau pecah setiap kali memikirkan itu. Uang, uang, uang dan uang. Selalu saja uang yang menjadi pokok permasalahannya. Tidak! Hidupnya gak boleh terus-terusan seperti ini. Rina harus melakukan sesuatu hal untuk dapat merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Ya, Rina harus melakukan sesuatu. Tapi, apa caranya? "Tuan Askan...." gumam Rina tersenyum licik. Rina memutusk
Rina masih kesal bila mengingat beberapa waktu yang lalu. Mendengar jelas pengakuan Askan yang mencintai anaknya, bersamaan dengan pengakuan Askan yang lain yaitu mengenai pertunangannya."Saya dijodohkan oleh orangtua saya dengan anak dari sahabat Mama saya, Bu."Penjelasan Askan mengatakan alasan dirinya bertunangan. Hmm, apapun itu alasannya intinya sudah membuat rencana dan harapan Rina pupus seketika. Sebab Rina sudah berharap penuh jika Askan seorang lajang nyatanya tidak.Ah, sial! umpat batin Rina sebal.Sekarang, apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Rina gak mau menyerah begitu saja. Mumpung masih tunangan, tentu masih bisa dihancurkan hubungannya. Sedangkan yang sudah menikah saja banyak yang berakhir hancur karena ulah pelakor.Apa? Tidak, tidak. Itu hanya contohnya saja, bukan berarti Garin anaknya yang menjadi pelakor dalam hubungan orang lain.Rina
Garin menoleh kesal pada ibunya yang bisa-bisanya malah mengajak dirinya ke dalam rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dan tunangannya. Sebenarnya bukan mengajak sih, tapi lebih tepatnya menyuruh dan memaksa.Awalnya Garin juga terkejut dengan fakta yang Rina ceritakan, mengenai Askan yang ternyata sudah bertunangan dengan wanita lain karena dijodohkan oleh orang tuanya.Artinya pria itu sudah milik orang lain, dan Garin harus melupakannya. Mengenyahkan bayang-bayang Askan yang selalu menghantuinya."Pokoknya Ibu gak mau tahu, kamu harus nurut sama Ibu. Termasuk rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dengan wanita yang menjadi tunangannya. Mengerti?!""Tapi, Bu—""Garin, gak ada tapi-tapian ya. Ibu gak mau dengar penolakan kamu." sela Rina menatap garang Garin yang memang berniat menolaknya.Garin pasrah, percuma saja ia berusaha menolak dan membantah
Askan menggeram kesal, sejak tadi dering ponselnya tak mau berhenti. Membuat ia mau tidak mau bangun untuk meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping tempat tidur.Askan mengucek matanya yang sangat mengantuk sekali, cukup kaget saat melihat nama tunangannya yang tertera di layar ponsel.Putri? Ada apa dia menelponku jam segini? batin Askan bertanya-tanya.Pasalnya, jarang sekali Putri mengubunginya malam-malam begini.Karena saking penasarannya Askan pun akhirnya segera mengangkat panggilan telepon Putri yang tak kunjung berhenti."Hal-""As, tolong aku! Aku ketakutan ... Hiks!" ucap Putri menyela ucapan Askan yang belum selesai.Askan yang masih setengah mengantuk pun mendadak ngeblank. Tolong aku? Aku ketakutan?"Putri-""Askan aku mohon cepat datang kesini ya. Please!" pinta Putri bercampur isa
"Haduh! Duit udah habis, mana teman-teman ngajak kumpulan di cafe lagi." keluh Rina merasa pusing. Pasalnya uang yang waktu itu Askan kasih sudah habis tak bersisa.Sembari berjalan mondar-mandir Rina berpikir keras untuk mencari cara bagaimana mendapatkan uang. Setidaknya agar bisa berjalan lancar acara pertemuan hari ini dengan teman-temannya."Hmm, apa aku harus minta uang lagi ke Askan ya?" gumam Rina berpikir. "Tapi, alasan apa yang harus aku pakai?" Rina pun merasa dilema.Tidak mungkin jika Rina tiba-tiba datang menemui Askan hanya untuk meminta uang saja. Setidaknya kali ini Rina harus memiliki alasan.Seperti Garin sedang sakit mungkin, atau Garin sangat membutuhkan uang. Ya, Rina harus memakai nama Garin untuk alasannya. Biarlah Garin ia pojokan agar tujuannya berjalan mulus. pikir Rina tersenyum culas.Tanpa pikir panjang Rina pun dengan segera menghubungi nomor telepon Askan. D
"G-garin?" ulang Askan terbata."Iya, sekarang aku minta sama kamu untuk jawab jujur. Siapa itu Garin?" tuntut Putri penasaran."Garin itu ... Bukan siapa-siapa.""Bohong!" jerit Putri merasa kecewa. "Jelas-jelas kamu terlihat khawatir saat mendengar kabar Garin sakit dari sambungan telepon tadi.""Apa? Jadi kamu menguping pembicaraan aku?""Ya!" sahut Putri lantang. "Tak sengaja mendengar percakapan kamu tadi, lebih tepatnya.""Hmm, sama aja itu artinya dengan kamu menguping pembicaraan aku.""Ya terserahlah. Intinya sekarang aku mau kamu jawab jujur pertanyaan aku. Garin itu siapa kamu?""Aku 'kan udah jawab tadi, kalau Garin itu bukan siapa-siapa. Tapi kamu malah bilang aku bohong, aneh!""Aku bilang gitu karena aku yakin kamu cuma bohong.""Astaga! Terus aku harus jawab kayak gimana lagi? Karena memang
Garin yang masih pengangguran pun tentu saja lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Selama itulah ia jadi lebih tahu mengenai aktivitas ibunya sehari-hari seperti apa.Sebenarnya Garin sudah menaruh kecurigaan pada ibunya yang menurutnya sekarang lebih banyak membeli barang-barang mewah. Entah itu baju, tas, juga sepatu.Terkadang, Garin jadi bertanya-tanya darimana ibunya memiliki banyak uang sampai bisa membeli barang mewah bermerek cukup terkenal seperti itu."Ibu belanja lagi?" tanya Garin memperhatikan sang ibu yang terlihat kesenangan dengan barang-barang yang baru dibelinya."Iya, kenapa? Masalah buat kamu memangnya kalau Ibu belanja lagi?""Astaga! Kenapa Ibu se-sewot ini? Aku kan cuma bertanya Bu." Garin geleng-geleng kepala seraya mengelus dada."Hmm, tapi cara nanya kamu itu seakan-akan gak suka ngelihat Ibu belanja.""Bukannya aku gak suk
Garin pulang dengan perasaan yang teramat kesal dan juga amarah yang membumbung tinggi. Masih tak habis pikir dengan ibunya yang begitu tega menjadikannya alasan untuk membohongi Askan. Parahnya kebohongan yang di rancang ibunya adalah mengatakan Garin sakit.Ya, Garin sudah tahu tahu semuanya lewat Askan yang mengatakan langsung padanya yang saat itu juga masih bersama tunangannya. Syukurlah Vanny sudah pergi jadi Garin tak perlu harus bertambah malu di depan temannya.Garin tidak terima, dan untuk itu ia akan menanyakan langsung pada ibunya yang kenapa dengan sangat beraninya berbohong pada Tuan Askan dan mengatasnamakan dirinya sebagai alasan."Ya ampun! Kenapa sih Ibu senekat dan setega ini sama ku dan juga Tuan Askan?" gumam Garin yang masih tak habis pikirBahkan kini ibunya belum juga pulang, padahal ibunya sudah pergi dari pagi tadi.Garin melihat luar dari jendela rumahnya, hari s