Flashback on.
Hari ini Rina merasa suntuk sekali di rumah, hutang tak kunjung lunas eh anak semata wayangnya malah dipecat dari pekerjaannya. Uang pesangon Garin dan uang yang diberikan Tuan Askan waktu itu juga sudah ludes habis.
Bagaimana tidak habis? Untuk kebutuhan makan setiap hari, untuk membayar uang sewa rumah yang menunggak. Dan belum lagi yang lainnya.
Hadehhh! Kepala Rina rasanya mau pecah setiap kali memikirkan itu.
Uang, uang, uang dan uang. Selalu saja uang yang menjadi pokok permasalahannya.
Tidak! Hidupnya gak boleh terus-terusan seperti ini. Rina harus melakukan sesuatu hal untuk dapat merubah kehidupannya menjadi lebih baik.
Ya, Rina harus melakukan sesuatu. Tapi, apa caranya?
"Tuan Askan...." gumam Rina tersenyum licik.
Rina memutuskan untuk pergi setelah mengunci pintu rumahnya. Tujuannya adalah taman kota. Ya, itu adalah tempat dimana Rina bertemu dengan Askan dan Niko. Siapa tahu saja ia bisa bertemu lagi dengan pria itu disana.
"Ini semua gara-gara Garin," omel Rina setelah sampai di taman kota. "Coba aja tuh anak gak sok-sokan jual mahal. Pasti sekarang ini udah mulai hidup enak aku." sambungnya masih menyalahkan Garin yang memang menjaga jarak pada Askan. Saat itu mereka baru pertama kali bertemu, Garin yang sedikit pemalu tentu tak banyak bisa mengekspresikan diri di depan orang yang baru dikenal.
Dan yang paling membuat Rina kesal adalah saat Garin menolak memberikan nomor teleponnya pada Askan yang sudah merendahkan dirinya meminta langsung pada Garin.
"Gadis menyebalkan!" umpat Rina kesal.
Lebih kesal lagi ketika ia dengan bodohnya lupa memberikan nomor teleponnya pada Askan. Padahal kalau waktu itu ia memberikan nomor ponselnya pada Askan, maka sekarang ini ia tidak perlu repot-repot menunggunya seperti orang yang kurang kerjaan.
Berjam-jam berlalu tetapi Rina masih tetap setia menunggu Askan. Berharap penuh akan bertemu dengan pria itu disini. Meskipun kecil kemungkinan harapannya, tapi ya siapa tahu saja kan.
Namun sampai dua jam kemudian pun tak ada tanda-tanda kehadiran mobil Askan yang lewat. Rina menyerah, ia merasa sangat lelah dan memutuskan untuk pulang saja. Tetapi siapa yang menyangka bahwa ternyata keputusan Rina untuk pulang justru mempertemukannya dengan Askan dijalan.
"Mari saya antar," ajak Askan begitu baik dan perhatiannya menawarkan tumpangan untuk Rina yang sama tak menolak.
"Pas sekali kita bertemu lagi nak ada sesuatu hal yang ingin saya bicarakan dengan nak—ah, saya bolehkan memanggil Tuan dengan sebutan nak?"
"Iya, boleh Bu." sahut Askan mengizinkan. "Oh ya, sesuatu hal apa yang ingin Ibu bicarakan dengan saya?" tanya Askan penasaran.
"Mengenai itu ...." Rina melirik ke arah Niko yang cuek bebek saja sedari tadi.
Seolah mengerti maksud Rina, Askan pun angkat bicara mengenai supirnya bukanlah tipe orang yang kepo. "Dia bisa menjaga rahasia," ucap Askan mantap.
"Dan dia bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Jadi Ibu Rina tenang saja." sambung Askan mempercayai seribu persen pada Niko.
"Baiklah," Rina mengangguk setuju.
"Ayo masuk, Bu." Rina pun masuk ke dalam mobil tanpa diminta dua kali oleh Askan.
"Saya tahu kalau nak Askan ini menyukai putri saya." mulai Rina setelah mobil melaju sekitar beberapa menit yang lalu.
Askan cukup terkejut mendengarnya, namun sebisa mungkin ia menutupi ekspresi kagetnya. Mencoba tetap diam sembari mendengarkan semua ucapan Rina.
"Sebenarnya saya—tidak, maksudnya kami sedang ada sedikit masalah nak Askan."
"Masalah?" ulang Askan. "Masalah seperti apa ya, Bu?"
"Perekonomian, nak Askan. Karena banyaknya kebutuhan Garin yang harus Ibu penuhi. Hingga Ibu sekarang terlilit banyak hutang." Rina terisak sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Dibalik wajah yang tertutup itu Rina tersenyum puas, dan berharap Askan tersentuh akan ucapannya. Rina sama sekali tak merasa bersalah karena sudah memojokkan sang anak.
Ya, tak apalah sedikit menjelekkan Garin demi mendapatkan hasil yang maksimal. batin Rina sembari memikirkan kata-kata yang lebih menyentuh selanjutnya.
"Sebagai seorang wanita yang berperan ganda, tentulah tidak mudah nak Askan. Dimana di satu sisi yang lainnya Ibu juga harus berperan sebagai seorang ayah untuk Garin. Terkadang Ibu ingin bekerja keras seperti dulu, tetapi karena umur yang semakin bertambah membuat Ibu tak lagi kuat seperti waktu muda dulu." sambung Rina di sela-sela isakannya.
"Ibu tahu ini memang bukanlah urusanmu nak Askan. Dan tak seharusnya juga Ibu bercerita masalah kehidupan pribadi Ibu padamu. Hanya saja, Ibu butuh seseorang sebagai teman curhat Ibu. Butuh seseorang untuk mendengarkan segala keluh kesah dari seorang wanita paruh baya yang tidak tahu diri ini. Hiks...."
Askan merasa tak suka mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rina. "Ibu, janganlah bicara seperti itu."
"Tapi, memang seperti itu 'kan kenyataannya nak?"
Dengan cepat Askan menggelengkan kepalanya. "Ibu adalah wanita yang baik. Cerminan seorang Ibu yang luar biasa."
"Terima kasih nak, tapi kenapa kamu bisa langsung menilai begitu? Sedangkan kamu belum terlalu mengenal Ibu."
Askan tersenyum seraya menyentuh kedua telapak tangan Rina. "Ibu, jangan berpikiran buruk begitu. Jangan berpikiran kalau Ibu tidaklah baik."
"Ya ampun nak Askan, kamu sungguh bijak dan baik sekali. Kata-kata kamu sungguh menenangkan."
"Syukurlah, Bu, terima kasih."
"Nak Askan, menikahlah dengan anak Ibu." ucap Rina penuh harap.
"A-apa?" Askan syok luar biasa mendengarnya. "M-menikah dengan anak Ibu, maksudnya Garin?"
"Iya Garin anak saya, memangnya anak saya ada yang lainnya selain Garin?" Rina sedikit terkekeh melihat raut wajah Askan yang bingung dan kaget.
"Tapi, kenapa bisa Ibu meminta saya untuk menikahi Garin?" tanya Askan penasaran atas permintaan tiba-tiba dari Rina.
Batinnya punya bertanya-tanya, apakah Garin tidak memiliki kekasih alias jomblo seperti dirinya? Tapi, rasanya tidak mungkin gadis secantik Garin belum memiliki kekasih. Ya walaupun awalnya Askan senang karena sudah mengetahui bahwa Garin belum menikah. Tapi 'kan tidak menutup kemungkinan bahwa Garin belum memiliki kekasih hati.
"Jujur, saya merasa seperti ada keterikatan antara nak Askan dengan putri saya Garin. Tatapan kalian sama-sama menunjukkan ketertarikan." ucap Rina memulai dramanya. "Asal nak Askan tahu saja, bahwa seminggu ini setelah pertemuan kita di rumah sakit. Putri saya tak berhentinya memikirkan nak Askan. Ibu selalu memergokinya melamun sendirian, dan pernah dua kali Ibu mendengar Garin menyebut nama nak Askan."
Sepasang mata Askan mengerjap kaget, "benarkah itu Ibu?"
"Tentu, nak, Ibu mengatakan yang sebenarnya. Memangnya untuk apa Ibu berbohong soal ini. Gak ada untungnya 'kan?" Niko melirik sekilas Rina dari kaca spion.
Raut wajah Niko menunjukkan ketidaksukaan pada Rina yang menurutnya terlalu mencolok. Menurut Niko, Rina hanya bersandiwara tetapi ia lebih memilih bungkam. Tak ingin ikut campur urusan sang majikan.
Niko hanya berharap semoga saja bosnya tahu kalau Rina ini bukanlah orang yang baik.
"Nak Askan, Ibu mohon menikahlah dengan putri Ibu. Dia gadis yang baik dan gadis yang sangat cantik, bukan?"
Askan mengangguk, "ya, dia gadis yang cantik. Sangat cantik."
Rina tersenyum senang, "Garin tipe wanita yang malu. Dia tidak akan maju untuk menunjukkan perasaannya jika si pria yang disukainya pun tidak memulai sebuah pendekatan."
"Kalau boleh jujur, memang sebenarnya saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Garin." ucap Askan membuat Niko dan Rina sama-sama terkejut.
"Dan sejak pertemuan di rumah sakit waktu itu, saya juga tidak bisa berhenti memikirkan Garin. Dia selalu mengisi pikiran dan hati saya, wajahnya tak mau menghilang dari pandangan saya." sambung Askan tersenyum geli. "Terdengar konyol, bukan? Tapi memang itulah kenyataannya."
"Tak ada yang konyol bila menyangkut perasaan nak. Cinta bisa datang dan pergi kapan saja. Jatuh cinta bukanlah suatu kejahatan, yang jahat itu bila mencintai milik orang lain. Dan nak Askan mencintai putri saya yang masih lajang, begitu pun Garin mencintai nak Askan yang juga masih lajang, bukan?"
Keterdiaman Askan membuat Rina merasa gelisah. Apakah itu artinya pria tampan dan kaya di hadapannya ini sudah memiliki pasangan? batin Rina mulai dirundung perasaan cemas dan was-was.
"Nak Askan—"
"Maaf Bu," Askan menggelengkan kepalanya. "Saya sudah bertunangan."
Deg.
"A-apa? Tunangan?" ulang Rina yang diangguki Askan.
Sialan!
Rina masih kesal bila mengingat beberapa waktu yang lalu. Mendengar jelas pengakuan Askan yang mencintai anaknya, bersamaan dengan pengakuan Askan yang lain yaitu mengenai pertunangannya."Saya dijodohkan oleh orangtua saya dengan anak dari sahabat Mama saya, Bu."Penjelasan Askan mengatakan alasan dirinya bertunangan. Hmm, apapun itu alasannya intinya sudah membuat rencana dan harapan Rina pupus seketika. Sebab Rina sudah berharap penuh jika Askan seorang lajang nyatanya tidak.Ah, sial! umpat batin Rina sebal.Sekarang, apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Rina gak mau menyerah begitu saja. Mumpung masih tunangan, tentu masih bisa dihancurkan hubungannya. Sedangkan yang sudah menikah saja banyak yang berakhir hancur karena ulah pelakor.Apa? Tidak, tidak. Itu hanya contohnya saja, bukan berarti Garin anaknya yang menjadi pelakor dalam hubungan orang lain.Rina
Garin menoleh kesal pada ibunya yang bisa-bisanya malah mengajak dirinya ke dalam rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dan tunangannya. Sebenarnya bukan mengajak sih, tapi lebih tepatnya menyuruh dan memaksa.Awalnya Garin juga terkejut dengan fakta yang Rina ceritakan, mengenai Askan yang ternyata sudah bertunangan dengan wanita lain karena dijodohkan oleh orang tuanya.Artinya pria itu sudah milik orang lain, dan Garin harus melupakannya. Mengenyahkan bayang-bayang Askan yang selalu menghantuinya."Pokoknya Ibu gak mau tahu, kamu harus nurut sama Ibu. Termasuk rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dengan wanita yang menjadi tunangannya. Mengerti?!""Tapi, Bu—""Garin, gak ada tapi-tapian ya. Ibu gak mau dengar penolakan kamu." sela Rina menatap garang Garin yang memang berniat menolaknya.Garin pasrah, percuma saja ia berusaha menolak dan membantah
Askan menggeram kesal, sejak tadi dering ponselnya tak mau berhenti. Membuat ia mau tidak mau bangun untuk meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping tempat tidur.Askan mengucek matanya yang sangat mengantuk sekali, cukup kaget saat melihat nama tunangannya yang tertera di layar ponsel.Putri? Ada apa dia menelponku jam segini? batin Askan bertanya-tanya.Pasalnya, jarang sekali Putri mengubunginya malam-malam begini.Karena saking penasarannya Askan pun akhirnya segera mengangkat panggilan telepon Putri yang tak kunjung berhenti."Hal-""As, tolong aku! Aku ketakutan ... Hiks!" ucap Putri menyela ucapan Askan yang belum selesai.Askan yang masih setengah mengantuk pun mendadak ngeblank. Tolong aku? Aku ketakutan?"Putri-""Askan aku mohon cepat datang kesini ya. Please!" pinta Putri bercampur isa
"Haduh! Duit udah habis, mana teman-teman ngajak kumpulan di cafe lagi." keluh Rina merasa pusing. Pasalnya uang yang waktu itu Askan kasih sudah habis tak bersisa.Sembari berjalan mondar-mandir Rina berpikir keras untuk mencari cara bagaimana mendapatkan uang. Setidaknya agar bisa berjalan lancar acara pertemuan hari ini dengan teman-temannya."Hmm, apa aku harus minta uang lagi ke Askan ya?" gumam Rina berpikir. "Tapi, alasan apa yang harus aku pakai?" Rina pun merasa dilema.Tidak mungkin jika Rina tiba-tiba datang menemui Askan hanya untuk meminta uang saja. Setidaknya kali ini Rina harus memiliki alasan.Seperti Garin sedang sakit mungkin, atau Garin sangat membutuhkan uang. Ya, Rina harus memakai nama Garin untuk alasannya. Biarlah Garin ia pojokan agar tujuannya berjalan mulus. pikir Rina tersenyum culas.Tanpa pikir panjang Rina pun dengan segera menghubungi nomor telepon Askan. D
"G-garin?" ulang Askan terbata."Iya, sekarang aku minta sama kamu untuk jawab jujur. Siapa itu Garin?" tuntut Putri penasaran."Garin itu ... Bukan siapa-siapa.""Bohong!" jerit Putri merasa kecewa. "Jelas-jelas kamu terlihat khawatir saat mendengar kabar Garin sakit dari sambungan telepon tadi.""Apa? Jadi kamu menguping pembicaraan aku?""Ya!" sahut Putri lantang. "Tak sengaja mendengar percakapan kamu tadi, lebih tepatnya.""Hmm, sama aja itu artinya dengan kamu menguping pembicaraan aku.""Ya terserahlah. Intinya sekarang aku mau kamu jawab jujur pertanyaan aku. Garin itu siapa kamu?""Aku 'kan udah jawab tadi, kalau Garin itu bukan siapa-siapa. Tapi kamu malah bilang aku bohong, aneh!""Aku bilang gitu karena aku yakin kamu cuma bohong.""Astaga! Terus aku harus jawab kayak gimana lagi? Karena memang
Garin yang masih pengangguran pun tentu saja lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Selama itulah ia jadi lebih tahu mengenai aktivitas ibunya sehari-hari seperti apa.Sebenarnya Garin sudah menaruh kecurigaan pada ibunya yang menurutnya sekarang lebih banyak membeli barang-barang mewah. Entah itu baju, tas, juga sepatu.Terkadang, Garin jadi bertanya-tanya darimana ibunya memiliki banyak uang sampai bisa membeli barang mewah bermerek cukup terkenal seperti itu."Ibu belanja lagi?" tanya Garin memperhatikan sang ibu yang terlihat kesenangan dengan barang-barang yang baru dibelinya."Iya, kenapa? Masalah buat kamu memangnya kalau Ibu belanja lagi?""Astaga! Kenapa Ibu se-sewot ini? Aku kan cuma bertanya Bu." Garin geleng-geleng kepala seraya mengelus dada."Hmm, tapi cara nanya kamu itu seakan-akan gak suka ngelihat Ibu belanja.""Bukannya aku gak suk
Garin pulang dengan perasaan yang teramat kesal dan juga amarah yang membumbung tinggi. Masih tak habis pikir dengan ibunya yang begitu tega menjadikannya alasan untuk membohongi Askan. Parahnya kebohongan yang di rancang ibunya adalah mengatakan Garin sakit.Ya, Garin sudah tahu tahu semuanya lewat Askan yang mengatakan langsung padanya yang saat itu juga masih bersama tunangannya. Syukurlah Vanny sudah pergi jadi Garin tak perlu harus bertambah malu di depan temannya.Garin tidak terima, dan untuk itu ia akan menanyakan langsung pada ibunya yang kenapa dengan sangat beraninya berbohong pada Tuan Askan dan mengatasnamakan dirinya sebagai alasan."Ya ampun! Kenapa sih Ibu senekat dan setega ini sama ku dan juga Tuan Askan?" gumam Garin yang masih tak habis pikirBahkan kini ibunya belum juga pulang, padahal ibunya sudah pergi dari pagi tadi.Garin melihat luar dari jendela rumahnya, hari s
Teror kembali mengancam ketenangan Putri. Wanita itu pikir seminggu setelah teror waktu itu tidak akan terulang lagi. Tapi, nyatanya tidak.Beberapa hari ini ancaman teror semakin gencar menakut-nakutinya seperti hantu. Parahnya si peneror ini bahkan mengetahui sebuah rahasia besar yang selama ini ia sembunyikan dari tunangannya. Askan."Oh, shitt!" umpat Putri menggeram kesal. Bagaimana mungkin ia memiliki banyak uang malah tidak berdaya gini hanya karena sebuah ancaman teror ini.Meskipun begitu, Putri tetap berpikir keras untuk menemukan jalan keluar dari masalah ini. Karena sungguh ia mulai muak dan gerah dengan tingkah si peneror yang mulai melunjak.Putri yakin seratus persen bahwa masalah ini tidak akan selesai bila ia tinggal diam saja. Tapi, Putri takut kalau ia bertindak lebih jauh maka sesuatu rahasia yang ia sembunyikan dari Askan akan terbongkar."Ya Tuhan!" Putri mulai dilanda frustasi.Kenapa hal