Garin menoleh kesal pada ibunya yang bisa-bisanya malah mengajak dirinya ke dalam rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dan tunangannya. Sebenarnya bukan mengajak sih, tapi lebih tepatnya menyuruh dan memaksa.
Awalnya Garin juga terkejut dengan fakta yang Rina ceritakan, mengenai Askan yang ternyata sudah bertunangan dengan wanita lain karena dijodohkan oleh orang tuanya.
Artinya pria itu sudah milik orang lain, dan Garin harus melupakannya. Mengenyahkan bayang-bayang Askan yang selalu menghantuinya.
"Pokoknya Ibu gak mau tahu, kamu harus nurut sama Ibu. Termasuk rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dengan wanita yang menjadi tunangannya. Mengerti?!"
"Tapi, Bu—"
"Garin, gak ada tapi-tapian ya. Ibu gak mau dengar penolakan kamu." sela Rina menatap garang Garin yang memang berniat menolaknya.
Garin pasrah, percuma saja ia berusaha menolak dan membantah keinginan ibunya. Toh, ibunya tidak bisa mengerti dirinya.
Ibunya terlalu egois dan jahat, menyuruh dirinya untuk menjadi duri dalam hubungan orang lain. Sungguh ironis!
Bagaimanapun juga, Garin memiliki harga diri. Meskipun terlahir dari keluarga miskin, bukan berarti ia miskin pikiran dan hati. Siapapun akan merasa sangat sedih apabila hubungannya di usik dan berakhir hancur.
Dan hubungan yang berlandaskan merebut apa yang seharusnya menjadi milik orang lain juga tidak menjamin akan hidup bahagia. Bisa saja suatu saat, apa yang Garin lakukan ini juga akan diperbuat oleh wanita lain suatu saat nanti.
Dan jika hal itu terjadi maka Garin lebih berkali-kali lipat sedih dan hancurnya, sebab posisi Garin sudah menjadi seorang istri.
Tidak!
Garin menggelengkan kepalanya kuat, ia tidak mau hidup berumah tangga seperti itu.
Garin ingin cinta yang tumbuh dan berjalan secara alami, bukan cinta yang karena dipaksakan.
"Maaf, Bu, Garin menolaknya." ucap Garin memberanikan diri. "Bagaimanapun juga, rencana Ibu ini tidaklah baik. Bayangkan saja, merusak hubungan orang la—"
PLAKKK!
Ucapan Garin menggantung di udara ketika sebuah tamparan kuat dari ibunya mendarat pas di pipi putihnya yang mulus.
"Jangan sok suci jadi orang, Garin. Kadang kala orang harus berusaha sekuat tenaga dan sedikit berbuat curang demi tujuannya tercapai." kata Rina berapi-api oleh amarah yang menggulung dirinya. "Bukan hanya Ibu saja yang jahat, tapi banyak orang lain diluar sana yang mungkin lebih licik dari Ibu. Jadi, apa salahnya jika kita mencoba untuk menjadi salah satu bagian dari mereka?"
Garin memegang pipinya yang terasa sangat perih dan kebas. Tamparan ibunya sungguh sangat kuat. Astaga! Segitu emosinya kah ibunya hanya karena Garin menolak keinginannya?
"Ibu...." panggil Garin lirih dengan mata berkaca-kaca yang justru mendapat pelototan dari Rina.
"Apa?!" bentaknya murka. "Sakit kan pipinya kena tamparan Ibu? Makanya jadi anak jangan melawan sama orang tuanya. Apa yang orang tuanya bilang nurut, patuhi semua apa yang Ibu minta bukannya menolak kayak gini."
"Aku mau nurut kok, asal apa yang Ibu suruh adalah hal yang baik. Maka akan langsung aku kerjakan." ucap Garin berusaha membuat Rina mengerti. "Sedangkan yang Ibu minta adalah menghancurkan hubungan orang lain. Jelas saja aku tidak mau, Bu."
"Halahh! Banyak omong sekali kamu. Gak baik lah, gak inilah, gak itulah." cibir Rina mengejek, "semua ini juga bukan tanpa arti kok. Justru Ibu lakukan ini demi kebaikan kamu, nak."
Garin menggeleng, "bukan untuk kebaikanku. Tapi untuk tujuan Ibu agar tercapai, iya kan?"
"Y-ya, enggaklah sayang." Rina terlihat kaget dan kelabakan mendengarnya.
"Lalu apa, Bu? Rencana ini Ibu buat untuk apa kalau bukan demi kepentingan tujuan Ibu tercapai kan? Hmm, jawab jujur Bu." tuntut Garin meminta Rina untuk langsung berterus terang.
"Bu, aku ini sebenarnya anakmu bukan sih?" tanya Garin terisak.
"Garin, jaga bicaramu! Tentu saja kamu anak Ibu, aku yang mengandung dan melahirkanmu." sahut Rina tak terima dengan pemikiran Garin yang malah merasa bukan anaknya.
"Tapi, kenapa Ibu memperlakukan seperti ini? Kenapa aku merasa seperti anak tiri, Bu?"
"Garin!" jerit Rina Frustasi. "Cukup ya, Garin. Ibu gak mau dengar omongan kamu yang ngawur ini."
Garin tersenyum meringis, "selalu seperti itu. Ibu selalu marah bila aku mengungkit hal ini. Aku malah jadi semakin yakin, kalau aku memang bukan anak kandung Ibu!"
"Terserah." sahut Rina dengan nada kalem. "Terserah kamu aja mau ngomong apa. Ibu gak peduli, intinya Ibu sudah mengatakan yang sebenarnya dan sejujurnya."
Setelah mengatakan itu Rina melangkah pergi meninggalkan Garin yang terisak. Sebenarnya, ia merasa tidak yakin dengan ucapan sang ibu.
Karena Garin merasa diperlakukan tidak adil oleh Rina. Ibunya seperti ibu tiri yang kejam untuknya, sikapnya berubah manis jika di depan orang lain. Namun selebihnya?
***
Siang itu Rina yang tengah berkumpul dengan teman-temannya di sebuah cafe pun tak sengaja matanya melihat Askan dengan seorang wanita cantik. Di perhatikannya lekat kedua orang itu yang tampak sangat akrab.
Hmm... Apakah itu tunangan Aska? batin Rina bertanya-tanya.
"Lihat apa sih, Jeng?" tanya salah satu teman Rina.
"Ah, bukan apa-apa kok." sahut Rina tetap berusaha bersikap santai di depan teman-temannya.
"Eh, Jeng. Kami semua senang loh karena Jeng Rina udah kembali mau kumpul-kumpul bersama lagi." kata teman Rina yang paling menor dandanannya.
"Iya nih, Jeng Rina kemana aja sih selama ini?" timpal teman Rina yang lainnya.
Mampus! Aku harus jawab apa nih? batin Rina yang mulai diserang kepanikan.
"Uhm, saya gak kemana-mana kok Jeng Ratih." ucap Rina pada temannya yang tadi barusan bertanya. "Saya cuma lagi banyak kesibukan aja."
"Duh, Jeng Rina ini kapan sih gak pernah sibuknya?" goda teman Rina yang pertama kali bertanya tadi.
Rina tersenyum malu, "ketahuan banget ya super sibuknya saya."
Pretttt!
Iya sibuk. Sibuk mikirin bayar hutang sana-sini. Haduh, nasib jadi orang yang kelilit hutang gini amat yakk! batin Rina menggerutu.
"Memang sekarang lagi sibuk apa, Jeng Rina?" tanya si dandan menor lagi.
"Uhm, seperti biasa, sibuk sama bisnis dan juga baru-baru ini lagi di sibukkan dengan acara pertunangan anak saya yang baru di selenggarakan dua minggu yang lalu."
"Apa?!" pekik teman-teman Rina serempak. "Tunangan?" Rina mengangguk.
"Loh, kok Jeng Rina gak ada kasih kabar membahagiakan ini sama kita-kita sih?" protes salah satu teman Rina yang di anggukin setuju oleh yang lainnya.
"Gini loh Jeng. Bukannya gak mau kasih kabar bahagia ke kalian semua. Masalahnya pertunangan anak saya ini mendadak, cuma dihadiri keluarga dan saudara saja."
"Loh, mendadak kenapa Jeng?"
"Iya, jadi...." mengalirlah cerita bohong dari mulut Rina.
Semua teman-temannya pun begitu gampang ia bohongi hingga langsung percaya.
"Dan hari ini saya justru melihat hal yang tidak mengenakkan." ucap Rina lirih dengan kedua mata yang tampak berkaca-kaca.
"Loh, kenapa Jeng Rina?" tanya semua teman Rina tampak panik.
"Tuh!" dengan dagunya Rina menunjuk ke arah tempat Askan dan tunangannya duduk.
"Pria yang duduk disana itu adalah tunangan anak saya. Tetapi, belakangan ini wanita gatal itu dengan tidak tahu malunya selalu mengganggu dan menggoda calon menantu saya." Rina mengusap kedua sudut matanya yang mengeluarkan airmata. Airmata palsu lebih tepatnya.
Sontak saja seluruh teman-teman Rina tampak juga ikut kesal. Wajah mereka semua tampak memerah menahan amarah, marah karena telah mengusik kehidupan temannya tersebut.
"Itu 'kan perempuannya?" tunjuk si wanita yang berdandan menor terlihat terbakar oleh amarah yang siap meledak.
Dengan wajah sendunya Rina menganggukkan kepala. "Oh, anakku yang malang...." lirihnya terisak.
"Hmm, ya ampun! Sabar Jeng Rina," hibur teman-temannya yang tampak iba melihat Rina yang terisak.
O-ow! Begitu licik dan hebatnya Rina berakting.
"Ssstt, udah Jeng tenang aja. Jangan sedih karena ada kami yang selalu ada untuk mendukung Jeng Rina."
"Iya Jeng Rina, wanita itu biar jadi urusan kami."
"Setuju!" timpal teman-temannya yang lain.
"Terima kasih ya Jeng-Jeng semua. Saya sangat terharu sekali mendengarnya, kalian memang teman yang sangat-sangat baik."
Kena kalian! batin Rina tersenyum culas.
Askan menggeram kesal, sejak tadi dering ponselnya tak mau berhenti. Membuat ia mau tidak mau bangun untuk meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping tempat tidur.Askan mengucek matanya yang sangat mengantuk sekali, cukup kaget saat melihat nama tunangannya yang tertera di layar ponsel.Putri? Ada apa dia menelponku jam segini? batin Askan bertanya-tanya.Pasalnya, jarang sekali Putri mengubunginya malam-malam begini.Karena saking penasarannya Askan pun akhirnya segera mengangkat panggilan telepon Putri yang tak kunjung berhenti."Hal-""As, tolong aku! Aku ketakutan ... Hiks!" ucap Putri menyela ucapan Askan yang belum selesai.Askan yang masih setengah mengantuk pun mendadak ngeblank. Tolong aku? Aku ketakutan?"Putri-""Askan aku mohon cepat datang kesini ya. Please!" pinta Putri bercampur isa
"Haduh! Duit udah habis, mana teman-teman ngajak kumpulan di cafe lagi." keluh Rina merasa pusing. Pasalnya uang yang waktu itu Askan kasih sudah habis tak bersisa.Sembari berjalan mondar-mandir Rina berpikir keras untuk mencari cara bagaimana mendapatkan uang. Setidaknya agar bisa berjalan lancar acara pertemuan hari ini dengan teman-temannya."Hmm, apa aku harus minta uang lagi ke Askan ya?" gumam Rina berpikir. "Tapi, alasan apa yang harus aku pakai?" Rina pun merasa dilema.Tidak mungkin jika Rina tiba-tiba datang menemui Askan hanya untuk meminta uang saja. Setidaknya kali ini Rina harus memiliki alasan.Seperti Garin sedang sakit mungkin, atau Garin sangat membutuhkan uang. Ya, Rina harus memakai nama Garin untuk alasannya. Biarlah Garin ia pojokan agar tujuannya berjalan mulus. pikir Rina tersenyum culas.Tanpa pikir panjang Rina pun dengan segera menghubungi nomor telepon Askan. D
"G-garin?" ulang Askan terbata."Iya, sekarang aku minta sama kamu untuk jawab jujur. Siapa itu Garin?" tuntut Putri penasaran."Garin itu ... Bukan siapa-siapa.""Bohong!" jerit Putri merasa kecewa. "Jelas-jelas kamu terlihat khawatir saat mendengar kabar Garin sakit dari sambungan telepon tadi.""Apa? Jadi kamu menguping pembicaraan aku?""Ya!" sahut Putri lantang. "Tak sengaja mendengar percakapan kamu tadi, lebih tepatnya.""Hmm, sama aja itu artinya dengan kamu menguping pembicaraan aku.""Ya terserahlah. Intinya sekarang aku mau kamu jawab jujur pertanyaan aku. Garin itu siapa kamu?""Aku 'kan udah jawab tadi, kalau Garin itu bukan siapa-siapa. Tapi kamu malah bilang aku bohong, aneh!""Aku bilang gitu karena aku yakin kamu cuma bohong.""Astaga! Terus aku harus jawab kayak gimana lagi? Karena memang
Garin yang masih pengangguran pun tentu saja lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Selama itulah ia jadi lebih tahu mengenai aktivitas ibunya sehari-hari seperti apa.Sebenarnya Garin sudah menaruh kecurigaan pada ibunya yang menurutnya sekarang lebih banyak membeli barang-barang mewah. Entah itu baju, tas, juga sepatu.Terkadang, Garin jadi bertanya-tanya darimana ibunya memiliki banyak uang sampai bisa membeli barang mewah bermerek cukup terkenal seperti itu."Ibu belanja lagi?" tanya Garin memperhatikan sang ibu yang terlihat kesenangan dengan barang-barang yang baru dibelinya."Iya, kenapa? Masalah buat kamu memangnya kalau Ibu belanja lagi?""Astaga! Kenapa Ibu se-sewot ini? Aku kan cuma bertanya Bu." Garin geleng-geleng kepala seraya mengelus dada."Hmm, tapi cara nanya kamu itu seakan-akan gak suka ngelihat Ibu belanja.""Bukannya aku gak suk
Garin pulang dengan perasaan yang teramat kesal dan juga amarah yang membumbung tinggi. Masih tak habis pikir dengan ibunya yang begitu tega menjadikannya alasan untuk membohongi Askan. Parahnya kebohongan yang di rancang ibunya adalah mengatakan Garin sakit.Ya, Garin sudah tahu tahu semuanya lewat Askan yang mengatakan langsung padanya yang saat itu juga masih bersama tunangannya. Syukurlah Vanny sudah pergi jadi Garin tak perlu harus bertambah malu di depan temannya.Garin tidak terima, dan untuk itu ia akan menanyakan langsung pada ibunya yang kenapa dengan sangat beraninya berbohong pada Tuan Askan dan mengatasnamakan dirinya sebagai alasan."Ya ampun! Kenapa sih Ibu senekat dan setega ini sama ku dan juga Tuan Askan?" gumam Garin yang masih tak habis pikirBahkan kini ibunya belum juga pulang, padahal ibunya sudah pergi dari pagi tadi.Garin melihat luar dari jendela rumahnya, hari s
Teror kembali mengancam ketenangan Putri. Wanita itu pikir seminggu setelah teror waktu itu tidak akan terulang lagi. Tapi, nyatanya tidak.Beberapa hari ini ancaman teror semakin gencar menakut-nakutinya seperti hantu. Parahnya si peneror ini bahkan mengetahui sebuah rahasia besar yang selama ini ia sembunyikan dari tunangannya. Askan."Oh, shitt!" umpat Putri menggeram kesal. Bagaimana mungkin ia memiliki banyak uang malah tidak berdaya gini hanya karena sebuah ancaman teror ini.Meskipun begitu, Putri tetap berpikir keras untuk menemukan jalan keluar dari masalah ini. Karena sungguh ia mulai muak dan gerah dengan tingkah si peneror yang mulai melunjak.Putri yakin seratus persen bahwa masalah ini tidak akan selesai bila ia tinggal diam saja. Tapi, Putri takut kalau ia bertindak lebih jauh maka sesuatu rahasia yang ia sembunyikan dari Askan akan terbongkar."Ya Tuhan!" Putri mulai dilanda frustasi.Kenapa hal
Sesuatu hal yang tak pernah Rina duga-duga akan terjadi, dirinya kalang kabut begitu mendengar pernyataan secara langsung dari Askan yang katanya ingin melaporkan soal kasus teror yang menimpa tunangannya."Haduh, sial! Kalau kayak gini ceritanya udah gak main-main lagi. Gawat!" gumam Rina terlihat sangat panik.Seperti setrikaan Rina mondar-mandir kesana kemari sambil berpikir keras mencari ide."Haduh! Ini kepala rasanya kayak mau pecah mikirin ide!" jerit Rina yang didengar Garin."Ide?" gumam Garin bertanya-tanya."Maksudnya Ibu apa ya?" sambung Garin masih tidak mengerti dengan ucapan sang ibu.Namun perasaannya mengatakan hal yang tak enak. Hmm, seperti sesuatu hal yang buruk tengah dilakukan ibunya."Apa jangan-jangan Ibu melakukan sesuatu hal yang jahat?" tebak Garin menduga. "Ah, tidak!" kemudian ia menggelengkan kepalanya kuat. "Aku gak boleh nud
"Ada apa?" tanya Putri memperhatikan raut wajah tunangannya yang tak dapat terbaca.Bagi Putri, Askan terlalu pintar menyembunyikan ekspresi sehingga sulit baginya untuk membedakan mana wajah yang senang ataupun wajah yang sedih, marah dan sebagainya. Yang ada hanya ekspresi datar di wajah tampan itu."Putri, aku minta maaf banget sama kamu. Sebaiknya kita tunda dulu ya mengenai ancaman teror itu." ucap Askan dengan wajah penuh penyesalan. "Aku gak bisa hari ini nemenin kamu, soalnya ada hal penting yang lagi menungguku.""Hal penting? Yang kamu maksud hal penting itu dengan ketemuan sama wanita yang bernama Garin, gitu?"Skakmat!Ternyata Putri mendengar semua percakapannya di sambungan telepon tadi dengan Garin. Haduh!"As, kamu jangan berusaha mengelak ya. Jelas-jelas tadi aku dengar kamu nyebut nama wanita itu, Garin."Askan menelan salivanya kasar, te