Rina masih kesal bila mengingat beberapa waktu yang lalu. Mendengar jelas pengakuan Askan yang mencintai anaknya, bersamaan dengan pengakuan Askan yang lain yaitu mengenai pertunangannya.
"Saya dijodohkan oleh orangtua saya dengan anak dari sahabat Mama saya, Bu."
Penjelasan Askan mengatakan alasan dirinya bertunangan. Hmm, apapun itu alasannya intinya sudah membuat rencana dan harapan Rina pupus seketika. Sebab Rina sudah berharap penuh jika Askan seorang lajang nyatanya tidak.
Ah, sial! umpat batin Rina sebal.
Sekarang, apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Rina gak mau menyerah begitu saja. Mumpung masih tunangan, tentu masih bisa dihancurkan hubungannya. Sedangkan yang sudah menikah saja banyak yang berakhir hancur karena ulah pelakor.
Apa? Tidak, tidak. Itu hanya contohnya saja, bukan berarti Garin anaknya yang menjadi pelakor dalam hubungan orang lain.
Rina kembali fokus memperhatikan tatapan antara sang anak dan juga Askan. Ketertarikan itu tak bisa mereka hilangkan, seakan malah semakin kuat membuat keduanya sama-sama tak mudah untuk melepaskan kontak mata masing-masing
"Kedip, nak Askan." sindir Rina membuat Askan terperanjat kaget.
Pria itu tersenyum malu, "maaf."
"Gak apa-apa, saya tahu kok kalau anak satu-satunya saya ini memang cantik."
"Ya, sangat cantik." Askan mengangguk setuju.
"Saya juga setuju dengan Bos Askan, Nona Garin memang cantik." timpal Niko yang tiba-tiba ikut bicara.
Sontak saja Askan, Rina kompak menoleh ke arah Niko yang rupanya juga tengah menatap Garin yang pipinya bersemu merah karena malu terlalu dipuji.
"Maaf, saya hanya mengatakan yang sebenarnya saja bahwa Nona Garin memang cantik. Bukan bermaksud yang aneh-aneh kok Bos dan Bu Rina." cepat-cepat Niko menjelaskan maksud dari ucapannya saat mendapatkan tatapan kurang menyenangkan dari sang majikannya dan juga Rina.
Rina sebenarnya kesal karena supir pribadi Askan memuji kecantikan putrinya. Dalam hatinya Rina berdoa semoga saja Niko tak ada rasa untuk anaknya.
Karena yang menjadi target incaran Rina 'kan Askan, bukannya Niko. Sama sekali bukan!
Rina tersenyum kikuk, "terima kasih pujiannya untuk anak saya nak Askan dan nak Garin. Saya bersyukur dan bangga memiliki putri secantik juga sebaik Garin." Rina menyentuh lembut dagu Garin yang duduk di sampingnya.
"Ayo di minum teh hangatnya nak Askan," tawar Rina yang di angguki Askan.
"Sebenarnya saya sudah lama tidak minum teh, Bu."
"Oh ya? Waduh, jadi gimana dong nak? Ibu dan Garin gak tahu kalau ternyata nak Askan gak minum teh." ucap Rina panik.
Askan tersenyum tak masalah, "tapi karena Garin yang membuatnya maka akan saya minum." kata Askan terlihat begitu jantan di mata bu Rina yang semakin suka pada Askan untuk ia jadikan menantunya.
"Uhm, tapi Tuan-" belum sempat Garin menyelesaikan ucapannya sebab keburu duluan Askan yang bertindak meminum sedikit teh hangat tersebut.
"Enak," puji Askan tulus.
"Terima kasih," Garin tersipu malu karena mendapatkan pujian lagi. Lalu ia beralih pada Niko yang sedari tadi hanya diam saja. "Tuan Niko juga silakan minum teh hangatnya," tawar Garin merasa tak enak hati pada Niko yang seakan tak di pedulikan kehadirannya oleh ibunya yang hanya terdiri pada satu orang saja. Yaitu Askan.
"Iya Nona Garin, terima kasih." setelah ditawari barulah Niko mengambil gelas teh hangatnya dan meminumnya sedikit-sedikit.
Rina menatap kesal sang anak yang justru malah lebih perhatian ke Niko dibandingkan ke Askan. Hadeehhh!
"Sebentar ya," ucap Rina meminta izin pada kedua pria itu. "Ayo," ajaknya menarik tangan Garin.
"Mau ngapain, Bu?"
"Udah ayo cepat nurut!" Rina sendiri tersentak kaget dengan nada suaranya yang tinggi. "Duh, maaf nih ya, bukan maksudnya ngebentak Garin. Hanya saja anak saya ini memang perlu ditegaskan sebab kadang suka lelet." cengir Rina kikuk.
Sekikuk Askan dan Niko yang masih syok, namun sebisa mungkin mereka mengerti dan menganggukkan kepala.
"Permisi," pamit Rina menarik tangan Garin untuk mengikuti langkahnya.
"Kamu tuh ya!" omel Rina menyentak tangan Garin. "Kamu sukanya sama Bos atau supir pribadinya sih?"
Garin tercengang mendengarnya, "maksud Ibu apa ya?"
"Duh, pura-pura gak ngerti lagi." geram Rina rasanya seakan ingin mencakar wajah polos Garin.
"Kamu sukanya sama Askan apa sama Niko, sih?"
"Hah?" Garin lebih tercengang lagi. "Ibu ngomong apaan sih?"
"Gak usah ngeles, kamu tinggal jawab aja. Suka Askan atau Niko?"
Garin diam, cukup terkejut kenapa bisa ibunya menanyakan hal seperti itu. Apa ibunya mencurigai gerak-geriknya yang memang seminggu belakangan ini memikirkan Askan?
Rina memejamkan matanya berusaha menahan kekesalannya. "Oke, intinya gini aja ya. Ibu berharapnya kamu suka sama Askan, Ibu setuju seribu persen. Tapi kalau kamu sukanya sama Niko, jangan harap Ibu setuju ya. Ngerti!"
Garin berjengit kaget mendengar bentakan ibunya. Berharap semoga saja suara ibunya tak sampai kedengaran oleh Askan dan Niko.
Setelah puas mengatakan unek-uneknya, Rina kembali menarik tangan Garin ke ruang tamu dimana masih ada Askan dan Niko.
Rina tersenyum lembut, "maaf ya sedikit lama."
"Iya gak apa-apa, Bu." sahut Askan dan Niko kompak.
"Loh, mau kemana?" tanya Rina panik ketika melihat Askan bangkit berdiri dari tempat duduknya.
"Bu, kami mau pamit pulang ya." ucap Askan.
"Kok cepat kali nak?"
"Soalnya udah malam juga, Bu." sahut Niko yang sama sekali tak di gubris Rina yang hanya menunjukkan sikap perhatiannya pada Askan seorang.
"Bentar lagi lah nak, belum juga makan cemilannya." Rina melirik biskuit yang Garin taruh di piring. "Ayo, dimakan dulu ya." bujuk Rina mencoba menahan sedikit lebih lama Askan dan Niko.
Merasa tak enak hati bila menolak, mau tak mau Askan dan Niko mengangguk. Rina terlihat sangat senang sekali.
***
"Menurut kamu gimana?"
Niko melirik sekilas bosnya dari kaca spion, "maaf bos? Tentang apa ya?"
"Itu loh, Bu Rina dan Garin."
"Iya, memangnya kenapa dengan mereka berdua bos?" Niko kembali melirik sekilas Askan dari kaca spion.
"Kamu ngerasain sama kayak yang saya rasain gak, Ko?"
"Hah?!" Niko syok dan sedikit bergidik ngerih. "M-maksud bos apa ya?"
"Eh, kok kamu reaksinya gitu sih?" tanya Askan merasa aneh dengan reaksi supir pribadinya.
Niko diam, hanya bola matanya saja yang bergerak sesekali melirik sekilas Askan dari kaca spion. Dan tentunya hal itu membuat Askan semakin merasa aneh.
"Bos, saya mau bilang kalau saya masih normal. Jadi, maaf sekali karena saya-"
"Eh, tunggu! Maksudnya apa nih, Ko?"
"Iya, saya merasa agak gimana gitu dengar ucapan Bos barusan."
"Yang mana ya?"
"Tentang apakah perasaan yang Bos rasakan itu-" Niko terlihat kebingungan menjelaskannya.
Mendengar itu Askan baru mengerti apa yang membuat reaksi Niko terlihat jijik. Ternyata salah paham, astaga!
"Niko, kamu udah salah paham. Maksud saya, kamu merasa ada yang ganjal gak dengan Bu Rina ke anaknya."
"Ngeganjal yang seperti apa ya Bos? Sikapnya gitu?"
"Nah, iya bener. Kamu ngerasa juga kan sikapnya Bu Rina agak aneh ke Garin?"
"Ya gitulah, Bos. Menurut saya sikap Bu Rina sepertinya hanya berpura-pura."
"Pura-pura maksudnya?" Askan terlihat bingung.
"Iya, gitulah bos. Saya gak berani mengatakannya langsung, takut jatuhnya jadi memburukkan beliau." Niko mencoba menghentikan obrolan tentang Rina. Dan Askan yang mengerti pun diam, tak bertanya lagi walaupun ia sangat penasaran maksud kata pura-pura yang diucapkan Niko tadi.
Garin menoleh kesal pada ibunya yang bisa-bisanya malah mengajak dirinya ke dalam rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dan tunangannya. Sebenarnya bukan mengajak sih, tapi lebih tepatnya menyuruh dan memaksa.Awalnya Garin juga terkejut dengan fakta yang Rina ceritakan, mengenai Askan yang ternyata sudah bertunangan dengan wanita lain karena dijodohkan oleh orang tuanya.Artinya pria itu sudah milik orang lain, dan Garin harus melupakannya. Mengenyahkan bayang-bayang Askan yang selalu menghantuinya."Pokoknya Ibu gak mau tahu, kamu harus nurut sama Ibu. Termasuk rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dengan wanita yang menjadi tunangannya. Mengerti?!""Tapi, Bu—""Garin, gak ada tapi-tapian ya. Ibu gak mau dengar penolakan kamu." sela Rina menatap garang Garin yang memang berniat menolaknya.Garin pasrah, percuma saja ia berusaha menolak dan membantah
Askan menggeram kesal, sejak tadi dering ponselnya tak mau berhenti. Membuat ia mau tidak mau bangun untuk meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping tempat tidur.Askan mengucek matanya yang sangat mengantuk sekali, cukup kaget saat melihat nama tunangannya yang tertera di layar ponsel.Putri? Ada apa dia menelponku jam segini? batin Askan bertanya-tanya.Pasalnya, jarang sekali Putri mengubunginya malam-malam begini.Karena saking penasarannya Askan pun akhirnya segera mengangkat panggilan telepon Putri yang tak kunjung berhenti."Hal-""As, tolong aku! Aku ketakutan ... Hiks!" ucap Putri menyela ucapan Askan yang belum selesai.Askan yang masih setengah mengantuk pun mendadak ngeblank. Tolong aku? Aku ketakutan?"Putri-""Askan aku mohon cepat datang kesini ya. Please!" pinta Putri bercampur isa
"Haduh! Duit udah habis, mana teman-teman ngajak kumpulan di cafe lagi." keluh Rina merasa pusing. Pasalnya uang yang waktu itu Askan kasih sudah habis tak bersisa.Sembari berjalan mondar-mandir Rina berpikir keras untuk mencari cara bagaimana mendapatkan uang. Setidaknya agar bisa berjalan lancar acara pertemuan hari ini dengan teman-temannya."Hmm, apa aku harus minta uang lagi ke Askan ya?" gumam Rina berpikir. "Tapi, alasan apa yang harus aku pakai?" Rina pun merasa dilema.Tidak mungkin jika Rina tiba-tiba datang menemui Askan hanya untuk meminta uang saja. Setidaknya kali ini Rina harus memiliki alasan.Seperti Garin sedang sakit mungkin, atau Garin sangat membutuhkan uang. Ya, Rina harus memakai nama Garin untuk alasannya. Biarlah Garin ia pojokan agar tujuannya berjalan mulus. pikir Rina tersenyum culas.Tanpa pikir panjang Rina pun dengan segera menghubungi nomor telepon Askan. D
"G-garin?" ulang Askan terbata."Iya, sekarang aku minta sama kamu untuk jawab jujur. Siapa itu Garin?" tuntut Putri penasaran."Garin itu ... Bukan siapa-siapa.""Bohong!" jerit Putri merasa kecewa. "Jelas-jelas kamu terlihat khawatir saat mendengar kabar Garin sakit dari sambungan telepon tadi.""Apa? Jadi kamu menguping pembicaraan aku?""Ya!" sahut Putri lantang. "Tak sengaja mendengar percakapan kamu tadi, lebih tepatnya.""Hmm, sama aja itu artinya dengan kamu menguping pembicaraan aku.""Ya terserahlah. Intinya sekarang aku mau kamu jawab jujur pertanyaan aku. Garin itu siapa kamu?""Aku 'kan udah jawab tadi, kalau Garin itu bukan siapa-siapa. Tapi kamu malah bilang aku bohong, aneh!""Aku bilang gitu karena aku yakin kamu cuma bohong.""Astaga! Terus aku harus jawab kayak gimana lagi? Karena memang
Garin yang masih pengangguran pun tentu saja lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Selama itulah ia jadi lebih tahu mengenai aktivitas ibunya sehari-hari seperti apa.Sebenarnya Garin sudah menaruh kecurigaan pada ibunya yang menurutnya sekarang lebih banyak membeli barang-barang mewah. Entah itu baju, tas, juga sepatu.Terkadang, Garin jadi bertanya-tanya darimana ibunya memiliki banyak uang sampai bisa membeli barang mewah bermerek cukup terkenal seperti itu."Ibu belanja lagi?" tanya Garin memperhatikan sang ibu yang terlihat kesenangan dengan barang-barang yang baru dibelinya."Iya, kenapa? Masalah buat kamu memangnya kalau Ibu belanja lagi?""Astaga! Kenapa Ibu se-sewot ini? Aku kan cuma bertanya Bu." Garin geleng-geleng kepala seraya mengelus dada."Hmm, tapi cara nanya kamu itu seakan-akan gak suka ngelihat Ibu belanja.""Bukannya aku gak suk
Garin pulang dengan perasaan yang teramat kesal dan juga amarah yang membumbung tinggi. Masih tak habis pikir dengan ibunya yang begitu tega menjadikannya alasan untuk membohongi Askan. Parahnya kebohongan yang di rancang ibunya adalah mengatakan Garin sakit.Ya, Garin sudah tahu tahu semuanya lewat Askan yang mengatakan langsung padanya yang saat itu juga masih bersama tunangannya. Syukurlah Vanny sudah pergi jadi Garin tak perlu harus bertambah malu di depan temannya.Garin tidak terima, dan untuk itu ia akan menanyakan langsung pada ibunya yang kenapa dengan sangat beraninya berbohong pada Tuan Askan dan mengatasnamakan dirinya sebagai alasan."Ya ampun! Kenapa sih Ibu senekat dan setega ini sama ku dan juga Tuan Askan?" gumam Garin yang masih tak habis pikirBahkan kini ibunya belum juga pulang, padahal ibunya sudah pergi dari pagi tadi.Garin melihat luar dari jendela rumahnya, hari s
Teror kembali mengancam ketenangan Putri. Wanita itu pikir seminggu setelah teror waktu itu tidak akan terulang lagi. Tapi, nyatanya tidak.Beberapa hari ini ancaman teror semakin gencar menakut-nakutinya seperti hantu. Parahnya si peneror ini bahkan mengetahui sebuah rahasia besar yang selama ini ia sembunyikan dari tunangannya. Askan."Oh, shitt!" umpat Putri menggeram kesal. Bagaimana mungkin ia memiliki banyak uang malah tidak berdaya gini hanya karena sebuah ancaman teror ini.Meskipun begitu, Putri tetap berpikir keras untuk menemukan jalan keluar dari masalah ini. Karena sungguh ia mulai muak dan gerah dengan tingkah si peneror yang mulai melunjak.Putri yakin seratus persen bahwa masalah ini tidak akan selesai bila ia tinggal diam saja. Tapi, Putri takut kalau ia bertindak lebih jauh maka sesuatu rahasia yang ia sembunyikan dari Askan akan terbongkar."Ya Tuhan!" Putri mulai dilanda frustasi.Kenapa hal
Sesuatu hal yang tak pernah Rina duga-duga akan terjadi, dirinya kalang kabut begitu mendengar pernyataan secara langsung dari Askan yang katanya ingin melaporkan soal kasus teror yang menimpa tunangannya."Haduh, sial! Kalau kayak gini ceritanya udah gak main-main lagi. Gawat!" gumam Rina terlihat sangat panik.Seperti setrikaan Rina mondar-mandir kesana kemari sambil berpikir keras mencari ide."Haduh! Ini kepala rasanya kayak mau pecah mikirin ide!" jerit Rina yang didengar Garin."Ide?" gumam Garin bertanya-tanya."Maksudnya Ibu apa ya?" sambung Garin masih tidak mengerti dengan ucapan sang ibu.Namun perasaannya mengatakan hal yang tak enak. Hmm, seperti sesuatu hal yang buruk tengah dilakukan ibunya."Apa jangan-jangan Ibu melakukan sesuatu hal yang jahat?" tebak Garin menduga. "Ah, tidak!" kemudian ia menggelengkan kepalanya kuat. "Aku gak boleh nud