Share

Andaikan ada keajaiban

Setelah kepergian Garin yang tanpa pamit, Rina juga memutuskan untuk pergi setelah mengunci pintu rumahnya.

Rina tau jika setelah ini pasti akan datang lagi penagih hutang yang lainnya. Ia ingat betul janji manisnya kepada para lintah-lintah darat itu. Begitulah julukan yang ia berikan untuk para rentenir-rentenir kejam.

Pergi tak tentu arah adalah hal yang dilakukan Rina. Ia tak masalah jika tetap memaksakan kakinya untuk berjalan sampai merasa pegal. Asalkan ia tidak di rumah menunggu para rentenir itu. Dan semoga saja ia tidak bertemu salah satu mereka dijalan, sia-sia sudah usahanya untuk kabur kan.

Setelah berjalan satu jam nyatanya Rina merasa sangat lelah. Ia memutuskan untuk duduk beristirahat di taman kota yang tak terlalu ramai di hari kerja seperti ini.

Rina menadahkan kepalanya menatap langit sesaat, batinnya berujar seandainya saja ada keajaiban datang dalam hidupnya.

Seandainya saja dia menemukan uang yang banyak tersimpan dalam sebuah tas atau koper. Kemungkinan Rina pasti sudah berjingkrak gembira dan pulang dengan lantang siap menyambut para rentenir untuk membayar hutangnya secara lunas.

Hah, konyol!

Rina tertawa sumbang, mana mungkin segampang itu Tuhan akan memberikan uang segepok padanya tanpa usaha.

Rina sadar kalau dirinya bukanlah manusia yang baik, jadi ia mengira dan beranggapan kalau sang pencipta tidak menyayanginya. Bukankah Tuhan hanya menyayangi orang-orang yang baik saja? Itu menurut pikiran Rina yang sempit dan dangkal.

Setelah merasa cukup beristirahat Rina beranjak dari taman, kembali melangkah tak tentu arah. Kepalanya mulai berdenyut pusing namun Rina tetap memaksakan langkahnya meskipun pandangannya mulai mengabur. Dan akhirnya Rina jatuh pingsan tergeletak di pinggir jalan.

Dan tak lama setelahnya ada sebuah mobil yang pengemudinya terpekik saat melihat seseorang tak berdaya tergeletak di pinggir jalan. Mobil berhenti dan sang pengemudi keluar.

"Dia pingsan Tuan," teriak orang tersebut kepada sang majikan yang tampak menunggu dengan cemas dari dalam mobil.

Sosok yang dipanggil majikan itu pun akhirnya keluar dan melihat langsung pada apa yang terjadi. Matanya menatap sosok paruh baya yang pingsan itu, hatinya sedikit tercubit merasa iba melihat sosok itu yang sepertinya seumuran dengan ibunya.

"Bawa dia masuk," titah pria itu menginstruksikan pada sang supir yang kesusahan membopong tubuh pingsan tak berdaya Rina.

****

Garin yang tak konsentrasi pada kerjaannya pun langsung mendapat kesialan. Ia di pecat oleh bosnya, membuat ia merasa sangat tertekan dan frustasi.

Belum lagi dering ponselnya yang tak kunjung berhenti membuat Garin ingin melemparnya saja sampai hancur remuk. Namun hati kecilnya menyuruh Garin untuk mengambil ponselnya di dalam tas dan melihat siapa si penelpon.

"Ibu?" gumam Garin nyaris seperti sebuah bisikan.

Garin berdecak kesal, malas rasanya mengangkat panggilan telepon dari ibunya ini. Untuk apa ibunya menelpon? Apakah hanya untuk menambah masalah dan hutang lagi?

Garin ingin mengabaikan panggilan telepon dari sang ibu yang kembali menghubunginya lagi. Tapi, lagi-lagi hati kecilnya kembali menyuruh dirinya untuk segera mengangkat panggilan telepon itu.

"H-hallo, ibu?"

"Ini dengan Nona Garin?" tanya seseorang di seberang telepon.

Ini suara seorang pria. batin Garin.

"Ini siapa? Kenapa ponsel Ibu saya ada di kamu? Dimana Ibu saya?" tanya Garin beruntun.

Terdengar suara helaan nafas di seberang telepon. "Sabar dulu, Mbak. Satu-persatu tanyanya ya biar saya bisa jawab."

"Oke."

"Jadi, gini Mbak...." pria di seberang telepon itu pun akhirnya menjawab segala pertanyaan Garin. Pria itu juga menjelaskan secara detail mengenai apa yang terjadi dengan Rina, ibu Garin.

Garin terisak, syok berat saat mendengar kabar tentang ibunya.

"Saya akan segera kesana," ucap Garin sebelum menutup panggilan telepon.

Garin melangkah cepat nyaris buru-buru, memberhentikan salah satu taksi yang lewat. Garin masuk ke dalam taksi dan menyebutkan alamat yang ingin dia tuju pada sang supir taksi.

Sekitar hampir tiga puluh menit taksi yang di tumpangi Garin berhenti. Masih dengan tergesa-gesa Garin keluar setelah membayar ongkos taksi dan mengucapkan kata terima kasih.

Garin masuk ke dalam rumah sakit seperti yang diberitahukan si pria di seberang telepon tadi. Garin berhenti di meja resepsionis rumah sakit dan menanyakan kamar nomor berapa ibunya di rawat.

Saat sudah mendapatkan informasi dari salah satu suster, Garin segera melangkahkan kakinya menuju kamar rawat sang ibu.

Garin menguatkan hatinya sebelum membuka pintu kamar rawat sang ibu. Setelah memantapkan hatinya Garin mendorong pintu kamar rawat ibunya.

Matanya langsung melihat tubuh sang ibu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Perlahan Garin melangkahkan kakinya masuk ke dalam sembari mengedarkan pandangannya ke segala arah.

Garin melihat dua orang pria yang berada di dalam kamar tempat ibunya di rawat. Ah, Garin menebak jika salah satu dari kedua pria itu pasti Niko. Tapi, Garin tidak tahu mana pria yang bernama Niko itu?

"Garin," panggilan Rina pada sang anak.

Garin mengalihkan fokusnya kembali pada sang ibu, dan dengan gerakan cepat mendekati ranjang Rina.

"Ibu," panggil Garin terlihat sangat panik. "Mana yang sakit, Bu?" tanya Garin lembut seraya membelai wajah ibunya.

Rina menggeleng, "jangan khawatir nak. Ibu hanya kelelahan dan terlalu banyak pikiran hingga jatuh pingsan."

"Ya ampun, Ibu." Garin kembali terisak. Bagaimanapun juga ia sangat khawatir sekali begitu mendengar kabar Ibunya yang dibawa ke rumah sakit.

"Maafin Garin ya, Bu." ucap Garin tulus.

"Ehemm," terdengar deheman.

Rina melirik pada kedua pria itu yang merasa tak diacuhkan. Garin mengikuti arah pandangan mata ibunya.

Saat itulah matanya tak sengaja bertemu pandang dengan sosok tampan bak dewa Yunani yang begitu mempesona dan seakan menjerat Garin hanya dengan lewat tatapannya saja. Sepasang manik gelap yang seakan menenggelamkan Garin yang hanyut akan sesuatu rasa yang tak Garin mengerti.

Tanpa di suruh Garin bangkit berdiri dan melangkah mendekat ke arah pria itu yang terus menatapnya. Pria itu seakan tak ingin dan tak rela memutus kontak matanya dengan Garin.

Garin yang sudah berada di hadapannya pun tersenyum sembari berujar. "Terima kasih, Tuan Niko."

Niko?

What's?!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status