Garin menghela nafas kasar, ia lelah dengan rumitnya hidup yang ia jalani. Garin masih tak habis pikir dengan sang ibunya yang begitu suka sekali hutang disana-sini.
Hal itu membuat Garin jadi bertanya-tanya, kemana uang yang ia kasih setiap bulannya? Jumlah uang yang Garin kasih setiap bulannya tidaklah sedikit, setidaknya uang itu bisa untuk makan mereka selama sebulan. Tapi ini belum ada dua minggu, ibunya bilang uangnya sudah habis.
Setiap Garin bertanya tentang uang bulanan yang ia berikan maka wanita paruh baya itu langsung marah meledak-ledak. Seperti sekarang ini, sedari tadi tak berhenti mengomel dan terus menyalahkan Garin yang tidak pernah tau berapa kebutuhan hidup sehari-hari.
Mengatai Garin terlalu kolot dan pelit sampai tidak tahu kalau semua kebutuhan pangan pada naik. Dan belum lagi kebutuhan lainnya yang harus mereka beli. Belum lagi cicilan hutang yang harus mereka bayar setiap bulannya.
Ibu Garin bilang, uang yang Garin berikan setiap bulannya tidak pernah cukup untuk kebutuhan mereka selama sebulan.
"Setidaknya mulai bulan besok kamu tambah lagi uangnya. Jangan cuma segitu-gitu aja dari dulu, gak pernah naik. Percuma dong kalau kamu kerja udah bertahun-tahun tapi uang gaji gak naik-naik."
Garin naik pitam dengan kedua telapak tangan yang terkepal kuat. Andaikan dia amnesia tak mengingat sama sekali wanita di depannya ini siapa. Maka kemungkinan Garin sudah membalas ucapannya. Sayangnya Garin sadar, wanita di depannya ini adalah wanita yang telah mengandung dan melahirkannya.
Garin diam dan akan tetap diam ketika mendapat protesan juga omelan darinya. Ia tidak ingin menjadi anak yang durhaka jika melawan sedikit saja. Karena itulah Garin selalu diam sembari mendengarkan segala keluh kesah sang ibu sampai selesai.
Setelah puas memberi omelan pada Garin, sang ibu beranjak pergi begitu saja dengan entengnya meninggalkan Garin yang terisak.
Garin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menumpahkan segala isak tangis tanpa suara dengan susah payah.
Kapan semuanya akan berakhir? Kapan ibunya akan berhenti mengganggu dirinya? Kapan ibunya akan berhenti berhutang?
****
Pagi ini saat akan berangkat kerja Garin dikejutkan dengan kedatangan bu Nia, wanita paruh baya pemilik kontrakan tempat yang ia tinggali sekarang bersama sang ibunda tercinta.
"Mana Ibumu?" tanya bu Nia.
Mendengar ibunya dicari, Garin mengambil inisiatif untuk menangani ini sendiri. "Ada apa ya, Bu? Bukannya kami sudah membayar uang sewa rumah dan rutin membayarnya setiap bulan?"
"Eh, siapa bilang?! Kalian sudah dua bulan ini tidak bayar uang sewa rumah."
"Apa?!" pekik Garin terperanjat, "b-bagaimana bisa?"
"Halaahh, sudah cepat kau panggilkan wanita ratu hutang itu." bu Nia mengibaskan tangannya mengusir Garin untuk segera memanggil ibunya yang terkenal dengan julukan itu. 'Si wanita ratu hutang'.
Garin yang masih syok pun mengangguk dan berbalik badan hendak memanggil ibunya kerena Garin pun juga ingin mendengar penjelasan dari ibunya.
"Aku disini," seruan sebuah suara menghentikan langkah Garin.
Rina, ibu Garin melangkah mendekat menuju ke ambang pintu yang terbuka dimana sosok bu Nia masih berdiri disana sambil menatap tajam.
"Kenapa kesini sepagi ini?" geram Rina mendelikkan bola matanya yang besar semakin tampak membesar.
"Bukankah sudah ku bilang untuk datang setelah putriku pergi bekerja?" bisik Rina pelan di telinga Nia agar tak kedengaran Garin yang menatap bingung dan penuh tanda tanya pada mereka berdua.
"Tenanglah, aku pasti akan membayar uang sewa rumah yang menunggak dua bulan dan juga hutang uang yang aku pinjam bulan lalu." sambung Rina kembali berbisik, berusaha menenangkan Nia yang mendorong tubuhnya menjauh.
"Kau hanya terus berjanji, berjanji dan berjanji. Tapi tak ada satupun dari ucapanmu yang selalu kau tepati. Kau selalu ingkar janji." cibir Nia penuh hina.
"Haruskah aku percaya pada janjimu barusan? Apakah kau akan membayar semua hutang-hutangmu padaku?" tuntut Nia meminta jawaban kepastian.
"I-iya, aku janji. Aku pasti akan bayar bulan depan setelah putriku sudah gajian?"
"Benar itu?"
Rina mengangguk, "iya, percayalah padaku."
Nia tampak berpikir sebentar sebelum pada akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi ingat kau harus menepati ucapanmu. Kalau tidak kau harus menerima resiko akibat dari ucapan dan janjimu. Mengerti?!" ancamnya.
Wajah Rina pucat pasih, dengan tubuh gemetar wanita paruh baya itu mengangguk lemah.
"Bagus!" tutup Nia sebelum berbalik badan dan meninggalkan rumah kontrakan Garin dan ibunya.
Setelah kepergian Nia, Rina mengusap wajahnya frustasi seraya bergumam. "Bagaimana ini?" paniknya sembari berjalan mondar-mandir kesana kemari. Semua itu tak luput dari pengamatan mata Garin yang mulai basah oleh airmata.
"Ibu—"
"Diam!" sela ibunya ketus, "jangan bicara satu katapun atau bertanya ini itu. Ibu lagi pusing ini, Garin. Jadi, tolong jangan tambah bikin Ibu makin pusing.
Garin terisak, tak mengerti dengan ibunya yang menurutnya terlalu egois. Bahkan untuk mengatakan semua hal yang tidak ia ketahui pun ibunya enggan untuk menjelaskan.
Dan, apa kata ibunya tadi? Jangan tambah ibunya makin pusing? Apakah itu artinya sosok Garin hanya menyusahkan ibunya saja?
Garin menggelengkan kepalanya, ibunya sudah sangat keterlaluan. Garin muak, dan juga sangat lelah.
Cukup sudah semua ini, Garin tidak ingin terlibat mengenai apapun lagi. Jika ibunya bisa seegois ini, kenapa Garin tidak?
Jadi, biarkan sekali ini saja Garin egois dan tak mau mengacuhkan wanita yang telah melahirkannya ini.
Tanpa bicara dan berpamitan seperti biasa yang ia lakukan, Garin pergi begitu saja dan sedikit membanting pintu hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.
BLAAAMMM!
Tbc....
Vote dan komennya 😚
Ramaikan lapak baru, Yess!!! ❤️🙏🤭
Setelah kepergian Garin yang tanpa pamit, Rina juga memutuskan untuk pergi setelah mengunci pintu rumahnya.Rina tau jika setelah ini pasti akan datang lagi penagih hutang yang lainnya. Ia ingat betul janji manisnya kepada para lintah-lintah darat itu. Begitulah julukan yang ia berikan untuk para rentenir-rentenir kejam.Pergi tak tentu arah adalah hal yang dilakukan Rina. Ia tak masalah jika tetap memaksakan kakinya untuk berjalan sampai merasa pegal. Asalkan ia tidak di rumah menunggu para rentenir itu. Dan semoga saja ia tidak bertemu salah satu mereka dijalan, sia-sia sudah usahanya untuk kabur kan.Setelah berjalan satu jam nyatanya Rina merasa sangat lelah. Ia memutuskan untuk duduk beristirahat di taman kota yang tak terlalu ramai di hari kerja seperti ini.Rina menadahkan kepalanya menatap langit sesaat, batinnya berujar seandainya saja ada keajaiban datang dalam hidupnya.Seandain
Mendengar namanya di panggil Niko segera menyahut. "Saya Mbak."Garin terkejut dan menoleh ke asal suara, menatap bingung pada pria yang barusan bicara."Saya Niko, Mbak."Garin melongo kaget lalu kembali menoleh pada pria tampan yang nyaris mendekati kata sempurna itu. "Lalu pria ini siapa?""Dia Tuan Askan, Mbak. Majikan saya," akui pria yang bernama Niko tersebut.Dari segi fisik sebenarnya Niko bukanlah pria yang jelek-jelek amat. Tapi, jika dibandingkan dengan pria yang bernama Askan ini tentulah sangat jauh berbeda."Saya bekerja sebagai sopirnya, Tuan Askan."Garin menutup mulutnya sesaat, syok luar biasa mendengar penjelasan Niko."Maafin saya, s-saya tidak tahu kalau anda ini...."Askan menggelengkan kepalanya, "tidak masalah." selanya tersenyum hangat yang langsung membuat Garin meleleh.Tidak te
Flashback on.Hari ini Rina merasa suntuk sekali di rumah, hutang tak kunjung lunas eh anak semata wayangnya malah dipecat dari pekerjaannya. Uang pesangon Garin dan uang yang diberikan Tuan Askan waktu itu juga sudah ludes habis.Bagaimana tidak habis? Untuk kebutuhan makan setiap hari, untuk membayar uang sewa rumah yang menunggak. Dan belum lagi yang lainnya. Hadehhh! Kepala Rina rasanya mau pecah setiap kali memikirkan itu. Uang, uang, uang dan uang. Selalu saja uang yang menjadi pokok permasalahannya. Tidak! Hidupnya gak boleh terus-terusan seperti ini. Rina harus melakukan sesuatu hal untuk dapat merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Ya, Rina harus melakukan sesuatu. Tapi, apa caranya? "Tuan Askan...." gumam Rina tersenyum licik. Rina memutusk
Rina masih kesal bila mengingat beberapa waktu yang lalu. Mendengar jelas pengakuan Askan yang mencintai anaknya, bersamaan dengan pengakuan Askan yang lain yaitu mengenai pertunangannya."Saya dijodohkan oleh orangtua saya dengan anak dari sahabat Mama saya, Bu."Penjelasan Askan mengatakan alasan dirinya bertunangan. Hmm, apapun itu alasannya intinya sudah membuat rencana dan harapan Rina pupus seketika. Sebab Rina sudah berharap penuh jika Askan seorang lajang nyatanya tidak.Ah, sial! umpat batin Rina sebal.Sekarang, apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Rina gak mau menyerah begitu saja. Mumpung masih tunangan, tentu masih bisa dihancurkan hubungannya. Sedangkan yang sudah menikah saja banyak yang berakhir hancur karena ulah pelakor.Apa? Tidak, tidak. Itu hanya contohnya saja, bukan berarti Garin anaknya yang menjadi pelakor dalam hubungan orang lain.Rina
Garin menoleh kesal pada ibunya yang bisa-bisanya malah mengajak dirinya ke dalam rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dan tunangannya. Sebenarnya bukan mengajak sih, tapi lebih tepatnya menyuruh dan memaksa.Awalnya Garin juga terkejut dengan fakta yang Rina ceritakan, mengenai Askan yang ternyata sudah bertunangan dengan wanita lain karena dijodohkan oleh orang tuanya.Artinya pria itu sudah milik orang lain, dan Garin harus melupakannya. Mengenyahkan bayang-bayang Askan yang selalu menghantuinya."Pokoknya Ibu gak mau tahu, kamu harus nurut sama Ibu. Termasuk rencana untuk menghancurkan hubungan Askan dengan wanita yang menjadi tunangannya. Mengerti?!""Tapi, Bu—""Garin, gak ada tapi-tapian ya. Ibu gak mau dengar penolakan kamu." sela Rina menatap garang Garin yang memang berniat menolaknya.Garin pasrah, percuma saja ia berusaha menolak dan membantah
Askan menggeram kesal, sejak tadi dering ponselnya tak mau berhenti. Membuat ia mau tidak mau bangun untuk meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping tempat tidur.Askan mengucek matanya yang sangat mengantuk sekali, cukup kaget saat melihat nama tunangannya yang tertera di layar ponsel.Putri? Ada apa dia menelponku jam segini? batin Askan bertanya-tanya.Pasalnya, jarang sekali Putri mengubunginya malam-malam begini.Karena saking penasarannya Askan pun akhirnya segera mengangkat panggilan telepon Putri yang tak kunjung berhenti."Hal-""As, tolong aku! Aku ketakutan ... Hiks!" ucap Putri menyela ucapan Askan yang belum selesai.Askan yang masih setengah mengantuk pun mendadak ngeblank. Tolong aku? Aku ketakutan?"Putri-""Askan aku mohon cepat datang kesini ya. Please!" pinta Putri bercampur isa
"Haduh! Duit udah habis, mana teman-teman ngajak kumpulan di cafe lagi." keluh Rina merasa pusing. Pasalnya uang yang waktu itu Askan kasih sudah habis tak bersisa.Sembari berjalan mondar-mandir Rina berpikir keras untuk mencari cara bagaimana mendapatkan uang. Setidaknya agar bisa berjalan lancar acara pertemuan hari ini dengan teman-temannya."Hmm, apa aku harus minta uang lagi ke Askan ya?" gumam Rina berpikir. "Tapi, alasan apa yang harus aku pakai?" Rina pun merasa dilema.Tidak mungkin jika Rina tiba-tiba datang menemui Askan hanya untuk meminta uang saja. Setidaknya kali ini Rina harus memiliki alasan.Seperti Garin sedang sakit mungkin, atau Garin sangat membutuhkan uang. Ya, Rina harus memakai nama Garin untuk alasannya. Biarlah Garin ia pojokan agar tujuannya berjalan mulus. pikir Rina tersenyum culas.Tanpa pikir panjang Rina pun dengan segera menghubungi nomor telepon Askan. D
"G-garin?" ulang Askan terbata."Iya, sekarang aku minta sama kamu untuk jawab jujur. Siapa itu Garin?" tuntut Putri penasaran."Garin itu ... Bukan siapa-siapa.""Bohong!" jerit Putri merasa kecewa. "Jelas-jelas kamu terlihat khawatir saat mendengar kabar Garin sakit dari sambungan telepon tadi.""Apa? Jadi kamu menguping pembicaraan aku?""Ya!" sahut Putri lantang. "Tak sengaja mendengar percakapan kamu tadi, lebih tepatnya.""Hmm, sama aja itu artinya dengan kamu menguping pembicaraan aku.""Ya terserahlah. Intinya sekarang aku mau kamu jawab jujur pertanyaan aku. Garin itu siapa kamu?""Aku 'kan udah jawab tadi, kalau Garin itu bukan siapa-siapa. Tapi kamu malah bilang aku bohong, aneh!""Aku bilang gitu karena aku yakin kamu cuma bohong.""Astaga! Terus aku harus jawab kayak gimana lagi? Karena memang