Pak Jerry mengantar mas Sapto sampai pagar rumah,
”Maafkan Rosita ya mas..”
”Iya pak,” sahut mas Sapto datar.
Mas Sapto dan mas Ipung lalu pergi dari situ.
Jerry masuk ke dalam rumah, langsung menggedor pintu kamar Rosita,
”Rositaa.. Rooos ! kamu gak sopan, marah-marah sama bapak didepan tamu,”
Rosita acuh, dia tidak peduli lagi pada bapaknya. Saat ini, ia bahkan menyesal punya bapak seperti Jerry. Bisa menasehati anaknya, tapi kelakuannya sendiri seperti itu.
Sebenarnya Jerry memanggil Rosita, ingin tahu soal uangnya dapat darimana?. Jerry tadi juga sempat melihat, tas-tas belanjaan yang berserakan di lantai kamar Rosita, Jerry jadi curiga, tentu saja, Rosita juga sudah bisa membaca reaksi bapaknya tadi.
”Roos ! buka pintunya, atau bapak dobrak pintunya nih,”
"Terserah bapak, mau didobrak silakan saja.. ini kan rumah bapak juga,"Sudah hampir satu tahun, rumah ini suasananya berubah jadi seperti dineraka, setiap hari ada saja yang salah dimata bapak; lalu dia marah-marah kepada siapa saja yang ada disitu. Sempat terlintas dalam benak Rosita, apakah ada sesuatu yang mendorong sikap bapaknya jadi sekasar itu? Apa karena faktor usianya? Namun Rosita tak mampu berbuat banyak.
”Bodo amatlah dengan kelakuan bapak.. yang penting kalau pak Den ngajak nikah, aku sih mau aja, walau jadi isteri kedua juga gak apa-apa. Sepertinya dia orang baik.” kata hatinya.
Rosita merasa bahwa usul pak Deden sudah benar, pindah ke rumah baru yang dekat dengan kantornya. Ia memutuskan untuk segera pindah rumah, demi menyelamatkan perkembangan jiwa bayinya, serta hubungannya dengan pak Deden.
**
Esok paginya sesuai dengan janji, pak Deden pagi-pagi sekali sudah ada di rumah Jerry. Rosita dan Maya terlihat sudah menunggunya. Berpakaian rapi dan siap untuk pergi. Tapi tiba-tiba Jerry muncul dari arah ruang makan. Dengan terpaksa Rosita mengenalkan pak Deden kepada bapaknya.
”Ini pak Deden yang mau masukkan Ros kerja,” kata Rosita pada bapaknya.
Jerry dan pak Deden bersalaman.
”Jerry”
”Deden,”
Mereka saling tatap. Sebagai lelaki Jerry tentu tidak mau puterinya dipermainkan oleh laki-laki yang kini ada didepannya.
”Oh baguslah kalau begitu.. dimana kantornya pak Den..?”
”Jalan Buncit Raya pak..”
“Iya, saya tahu jln Buncit Raya,”
Rosita langsung memotong pembicaraan, ia mencegah pak Deden ngobrol berkepanjangan dengan bapaknya.
”Ayo pak Den kita jalan.”
”Kamu mau kerja bawa bayi?”
”Iya pak, disana ada baby sitter yang jaga..” sahut Rosita singkat.
Rosita tak mau berdebat dengan omong kosong bapaknya lagi. Rosita mulai menjaga jarak dengan bapaknya. Sikapnya kaku, tidak ada basabasinya, Kalau bukan karena ingat pada adik dan ibunya, ia merasa menyesal dilahirkan ke dunia ini. Kali ini Jerry kalah langkah dengan Rosita. Ia tahu, bapaknya tak punya alasan kuat melarang kepergian Rosita bersama pak Deden.
”Kami pamit ya pak Jerry,”
”Iya, hati-hati di jalan,”
”Assalammu’alaikum,” kata pak Deden
”Wa alaikum salam,” sahut Jerry pelan.
**
Mobil pak Deden pun melaju meninggalkan rumah Jerry.
”Kita cari rumah dulu ya Ros..”
”Ya terserah pak Den saja..”
”Kok terserah melulu, kasih saran dong?”
”Saran? Bagusnya sih kita sarapan dulu pak,”
”Oh iya yah.. sampai lupa.. gara-gara Maya nih.”
”Lho kok, Maya jadi terlibat..?”
Pak Deden salah tingkah,
”Iya kemarin kan gara-gara Maya kita jadi bisa kenalan.. hehe” pak Deden tersenyum dengan rasa kemenangannya.
”Oh iya yaah.. hihihi,” Rosita ikut tertawa mengingat pertemuan mereka kemarin.
”Kalau gak ada Maya, mungkin kita gak pernah kenalan Ros..”
”Masa sih?”
”Iya. serius, mestinya kemarin saya dapat jadwal pemotretan untuk peta lokasi. Tapi, pagi-pagi dapat kabar dibatalkan. Trus saya ke resto, mau sarapan. Eh, ada ibu yang ninggalin bayinya di kursi..”
”Ooh.. hahaha, “ Rosita terkekeh-kekeh.
Mobil mewah itu sudah sampai ke jalan Duren Tiga, lalu belok ke kiri ke arah jalan Buncit Raya. Persis di depan kantornya, pak Deden memberitahukan pada Rosita,
”Itu kantor saya, nah kita cari rumah di sekitar kemang atau daerah cipete mungkin lebih dekat ya..”
”Ros kurang piknik pak Den, jadi ga tau nama-nama jalan. Apalagi ini sudah masuk daerah Jakarta Selatan, Ros sejak dulu berkegiatan cuma diseputar Jakarta Timur.. ”
”Oooh jadi Ros gadis pingitan ya?”
”Bisa iya, bisa juga enggak. Pokoknya Ros sekolah sampe tamat SMA, trus bapak bilang, perempuan itu harus diam didalam rumah, gak boleh kemana-mana, tunggu saja jodoh datang sendiri kerumah. Ya gak mungkinlah jodoh ujug-ujug datang kerumah, Cinderella aja harus pergi ke pesta, baru bisa ketemu sama pangeran yang jatuh cinta,”
”Trus Ros ketemu bapaknya Maya dimana?” tanya Pak Deden penasaran.
”Di acara Jakarta Fair, waktu itu kita sama-sama jadi sales, dipajang pada satu produk mobil. Saling jatuh cinta, trus dilamar, trus Ros langsung diboyong ke Jawa Tengah, karena di Jakarta sulit cari kerja,”
”Ooh begitu.. trus gimana?”
”Udah aah pak Den, gak usah membangkitkan luka lama deh..”
”Ciee.. ciieee…, okay, forget it about the past”
”Apa tuh artinya pak Den?”
”Lupakan saja masa lalu”
Pak Deden memutar balik arah mobilnya,
”Sebentar ya Ros, kita mampir dulu. Tadi malam saya baca iklan rumah dikontrakkan di daerah sini, kita lihat-lihat saja dulu ya,”
Rosita mengangguk pelan,
”Ya Tuhan, ternyata laki-laki ini gak main-main, perhatiannya tulus, tapi bagaimana kalau bapak ikut campur lagi? Aah.. gimana nanti sajalah..” kata batin Rosita.
”Naah, itu dia rumahnya Ros..”
Mobil pak Deden parkir di seberang rumah yang bertuliskan “Rumah dikontrakan/dijual”, Pak Deden dan Rosita lalu turun dari mobil, jalan menuju rumah tersebut, namun pagarnya terkunci, digembok.
”Permisi, permisi..” Pak Deden sambil menggerakkan gemboknya.
”Aduh saya lupa catat nomer handphonenya, ibu siapa gitu..” kata Deden.
Tak ada sahutan dari dalam rumah.
”Permisi, spada…”
Tiba-tiba sipemilik rumah muncul dari arah rumah di sebelah.
”Mau kontrak ya pak..” kata bu Ana.
Pak Deden dan Rosita menengok bersamaan ke arah datangnya bu Ana.
”Iya bu,”
Bu Ana menghampiri, lalu membuka kunci gembok pagar, dan mengajak mereka masuk.
”Saya tinggal di rumah sebelah.. sebenarnya ini rumah anak saya, dia dapat tugas keluar pulau, daripada kosong, lebih baik dikontrakkan saja,” bu Ana menjelaskan asal usul rumah tersebut.
Mata Rosita menatap ke sekeliling, bangunan rumah baru yang masih bersih dengan lantai terlihat kinclong. Pak Deden dan Rosita masuk melihat-lihat kamar yang dibuka pintunya oleh bu Ana.
”Gimana? Kamu suka ga rumahnya?”
”Iyya, bagus, enak bangunan baru. Kamarnya ada berapa bu?”
”Kamar dibawah ada tiga, diatas dua..” jawab bu Ana.
”Kamu mau lihat keatas?” tanya pak Deden.
"Hayuuk.."
Mereka lalu menaiki tangga ke atas. Di lantai 2 ada ruangan luas kosong, kamar tidur dua dan kamar mandi satu.
”Tapi kamarnya banyak sekali pak Den. Ros kan cuma bertiga dengan baby sitter,”
”Ya gak apa-apa.. siapa tahu keluargamu mau nginap disini, jadi ya tinggal tidur aja.”
Rosita terdiam sesaat.
”Ya terserah pak Den aja.. kalau Ros sih sudah suka sama rumah ini. Ada garasi buat mobil pak Den parkir, jadi ga parkir di pinggir jalan. Ada paviliunnya juga buat pak Den istirahat disitu, dapurnya cukup luas, cocoklah pak Den,”
”Jadi kamu setuju Ros?”
Rosita mengangguk,
”Iya pak.. “
Pak Deden dan bu Ana lalu bernegosiasi soal harga kontrak rumah itu, sampai deal.”Oke bu, kita mau kontrak rumah ini. Jadi saya tunggu ibu bikin surat perjanjian kontraknya, baru saya lunasi ya.. ini saya transfer untuk uang muka dulu bu.. nomer hape ibu berapa?”
”Ibu Ana, 0811xxxxxx,”
Pak Deden tampak memasukkan nomor hape bu Ana.
”Sudah masuk ya bu..” pak Deden sambil memperlihatkan laporan transfer uang muka yang tertera di hapenya.
”Kapan kita bisa pindah kesini bu?”
”Ya tergantung pelunasan dari bapak saja,” jawab bu Ana.
”Oke, kalau begitu besok saya lunasi. Surat perjanjiannya besok sudah jadi ya bu Ana”
”Iya pak,”
”Ya sudah hayuk pak Den.. Bu Ana kami pamit dulu ya..” kata Rosita.
”Iya.. ibu namanya siapa ya?”
”Panggil saya Ros aja bu..”
”Baik dek Ros.”
Pak Deden jalan menuju ke mobilnya, Rosita pun mengikuti langkahnya.
Di dalam mobil,
”Pak.. perutku udah ga kompak nih..”
”Oh iya yah.. saya kok jadi lupaan sih.. maaf ya Ros,”
Mobil pak Deden melaju meninggalkan rumah bu Ana.
**
Sampai akhirnya mobil itu parkir di satu kios kecil tempat makan. Disitu terlihat tulisan, sedia bubur ayam, nasi tim, dan mi ayam. Rosita hanya mengikuti langkah pak Deden masuk ke kios tersebut. Setelah memesan makanan, pak Den memperhatikan wajah Rosita.
”Kamu sepertinya sedang ada masalah ya?”
Rosita tersentak. ”Ga ada pak Den,”
”Sudahlah gak perlu bohong sama saya, ada apa Ros..”
Rosita bingung, bagaimana sebaiknya menceritakan kegalauan hatinya dengan kedatangan mas Sapto dan juga kebohongan rahasia perilaku bapaknya yang tiba-tiba terbongkar.
”Kemarin bapaknya Maya datang..” hanya itu yang terucap dari bibirnya yang masih kelu.
”Sudah, sudah.. gak perlu diteruskan. Saya sudah tahu selanjutnya. Bagaimana kalau saya tawarkan Ros sementara istirahat saja dulu di hotel. Kamu menyusui bayi gak boleh stress, kasian bayinya ya Ros.. Kamu istirahat saja di hotel, nanti setelah saya selesai meeting di kantor, kita cari perabot untuk isi rumah tadi..”
Hotel?
Rosita kaget, ia tidak bisa menerka-nerka apa yang bakal terjadi kalau Rosita menginap di hotel bersama Maya dan juga pak Deden.”Gimana? Jawab dong Ros… Saya cuma gak mau lihat kamu stress. Di hotel kamu bisa merasa nyaman. Mau tidur atau nonton tivi, terserah.. sesuka kamu saja.”
Rosita menatap pak Deden dengan tatapan kosong.
***
Rosita mulai mengerti perasaan pak Deden terhadapnya, dia hanya menjaga mood Rosita saja; akan tetapi tiba-tiba handphone pak Deden berbunyi. Rosita mengalihkan pandangan ke arah luar jendela mobil, namun ia membuka telinganya lebar-lebar menguping pembicaraan pak Deden disampingnya. Pak Deden melambatkan gas mobilnya, tapi tetap fokus pada jalan di depan, sambil menyelipkan handphone ditelinga kanan yang ditunjang oleh bahunya. ”Pah..” ”Iya Rick, ada apa?” ”Mbak Diyah melahirkan, jadi ga masuk hari ini, papah bisa cariin gantinya ga?” ”Bisa, ya udah.. sekarang papah jemput orangnya, langsung kesitu ya,” Pak Deden langsung mematikan handphone, dan menoleh ke arah Rosita, ”Ros, kita gak jadi ke hotel, tapi ke kafetaria, kebetulan kasirnya ga masuk,” Rosita menoleh ke pak Deden, ”Maksudnya gimana pak Den?” ”Sementara kamu kerja disitu, mau kan? Cuma duduk saja. Kita titip Maya ke tempat penitipan bayi.. ga apa-apa.. aman kok,” ”ya boleh pak Den, yang penting kerja, lagipula
Setiba di depan rumah Jerry, Rosita turun dari mobil pak Deden. Tak lama kemudian mobil pak Deden pergi, dan baru saja Rosita hendak membuka pintu rumah.“Hei Ros.. saya mau bicara sama kamu,” kata bu Amilia yang tiba-tiba berdiri di jalan depan rumah. Rupanya tanpa setahu pak Deden, bu Amilia mengikuti mobil suaminya, dari kejauhan.Rosita kaget,“Ibu?”“Jangan panggil ibu, saya bukan ibumu..”Rosita tercekat,“Ada apa ya tante…? Masuk dulu, kita bicara didalam saja”"Gak perlu. Saya cuma mau tanya, sejak kapan kamu menggoda suami saya?"“Menggoda?. Saya tidak merasa menggoda suami tante.. Dia mungkin yang tergoda pada saya..?”Bu Amilia terpukul oleh kalimat yang keluar dari mulut Rosita.“Tidak mungkin kamu tidak menggodanya, itu bayi siapa?”“Ini bayi saya bu…”“Iya saya tahu, pasti hasil selingkuh dengan suami saya kan..?”“Terserah tante mau ngomong apa, percuma tante marah-marah disini, kenapa tante gak marahi suami tante saja..?”Rosita melihat Bu Tari tetangga terdekat disitu
Jam di dinding menunjukkan pukul 21.00 sebelum Pak Deden tertidur di sofa ruang keluarga, dan terbangun pukul 24.20, karena mendengar suara mesin mobil isterinya masuk ke garasi. Dia sengaja mematikan lampu ruang tengah. Ketika isterinya masuk, Pak Deden langsung menegurnya, “Mamah darimana sih? hari gini baru pulang?” Bu Amilia terkejut, ia tak menyangka suaminya menunggu di ruang tengah, tapi ia berusaha tenang, dan menjawabnya dengan jujur. “Tadi mampir ke rumah Satria,”“Oh, ya ga apa-apa.. tapi kenapa ga kabarin papah dulu. Mamah curhat lagi yah ke Satria.. ?”“Iya pah.. soalnya papah udah ga punya waktu buat dengerin curhatan mamah, pagi-pagi sudah pergi, pulang malam langsung tidur. Udah gitu gak tidur di dalam, malah tidur di paviliun. Kapan waktu buat mamah ngobrol sama papah?”“Ya kalau papah masuk ke kamar, nanti mamah malah keganggu tidurnya. Jadi ceritanya mamah masih mau ngobrol sama papah,”“Iya dong, mamah kan masih isteri papah” Pak Deden diam,“Trus sekarang mamah
Matahari mulai naik memancarkan panas teriknya ke halaman sempit rumah Jerry. Dari kejauhan, suara adzan mulai berkumandang. Pintu ruang tamu terbuka lebar, disitu Rosita terlihat duduk memeluk Maya yang tidur pulas dalam dekapannya. Rosita gelisah, sesekali menoleh kearah jalan di depan rumah itu. Ia tak yakin kalau pak Deden tidak datang, karena tadi malam dia janji bakal menjemputnya.Bu Lastri duduk di depannya. Ia hanya menatap kearah Rosita, entah apa yang ada dalam pikirannya, Rosita tak ambil pusing."Bu Lastri mau sholat..? Di kamar saya ada keranjang merah, ada sajadah dan mukena disitu, cari aja""Iya non.."Bu Lastri lalu jalan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Sementara itu, Rosita makin gelisah menunggu pak Deden datang menjemput. Didalam benaknya, "apakah tadi malam pak Deden bertengkar dengan isterinya, lalu bu Amilia melarangnya untuk menemui Rosita?. Kalau saja memang seperti itu yang terjadi, Rosita berniat, hanya akan menunggunya hari ini sampai sore hari nanti
Kehangatan suasana baru di rumah baru, meski hanya sebuah rumah kontrakan; membuat seluruh persoalan hidup sebelumnya, nyaris hilang dalam sekejap. "Mang Ujang, kalau mau istirahat, silakan.. nanti selesai shalat ashar kita jalan,""Iya pak..""Bu Lastri juga boleh istirahat dulu,"Mang Ujang jalan menuju ke tangga, dan bu Lastri menggendong Maya masuk ke kamarnya.Tiba-tiba handphone pak Deden berdering.."Naah, naah.." ucap Ricky senyum-senyum."Ssssttt.." seru pak Deden sambil menaruh telunjuknya didepan bibir.Rosita tersenyum kecil, karena kurang paham pada situasi saat itu."Assalammu'alaikum kang Satria,""wa alaikum salam kang Den, Bisa ketemu saya hari ini ?""Besok ajalah kang.. saya masih sibuk disini,"Tiba-tiba Maya menangis, Rosita masuk ke kamar lalu membawanya keluar rumah, tapi suara tangisannya terdengar oleh Satria Irawan."Itu bayi kang Den..?""Iya kang.. siteteh udah curhat semua kemaren kan..?""iya sudah kang Den, besok jam sepuluh pagi saya tunggu di kantor ya
Pak Deden membawa Rosita ke ruang kerja admin di lantai bawah. Ruang kerja yang terbuka, dengan sekat-sekat pembatas bagi setiap pegawai yang terlihat serius sedang mengerjakan tugasnya masing-masing. Pak Deden mengenalkan Rosita pada mbak Nenny, lalu meninggalkan mereka berdua saling berbicara.Beberapa saat kemudian, bu Amilia tampak masuk ke lobby kantor itu. Ketika melewati ruang admin, bu Amilia melihat Rosita disitu sedang berdiri mengobrol dengan mbak Nenny. Hatinya langsung panas, mendidih, dorongan emosinya yang menggelegak, membuat bu Amilia menghampiri Rosita,"Heh! ngapain kamu disini?. Perempuan gak tau malu.. Keluar kamu !!" bu Amilia dengan suara lantang.Para pegawai spontan menoleh semuanya berbarengan kearah Rosita dan bu Amilia.Baju Rosita diseret kasar oleh Bu Amilia kearah ruang lobby, diikuti tatapan mata seluruh pegawai disitu. Melihat hal itu, mbak Nenny panik, langsung telpon ke ruang Satria Irawan."Pak, itu.. ituuu.. ibu Amilia marah-marah ke perempuan yang
Kaki Rosita melangkah memasuki pagar, lalu menutupnya kembali. Di teras rumah itu, ia melihat pak Deden sudah menunggu. Rosita bingung, harus bersikap bagaimana kepada lelaki itu?. Pertemuan dengannya seperi sebuah pelarian yang tidak diduga sebelumnya, akan berbuah pahit seperti ini.Bagaimanapun pak Deden adalah orang baik dimata Rosita. Ia lalu duduk disampingnya."Bu Lastri sudah pulang?""Sudah, tadi diantar mang Ujang, Maya juga sudah tidur."Ekspresi wajah pak Deden pun tampak bingung, dia tak tahu bagaimana perasaan Rosita terhadapnya saat ini. Namun dia berusaha menutupi dengan senyum pada Rosita. Meski pak Deden tahu suara mesin mobil yang berhenti di pinggir jalan yang mengantar Rosita tadi, adalah mobil adik iparnya, Satria Irawan. Dan bukan hal yang tidak mungkin, pembicaraan antara Rosita dengan adik iparnya itu tidak membicarakan masalah tentang dirinya."Ros diantar pak Satria ya..""Iya pak Den...""Kemana aja tadi, sampai berapa jam saya tunggu kamu disini,""Apa pert
Setiba di rumah, Jerry langsung mengantar bu Lastri dengan motor bututnya. "Bapak antar bu Lastri dulu Ros,""Iya pak.." sahut Rosita malas.Jerry berubah sikap serta tutur katanya terhadap Rosita, karena sekarang sudah makin jelas terlihat didepan matanya, bahwa Rosita bisa dijadikan modal untuk membantu tambahan keuangan keluarga. Mestinya Jerry tidak boleh berpikir seperti itu, karena Rosita adalah putrinya, perempuan yang harus dijaga kehormatannya. Karena kalau sampai Rosita berbuat dosa zina, maka Jerry juga harus mempertanggung jawabkan perbuatan dosa tersebut, di dunia dan di akhirat nanti.Seharian ini Rosita merasa lelah sekali. Masalah yang tiba-tiba melibatkan dirinya seolah-olah tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun Rosita yang sudah terbiasa memperhatikan sikap dan cara bicara orang lain, membuat sikap dirinya jadi terbentuk dengan sendiri. Rosita sudah dibekali sifat penyabar, tapi ia harus punya sikap tegas, karena dalam menghadapi orang lain dalam aksi dan reaksi
Bu Amalia mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Satria Irawan. Membelokan melaju di jalan raya. Cahaya matahari pagi yang mulai mengeringkan embun pada rerumput dan dedaunan; membasuh mata Bu Amalia dalam perasaan yang kering, kosong, dan hampa. Entah apalagi yang harus diperjuangkan pada sisa usia yang semakin menua. Namun ia tak kehabisan akal liciknya, ia teringat sesuatu. Lina. Ya, Lina, mantan istri Satria Irawan yang mengurus anak perempuannya bernama Sherly. Sekarang usianya sekitar lima tahun. Sebenarnya Sherly bukan anak biologis Satria Irawan, tapi hasil perselingkuhan Lina dengan Robert. Lelaki bermental gigolo yang hanya bermodalkan rayuan pulau kelapa, untuk manfaatkan fasilitas, uang dan kenikmatan lain dari Lina. Setelah ketahuan, Robert menghilang begitu saja, tinggalkan Lina. Barangkali dalam benak Robert, dia merasa aman... karena Lina punya suami. Jadi kalaupun Lina hamil anaknya, tentu ada seorang bapak yang bakal mengurusnya. Seperti itulah terak
Ricky memejamkan matanya kembali, dia pikir itu suara bayi tetangga sebelah yang memang kadang mengganggu tidurnya. Tak lama kemudian, dia merasa hendak ke toilet untuk buang air kecil. Ricky keluar dari kamar paviliun, bersamaan dengan bu Lastri yang keluar dari kamar karena mendengar tangisan Maya yang tak berhenti. Bu Lastri terkesima melihat ketampanan wajah Ricky yang terlihat dari samping, dan postur tubuhnya yang membelakangi, tapi Ricky tak menggubrisnya. Bu Lastri tidak tahu bahwa Ricky tak bisa melihatnya karena matanya buta. Beruntungnya Ricky sudah masuk ke dalam toilet, jadi mereka tidak sempat berpapasan. Bu Lastri buru-buru menggendong Maya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Untungnya, setelah Maya digendong langsung diam tangisnya. Di dalam kamar pak Deden, pelayanan pagi pun dilanjutkan kembali. Keluar dari kamar mandi, Ricky mendengar suara rintihan bu Lastri "uh ah.. uh ah.." dari arah dalam kamar pak Deden. Ricky menuju ke pintu kamar pak Deden, Berbisik
Satria Irawan turun dari mobil, diikuti oleh Ricky. Beberapa langkah kemudian, Ricky mengeluarkan kunci rumah dari dalam saku depan tas ranselnya, setelah membuka pintu depan, mereka lalu masuk ke dalam rumah. Di dapur terlihat pak Deden sedang memasak air, dia tak suka menggunakan air panas dari dispencer untuk menyeduh kopi, katanya lebih enak dengan air yang dimasak hingga mendidih. Pak Deden menoleh ke arah Satria Irawan yang baru saja masuk dari pintu depan. Sedangkan Ricky langsung menuju ke kamarnya. "Assalamualaikum kang Deden," "Wa alaikum salam... kok gak jadi ke Bandungnya ?" "Iya kang, tadi nolongin orang yang sedang kesusahan..." "Alhamdulillah.. Bagus itu kang Sat.. ibadah ya." Satria Irawan mengangguk pelan, "Ya nyicil-nyicil amal baik aja kang Den," sambil duduk bersila di karpet lantai disitu, "Ada berita apa aja dari kantor kang Den..? beberapa hari ini saya gak sempet mampir ke kantor" "Ada yang urgent sih kang.. Soal Erna. Apa kang Sat sudah tahu?" "E
Setiba di halaman parkir persis di samping mobil Satria Irawan, Rosita melihat Ricky tidur dengan lelapnya. Ia tak membangunkan Ricky, tapi langsung naik ke kursi di belakang. Namun tak disangka, Ricky malah jadi terbangun. Mata Ricky memang buta, tapi daya rasa inderanya cukup tajam. Dia mencium aroma tubuh Rosita yang amat dikenalinya, duduk di kursi belakang. "Mbak Ros..?" "Iya Rick.. kamu kok bisa tahu?" "Bisa mbak.. Ohya, siapa yang sakit mbak?" "Ibu saya Rick..." "Gak ditungguin?" "Sudah, tadi kata dokternya boleh ditinggal saja," "Oooh.. " "Kita antar mbak Rosita dulu ke rumahnya ya Rick.."kata Satria Irawan memotong. "Iya Pih.." Mobil Satria Irawan melaju di jalan raya menuju ke arah rumah Jerry. ** Setiba di depan rumah, Rosita langsung turun dan melambaikan tangannya kepada Satria Irawan. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Akan tetapi Rosita kaget, karena tiba-tiba melihat bu Lastri keluar dari kamar ibunya. Rambutnya masih terurai, seperti b
Rosita menatap kepergian Satria Irawan sampai keluar dari pintu ruang ICU. Kemudian Rosita memandangi wajah ibunya, matanya terpejam tapi bibirnya tersenyum. "Ibuu.. maafkan Ros ya.. Ros belum sempat membuat hati ibu senang, belum sempat membuat ibu hidup tenang tanpa harus bekerja mencari tambahan untuk biaya adik-adik sekolah." Rosita menciumi telapak tangan ibunya dengan dipenuhi rasa sayang yang teramat dalam. "Ros tahu, ibu sudah lelah... melewati perjalanan yang cukup panjang. Sekarang ibu sudah tenang... Maafkan Ros ya bu.. Ros janji akan menjaga adik-adik sebaik-baiknya bersama bapak nanti." Rosita bingung, bagaimana kalau ia menyampaikan hal ini kepada Jerry, ia tak mau dengar Jerry uring-uringan di rumah sakit. Itu sebabnya sengaja ia tidak memberitahukan Jerry, dia tak mau ada keributan yang tidak penting kalau Jerry tahu soal kematian ibunya. Pasti dia menyalahkan Rosita yang telah membawanya ke rumah sakit dan mengijinkan operasi kedua tersebut. Secara Jerry kadang-k
Di depan Ruang Operasi~ Rosita akhirnya tertidur di samping Satria Irawan. Ia tak mampu menahan rasa kantuknya. Namun ketika ia terlelap dalam tidurnya, kepala Rosita jatuh ke bahu Satria Irawan; hal itu menyebabkan lelaki tampan ini terbangun. Akan tetapi, saat dia tahu bahwa yang menyandar dibahunya adalah wanita pujaan hatinya, maka dia membiarkan bahunya jadi sandaran kepala Rosita. Satria Irawan kembali memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama mereka tertidur disitu, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara brankar yang keluar dari Ruang Operasi. Mereka terbangun secara bersamaan, Rosita langsung menghampiri Dr Budiyanto. Satria Irawan mengikuti langkah Rosita. "Bagaimana kondisi ibu saya dok" Tanya Rosita sambil jalan disamping Dr Budiyanto. Langkah Dr Budiyanto terhenti, dokter itu pun menjelaskan kepada Rosita. "Alhamdulillah.. operasi sudah berlancar lancar." Dr Budiyanto terdiam sejenak. Rosita masih menatap mata Dr Budiyanto. "Akan tetapi, jantung ibu Minah mas
Surat Pernyataan Pertanggungjawaban yang sudah ditandatangani Rosita, kemudian diserahkan kembali oleh Satria Irawan kepada Perawat Jaga. Perempuan itu lalu mengangkat telpon intern untuk menyampaikannya ke Dr Budiyanto. Satria Irawan masih berdiri di depan meja tinggi tempat Perawat Jaga tak jauh dari ruang ICU. "Silakan duduk saja dulu, sebentar lagi pasien dibawa ke ruang operasi, atau bapak mau tunggu di sana?" "Baik Suster.. saya tunggu di sana saja," Satria Irawan lalu jalan meninggalkan tempat Perawat Jaga. ** Malam semakin hening. Di ruang tunggu depan ruang operasi, yang terdengar hanya suara halus dari detak jam dinding di atas pintu masuk ke Ruang Operasi. Jam dinding saat ini menunjukkan pukul 22.30. Operasi jantung bu Minah, sudah dilakukan kurang lebih setengah jam yang lalu. Satria Irawan duduk di kursi di koridor depan Ruang Operasi. Dia menyenderkan kepalanya ke dinding. Rasa kantuk tak dapat ditahannya, sesekali kepalanya terjatuh ke bahunya.
~Di depan Ruang ICU~ Dari balik kaca pembatas di luar Ruang ICU, Satria Irawan hanya dapat melihat punggung berseragam putih yang membalut tubuh dua orang perawat dan tiga orang dokter, yang menghalangi pandangan Satria Irawan ke arah bu Minah. Satria Irawan gelisah. Dia hanya dapat melihat alat-alat medis yang tampak tersambung ke tubuh perempuan setengah baya itu.. Alat pengukur denyut jantung, selang yang mengarah ke tabung oksigen, dan mesin yang bertuliskan angka terletak diatas, jadi dari segala sudut angka tersebut dapat terlihat. Meski dirinya sama sekali tidak paham fungsi alat-alat tersebut, akan tetapi dia sangat penasaran. Tubuhnya bergerak perlahan ke kanan, dan lalu ke kiri mencari celah yang terbuka untuk mengintip. Namun tak berhasil. Akhirnya dia pasrah. Mengalihkan pandangan matanya ke arah lain di ruang itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, bagaimana kalau tiba-tiba bapaknya Rosita datang, dan marah karena dia telah lancang membawa kembali bu Minah ke ruang ICU
Rosita keluar dari dalam kamar, langkah kakinya menuju ke kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah kamar ibunya, ia pun masuk kesitu. Dilihatnya nafas bu Minah tersengal-sengal, dan wajahnya memucat. Bergegas ia mendekat, "Ibuu.. ibu kenapa?" Bu Minah hanya meremas-remas dadanya dengan tangan kanan tanpa tenaga. "Tadi sudah minum obat apa belum bu?" tanya Rosita lagi. Bu Minah mengangguk pelan, tangannya masih meremas baju didadanya, Rosita menatap lekat lalu spontan mengambil tangan ibunya, menaruh dalam genggaman tangan kirinya, sambil tangan kanannya mengelus-elus berusaha menenangkan hati ibunya, namun nafas bu Minah semakin terengah-engah. "Ibu tenang ya... Ros telpon pak Satria dulu," Bu Minah mengangguk, pelan sekali. Rosita keluar dari kamar bu Minah menuju ke kamarnya, mengambil handphone lalu menelpon Satria Irawan. "Pak Satria bisa kesini sekarang," "Bisa Ros.. tunggu ya," "Iya," Rosita menutup handphonenya sambil jalan menuju ke kamar ibunya