Rosita mulai mengerti perasaan pak Deden terhadapnya, dia hanya menjaga mood Rosita saja; akan tetapi tiba-tiba handphone pak Deden berbunyi. Rosita mengalihkan pandangan ke arah luar jendela mobil, namun ia membuka telinganya lebar-lebar menguping pembicaraan pak Deden disampingnya.
Pak Deden melambatkan gas mobilnya, tapi tetap fokus pada jalan di depan, sambil menyelipkan handphone ditelinga kanan yang ditunjang oleh bahunya.
”Pah..”
”Iya Rick, ada apa?”
”Mbak Diyah melahirkan, jadi ga masuk hari ini, papah bisa cariin gantinya ga?”
”Bisa, ya udah.. sekarang papah jemput orangnya, langsung kesitu ya,”
Pak Deden langsung mematikan handphone, dan menoleh ke arah Rosita,
”Ros, kita gak jadi ke hotel, tapi ke kafetaria, kebetulan kasirnya ga masuk,”
Rosita menoleh ke pak Deden,
”Maksudnya gimana pak Den?””Sementara kamu kerja disitu, mau kan? Cuma duduk saja. Kita titip Maya ke tempat penitipan bayi.. ga apa-apa.. aman kok,”
”ya boleh pak Den, yang penting kerja, lagipula Ros belum punya pengalaman,”
”Kamu pelajari sebentar mesin kasirnya, nanti dikasih tau Ricky anak saya ,”
”Baik pak Den,”
Setelah menitipkan Maya ke tempat penitipan bayi, mobil pak Deden lalu menuju ke kafe. Rosita heran mengapa langsung masuk ke mall yang kemarin. Terus jalan kearah kafe yang kemarin juga?.
”Ooh… jadi sebenarnya pak Den yang punya kafe ini ya?”
”Iya Ros, tapi kalau makan, ya mesti bayar juga, hehehe..”
Pak Deden dan Rosita berjalan menuju kafetaria, Lalu Rosita dikenalkan kepada Ricky. Dia adalah anak adopsi pak Deden. Matanya buta karena sebuah kecelakaan. Bentuk matanya masih normal seperti orang biasa, beda dengan orang yang buta sejak dilahirkan. Meski begitu, ia masih bisa melihat warna samar-samar dari jarak dekat.
”Rick, ini mbak Rosita yang mau gantikan mbak Diyah. Tolong kamu kasih tau cara mesin kasirnya ya,”
”Baik pah.. ayo mbak Rosita,”
Ricky langsung mengajak Rosita ke kursi kasir, dan menunjukkan cara penggunaan mesinnya.
”Papah ke kantor dulu Rick..”
”Iya pah,”
”Ros, kerja baik-baik ya,”
”Iya pak Den,”
Pak Deden jalan meninggalkan kafe.
**
Ricky pemuda yang tampan, dengan tubuh tinggi besar, dan kekar. Penampilannya, tidak sesuai dengan usianya, orang menyebutnya bongsor. Karena dia tidak bisa melihat dengan jelas, maka sikapnya seolah-olah dingin, acuh, meski kadang tersenyum bila mendengar lawan bicaranya melucu. Senyumnya sangat menawan.
Ricky selalu berdiri di samping kursi kasir, kadang duduk di dekat pintu masuk ke dapur, ngobrol-ngobrol dengan chef Wawan, atau menikmati aroma masakan yang terbawa angin dari exhaust fan diatas pintu masuk dapur. Aroma khas bumbu rempah-rempah memancing air liurnya untuk segera mencicipi. Yups, memang Ricky yang selalu dimintai pendapat oleh chef Wawan, soal rasa masakannya.
Rosita memperhatikan wajah Ricky,
”mas Ricky, kamu bisa lihat uang ga?”
”Bisa dong mbak,”
”Coba.. ini berapa?” kata Rosita memperlihatkan lembaran uang kepadanya.
”kalau jarak segitu ga kelihatan mbak Ros.. tapi baju mbak kelihatan warnanya saja.”
”Kamu kecelakaan apa mas?”
”Jatuh dari tangga lantai atas mbak,”
”Umur berapa waktu itu?”
”Iih mbaknya kepo banget sih.. hahaha,” Ricky mentertawakan Rosita.
Tiba-tiba bu Amilia, isterinya pak Deden masuk dari arah luar kafe.
”Ricky.. kamu gak sekolah ya?” tanya bu Amilia yang mengejutkan Rosita.
”Iya mah.. tadi sudah ijin,”
”Mamah tadi ditelpon sama mbak Diyah katanya dia baru melahirkan,”
”Ini mbak Rosita, yang menggantikannya mah.. Kenalin mbak Ros, ini mamah saya,”
Rosita menjulurkan tangannya, tapi diacuhkan oleh bu Amilia, ia pun lalu menarik kembali tangannya.
”Siapa yang bawa mbak Rosita kesini Rick,”
”Papah mah..”
”Oh ya sudah ga apa-apa… kirain kenalan kamu. Padahal tadi mbak Diyah telpon ke mamah, katanya adiknya yang baru lulus SMEA mau kesini, buat gantiin posisi mbak Diyah.”
”Tapi belum ada yang datang mah..”
”Ya sudah, itu sudah ada tamu, baik-baik kerjanya ya mbak Rosita,”
”Iya bu,”
”Mamah ke salon dulu ya Rick,”
”Iya mah..”
**
Bu Amilia, jalan kearah luar kafe, ia mengeluarkan handphone dari dalam tasnya, lalu menelpon mbak Diyah.
”mbak Diyah, maaf ya.. posisi kasirnya sudah ada pengganti, suamiku yang bawa, maaf ya mbak Diyah...”
”Aduuh bu, gimana, adik saya sudah berangkat kesitu, kasian lho.. jauh-jauh dari bogor,”
”Ya tapi gimana… mbak Diyah juga gak bicarakan jauh hari sebelumnya sih, kalau suamiku orangnya gercep, gak mungkin kan Ricky yang jaga kas kasir,”
“Ya udah bu, ga apa-apa deh..” sahut mbak Diyah dengan nada kesal langsung menutup sambungan handphonenya.
**
Sementara itu, Rosita dan Ricky masih asyik mengobrol. Sebenarnya Ricky sudah tahu tentang Rosita dari laporan Pelayan yang melihat Rosita duduk bersama pak Deden kemarin pagi. Tapi Ricky sikapnya netral, dia tidak memihak ke mamah atau papahnya, meski diantara mereka saat ini sedang terjadi perang dingin, alias saling acuh.
Rosita terlihat mulai gelisah. Air susunya membasahi kaos yang dipakainya, itu pertanda bahwa sudah waktunya ia menyusui bayinya; untung saja Ricky tidak bisa melihat. Ia harus bersabar menunggu sampai jam delapan malam, waktu kafe tutup.
Sebelum tiba waktunya kafe tutup, Ricky mengambil uang yang ada di kasir dan menyisakan uang receh untuk kembalian pada konsumen saja.
”mbak Ros, maaf, aku mau ambil uang di kas, biasa, ini tugas dari papah. Nanti aku tinggalin sebagian untuk uang kembalian ya,”
Rosita lalu turun dari kursi kasir,
”Iya mas Ricky.. silahkan.”
"Sebentar lagi aku dijemput sama sopir, jadi aku pulang duluan ya mbak,"
”Iya mas Rick.. gak apa-apa, silakan,”
Ricky pun tampak jalan menuju ke arah pintu keluar Mall. Matahari sore sudah memerah condong ke barat, tak lama kemudian terlihat mobil yang menjemput Ricky yang sudah menunggunya di pintu masuk Mall. Baru saja mobil yang menjemput Ricky keluar dari mall, mobil pak Deden tampak masuk dan parkir disitu.
Pak Deden turun dari mobil sambil menggendong Maya. Dia tampak terburu-buru, karena tangisan Maya yang belum berhenti sejak dijemput dari tempat penitipan bayi..
”Ya Allah pak Den, Maya kenapa..?”
”Ga tau Ros.. tadi tempat penitipan itu telpon saya, katanya mereka tutup jam lima, makanya saya jemput dan bawa kesini Ros..”
”Oh ya sudah pak Den ga apa-apa, mungkin dia mau menyusu..”
Rosita lalu mengambil Maya dari gendongan pak Deden,
”Dia mau mimi pak Den, dimana aku bisa kasih miminya?” tanya Rosita.
Pak Deden kebingungan, lalu menuju ke dapur menemui chef Wawan,
'Chef Wawan, ada ruangan yang bersih ga?"
"Buat apa pak?"
"Itu mbak Rosita mau menyusui bayinya.."
"Ooh ada pak,"
Chef Wawan pun jalan keluar dari dapur, dan memberitahukan gudang khusus untuk peralatan yang bersih,
”ayoo mbak.. disitu saja…”
Rosita menuju tempat yang ditunjuk chef Wawan, lalu masuk dan langsung menyusui Maya.
“Duuuh, kamu haus ya May… maafin ibu ya,”
Pada saat yang bersamaan, beberapa tamu sudah mengantri didepan kasir untuk pesan makanan, pak Deden melihatnya, lalu menuju ke dapur lagi dan meminta chef Wawan untuk menggantikan Rosita sebentar.
”Chef Wawan, bisa tolong lagi... itu tamu sudah ngantri, pegang kas sebentar ya,” kata pak Deden.
”Baik pak,”
”Ohya, Ricky sudah dijemput ya ?”
”Sudah sama mang Ujang baru saja tadi..” chef Wawan sambil jalan ke kursi kasir.
Chef Wawan duduk di kursi kasir, melayani konsumen yang sudah antri. Sedangkan Pak Deden duduk di kursi tidak jauh dari kasir.
Semakin malam, kafe itu justru makin ramai. Rosita tampak sibuk, dan Maya terlihat tidur dalam pelukan pak Deden.
Dia memang merindukan seorang bayi, setelah lima belas tahun menikah dengan isterinya, belum juga dapat momongan; itu sebabnya dia mengadopsi Ricky, maksudnya untuk pancingan, kalau isteri belum bisa hamil bertahun-tahun. Begitulah tradisi orang-orang tua zaman dulu.
Tiba saatnya kafe itu tutup, pak Deden lalu mengecek uang masuk ke kasir,
”Tumben malam ini rame, maaf aku cek uangnya Ros.. eh, uang yang dari pagi sudah diambil Ricky ya?”
”Sudah pak Den,”
Rosita lalu mengendong bayinya, dan duduk di satu kursi. Ruangan kafe sudah kosong, disitu terlihat Pelayan sibuk membersihkan meja-meja dan membawa piring serta beberapa gelas kotor ke arah dapur.
Beberapa saat kemudian, pak Deden mengajak Rosita keluar dari kafe,
”Ayoo Ros kita pulang, ini kunci laci kasir, saya sudah sisakan uang kembalian disitu buat besok,”
”Baik pak Den,”
Baru saja mereka hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba bu Amilia keluar dari mobilnya,. yang diparkir persis disamping mobil pak Deden,
”Ooh, jadi ini isteri yang baru ya pah..?”
Rosita kaget,
”Ibu..?”
”Ga usah panggil ibu, aku bukan ibumu !” sahut bu Amilia ketus.
Lampu diseputar Mall tampak mulai mati satu persatu. Pegawai-pegawai yang keluar hendak pulang dan lewat disitu menoleh kearah Rosita. Mereka sempat perhatikan sejenak, tapi kemudian jalan lagi.
"Sebentar Ros, kamu masuk dulu ke mobil."
Pak Deden menghampiri isterinya.
Rosita tidak menggubris perintah pak Deden, ia hanya memperhatikan ibu Amilia.Pak Deden mendekati tubuh isterinya, menyuruhnya masuk kedalam mobil, sambil merangkul pundaknya,
”Sudahlah mah.. ga baik ribut disini, malu tuh dilihat orang banyak,"
"Papah sudah punya bayi dari perempuan itu? Bagus ya permainan papah.. sampai gak ketahuan sama mamah""Sudah mah, sudaaah.... Nanti kita bicarakan di rumah aja ya,”Pak Deden menyuruh isterinya masuk ke dalam mobil sambil mendorong tubuh bu Amilia supaya duduk.
Rosita yang masih berdiri disamping mobil pak Deden, tampak mematung melihatnya. Ia merasa tidak enak, seolah-olah telah merebut suami orang lain yang baru saja dikenalnya.
”iya tapi papah kenapa pake pamer didepan Ricky segala..”
”Sudah sudah.. papah bisa jelasin nanti, “
Bu Amilia sebenarnya type ibu-ibu yang arogan, tapi ia tidak berani melawan suaminya. Akhirnya bu Amilia pun masuk kedalam mobilnya, lalu mobilnya pergi situ.
Pak Deden jalan kembali kearah mobilnya,
"Kamu kenapa gak masuk ke mobil Ros ?"Rosita tak berani mengucapkan apa-apa, selain ingin mendengar rencana selanjutnya dari pak Deden. Ia pun lalu masuk kedalam mobil.
”Kita kemana lagi nih pak Den?”
”Pulang dulu ya Ros.. kamu kan cape. Oya, tadi saya udah pesan perabot rumah yang dibutuhkan rumah tadi, jadi besok, kamu sudah bisa masuk kesitu. Tapi baby sitter masih belum dapat, gimana ya Ros..?”
”Ya sudah, nanti Ros yang cari baby sitternya. Terimakasih ya pak Den,”
Mobil pak Deden pun lalu melaju meninggalkan halaman parkir Mall.
***
Setiba di depan rumah Jerry, Rosita turun dari mobil pak Deden. Tak lama kemudian mobil pak Deden pergi, dan baru saja Rosita hendak membuka pintu rumah.“Hei Ros.. saya mau bicara sama kamu,” kata bu Amilia yang tiba-tiba berdiri di jalan depan rumah. Rupanya tanpa setahu pak Deden, bu Amilia mengikuti mobil suaminya, dari kejauhan.Rosita kaget,“Ibu?”“Jangan panggil ibu, saya bukan ibumu..”Rosita tercekat,“Ada apa ya tante…? Masuk dulu, kita bicara didalam saja”"Gak perlu. Saya cuma mau tanya, sejak kapan kamu menggoda suami saya?"“Menggoda?. Saya tidak merasa menggoda suami tante.. Dia mungkin yang tergoda pada saya..?”Bu Amilia terpukul oleh kalimat yang keluar dari mulut Rosita.“Tidak mungkin kamu tidak menggodanya, itu bayi siapa?”“Ini bayi saya bu…”“Iya saya tahu, pasti hasil selingkuh dengan suami saya kan..?”“Terserah tante mau ngomong apa, percuma tante marah-marah disini, kenapa tante gak marahi suami tante saja..?”Rosita melihat Bu Tari tetangga terdekat disitu
Jam di dinding menunjukkan pukul 21.00 sebelum Pak Deden tertidur di sofa ruang keluarga, dan terbangun pukul 24.20, karena mendengar suara mesin mobil isterinya masuk ke garasi. Dia sengaja mematikan lampu ruang tengah. Ketika isterinya masuk, Pak Deden langsung menegurnya, “Mamah darimana sih? hari gini baru pulang?” Bu Amilia terkejut, ia tak menyangka suaminya menunggu di ruang tengah, tapi ia berusaha tenang, dan menjawabnya dengan jujur. “Tadi mampir ke rumah Satria,”“Oh, ya ga apa-apa.. tapi kenapa ga kabarin papah dulu. Mamah curhat lagi yah ke Satria.. ?”“Iya pah.. soalnya papah udah ga punya waktu buat dengerin curhatan mamah, pagi-pagi sudah pergi, pulang malam langsung tidur. Udah gitu gak tidur di dalam, malah tidur di paviliun. Kapan waktu buat mamah ngobrol sama papah?”“Ya kalau papah masuk ke kamar, nanti mamah malah keganggu tidurnya. Jadi ceritanya mamah masih mau ngobrol sama papah,”“Iya dong, mamah kan masih isteri papah” Pak Deden diam,“Trus sekarang mamah
Matahari mulai naik memancarkan panas teriknya ke halaman sempit rumah Jerry. Dari kejauhan, suara adzan mulai berkumandang. Pintu ruang tamu terbuka lebar, disitu Rosita terlihat duduk memeluk Maya yang tidur pulas dalam dekapannya. Rosita gelisah, sesekali menoleh kearah jalan di depan rumah itu. Ia tak yakin kalau pak Deden tidak datang, karena tadi malam dia janji bakal menjemputnya.Bu Lastri duduk di depannya. Ia hanya menatap kearah Rosita, entah apa yang ada dalam pikirannya, Rosita tak ambil pusing."Bu Lastri mau sholat..? Di kamar saya ada keranjang merah, ada sajadah dan mukena disitu, cari aja""Iya non.."Bu Lastri lalu jalan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Sementara itu, Rosita makin gelisah menunggu pak Deden datang menjemput. Didalam benaknya, "apakah tadi malam pak Deden bertengkar dengan isterinya, lalu bu Amilia melarangnya untuk menemui Rosita?. Kalau saja memang seperti itu yang terjadi, Rosita berniat, hanya akan menunggunya hari ini sampai sore hari nanti
Kehangatan suasana baru di rumah baru, meski hanya sebuah rumah kontrakan; membuat seluruh persoalan hidup sebelumnya, nyaris hilang dalam sekejap. "Mang Ujang, kalau mau istirahat, silakan.. nanti selesai shalat ashar kita jalan,""Iya pak..""Bu Lastri juga boleh istirahat dulu,"Mang Ujang jalan menuju ke tangga, dan bu Lastri menggendong Maya masuk ke kamarnya.Tiba-tiba handphone pak Deden berdering.."Naah, naah.." ucap Ricky senyum-senyum."Ssssttt.." seru pak Deden sambil menaruh telunjuknya didepan bibir.Rosita tersenyum kecil, karena kurang paham pada situasi saat itu."Assalammu'alaikum kang Satria,""wa alaikum salam kang Den, Bisa ketemu saya hari ini ?""Besok ajalah kang.. saya masih sibuk disini,"Tiba-tiba Maya menangis, Rosita masuk ke kamar lalu membawanya keluar rumah, tapi suara tangisannya terdengar oleh Satria Irawan."Itu bayi kang Den..?""Iya kang.. siteteh udah curhat semua kemaren kan..?""iya sudah kang Den, besok jam sepuluh pagi saya tunggu di kantor ya
Pak Deden membawa Rosita ke ruang kerja admin di lantai bawah. Ruang kerja yang terbuka, dengan sekat-sekat pembatas bagi setiap pegawai yang terlihat serius sedang mengerjakan tugasnya masing-masing. Pak Deden mengenalkan Rosita pada mbak Nenny, lalu meninggalkan mereka berdua saling berbicara.Beberapa saat kemudian, bu Amilia tampak masuk ke lobby kantor itu. Ketika melewati ruang admin, bu Amilia melihat Rosita disitu sedang berdiri mengobrol dengan mbak Nenny. Hatinya langsung panas, mendidih, dorongan emosinya yang menggelegak, membuat bu Amilia menghampiri Rosita,"Heh! ngapain kamu disini?. Perempuan gak tau malu.. Keluar kamu !!" bu Amilia dengan suara lantang.Para pegawai spontan menoleh semuanya berbarengan kearah Rosita dan bu Amilia.Baju Rosita diseret kasar oleh Bu Amilia kearah ruang lobby, diikuti tatapan mata seluruh pegawai disitu. Melihat hal itu, mbak Nenny panik, langsung telpon ke ruang Satria Irawan."Pak, itu.. ituuu.. ibu Amilia marah-marah ke perempuan yang
Kaki Rosita melangkah memasuki pagar, lalu menutupnya kembali. Di teras rumah itu, ia melihat pak Deden sudah menunggu. Rosita bingung, harus bersikap bagaimana kepada lelaki itu?. Pertemuan dengannya seperi sebuah pelarian yang tidak diduga sebelumnya, akan berbuah pahit seperti ini.Bagaimanapun pak Deden adalah orang baik dimata Rosita. Ia lalu duduk disampingnya."Bu Lastri sudah pulang?""Sudah, tadi diantar mang Ujang, Maya juga sudah tidur."Ekspresi wajah pak Deden pun tampak bingung, dia tak tahu bagaimana perasaan Rosita terhadapnya saat ini. Namun dia berusaha menutupi dengan senyum pada Rosita. Meski pak Deden tahu suara mesin mobil yang berhenti di pinggir jalan yang mengantar Rosita tadi, adalah mobil adik iparnya, Satria Irawan. Dan bukan hal yang tidak mungkin, pembicaraan antara Rosita dengan adik iparnya itu tidak membicarakan masalah tentang dirinya."Ros diantar pak Satria ya..""Iya pak Den...""Kemana aja tadi, sampai berapa jam saya tunggu kamu disini,""Apa pert
Setiba di rumah, Jerry langsung mengantar bu Lastri dengan motor bututnya. "Bapak antar bu Lastri dulu Ros,""Iya pak.." sahut Rosita malas.Jerry berubah sikap serta tutur katanya terhadap Rosita, karena sekarang sudah makin jelas terlihat didepan matanya, bahwa Rosita bisa dijadikan modal untuk membantu tambahan keuangan keluarga. Mestinya Jerry tidak boleh berpikir seperti itu, karena Rosita adalah putrinya, perempuan yang harus dijaga kehormatannya. Karena kalau sampai Rosita berbuat dosa zina, maka Jerry juga harus mempertanggung jawabkan perbuatan dosa tersebut, di dunia dan di akhirat nanti.Seharian ini Rosita merasa lelah sekali. Masalah yang tiba-tiba melibatkan dirinya seolah-olah tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun Rosita yang sudah terbiasa memperhatikan sikap dan cara bicara orang lain, membuat sikap dirinya jadi terbentuk dengan sendiri. Rosita sudah dibekali sifat penyabar, tapi ia harus punya sikap tegas, karena dalam menghadapi orang lain dalam aksi dan reaksi
Pak Deden menutup pintu pagar, melangkah menuju teras, mengunci pintu depan, lalu kembali ke dalam kamarnya. Dia merebahkan tubuhnya diatas sofa bed, yang masih meninggalkan bau harum yang tertinggal dari bekas tubuhnya Rosita. Pak Deden salah satu laki-laki yang paling suka pada bau khas dari tubuh wanita. Akan tetapi dengan hadirnya Rosita, mungkin, dia harus siap bersaing dengan adik iparnya, Satria Irawan.Pak Deden teringat kembali pada bu Amilia, istri yang belum diceraikannya. Benarkah berita yang baru saja disampaikan oleh Satria Irawan, bahwa istrinya sudah hamil?. Dengan siapa istrinya berselingkuh? Apakah ini perbuatan balas dendam dari Amilia kepada dirinya, karena sering ketahuan berselingkuh?. Padahal tujuan pak Deden selingkuh itu justru ingin agar istrinya sadar dan berubah perilakunya, tidak cerewet dan arogan lagi, eeh malah semakin menjadi-jadi. Dia berusaha melupakan semua, tapi tentu saja tidak bisa. Semua itu ada dalam kenyataan hidupnya yang sekarang, saat ini.
Bu Amalia mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Satria Irawan. Membelokan melaju di jalan raya. Cahaya matahari pagi yang mulai mengeringkan embun pada rerumput dan dedaunan; membasuh mata Bu Amalia dalam perasaan yang kering, kosong, dan hampa. Entah apalagi yang harus diperjuangkan pada sisa usia yang semakin menua. Namun ia tak kehabisan akal liciknya, ia teringat sesuatu. Lina. Ya, Lina, mantan istri Satria Irawan yang mengurus anak perempuannya bernama Sherly. Sekarang usianya sekitar lima tahun. Sebenarnya Sherly bukan anak biologis Satria Irawan, tapi hasil perselingkuhan Lina dengan Robert. Lelaki bermental gigolo yang hanya bermodalkan rayuan pulau kelapa, untuk manfaatkan fasilitas, uang dan kenikmatan lain dari Lina. Setelah ketahuan, Robert menghilang begitu saja, tinggalkan Lina. Barangkali dalam benak Robert, dia merasa aman... karena Lina punya suami. Jadi kalaupun Lina hamil anaknya, tentu ada seorang bapak yang bakal mengurusnya. Seperti itulah terak
Ricky memejamkan matanya kembali, dia pikir itu suara bayi tetangga sebelah yang memang kadang mengganggu tidurnya. Tak lama kemudian, dia merasa hendak ke toilet untuk buang air kecil. Ricky keluar dari kamar paviliun, bersamaan dengan bu Lastri yang keluar dari kamar karena mendengar tangisan Maya yang tak berhenti. Bu Lastri terkesima melihat ketampanan wajah Ricky yang terlihat dari samping, dan postur tubuhnya yang membelakangi, tapi Ricky tak menggubrisnya. Bu Lastri tidak tahu bahwa Ricky tak bisa melihatnya karena matanya buta. Beruntungnya Ricky sudah masuk ke dalam toilet, jadi mereka tidak sempat berpapasan. Bu Lastri buru-buru menggendong Maya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Untungnya, setelah Maya digendong langsung diam tangisnya. Di dalam kamar pak Deden, pelayanan pagi pun dilanjutkan kembali. Keluar dari kamar mandi, Ricky mendengar suara rintihan bu Lastri "uh ah.. uh ah.." dari arah dalam kamar pak Deden. Ricky menuju ke pintu kamar pak Deden, Berbisik
Satria Irawan turun dari mobil, diikuti oleh Ricky. Beberapa langkah kemudian, Ricky mengeluarkan kunci rumah dari dalam saku depan tas ranselnya, setelah membuka pintu depan, mereka lalu masuk ke dalam rumah. Di dapur terlihat pak Deden sedang memasak air, dia tak suka menggunakan air panas dari dispencer untuk menyeduh kopi, katanya lebih enak dengan air yang dimasak hingga mendidih. Pak Deden menoleh ke arah Satria Irawan yang baru saja masuk dari pintu depan. Sedangkan Ricky langsung menuju ke kamarnya. "Assalamualaikum kang Deden," "Wa alaikum salam... kok gak jadi ke Bandungnya ?" "Iya kang, tadi nolongin orang yang sedang kesusahan..." "Alhamdulillah.. Bagus itu kang Sat.. ibadah ya." Satria Irawan mengangguk pelan, "Ya nyicil-nyicil amal baik aja kang Den," sambil duduk bersila di karpet lantai disitu, "Ada berita apa aja dari kantor kang Den..? beberapa hari ini saya gak sempet mampir ke kantor" "Ada yang urgent sih kang.. Soal Erna. Apa kang Sat sudah tahu?" "E
Setiba di halaman parkir persis di samping mobil Satria Irawan, Rosita melihat Ricky tidur dengan lelapnya. Ia tak membangunkan Ricky, tapi langsung naik ke kursi di belakang. Namun tak disangka, Ricky malah jadi terbangun. Mata Ricky memang buta, tapi daya rasa inderanya cukup tajam. Dia mencium aroma tubuh Rosita yang amat dikenalinya, duduk di kursi belakang. "Mbak Ros..?" "Iya Rick.. kamu kok bisa tahu?" "Bisa mbak.. Ohya, siapa yang sakit mbak?" "Ibu saya Rick..." "Gak ditungguin?" "Sudah, tadi kata dokternya boleh ditinggal saja," "Oooh.. " "Kita antar mbak Rosita dulu ke rumahnya ya Rick.."kata Satria Irawan memotong. "Iya Pih.." Mobil Satria Irawan melaju di jalan raya menuju ke arah rumah Jerry. ** Setiba di depan rumah, Rosita langsung turun dan melambaikan tangannya kepada Satria Irawan. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Akan tetapi Rosita kaget, karena tiba-tiba melihat bu Lastri keluar dari kamar ibunya. Rambutnya masih terurai, seperti b
Rosita menatap kepergian Satria Irawan sampai keluar dari pintu ruang ICU. Kemudian Rosita memandangi wajah ibunya, matanya terpejam tapi bibirnya tersenyum. "Ibuu.. maafkan Ros ya.. Ros belum sempat membuat hati ibu senang, belum sempat membuat ibu hidup tenang tanpa harus bekerja mencari tambahan untuk biaya adik-adik sekolah." Rosita menciumi telapak tangan ibunya dengan dipenuhi rasa sayang yang teramat dalam. "Ros tahu, ibu sudah lelah... melewati perjalanan yang cukup panjang. Sekarang ibu sudah tenang... Maafkan Ros ya bu.. Ros janji akan menjaga adik-adik sebaik-baiknya bersama bapak nanti." Rosita bingung, bagaimana kalau ia menyampaikan hal ini kepada Jerry, ia tak mau dengar Jerry uring-uringan di rumah sakit. Itu sebabnya sengaja ia tidak memberitahukan Jerry, dia tak mau ada keributan yang tidak penting kalau Jerry tahu soal kematian ibunya. Pasti dia menyalahkan Rosita yang telah membawanya ke rumah sakit dan mengijinkan operasi kedua tersebut. Secara Jerry kadang-k
Di depan Ruang Operasi~ Rosita akhirnya tertidur di samping Satria Irawan. Ia tak mampu menahan rasa kantuknya. Namun ketika ia terlelap dalam tidurnya, kepala Rosita jatuh ke bahu Satria Irawan; hal itu menyebabkan lelaki tampan ini terbangun. Akan tetapi, saat dia tahu bahwa yang menyandar dibahunya adalah wanita pujaan hatinya, maka dia membiarkan bahunya jadi sandaran kepala Rosita. Satria Irawan kembali memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama mereka tertidur disitu, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara brankar yang keluar dari Ruang Operasi. Mereka terbangun secara bersamaan, Rosita langsung menghampiri Dr Budiyanto. Satria Irawan mengikuti langkah Rosita. "Bagaimana kondisi ibu saya dok" Tanya Rosita sambil jalan disamping Dr Budiyanto. Langkah Dr Budiyanto terhenti, dokter itu pun menjelaskan kepada Rosita. "Alhamdulillah.. operasi sudah berlancar lancar." Dr Budiyanto terdiam sejenak. Rosita masih menatap mata Dr Budiyanto. "Akan tetapi, jantung ibu Minah mas
Surat Pernyataan Pertanggungjawaban yang sudah ditandatangani Rosita, kemudian diserahkan kembali oleh Satria Irawan kepada Perawat Jaga. Perempuan itu lalu mengangkat telpon intern untuk menyampaikannya ke Dr Budiyanto. Satria Irawan masih berdiri di depan meja tinggi tempat Perawat Jaga tak jauh dari ruang ICU. "Silakan duduk saja dulu, sebentar lagi pasien dibawa ke ruang operasi, atau bapak mau tunggu di sana?" "Baik Suster.. saya tunggu di sana saja," Satria Irawan lalu jalan meninggalkan tempat Perawat Jaga. ** Malam semakin hening. Di ruang tunggu depan ruang operasi, yang terdengar hanya suara halus dari detak jam dinding di atas pintu masuk ke Ruang Operasi. Jam dinding saat ini menunjukkan pukul 22.30. Operasi jantung bu Minah, sudah dilakukan kurang lebih setengah jam yang lalu. Satria Irawan duduk di kursi di koridor depan Ruang Operasi. Dia menyenderkan kepalanya ke dinding. Rasa kantuk tak dapat ditahannya, sesekali kepalanya terjatuh ke bahunya.
~Di depan Ruang ICU~ Dari balik kaca pembatas di luar Ruang ICU, Satria Irawan hanya dapat melihat punggung berseragam putih yang membalut tubuh dua orang perawat dan tiga orang dokter, yang menghalangi pandangan Satria Irawan ke arah bu Minah. Satria Irawan gelisah. Dia hanya dapat melihat alat-alat medis yang tampak tersambung ke tubuh perempuan setengah baya itu.. Alat pengukur denyut jantung, selang yang mengarah ke tabung oksigen, dan mesin yang bertuliskan angka terletak diatas, jadi dari segala sudut angka tersebut dapat terlihat. Meski dirinya sama sekali tidak paham fungsi alat-alat tersebut, akan tetapi dia sangat penasaran. Tubuhnya bergerak perlahan ke kanan, dan lalu ke kiri mencari celah yang terbuka untuk mengintip. Namun tak berhasil. Akhirnya dia pasrah. Mengalihkan pandangan matanya ke arah lain di ruang itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, bagaimana kalau tiba-tiba bapaknya Rosita datang, dan marah karena dia telah lancang membawa kembali bu Minah ke ruang ICU
Rosita keluar dari dalam kamar, langkah kakinya menuju ke kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah kamar ibunya, ia pun masuk kesitu. Dilihatnya nafas bu Minah tersengal-sengal, dan wajahnya memucat. Bergegas ia mendekat, "Ibuu.. ibu kenapa?" Bu Minah hanya meremas-remas dadanya dengan tangan kanan tanpa tenaga. "Tadi sudah minum obat apa belum bu?" tanya Rosita lagi. Bu Minah mengangguk pelan, tangannya masih meremas baju didadanya, Rosita menatap lekat lalu spontan mengambil tangan ibunya, menaruh dalam genggaman tangan kirinya, sambil tangan kanannya mengelus-elus berusaha menenangkan hati ibunya, namun nafas bu Minah semakin terengah-engah. "Ibu tenang ya... Ros telpon pak Satria dulu," Bu Minah mengangguk, pelan sekali. Rosita keluar dari kamar bu Minah menuju ke kamarnya, mengambil handphone lalu menelpon Satria Irawan. "Pak Satria bisa kesini sekarang," "Bisa Ros.. tunggu ya," "Iya," Rosita menutup handphonenya sambil jalan menuju ke kamar ibunya