Pak Deden membawa Rosita ke ruang kerja admin di lantai bawah. Ruang kerja yang terbuka, dengan sekat-sekat pembatas bagi setiap pegawai yang terlihat serius sedang mengerjakan tugasnya masing-masing. Pak Deden mengenalkan Rosita pada mbak Nenny, lalu meninggalkan mereka berdua saling berbicara.Beberapa saat kemudian, bu Amilia tampak masuk ke lobby kantor itu. Ketika melewati ruang admin, bu Amilia melihat Rosita disitu sedang berdiri mengobrol dengan mbak Nenny. Hatinya langsung panas, mendidih, dorongan emosinya yang menggelegak, membuat bu Amilia menghampiri Rosita,"Heh! ngapain kamu disini?. Perempuan gak tau malu.. Keluar kamu !!" bu Amilia dengan suara lantang.Para pegawai spontan menoleh semuanya berbarengan kearah Rosita dan bu Amilia.Baju Rosita diseret kasar oleh Bu Amilia kearah ruang lobby, diikuti tatapan mata seluruh pegawai disitu. Melihat hal itu, mbak Nenny panik, langsung telpon ke ruang Satria Irawan."Pak, itu.. ituuu.. ibu Amilia marah-marah ke perempuan yang
Kaki Rosita melangkah memasuki pagar, lalu menutupnya kembali. Di teras rumah itu, ia melihat pak Deden sudah menunggu. Rosita bingung, harus bersikap bagaimana kepada lelaki itu?. Pertemuan dengannya seperi sebuah pelarian yang tidak diduga sebelumnya, akan berbuah pahit seperti ini.Bagaimanapun pak Deden adalah orang baik dimata Rosita. Ia lalu duduk disampingnya."Bu Lastri sudah pulang?""Sudah, tadi diantar mang Ujang, Maya juga sudah tidur."Ekspresi wajah pak Deden pun tampak bingung, dia tak tahu bagaimana perasaan Rosita terhadapnya saat ini. Namun dia berusaha menutupi dengan senyum pada Rosita. Meski pak Deden tahu suara mesin mobil yang berhenti di pinggir jalan yang mengantar Rosita tadi, adalah mobil adik iparnya, Satria Irawan. Dan bukan hal yang tidak mungkin, pembicaraan antara Rosita dengan adik iparnya itu tidak membicarakan masalah tentang dirinya."Ros diantar pak Satria ya..""Iya pak Den...""Kemana aja tadi, sampai berapa jam saya tunggu kamu disini,""Apa pert
Setiba di rumah, Jerry langsung mengantar bu Lastri dengan motor bututnya. "Bapak antar bu Lastri dulu Ros,""Iya pak.." sahut Rosita malas.Jerry berubah sikap serta tutur katanya terhadap Rosita, karena sekarang sudah makin jelas terlihat didepan matanya, bahwa Rosita bisa dijadikan modal untuk membantu tambahan keuangan keluarga. Mestinya Jerry tidak boleh berpikir seperti itu, karena Rosita adalah putrinya, perempuan yang harus dijaga kehormatannya. Karena kalau sampai Rosita berbuat dosa zina, maka Jerry juga harus mempertanggung jawabkan perbuatan dosa tersebut, di dunia dan di akhirat nanti.Seharian ini Rosita merasa lelah sekali. Masalah yang tiba-tiba melibatkan dirinya seolah-olah tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun Rosita yang sudah terbiasa memperhatikan sikap dan cara bicara orang lain, membuat sikap dirinya jadi terbentuk dengan sendiri. Rosita sudah dibekali sifat penyabar, tapi ia harus punya sikap tegas, karena dalam menghadapi orang lain dalam aksi dan reaksi
Pak Deden menutup pintu pagar, melangkah menuju teras, mengunci pintu depan, lalu kembali ke dalam kamarnya. Dia merebahkan tubuhnya diatas sofa bed, yang masih meninggalkan bau harum yang tertinggal dari bekas tubuhnya Rosita. Pak Deden salah satu laki-laki yang paling suka pada bau khas dari tubuh wanita. Akan tetapi dengan hadirnya Rosita, mungkin, dia harus siap bersaing dengan adik iparnya, Satria Irawan.Pak Deden teringat kembali pada bu Amilia, istri yang belum diceraikannya. Benarkah berita yang baru saja disampaikan oleh Satria Irawan, bahwa istrinya sudah hamil?. Dengan siapa istrinya berselingkuh? Apakah ini perbuatan balas dendam dari Amilia kepada dirinya, karena sering ketahuan berselingkuh?. Padahal tujuan pak Deden selingkuh itu justru ingin agar istrinya sadar dan berubah perilakunya, tidak cerewet dan arogan lagi, eeh malah semakin menjadi-jadi. Dia berusaha melupakan semua, tapi tentu saja tidak bisa. Semua itu ada dalam kenyataan hidupnya yang sekarang, saat ini.
Bu Minah sedih, airmatanya bercucuran tak mampu ia bendung lagi. Ia melepaskan rasa kecewanya sendirian, di rumah majikannya, ibu Sugih.Rumah besar tetangganya ini kosong, siang hari mereka keluar rumah, dengan kesibukannya masing-masing. Bu Sugih mempunyai putra satu-satunya, Gilang, wajahnya biasa saja, tapi dia baik hati dan pekerja keras. Pak Sugih buka kantor ekspedisi yang berupa paket pengiriman barang ke antar pulau. Kantor itulah yang saat ini dilanjutkan pekerjaannya oleh Gilang, karena pak Sugih telah meninggal dunia akibat kecelakaan beberapa tahun silam.Dulu, Gilang satu gedung sekolah dengan Rosita, hanya beda kelas. Mereka berdua bersahabat, akrab, pergi dan pulang sekolah selalu jalan bersama, itu sebabnya bu Sugih tidak menganggap bu Minah sebagai pembantu, tapi lebih kepada saudaranya sendiri saja.Tiba-tiba bu Minah mencium bau gosong,"Astaghfirullah.." bu Minah spontan.Ia tersentak, kaget melihat apa yang terjadi.Kemeja Gilang yang sedang disetrikanya gosong, a
Matahari memerah di ufuk barat. Sebentar lagi mentari kembali ke peraduannya, setelah seharian setia menemani bu Minah di halaman belakang di rumah bu Sugih. Dari dapur bu Minah melongok ke arah jam dinding di ruang keluarga, pukul 17.20. Bu Minah lalu menekan tombol lampu dapur, teras halaman belakang dan kamar mandi."Kok tumben bu Sugih dan den Gilang belum pulang?" ucapnya dalam hati. Bu MInah jalan menuju ke ruang keluarga, menyalakan lampu teras dan lampu ruang tamu, menutup jendela-jendela ruang tamu, , lalu jalan menuju ke kamar depan, kamar Gilang, ia menekan tombol lampu, dan menutup jendela kamar itu.Setelah menyalakan semua lampu di dalam rumah majikannya, bu MInah tampak keluar dari halaman rumah bu Sugih, berjalan menuju ke arah rumahnya. Ia belum sempat bertemu Gilang untuk menyampaikan kemejanya yang gosong, tapi ia sudah menyelesaikan seluruh tugas rutinnya. Bu Minah merasa kuatir pada anak-anaknya, ia harus menyiapkan masakan untuk makan malam..Akan tetapi, baru s
Ruang ICU di sebuah rumah sakit~Di ruangan ini suasananya dingin, sepi sekaligus mencekam. Betapa tidak? Ketika seorang anggota keluarga masuk ke ruang perawatan ICU, hanya ada satu kata yang mempengaruhi pikiran, yaitu kematian. Pihak keluarga seolah-olah merasakan takut kehilangan orang yang sudah lama menemani hidup selama bertahun-tahun. Padahal sesungguhnya, kematian sudah pasti datang, meski tak harus lantaran dirawat di situ.Di ruangan itu ada 2 tempat tidur pasien dengan posisi berjauhan dan bersilangan. Satunya di pojok ujung ruangan, sedangkan bu Minah di sudut yang lebih dekat ke pintu keluar, di tengah ruangan, ada satu meja serta dua buah kursi bagi perawat jaga yang standby disitu secara bergantian, pada saat pasien dalam keadaan kritis.Pada tempat tidur pasien selain bu Minah itu, tampak dokter dan perawat tengah melakukan perawatan, terdengar bunyi denting jarum suntik yang ditaruh kembali di atas wadah kecil stainless steel. Ting. Entah bagaimana kondisi pasien dis
Tiba-tiba terdengar suara brankar didorong masuk ke dalam ruangan itu, Rosita tersentak dari kesedihannya. Ia menghapus airmata yang menetes dipipinya."Brankarnya sudah datang, ayuk kita keluar," suara bu Amilia terdengar mengajak istri paman dan keponakannya yang ada disitu.Dendy mengikuti langkah bu Amilia dan istri pamannya, sedangkan Barja dan Rudy membantu perawat laki-laki yang mendorong brankar, memindahkan tubuh jenazah ke atas brankar.Satria Irawan menelan salivanya, dia merasa lega, dan saling tatap mata dengan Rosita. "Akhirnya..." kata Rosita pelan.Tanpa diduga, baru saja rombongan bu Amilia dan brankar terdengar keluar dari ruang ICU, tiba-tiba Perawat membuka gordein penutup ruang rawat bu MInah. Satria Irawan menoleh terkejut, begitu pula dengan Perawat. Rosita spontan menatap ke arah Perawat tersebut."Ooh maaf.. saya kira sudah gak ada yang jaga.." kata Perawat."Gak apa-apa bu.. mmhm... kami masih menunggu kedatangan bapak," sambar Satria Irawan spontan."Iiya