Matahari memerah di ufuk barat. Sebentar lagi mentari kembali ke peraduannya, setelah seharian setia menemani bu Minah di halaman belakang di rumah bu Sugih. Dari dapur bu Minah melongok ke arah jam dinding di ruang keluarga, pukul 17.20. Bu Minah lalu menekan tombol lampu dapur, teras halaman belakang dan kamar mandi."Kok tumben bu Sugih dan den Gilang belum pulang?" ucapnya dalam hati. Bu MInah jalan menuju ke ruang keluarga, menyalakan lampu teras dan lampu ruang tamu, menutup jendela-jendela ruang tamu, , lalu jalan menuju ke kamar depan, kamar Gilang, ia menekan tombol lampu, dan menutup jendela kamar itu.Setelah menyalakan semua lampu di dalam rumah majikannya, bu MInah tampak keluar dari halaman rumah bu Sugih, berjalan menuju ke arah rumahnya. Ia belum sempat bertemu Gilang untuk menyampaikan kemejanya yang gosong, tapi ia sudah menyelesaikan seluruh tugas rutinnya. Bu Minah merasa kuatir pada anak-anaknya, ia harus menyiapkan masakan untuk makan malam..Akan tetapi, baru s
Ruang ICU di sebuah rumah sakit~Di ruangan ini suasananya dingin, sepi sekaligus mencekam. Betapa tidak? Ketika seorang anggota keluarga masuk ke ruang perawatan ICU, hanya ada satu kata yang mempengaruhi pikiran, yaitu kematian. Pihak keluarga seolah-olah merasakan takut kehilangan orang yang sudah lama menemani hidup selama bertahun-tahun. Padahal sesungguhnya, kematian sudah pasti datang, meski tak harus lantaran dirawat di situ.Di ruangan itu ada 2 tempat tidur pasien dengan posisi berjauhan dan bersilangan. Satunya di pojok ujung ruangan, sedangkan bu Minah di sudut yang lebih dekat ke pintu keluar, di tengah ruangan, ada satu meja serta dua buah kursi bagi perawat jaga yang standby disitu secara bergantian, pada saat pasien dalam keadaan kritis.Pada tempat tidur pasien selain bu Minah itu, tampak dokter dan perawat tengah melakukan perawatan, terdengar bunyi denting jarum suntik yang ditaruh kembali di atas wadah kecil stainless steel. Ting. Entah bagaimana kondisi pasien dis
Tiba-tiba terdengar suara brankar didorong masuk ke dalam ruangan itu, Rosita tersentak dari kesedihannya. Ia menghapus airmata yang menetes dipipinya."Brankarnya sudah datang, ayuk kita keluar," suara bu Amilia terdengar mengajak istri paman dan keponakannya yang ada disitu.Dendy mengikuti langkah bu Amilia dan istri pamannya, sedangkan Barja dan Rudy membantu perawat laki-laki yang mendorong brankar, memindahkan tubuh jenazah ke atas brankar.Satria Irawan menelan salivanya, dia merasa lega, dan saling tatap mata dengan Rosita. "Akhirnya..." kata Rosita pelan.Tanpa diduga, baru saja rombongan bu Amilia dan brankar terdengar keluar dari ruang ICU, tiba-tiba Perawat membuka gordein penutup ruang rawat bu MInah. Satria Irawan menoleh terkejut, begitu pula dengan Perawat. Rosita spontan menatap ke arah Perawat tersebut."Ooh maaf.. saya kira sudah gak ada yang jaga.." kata Perawat."Gak apa-apa bu.. mmhm... kami masih menunggu kedatangan bapak," sambar Satria Irawan spontan."Iiya
Rosita merebahkan tubuhnya diatas kasur. Letih dan lelah ia lepaskan dengan hempasan tubuh perlahan keatas tempat tidur, yang menemaninya sepanjang malam. Di sisinya, Maya tertidur sangat lelap. Buah hati yang kehadirannya membuka jalan hidup Rosita dengan segala kemudahan-kemudahan.Telapak tangan Rosita mengelus-elus rambut Maya yang masih halus. Ia pun memejamkan matanya, hingga rasa kantuk membawanya ke alam mimpi.~~ Di pinggir jalan raya, Pak Deden tampak sedang berjalan bersama bu Lastri, Maya terlihat di gendong oleh pak Deden. Dari kejauhan terdengar suara klakson mobil pick up, sedangkan pak Deden dan bu Lastri hendak menyeberang jalan. Mobil pick up tak dapat berhenti, pengemudinya terus menerus menekan klakson ber-ulang-ulang, sepertinya rem mobil itu kondisinya blong. Tak jauh dari situ Rosita melihatnya, ia panik tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tangannya terikat pada sebuah pohon besar di pinggir jalan. Rosita teriak, " Paaak... paak Dedeeen...paaak !"Pak Deden tida
Di halaman parkir rumah sakit~Dari dalam mobil, Rosita melihat Satria Irawan jalan bersama bu Lastri menuju ke arah mobil. Maya yang sudah tertidur dipangkuannya, direbahkan di kursi sebelahnya. Rosita lalu keluar dari mobil, menghampiri bu Lastri dan Satria Irawan."Bu Lastri, itu Maya nya sudah tidur di kursi belakang," kata Rosita sambil menunjuk ke kursi belakang."Iya non.." sahut bu Lastri sambil jalan menuju ke mobil."Tolong dijaga ya bu. Kalau dia terbangun, ada susu di termos di dalam tas itu""Baik non,"Rosita menatap Satria Irawan,"Ibu gimana pak Satria...?" tanya Rosita."Baru dibawa ke ruang operasi,"Rosita kaget. Ekspresi wajahnya berubah murung."Saya antar bu Ros kesana, tapi hanya bisa menunggu di luar ruang operasi saja,"Rosita tak menjawab, ia spontan bergegas mempercepat langkah kakinya."Nanti bu Ros tunggu disitu, sementara saya antar Maya dan bu Lastri ke rumah dulu, takutnya sampai pagi menunggu operasi,"Kalimat itu seolah tak terdengar oleh telinga Ros
Pada tengah malam jelang subuh itu, suasana koridor rumah sakit sepi. Lenggang, hanya suara alas kaki mereka berdua yang terdengar melangkah. Tiba-tiba Rosita menepis pegangan tangan Satria Irawan, laki-laki itu kaget."Eh, sopir gak boleh ngelunjak ya.. hihihi" Rosita tertawa sambil berlari meninggalkan Satria Irawan.Spontan Satria Irawan pun tersadar bahwa Rosita hanya bercanda, dia lalu mengejarnya, walau dengan berlari pelan."Awas kamu ya Ros..."ancamnya, karena merasa dipermainkan.Mereka saling kejar sampai di pintu keluar dari rumah sakit, Rosita masih berlari ke halaman parkir menuju ke mobil. Ketika semakin dekat dengan mobil, Satria Irawan menangkap Rosita, menggendong di kedua lengannya."Hayoo mau dibuang kemana nih anak nakal hahaha," Satria Irawan sambil terkekeh-kekeh.Rosita berontak berusaha turun, "Aampuun pak.. ampuun.. hihihi" Rosita cekikikan.Tanpa setahu mereka, di kejauhan, seseorang memotret adegan itu dengan kameranya. Laki-laki itu merasa tertarik pada ade
Tadi pagi sebelum Rosita datang, pada saat bu Minah sadar dari pengaruh obat bius setelah menjalani operasi; ia merasa hidup ini sudah tak ada artinya lagi. Terutama dengan kehadiran bu Lastri yang jelas telah menjawab seluruh sikap kasar Jerry terhadap dirinya serta anak-anak, selama ini. Ia sangat putus asa, setiap terlintas bayangan wajah bu Lastri, dadanya langsung terasa nyeri. Bagaimana mungkin ia mampu berhadapan dikesehariannya nanti, hidup bersama dengan bu Lastri yang mengurusi anak-anak dan cucunya, sementara ia sendiri sedang sakit. Rasanya sudah cukup ia menahan sakit hati terhadap ucapan kasar Jerry tanpa dapat melawannya selama ini.Bu Minah putus asa. ia memencet tombol bel untuk memanggil Perawat jaga. Tak lama Perawat datang,"Ada apa bu.. Mau pipis atau pup?"Bu Minah menggeleng."Suster.. tolong ambilkan kertas kosong dan pen," ucapnya pelan. "Baik bu," jawab Perawat, lalu jalan menuju ke mejanya.Perawat mengambil kertas kosong serta ballpoint lalu kembali ke sis
Bu Minah tahu persis, bahwa Lastri hanya ingin menghancurkan hatinya, agar bu MInah bisa lebih cepat meninggal dunia, dia jadi bebas menguasai Jerry. Bu Minah sendiri tidak punya kemampuan untuk membuka rahasia hubungan bu Lastri dengan Jerry, ia tak mau membuat Rosita jadi kehilangan pengasuh anaknya, dan juga yang bakal mengurusi anak-anaknya sendiri nanti. Sore setelah Doni, dino dan Dini mandi, mereka masuk lagi ke kamar bu Minah. "Sini cium ibu dulu, sudah pada wangi ya.." Doni, dan adik-adiknya bergantian mencium pipi ibunya. Bu Minah memperhatikan baju yang mereka pakai. Baju itu kusut karena tidak disetrika, dan ada bau apek, ketika mereka mencium pipinya; mungkin karena belum kering sudah dilipat, atau karena tidak ada yang menyetrika baju-baju mereka. Kata hati bu Minah. "Kasihan.." bu Minah keceplosan. "Kasihan kenapa bu..?" tanya Doni. "Gak apa-apa.. ibu kasihan sama kalian. Gak ada yang ngurus kalian sewaktu ibu di rumah sakit ya," "Ya sudah... sekarang k