Tiba-tiba terdengar suara brankar didorong masuk ke dalam ruangan itu, Rosita tersentak dari kesedihannya. Ia menghapus airmata yang menetes dipipinya."Brankarnya sudah datang, ayuk kita keluar," suara bu Amilia terdengar mengajak istri paman dan keponakannya yang ada disitu.Dendy mengikuti langkah bu Amilia dan istri pamannya, sedangkan Barja dan Rudy membantu perawat laki-laki yang mendorong brankar, memindahkan tubuh jenazah ke atas brankar.Satria Irawan menelan salivanya, dia merasa lega, dan saling tatap mata dengan Rosita. "Akhirnya..." kata Rosita pelan.Tanpa diduga, baru saja rombongan bu Amilia dan brankar terdengar keluar dari ruang ICU, tiba-tiba Perawat membuka gordein penutup ruang rawat bu MInah. Satria Irawan menoleh terkejut, begitu pula dengan Perawat. Rosita spontan menatap ke arah Perawat tersebut."Ooh maaf.. saya kira sudah gak ada yang jaga.." kata Perawat."Gak apa-apa bu.. mmhm... kami masih menunggu kedatangan bapak," sambar Satria Irawan spontan."Iiya
Rosita merebahkan tubuhnya diatas kasur. Letih dan lelah ia lepaskan dengan hempasan tubuh perlahan keatas tempat tidur, yang menemaninya sepanjang malam. Di sisinya, Maya tertidur sangat lelap. Buah hati yang kehadirannya membuka jalan hidup Rosita dengan segala kemudahan-kemudahan.Telapak tangan Rosita mengelus-elus rambut Maya yang masih halus. Ia pun memejamkan matanya, hingga rasa kantuk membawanya ke alam mimpi.~~ Di pinggir jalan raya, Pak Deden tampak sedang berjalan bersama bu Lastri, Maya terlihat di gendong oleh pak Deden. Dari kejauhan terdengar suara klakson mobil pick up, sedangkan pak Deden dan bu Lastri hendak menyeberang jalan. Mobil pick up tak dapat berhenti, pengemudinya terus menerus menekan klakson ber-ulang-ulang, sepertinya rem mobil itu kondisinya blong. Tak jauh dari situ Rosita melihatnya, ia panik tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tangannya terikat pada sebuah pohon besar di pinggir jalan. Rosita teriak, " Paaak... paak Dedeeen...paaak !"Pak Deden tida
Di halaman parkir rumah sakit~Dari dalam mobil, Rosita melihat Satria Irawan jalan bersama bu Lastri menuju ke arah mobil. Maya yang sudah tertidur dipangkuannya, direbahkan di kursi sebelahnya. Rosita lalu keluar dari mobil, menghampiri bu Lastri dan Satria Irawan."Bu Lastri, itu Maya nya sudah tidur di kursi belakang," kata Rosita sambil menunjuk ke kursi belakang."Iya non.." sahut bu Lastri sambil jalan menuju ke mobil."Tolong dijaga ya bu. Kalau dia terbangun, ada susu di termos di dalam tas itu""Baik non,"Rosita menatap Satria Irawan,"Ibu gimana pak Satria...?" tanya Rosita."Baru dibawa ke ruang operasi,"Rosita kaget. Ekspresi wajahnya berubah murung."Saya antar bu Ros kesana, tapi hanya bisa menunggu di luar ruang operasi saja,"Rosita tak menjawab, ia spontan bergegas mempercepat langkah kakinya."Nanti bu Ros tunggu disitu, sementara saya antar Maya dan bu Lastri ke rumah dulu, takutnya sampai pagi menunggu operasi,"Kalimat itu seolah tak terdengar oleh telinga Ros
Pada tengah malam jelang subuh itu, suasana koridor rumah sakit sepi. Lenggang, hanya suara alas kaki mereka berdua yang terdengar melangkah. Tiba-tiba Rosita menepis pegangan tangan Satria Irawan, laki-laki itu kaget."Eh, sopir gak boleh ngelunjak ya.. hihihi" Rosita tertawa sambil berlari meninggalkan Satria Irawan.Spontan Satria Irawan pun tersadar bahwa Rosita hanya bercanda, dia lalu mengejarnya, walau dengan berlari pelan."Awas kamu ya Ros..."ancamnya, karena merasa dipermainkan.Mereka saling kejar sampai di pintu keluar dari rumah sakit, Rosita masih berlari ke halaman parkir menuju ke mobil. Ketika semakin dekat dengan mobil, Satria Irawan menangkap Rosita, menggendong di kedua lengannya."Hayoo mau dibuang kemana nih anak nakal hahaha," Satria Irawan sambil terkekeh-kekeh.Rosita berontak berusaha turun, "Aampuun pak.. ampuun.. hihihi" Rosita cekikikan.Tanpa setahu mereka, di kejauhan, seseorang memotret adegan itu dengan kameranya. Laki-laki itu merasa tertarik pada ade
Tadi pagi sebelum Rosita datang, pada saat bu Minah sadar dari pengaruh obat bius setelah menjalani operasi; ia merasa hidup ini sudah tak ada artinya lagi. Terutama dengan kehadiran bu Lastri yang jelas telah menjawab seluruh sikap kasar Jerry terhadap dirinya serta anak-anak, selama ini. Ia sangat putus asa, setiap terlintas bayangan wajah bu Lastri, dadanya langsung terasa nyeri. Bagaimana mungkin ia mampu berhadapan dikesehariannya nanti, hidup bersama dengan bu Lastri yang mengurusi anak-anak dan cucunya, sementara ia sendiri sedang sakit. Rasanya sudah cukup ia menahan sakit hati terhadap ucapan kasar Jerry tanpa dapat melawannya selama ini.Bu Minah putus asa. ia memencet tombol bel untuk memanggil Perawat jaga. Tak lama Perawat datang,"Ada apa bu.. Mau pipis atau pup?"Bu Minah menggeleng."Suster.. tolong ambilkan kertas kosong dan pen," ucapnya pelan. "Baik bu," jawab Perawat, lalu jalan menuju ke mejanya.Perawat mengambil kertas kosong serta ballpoint lalu kembali ke sis
Bu Minah tahu persis, bahwa Lastri hanya ingin menghancurkan hatinya, agar bu MInah bisa lebih cepat meninggal dunia, dia jadi bebas menguasai Jerry. Bu Minah sendiri tidak punya kemampuan untuk membuka rahasia hubungan bu Lastri dengan Jerry, ia tak mau membuat Rosita jadi kehilangan pengasuh anaknya, dan juga yang bakal mengurusi anak-anaknya sendiri nanti. Sore setelah Doni, dino dan Dini mandi, mereka masuk lagi ke kamar bu Minah. "Sini cium ibu dulu, sudah pada wangi ya.." Doni, dan adik-adiknya bergantian mencium pipi ibunya. Bu Minah memperhatikan baju yang mereka pakai. Baju itu kusut karena tidak disetrika, dan ada bau apek, ketika mereka mencium pipinya; mungkin karena belum kering sudah dilipat, atau karena tidak ada yang menyetrika baju-baju mereka. Kata hati bu Minah. "Kasihan.." bu Minah keceplosan. "Kasihan kenapa bu..?" tanya Doni. "Gak apa-apa.. ibu kasihan sama kalian. Gak ada yang ngurus kalian sewaktu ibu di rumah sakit ya," "Ya sudah... sekarang k
Rosita keluar dari dalam kamar, langkah kakinya menuju ke kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah kamar ibunya, ia pun masuk kesitu. Dilihatnya nafas bu Minah tersengal-sengal, dan wajahnya memucat. Bergegas ia mendekat, "Ibuu.. ibu kenapa?" Bu Minah hanya meremas-remas dadanya dengan tangan kanan tanpa tenaga. "Tadi sudah minum obat apa belum bu?" tanya Rosita lagi. Bu Minah mengangguk pelan, tangannya masih meremas baju didadanya, Rosita menatap lekat lalu spontan mengambil tangan ibunya, menaruh dalam genggaman tangan kirinya, sambil tangan kanannya mengelus-elus berusaha menenangkan hati ibunya, namun nafas bu Minah semakin terengah-engah. "Ibu tenang ya... Ros telpon pak Satria dulu," Bu Minah mengangguk, pelan sekali. Rosita keluar dari kamar bu Minah menuju ke kamarnya, mengambil handphone lalu menelpon Satria Irawan. "Pak Satria bisa kesini sekarang," "Bisa Ros.. tunggu ya," "Iya," Rosita menutup handphonenya sambil jalan menuju ke kamar ibunya
~Di depan Ruang ICU~ Dari balik kaca pembatas di luar Ruang ICU, Satria Irawan hanya dapat melihat punggung berseragam putih yang membalut tubuh dua orang perawat dan tiga orang dokter, yang menghalangi pandangan Satria Irawan ke arah bu Minah. Satria Irawan gelisah. Dia hanya dapat melihat alat-alat medis yang tampak tersambung ke tubuh perempuan setengah baya itu.. Alat pengukur denyut jantung, selang yang mengarah ke tabung oksigen, dan mesin yang bertuliskan angka terletak diatas, jadi dari segala sudut angka tersebut dapat terlihat. Meski dirinya sama sekali tidak paham fungsi alat-alat tersebut, akan tetapi dia sangat penasaran. Tubuhnya bergerak perlahan ke kanan, dan lalu ke kiri mencari celah yang terbuka untuk mengintip. Namun tak berhasil. Akhirnya dia pasrah. Mengalihkan pandangan matanya ke arah lain di ruang itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, bagaimana kalau tiba-tiba bapaknya Rosita datang, dan marah karena dia telah lancang membawa kembali bu Minah ke ruang ICU
Bu Amalia mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Satria Irawan. Membelokan melaju di jalan raya. Cahaya matahari pagi yang mulai mengeringkan embun pada rerumput dan dedaunan; membasuh mata Bu Amalia dalam perasaan yang kering, kosong, dan hampa. Entah apalagi yang harus diperjuangkan pada sisa usia yang semakin menua. Namun ia tak kehabisan akal liciknya, ia teringat sesuatu. Lina. Ya, Lina, mantan istri Satria Irawan yang mengurus anak perempuannya bernama Sherly. Sekarang usianya sekitar lima tahun. Sebenarnya Sherly bukan anak biologis Satria Irawan, tapi hasil perselingkuhan Lina dengan Robert. Lelaki bermental gigolo yang hanya bermodalkan rayuan pulau kelapa, untuk manfaatkan fasilitas, uang dan kenikmatan lain dari Lina. Setelah ketahuan, Robert menghilang begitu saja, tinggalkan Lina. Barangkali dalam benak Robert, dia merasa aman... karena Lina punya suami. Jadi kalaupun Lina hamil anaknya, tentu ada seorang bapak yang bakal mengurusnya. Seperti itulah terak
Ricky memejamkan matanya kembali, dia pikir itu suara bayi tetangga sebelah yang memang kadang mengganggu tidurnya. Tak lama kemudian, dia merasa hendak ke toilet untuk buang air kecil. Ricky keluar dari kamar paviliun, bersamaan dengan bu Lastri yang keluar dari kamar karena mendengar tangisan Maya yang tak berhenti. Bu Lastri terkesima melihat ketampanan wajah Ricky yang terlihat dari samping, dan postur tubuhnya yang membelakangi, tapi Ricky tak menggubrisnya. Bu Lastri tidak tahu bahwa Ricky tak bisa melihatnya karena matanya buta. Beruntungnya Ricky sudah masuk ke dalam toilet, jadi mereka tidak sempat berpapasan. Bu Lastri buru-buru menggendong Maya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Untungnya, setelah Maya digendong langsung diam tangisnya. Di dalam kamar pak Deden, pelayanan pagi pun dilanjutkan kembali. Keluar dari kamar mandi, Ricky mendengar suara rintihan bu Lastri "uh ah.. uh ah.." dari arah dalam kamar pak Deden. Ricky menuju ke pintu kamar pak Deden, Berbisik
Satria Irawan turun dari mobil, diikuti oleh Ricky. Beberapa langkah kemudian, Ricky mengeluarkan kunci rumah dari dalam saku depan tas ranselnya, setelah membuka pintu depan, mereka lalu masuk ke dalam rumah. Di dapur terlihat pak Deden sedang memasak air, dia tak suka menggunakan air panas dari dispencer untuk menyeduh kopi, katanya lebih enak dengan air yang dimasak hingga mendidih. Pak Deden menoleh ke arah Satria Irawan yang baru saja masuk dari pintu depan. Sedangkan Ricky langsung menuju ke kamarnya. "Assalamualaikum kang Deden," "Wa alaikum salam... kok gak jadi ke Bandungnya ?" "Iya kang, tadi nolongin orang yang sedang kesusahan..." "Alhamdulillah.. Bagus itu kang Sat.. ibadah ya." Satria Irawan mengangguk pelan, "Ya nyicil-nyicil amal baik aja kang Den," sambil duduk bersila di karpet lantai disitu, "Ada berita apa aja dari kantor kang Den..? beberapa hari ini saya gak sempet mampir ke kantor" "Ada yang urgent sih kang.. Soal Erna. Apa kang Sat sudah tahu?" "E
Setiba di halaman parkir persis di samping mobil Satria Irawan, Rosita melihat Ricky tidur dengan lelapnya. Ia tak membangunkan Ricky, tapi langsung naik ke kursi di belakang. Namun tak disangka, Ricky malah jadi terbangun. Mata Ricky memang buta, tapi daya rasa inderanya cukup tajam. Dia mencium aroma tubuh Rosita yang amat dikenalinya, duduk di kursi belakang. "Mbak Ros..?" "Iya Rick.. kamu kok bisa tahu?" "Bisa mbak.. Ohya, siapa yang sakit mbak?" "Ibu saya Rick..." "Gak ditungguin?" "Sudah, tadi kata dokternya boleh ditinggal saja," "Oooh.. " "Kita antar mbak Rosita dulu ke rumahnya ya Rick.."kata Satria Irawan memotong. "Iya Pih.." Mobil Satria Irawan melaju di jalan raya menuju ke arah rumah Jerry. ** Setiba di depan rumah, Rosita langsung turun dan melambaikan tangannya kepada Satria Irawan. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Akan tetapi Rosita kaget, karena tiba-tiba melihat bu Lastri keluar dari kamar ibunya. Rambutnya masih terurai, seperti b
Rosita menatap kepergian Satria Irawan sampai keluar dari pintu ruang ICU. Kemudian Rosita memandangi wajah ibunya, matanya terpejam tapi bibirnya tersenyum. "Ibuu.. maafkan Ros ya.. Ros belum sempat membuat hati ibu senang, belum sempat membuat ibu hidup tenang tanpa harus bekerja mencari tambahan untuk biaya adik-adik sekolah." Rosita menciumi telapak tangan ibunya dengan dipenuhi rasa sayang yang teramat dalam. "Ros tahu, ibu sudah lelah... melewati perjalanan yang cukup panjang. Sekarang ibu sudah tenang... Maafkan Ros ya bu.. Ros janji akan menjaga adik-adik sebaik-baiknya bersama bapak nanti." Rosita bingung, bagaimana kalau ia menyampaikan hal ini kepada Jerry, ia tak mau dengar Jerry uring-uringan di rumah sakit. Itu sebabnya sengaja ia tidak memberitahukan Jerry, dia tak mau ada keributan yang tidak penting kalau Jerry tahu soal kematian ibunya. Pasti dia menyalahkan Rosita yang telah membawanya ke rumah sakit dan mengijinkan operasi kedua tersebut. Secara Jerry kadang-k
Di depan Ruang Operasi~ Rosita akhirnya tertidur di samping Satria Irawan. Ia tak mampu menahan rasa kantuknya. Namun ketika ia terlelap dalam tidurnya, kepala Rosita jatuh ke bahu Satria Irawan; hal itu menyebabkan lelaki tampan ini terbangun. Akan tetapi, saat dia tahu bahwa yang menyandar dibahunya adalah wanita pujaan hatinya, maka dia membiarkan bahunya jadi sandaran kepala Rosita. Satria Irawan kembali memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama mereka tertidur disitu, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara brankar yang keluar dari Ruang Operasi. Mereka terbangun secara bersamaan, Rosita langsung menghampiri Dr Budiyanto. Satria Irawan mengikuti langkah Rosita. "Bagaimana kondisi ibu saya dok" Tanya Rosita sambil jalan disamping Dr Budiyanto. Langkah Dr Budiyanto terhenti, dokter itu pun menjelaskan kepada Rosita. "Alhamdulillah.. operasi sudah berlancar lancar." Dr Budiyanto terdiam sejenak. Rosita masih menatap mata Dr Budiyanto. "Akan tetapi, jantung ibu Minah mas
Surat Pernyataan Pertanggungjawaban yang sudah ditandatangani Rosita, kemudian diserahkan kembali oleh Satria Irawan kepada Perawat Jaga. Perempuan itu lalu mengangkat telpon intern untuk menyampaikannya ke Dr Budiyanto. Satria Irawan masih berdiri di depan meja tinggi tempat Perawat Jaga tak jauh dari ruang ICU. "Silakan duduk saja dulu, sebentar lagi pasien dibawa ke ruang operasi, atau bapak mau tunggu di sana?" "Baik Suster.. saya tunggu di sana saja," Satria Irawan lalu jalan meninggalkan tempat Perawat Jaga. ** Malam semakin hening. Di ruang tunggu depan ruang operasi, yang terdengar hanya suara halus dari detak jam dinding di atas pintu masuk ke Ruang Operasi. Jam dinding saat ini menunjukkan pukul 22.30. Operasi jantung bu Minah, sudah dilakukan kurang lebih setengah jam yang lalu. Satria Irawan duduk di kursi di koridor depan Ruang Operasi. Dia menyenderkan kepalanya ke dinding. Rasa kantuk tak dapat ditahannya, sesekali kepalanya terjatuh ke bahunya.
~Di depan Ruang ICU~ Dari balik kaca pembatas di luar Ruang ICU, Satria Irawan hanya dapat melihat punggung berseragam putih yang membalut tubuh dua orang perawat dan tiga orang dokter, yang menghalangi pandangan Satria Irawan ke arah bu Minah. Satria Irawan gelisah. Dia hanya dapat melihat alat-alat medis yang tampak tersambung ke tubuh perempuan setengah baya itu.. Alat pengukur denyut jantung, selang yang mengarah ke tabung oksigen, dan mesin yang bertuliskan angka terletak diatas, jadi dari segala sudut angka tersebut dapat terlihat. Meski dirinya sama sekali tidak paham fungsi alat-alat tersebut, akan tetapi dia sangat penasaran. Tubuhnya bergerak perlahan ke kanan, dan lalu ke kiri mencari celah yang terbuka untuk mengintip. Namun tak berhasil. Akhirnya dia pasrah. Mengalihkan pandangan matanya ke arah lain di ruang itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, bagaimana kalau tiba-tiba bapaknya Rosita datang, dan marah karena dia telah lancang membawa kembali bu Minah ke ruang ICU
Rosita keluar dari dalam kamar, langkah kakinya menuju ke kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah kamar ibunya, ia pun masuk kesitu. Dilihatnya nafas bu Minah tersengal-sengal, dan wajahnya memucat. Bergegas ia mendekat, "Ibuu.. ibu kenapa?" Bu Minah hanya meremas-remas dadanya dengan tangan kanan tanpa tenaga. "Tadi sudah minum obat apa belum bu?" tanya Rosita lagi. Bu Minah mengangguk pelan, tangannya masih meremas baju didadanya, Rosita menatap lekat lalu spontan mengambil tangan ibunya, menaruh dalam genggaman tangan kirinya, sambil tangan kanannya mengelus-elus berusaha menenangkan hati ibunya, namun nafas bu Minah semakin terengah-engah. "Ibu tenang ya... Ros telpon pak Satria dulu," Bu Minah mengangguk, pelan sekali. Rosita keluar dari kamar bu Minah menuju ke kamarnya, mengambil handphone lalu menelpon Satria Irawan. "Pak Satria bisa kesini sekarang," "Bisa Ros.. tunggu ya," "Iya," Rosita menutup handphonenya sambil jalan menuju ke kamar ibunya