Surat Pernyataan Pertanggungjawaban yang sudah ditandatangani Rosita, kemudian diserahkan kembali oleh Satria Irawan kepada Perawat Jaga. Perempuan itu lalu mengangkat telpon intern untuk menyampaikannya ke Dr Budiyanto. Satria Irawan masih berdiri di depan meja tinggi tempat Perawat Jaga tak jauh dari ruang ICU. "Silakan duduk saja dulu, sebentar lagi pasien dibawa ke ruang operasi, atau bapak mau tunggu di sana?" "Baik Suster.. saya tunggu di sana saja," Satria Irawan lalu jalan meninggalkan tempat Perawat Jaga. ** Malam semakin hening. Di ruang tunggu depan ruang operasi, yang terdengar hanya suara halus dari detak jam dinding di atas pintu masuk ke Ruang Operasi. Jam dinding saat ini menunjukkan pukul 22.30. Operasi jantung bu Minah, sudah dilakukan kurang lebih setengah jam yang lalu. Satria Irawan duduk di kursi di koridor depan Ruang Operasi. Dia menyenderkan kepalanya ke dinding. Rasa kantuk tak dapat ditahannya, sesekali kepalanya terjatuh ke bahunya.
Di depan Ruang Operasi~ Rosita akhirnya tertidur di samping Satria Irawan. Ia tak mampu menahan rasa kantuknya. Namun ketika ia terlelap dalam tidurnya, kepala Rosita jatuh ke bahu Satria Irawan; hal itu menyebabkan lelaki tampan ini terbangun. Akan tetapi, saat dia tahu bahwa yang menyandar dibahunya adalah wanita pujaan hatinya, maka dia membiarkan bahunya jadi sandaran kepala Rosita. Satria Irawan kembali memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama mereka tertidur disitu, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara brankar yang keluar dari Ruang Operasi. Mereka terbangun secara bersamaan, Rosita langsung menghampiri Dr Budiyanto. Satria Irawan mengikuti langkah Rosita. "Bagaimana kondisi ibu saya dok" Tanya Rosita sambil jalan disamping Dr Budiyanto. Langkah Dr Budiyanto terhenti, dokter itu pun menjelaskan kepada Rosita. "Alhamdulillah.. operasi sudah berlancar lancar." Dr Budiyanto terdiam sejenak. Rosita masih menatap mata Dr Budiyanto. "Akan tetapi, jantung ibu Minah mas
Rosita menatap kepergian Satria Irawan sampai keluar dari pintu ruang ICU. Kemudian Rosita memandangi wajah ibunya, matanya terpejam tapi bibirnya tersenyum. "Ibuu.. maafkan Ros ya.. Ros belum sempat membuat hati ibu senang, belum sempat membuat ibu hidup tenang tanpa harus bekerja mencari tambahan untuk biaya adik-adik sekolah." Rosita menciumi telapak tangan ibunya dengan dipenuhi rasa sayang yang teramat dalam. "Ros tahu, ibu sudah lelah... melewati perjalanan yang cukup panjang. Sekarang ibu sudah tenang... Maafkan Ros ya bu.. Ros janji akan menjaga adik-adik sebaik-baiknya bersama bapak nanti." Rosita bingung, bagaimana kalau ia menyampaikan hal ini kepada Jerry, ia tak mau dengar Jerry uring-uringan di rumah sakit. Itu sebabnya sengaja ia tidak memberitahukan Jerry, dia tak mau ada keributan yang tidak penting kalau Jerry tahu soal kematian ibunya. Pasti dia menyalahkan Rosita yang telah membawanya ke rumah sakit dan mengijinkan operasi kedua tersebut. Secara Jerry kadang-k
Setiba di halaman parkir persis di samping mobil Satria Irawan, Rosita melihat Ricky tidur dengan lelapnya. Ia tak membangunkan Ricky, tapi langsung naik ke kursi di belakang. Namun tak disangka, Ricky malah jadi terbangun. Mata Ricky memang buta, tapi daya rasa inderanya cukup tajam. Dia mencium aroma tubuh Rosita yang amat dikenalinya, duduk di kursi belakang. "Mbak Ros..?" "Iya Rick.. kamu kok bisa tahu?" "Bisa mbak.. Ohya, siapa yang sakit mbak?" "Ibu saya Rick..." "Gak ditungguin?" "Sudah, tadi kata dokternya boleh ditinggal saja," "Oooh.. " "Kita antar mbak Rosita dulu ke rumahnya ya Rick.."kata Satria Irawan memotong. "Iya Pih.." Mobil Satria Irawan melaju di jalan raya menuju ke arah rumah Jerry. ** Setiba di depan rumah, Rosita langsung turun dan melambaikan tangannya kepada Satria Irawan. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Akan tetapi Rosita kaget, karena tiba-tiba melihat bu Lastri keluar dari kamar ibunya. Rambutnya masih terurai, seperti b
Satria Irawan turun dari mobil, diikuti oleh Ricky. Beberapa langkah kemudian, Ricky mengeluarkan kunci rumah dari dalam saku depan tas ranselnya, setelah membuka pintu depan, mereka lalu masuk ke dalam rumah. Di dapur terlihat pak Deden sedang memasak air, dia tak suka menggunakan air panas dari dispencer untuk menyeduh kopi, katanya lebih enak dengan air yang dimasak hingga mendidih. Pak Deden menoleh ke arah Satria Irawan yang baru saja masuk dari pintu depan. Sedangkan Ricky langsung menuju ke kamarnya. "Assalamualaikum kang Deden," "Wa alaikum salam... kok gak jadi ke Bandungnya ?" "Iya kang, tadi nolongin orang yang sedang kesusahan..." "Alhamdulillah.. Bagus itu kang Sat.. ibadah ya." Satria Irawan mengangguk pelan, "Ya nyicil-nyicil amal baik aja kang Den," sambil duduk bersila di karpet lantai disitu, "Ada berita apa aja dari kantor kang Den..? beberapa hari ini saya gak sempet mampir ke kantor" "Ada yang urgent sih kang.. Soal Erna. Apa kang Sat sudah tahu?" "E
Ricky memejamkan matanya kembali, dia pikir itu suara bayi tetangga sebelah yang memang kadang mengganggu tidurnya. Tak lama kemudian, dia merasa hendak ke toilet untuk buang air kecil. Ricky keluar dari kamar paviliun, bersamaan dengan bu Lastri yang keluar dari kamar karena mendengar tangisan Maya yang tak berhenti. Bu Lastri terkesima melihat ketampanan wajah Ricky yang terlihat dari samping, dan postur tubuhnya yang membelakangi, tapi Ricky tak menggubrisnya. Bu Lastri tidak tahu bahwa Ricky tak bisa melihatnya karena matanya buta. Beruntungnya Ricky sudah masuk ke dalam toilet, jadi mereka tidak sempat berpapasan. Bu Lastri buru-buru menggendong Maya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Untungnya, setelah Maya digendong langsung diam tangisnya. Di dalam kamar pak Deden, pelayanan pagi pun dilanjutkan kembali. Keluar dari kamar mandi, Ricky mendengar suara rintihan bu Lastri "uh ah.. uh ah.." dari arah dalam kamar pak Deden. Ricky menuju ke pintu kamar pak Deden, Berbisik
Rosita keluar dari pintu kamarnya yang langsung ke ruang makan. Ia masih mengenakan celana pendek selutut dan atasan baju tidurnya. Disitu tampak Jerry, bapaknya, baru selesai sarapan pagi. Ketiga adik Rosita, Dino, Doni, dan Dini, tampak sudah rapi mengenakan seragam sekolah dasar, mereka sedang duduk dikursi masing-masing menunggu sarapan pagi. Nasi goreng kesukaan mereka yang sedang dibuat oleh ibunya, bu Minah, di dapur persis di sebelah ruang makan ini. Aroma wangi nasi goreng sampai ke hidung mereka.“Hmm, wanginya nasi goreng buatan ibu,” kata Dino.“Nyam-nyam..” sambut Dini adik bungsunya.Rosita melirik ke bapaknya, yang tampak sedang mengikat tali sepatu bootnya; lalu ia duduk di kursi disamping Dino. Ia mengelus perutnya yang semakin membuncit, 8 bulan sudah usia kandungan bayi dalam perutnya. ”Makanya kalau kawin jangan sama pengangguran. Sebentar lagi kamu melahirkan, mana tanggung jawab suamimu? Enggak pernah kirim uang se-perakpun. Sedangkan kamu butuh uang banyak, bua
Rosita tampak turun dari angkot, lalu jalan memasuki halaman pertokoan Mall. Di kejauhan, tampak seorang laki-laki yang baru saja turun dari mobil yang diparkirnya. Pandangannya tertuju pada Rosita yang gendong bayi. Wanita belia bertubuh putih bersih dengan wajah cantik dan menarik. Laki-laki itu memperhatikan langkah kaki Rosita. Kepercayaan diri yang terpancar dari sorot matanya, membuat laki-laki itu langsung jatuh hati. Seperti cinta pada pandangan pertama. Di dalam lobby Mall, suasana masih sepi dari pengunjung, Beberapa pelayan lapak sedang merapikan dagangannya. Rosita melangkah mencari resto yang sudah siap menerima tamu. Laki-laki tadi mengikuti langkah Rosita, sampai duduk di resto, dia pun duduk tak jauh dari situ. Rosita menaruh bayinya di kursi, lalu jalan menuju ke kasir untuk memesan makanan.Laki-laki yang memperhatikan itu sangat terkejut, melihat Rosita meninggalkan bayinya di kursi sendirian.”Ini perempuan macam apa sih? Masa bayinya ditinggal begitu saja..?”Pa